Tampilkan postingan dengan label libertarian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label libertarian. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Oktober 2016

Privasi dan Masyarakat

Salah seorang kawan, perempuan mengeluhkan tentang privasi. Sebut saja dia M. Bagaimana tetangganya senang sekali mengusik hal-hal pribadinya. Apakah benar memang masyarakat benar-benar gagal membedakan antara privasi dan bukan?

Sebagaimana generasi yang dibesarkan di era dimana begitu cairnya penetrasi negara-negara maju untuk mendistribusikan segala kebudayaan mereka ke dunia ketiga, seakan-akan itu orang-orang barat itu semua suci, dan dunia ketiga ini penuh dosa. Produk-produk yang lahir di internet itulah contohnya. Sadar atau tidak, semua kebudayaan barat itu tiba-tiba menjadi sebuah hal yang cair. Seringkali kita gagal membedakannya.

Ketika modernisme membawa hak-hak individu di dalamnya, mau tak mau kita menjadi memberontak dengan mekanisme masyarakat yang (terlihat) tak pernah mau menjunjung hak-hak individu. Begitulah yang terjadi pada saya, M, dan seluruh generasi saya yang merasa tak beres dengan masyarakat ini. Apakah pemberontakan adalah sesuatu yang tidak dibenarkan? Entahlah.

Saya kemudian memberi penggambaran kepada M tentang tembok-tembok tinggi yang dibangun oleh orang-orang dengan kekuasaan tinggi dan harta yang banyak. Privasi adalah salah satu tujuan tembok-tembok besar ini dibangun. Orang-orang ini ketakutan dengan masyarakat, masyarakat yang malah ketakutan orang-orang yang berbeda seperti orang kaya ini, takut pada agama minoritas, takut pada ras minoritas, dan kaum minoritas lainnya seperti LGBT. Apalagi masyarakat Indonesia yang memang dikenal dalam sejarah buas sekali (halo, Tragedi 1965). Jalan satu-satunya yang orang-orang kaya ini membangun kekuasaan dan mengumpulkan harta untuk membangun tembok. Dan usaha untuk membangun tembok-tembok yang semakin tinggi terus dilakukan untuk berlindung dan mengasingkan diri dari masyarakat.
Menurutku itulah kesalahan mereka, mengasingkan diri dari masyarakat. Karena mereka terasing dari masyarakat akhirnya mereka tak pernah peduli pada apa yang terjadi dengan masyarakat. Mereka tak peduli tentang derita kemiskinan dan kebodohan yang terjadi pada masyarakat. Dan saya mengatakan pada M, kita tak pernah diajari untuk menjadi pribadi yang seperti itu.

Terasing dari masyarakat takkan pernah merubah apapun. Apalagi puluhan tahun mereka membangun tembok, masyarakat kita masih saja menjadi rasis, fasis, homophobia dan seksis. Mereka gagal, atau memang tak peduli sama sekali? Dan membiarkan diri mereka mewariskan dunia yang begitu buruk untuk ditinggali bagi generasi saya. Lalu pertanyaannya kemudian apakah kita akan merubah masyarakat seperti orang-orang dunia pertama lakukan pada dunia ketiga? Apalagi di era posmodern hari ini, aneh juga dikotomi antara tradisional dan modern masih saja diperdebatkan.

Begitulah kelakar (baca: curhat) 6 paragraf ini, masih dibuka untuk diskusi yang sehat. Btw, saya post di instagram agar generasi millenial bisa membicarakan tentang isu ini. Isu menjadikan dunia ini menjadi surga (atau sekedar membuatnya lebih baik) jelas sangat urgen. Kalau generasi millenial gagal kali ini, maka kita bakal dianjing-anjingkan oleh generasi berikutnya karena tidak melakukan apapun. Tapi memang lebih gampang untuk membayangkan dunia segera kiamat dan membuat vlog tentangnya. Tabik.[]

Catatan penulis:
Sebenarnya ini akan di post Instagram, tapi entah kenapa belum disempat-sempatkan. Seinget saya, saya menulis ini dengan penuh emosional. Lalu ketika saya membaca laporan ini dari Tirto, saya jadi mengingat bagaimana masa lalu saya yang hip, modern dan individualistik. Dan bukan saya saja, saya melihat rata-rata kawan-kawan saya memang berperilaku seperti itu. Lalu menyebutnya sebagai perilaku kelas-menengah-sejak-lahir mungkin terburu-buru, tetapi setidaknya saya bisa merefleksikan masa lalu dan melihat kawan-kawan saya yang masih dengan perilaku yang sama dengan perspektif berbeda, bahkan mungkin mengapologi dan melegetimasi perilaku mereka, toh laporan tersebut juga berusaha menyebut: ini lho kelas menengah! mau gimanapun tetap kelas menengah!

Tapi ya begitu nilai-nilai komunal dan gotong royong tetap kita kampanyekan.

Senin, 10 Oktober 2016

Selamat Ulang Tahun, Kamerad





Saya berulang tahun hari ini di usia ke-24. Sedang menanti-nanti kelulusan yang tak tau kapan itu disebuah akademi relijius—lebih dikenal dengan pondok pesantren. Catatan ini sekedar memeriahkan ulang tahun saya yang sepi. Perasaan sudah melakukan hal ini sebelumnya: membuat catatan di hari ulang tahun. Ah iya benar juga, tahun lalu menulis sebuah catatan di blog soal bagaimana obsesi saya untuk berkontribusi terhadap umat manusia[1]. Dan karena generasi millenial rata-rata menjadi pesimis dan nihilis, yakin akan lumat di sistem yang busuk ini, jadi obsesi saya tahun lalu menjadi tak relevan. Ini pasti gara-gara saya baca analisa tidak resmi dari seorang intelektual muda UI, yang ditulis di blognya[2]. Dari analisanya yang lumayan tajam menganalisis fenomena Awkarin yang ditujukan kepada generasi millenial—generasi saya dan dia juga, saya berkesimpulan bahwa generasi millenial kini yang bertanggung jawab untuk merubah dunia ini menjadi lebih baik untuk generasi selanjutnya.

Doski juga menulis sebuah catatan untuk ulang tahunnya ke-22. Dengan perspektif ekologis, mb pp lebih bisa melihat kiamat daripada runtuhnya kapitalisme, meskipun ia juga menekankan bahwa pergantian sistem itu mutlak adanya, dan sinis terhadap kesombongan manusia[3]. Ah, jadi ingat mz arip—mz mz pegiat literasi, yang menulis curhat di blognya tentang kapitalisme dan kiamat. Ia juga menulis lebih gampang membayangkan kiamat daripada hancurnya kapitalisme[4]—tapi kapitalisme emang udah hancur berkali-kali, tapi selalu bisa bangkit kembali. PP, Arip, juga MC kondang—Morgue Vanguard menambah daftar panjang orang-orang yang semakin realistis terhadap perlawanan merebut kapital hari ini—kalo tidak mau dibilang mengalami demoralisasi. Gimana dengan saya? Entahlah.

Akhir-akhir ini politik ekologi semakin menarik perhatian saya, juga beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan di berbagai ruang virtual. Meskipun seorang yang percaya anarkisme seperti saya ini rada alergi dengan jalur partai (hei, lebih asyik menjalankan otonomi kolektif, demokrasi partisipatoris, gotong royong dan asosiasi bebas), namun orang-orang progresif kiri yang saya ikuti selama ini sibuk mempromosikan beberapa partai. Salah satunya partai yang latar belakang perspektifnya ekologis yaitu Partai Hijau Indonesia. Menariknya, di website resminya udah seperti orang-orang progresif kiri dengan orang liberal rukun sekali[5]. Ulil Abshar Abdala sendiri yang sangat dikenal liberal mengaku juga simpati terhadap isu ekologis di Pegunungan Kendeng[6]. Beberapa orang yang tergabung dalam Islam Bergerak juga ikut melahirkan sebuah organisasi yang dikenal dengan Front Nadhliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), yang jelas-jelas memakai perspektif ekologis[7]. Bahkan situs Anarkis.org juga menurunkan tulisan yang berperspektif ekologis yang memberi kritik pada gerakan hijau—yang membuat saya rada penasaran juga sejarah gerakan ekosentris di dunia[8]. Wew, apa yang sedang terjadi.

Jujur, saya tak pernah membaca kajian ekologis sebelumnya. Literasi saya pun tidak pernah ada yang membahas lingkungan—apalagi lingkungan akademik saya (pesantren). Saya pun selama 1-2 tahun terakhir memang fokus dalam isu kesejahteraan, perebutan ruang hidup dan gerakan literasi. Jadi isu lingkungan merupakan hal yang awam bagi saya—meskipun gerakan lingkungan Menolak Reklamasi Teluk Benoa di Bali menjadi salah satu alasan saya tertarik dengan gerakan massa.

Dengan bermunculannya gerakan-gerakan hijau, mungkin kita memasuki sebuah episode baru. Ibarat sebuah seri drama reality show Korea, kita memasuki sebuah season kedua. Season pertamanya adalah timbulnya konflik agraria di seluruh tempat di Indonesia. Dan di season kedua ini, perlawanan-perlawanan terhadap perebutan ruang itu diorganisir—bahkan berjejaring dan membuat solidaritas. Tetapi seperti seri Game of Thrones, perjuangan masih panjang untuk meraih keadilan. Ini ngawur sik.

Refleksi Diri 

Dengan latar belakang relijius-mistik-nasionalis yang bertubrukan dengan pemikiran modernis-rasionalis, lalu kemudian banting setir ke kiri, saya seperti menemukan hal ingin saya lakukan ke depannya. Sederhananya seperti perjalanan pergerakannya Ucok ex-Homicide, ikut semacam kur-pol (kursus politik) Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan menjadi kader, lalu keluar, pulang kampung dan memutuskan untuk membangun gerakan akar rumput dengan prinsip-prinsip anarkis.

Tapi semuanya membutuhkan keberanian. Dan saya belum punya itu. Butuh keberanian untuk melakukan sesuatu hal yang kita inginkan, di tengah tuntutan orang tua yang keras. Harusnya malu pada Pram yang menjadi ikon keberanian gerakan demokrasi di penghujung senja orde Baru. Sampai akhir hayatnya, Pram selalu berani bersuara untuk orang-orang kalah.

Jadi ingat beberapa orang menganjurkan sebuah jalan praktis dalam sistem busuk ini: fokuslah mendapatkan kekuasaan dan wang, lalu kau bisa dihormati dan melakukan semua yang kamu ingin lakukan. Baiklah, setelah ini saya akan membuka bisnis sendiri dan setelahnya merebut kapital dan memperbudak pekerja.

Ah, jadi ingat kekecewaan saya terhadap kawan-kawan relijius-mistik-nasionalis saya yang sungguh dimanjakan oleh orang tua pemilik kapital. Yang satu perempuan, dan saya paling ingat ia sinis dan ingin sekali merubah sistem yang memperbolehkan pekerja untuk berutang pada perusahaan ayahnya. Dan ketika saya menanyakan apa alasan pekerja ayahnya untuk meminjam uang? Ia menjawab, untuk kebutuhan sehari-hari. Waktu itu saya belum ngeh dan belum ngerti betul tentang penderitaan kaum pekerja/buruh. Dan hari ini ketika merefleksikan kembali percakapan itu, coba dipikir: mengapa pekerja ayahnya berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? YA KARENA GAJI YANG SAMPEAN BERIKAN KE PEKERJA KURANG, DEK. Seharusnya tidak perlu emosional, tapi melihat ia begitu sombong sekarang, mau tak mau menjadi emosional. Lucu memang.

Akhir-akhir ini ia bahkan mempromosikan nasionalisme, menghimbau untuk mengonsumsi produk dalam negeri dan mengurangi konsumsi produk impor. Jelas orang yang lebih mengutamakan Class War seperti saya, alergi terhadap himbauan seperti itu. Apa yang lebih penting dari mengonsumsi produk lokal yang belum jelas apa perusahaan pembuatnya membayar pekerjanya dengan layak atau berjuang agar seluruh pekerja dibayar dan bekerja dengan layak? Dan sampai di sini saja polemik tentang kelakar konsumsi lokal atau impor.

Yang kedua seorang kawan cowok yang mengeluh tentang pekerja. Saya tidak tahu situasinya, namun saya terlalu emosional dan kecewa yang akhirnya mendebatnya. Ia memang berargumen bahwa dirinya sebagai bos juga memegang kerja yang tidak berperikemanusiaan. Ini yang menarik, namun sayangnya saya tidak menanggapinya. Di dalam pengantar situs libcom.org yang sempat saya terjemahkan seadanya[9], sistem kapitalisme tidak hanya menghajar para pekerja, namun juga para bosnya. Dengan orientasinya pada pasar, maka dibenarkanlah kompetisi. Para bos akan berkompetisi satu sama lain bahkan menghalalkan segala cara. Dan yang kalah berkompetisi akan bangkrut dan hancur dikoyak-koyak kapital.

Baiklah, kiranya cukup sampai di sini. Ada deadline yang perlu diperhatikan. Jelas saya secara resmi menjadi buruh. Semoga tidak semakin kehilangan harapan untuk terus hidup. Tabik.[]



[1] Mochammad IH; Catatan Kematian #1 – Bila Aku Mati Muda | Egnaro Ekac https://egnaroekac.blogspot.co.id/2015/10/catatan-kematian-1-bila-aku-mati-muda_31.html
[2] Perdana Putri; OMG, I’m talkin’ about Awkarin —also crisis, digital labor, and galore stuffs I don’t even understand | Yellow Spider https://medium.com/@galaxybliss/omg-im-talkin-about-awkarin-also-crisis-digital-labor-and-galore-stuffs-i-don-t-even-7ad758309920#.vcfvs836b

[3] Perdana Putri; Akhirnya Saya Bisa Menyanyikan Lagu Taylor Swift—Juga Sedikit Daftar Tentang Mimpi | Laba-Laba Kuning https://blogadaryu.wordpress.com/2016/09/04/akhirnya-saya-bisa-menyanyikan-lagu-taylor-swift-juga-sedikit-daftar-tentang-mimpi/


[5] Ada nama Dewi Candraningrum yang saya tau sebagai orang liberal mengisi testimoni Partai Hijau bersanding dengan nama Zely Ariane dan Andre Barahamin yang saya tau sering menulis di situs-situs progresif kiri. Situs resmi Partai Hijau Indonesia http://www.hijau.org/

[6] Diskusi "Islam Progresif dan Kritik Ekonomi-Politik atas Islam Liberal", FISIP, UIN Ciputat | Panel Ulil Abshar Abdala https://www.youtube.com/watch?v=Ibg4gz6Z6po https://www.youtube.com/watch?v=7PfSycCBhb4
[7] Situs Daulat Hijau http://www.daulathijau.org/

[8] Bima Satria Putra; Anarkis dan Elektoralisme | Anarkis.Org http://anarkis.org/anarkis-dan-elektoralisme/

[9] Libcom.org; Kapitalisme: Sebuah Perkenalan | Subyektif Zine http://subyektifzine.blogspot.co.id/2016/02/kapitalisme-sebuah-perkenalan.html

Rabu, 21 September 2016

Ronggeng Dukuh Paruk (trilogi), Ahmad Tohari


Ronggeng Dukuh ParukRonggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari
My rating: 1 of 5 stars

Novel ini mungkin penggambaran terbaik dari apa yang dirasakan oleh para survivor/penyintas/korban salah satu tragedi paling hitam dalam sejarah Indonesia: Tragedi 1965. Menariknya novel ini pertama kali diterbitkan pada medio 1980an (1982), dimana kekuasaan Orde Baru di tengah puncak 'kejayaan'nya. Jadi apa seorang Ahmad Tohari sudah pernah merasakan diciduk oleh satuan Kodim terdekat?

Saya pernah membaca, Tragedi 1965 juga menghancurkan gerakan perempuan. Ini ditandai dengan pelarangan organisasi seperti Gerakan Wanita Indonesia (ngomong2 kenapa ya gerwani memakai kata wanita, sedang feminis kontemporer menolak kata wanita?). Meskipun tokoh Srintil tidak ikut dalam organisasi apapun, namun hanya digunakan sebagai alat partai (hal ini juga persis menggambarkan keadaan orang2 Lekra yang organisasinya dilarang dan anggotanya dipenjara). Srintil sendiri pun ketika menjadi seorang ronggeng, ia mulanya begitu bangga status dan identitasnya itu, namun setelah ia diciduk aparat dan dipenjara, nilai awalnya sebagai perempuan sebelum geger 1965 seketika dijauhi dan ia mengkonstruksi nilai seorang perempuan lain yang jauh dari ketika ia menjadi ronggeng; persis ketika Orde Baru menghancurkan gerakan perempuan dan mengkonstruksi sebuah pemahaman baru tentang perempuan yang penuh bias patriarkis dan ironisnya hingga sekarang nilai yang ditanamkan oleh Orde Baru itu masih langgeng di tengah masyarakat.

Dalam Tragedi 1965 sendiri banyak sekali orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban. Bagaimana premis ini kemudian dibawakan dalam novel persis ketika orang-orang Dukuh Paruk yang sama sekali tidak mengerti politik, namun hanya dimanfaatkan sebagai alat partai, akibatnya Dukuh Paruk ikut pula dihancurkan. Baca sendirilah kesaksian2 para penyintas yang betebaran di internet.

Yang paling lucu menurut saya sendiri sebenarnya sosok Sersan Slamet yang digambarkan sangat kebapakan.[]

View all my reviews

Jumat, 05 Agustus 2016

Memaknai Kerja Kembali



Notes ini ditulis seperti racauan, karena penulisnya baru bangun tidur. 

Dalam nyinyiran masyarakat post-modern, kerja dimaknai sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup. Kita dituntut kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kerja sudah menjadi lakon wajib manusia bersama lahir, membayar tagihan dan mati (born, work, pay the bills, die). Apakah kita bisa memilih kerja yang sesuai dengan kehendak kita pada masyarakat kapitalisme? Bisa, namun hal itu bakal menjadi sesuatu yang sulit.
Apakah selamanya kerja dimaknai dengan keterpaksaan untuk bertahan hidup? Ternyata ada yang berpendapat sebaliknya. Ini mengacu pada sejarah peradaban manusia menurut orang-orang marxis. Sebelum masyarakat kapitalisme lahir dan berkembang, ada era-era tertentu dimana manusia memaknai kerja dengan sangat berbeda dengan hari ini. Sepengetahuan saya, kerja tidak hanya aktivitas untuk mencari uang yang akan ditukarkan untuk kebutuhan hidup, namun kerja juga dimaknai sesuatu hal yang natural (sifat alamiah) bagi manusia.

Apa yang dihasilkan kerja untuk manusia? Dalam kajian marxisme sendiri ada yang disebut nilai pakai. Contohnya seperti petani bekerja di sawah untuk menumbuhkan padi dan hasilnya menjadi beras yang mempunyai nilai pakai untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat manusia (dari sini penulis membaca-baca lagi teks para marxis untuk teori nilai). Air bersih mempunyai nilai pakai untuk kebutuhan minum manusia. Hasil-hasil kerja manusia ini disebut Marx sebagai komoditas, jadi manusia bekerja menghasilkan komoditas.

Elemen komoditas yang kedua adalah nilai-tukar, yaitu nilai yang muncul saat pertukaran komoditas. Misalnya nilai-tukar sekarung beras sama dengan 5 slop rokok. (Penulis belum paham sepenuhnya, namun berpikir bahwa) beras dan 5 slop rokok sama-sama merupakan pencurahan sejumlah kerja tertentu. Misalkan untuk memproduksi berasa perlu waktu 3 bulan hingga panen. Untuk memproduksi 5 slop rokok perlu seminggu kerja. Dan kerja inilah yang menurut para marxis yang menentukan nilai dalam komoditas. Kerja adalah intinya.


(Dari sini penulis tidak ingin menulis sesuatu yang tidak dipahaminya).

Marx sendiri berpendapat bahwa segala bentuk jual-beli dan roda ekonomi tidak menghasilkan laba/profit/keuntungan. Karena masyarakat pasar sendiri adalah penjual dan juga pembeli. Contohnya: seorang petani menjual beras di pasar, namun ia juga membeli beras di pasar untuk memenuhi kebutuhan makannya. Atau seorang nelayan menjual ikan hasil tangkapannya di pasar, namun ia juga membeli ikan di pasar untuk kebutuhan lauk pauk di rumahnya. Hal ini sebenarnya diterangkan panjang lebar oleh Marx dengan segala teorinya. 

Nah dengan meyakini bahwa segala aktivitas pertukaran tidak menghasilkan laba, lalu darimana laba itu berasal? Marx percaya (dengan segala argumen dan teorinya) bahwa laba itu diambil dari kerja para buruh. Kapitalis sendiri memang yang selalu mendapatkan laba. Istilah kapitalis dialamatkan pada orang-orang yang memiliki alat produksi secara pribadi, misalnya pemilik pabrik, pemilik sawah, pemilik tanah, dan sebagainya. Para kapitalis membeli tenaga kerja dari buruh, sedangkan buruh menjual tenaga kerjanya pada para kapitalis.

Bagaimana bisa laba diambil dari kerja para buruh? Bila kita mengambil produksi jagung misalnya. Seorang buruh bisa menghasilkan 20 jagung dalam sehari. Namun kebutuhan hidup seorang buruh akan jagung adalah 10 buah dalam sehari. Nah selisih 10 jagung inilah yang akan diambil kapitalis yang dirubah menjadi laba.
Selama laba atau nilai-lebih yang dihasilkan oleh buruh masih ‘dirampok’ oleh kapitalis, maka masyarakat sendiri akan menganggap kerja sebagai sebuah keterpaksaan demi melanjutkan hidup. Seolah-olah manusia seperti mesin saja.

Dibalik Kerja Sesuai Passion

Dalam masyarakat kontemporer ada pula yang berpendapat bahwa manusia dibebaskan untuk memilih (free will), bekerja dengan keterpaksaan atau bekerja dengan passion. Passion sendiri berarti bekerja dengan semangat dan gairah yang meluap-luap tak pernah berakhir. Kedengaran seperti sesuatu hal yang menyegarkan dan menjadi solusi akan hidup yang dipenuhi perasaan tidak ikhlas.

Namun bila kita mengikuti teori dan pendapatnya Marx, maka bila kita masih tidak memperoleh hasil kerja berupa nilai-lebih maka selamanya kita akan dikutuk untuk bekerja. Sedangkan bila kita bekerja sesuai dengan gairah dan keinginan kita namun tetap di bawah naungan kapitalis, maka selamanya kita membiarkan ‘perampokan’ nilai-lebih tersebut merajalela.

 Lalu apa yang harus kita bangun dan pemaknaan apa yang harus kita tanamkan saat kita menjalani hidup kita ini? Kita harus bersabar ketika mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat limpahan rejeki. Atau mungkin kita merebut kembali apa yang menjadi ‘laba’ kita. Atau mungkin tawaran dari Karl Marx sendiri, bekerja sesuai dengan kapasitas dan mengambil barang-barang sesuai kebutuhan. Tapi pada intinya, mari kita membangun surga di dunia, tidak usah menunggu lama-lama untuk mendapatkan surga di akhirat.


Daftar Pustaka

Suryajaya, Martin; Teori Nilai-Kerja Karl Marx http://www.prp-indonesia.org/2012/teori-nilai-kerja-karl-marx

Selasa, 26 Juli 2016

Otodidak Bergerak di Akar Rumput





Melibatkan diri di lapangan atau dalam kenyataan adalah belajar memahami bahwa kenyataan tidaklah semudah dan sehitam-putih teori ideologi apa pun, belajar mempengaruhi tanpa memaksakan kehendak, belajar membaur tanpa meninggalkan prinsip, belajar terbiasa bahwa orang sering memilih kesalahan yang nyaman ketimbang kebenaran yang menakutkan, belajar menguji teori dalam kenyataan dan lapang dada saat teori tak sesuai dengan kenyataan, dan yang terpenting: belajar bahwa pencapaian-pencapaian sekecil apa pun yang dibangun dengan tangan sendiri di tanah sendiri terasa jauh lebih bermakna ketimbang cerita-cerita sempurna di ujung langit yang toh tak pernah kita lakukan sendiri.

Keputusan saya untuk mengikuti berbagai aktivis kiri di social media setahun ini, membawa saya pada beberapa hal yang bisa diceritakan. Di Indonesia sendiri, Kiri identik dengan gerakan komunis. Ini tak lepas sejarah panjang dan fenomenal dari Partai Komunis Indonesia yang bahkan dimulai sebelum negara ini berdiri.

Namun saya tak berhenti di komunisme, tapi juga mulai belajar sosialis-sosialis yang lain. Mempelajari gerakan-gerakan yang disebut-sebut sebagai keberhasilan proyek-proyek sosialis membawa saya pada kepercayaan pada gerakan bersenjata. Tidak ada perubahan tanpa revolusi bersenjata, begitu keyakinan saya, diilhami oleh gerakan Chiapas (Meksiko), revolusi Kuba, dan revolusi Rojava yang sedang berlangsung.

Namun saya sadar gerakan bersenjata haruslah dengan perhitungan yang matang. Sejarah berbicara, kudeta gagal PKI tahun 1926 berakibat jauh lebih mengerikan. Begitu pula yang terjadi pada tahun 1965. Dan baru-baru ini hal mengerikan terjadi di Turki, ketika rezim Erdogan membalas kudeta gagal dengan hal yang jauh mengerikan.

Alasan

Apa yang membuat saya tertarik dengan gerakan kiri? Saya tidak tahu bagaimana awalnya, namun belakangan ini saya berpikiran semua ini karena rasa kepedulian. Rasa kepedulian ini tidak datang dari langit, tapi ditanamkan oleh lembaga pendidikan saya sejak sekolah menengah (pesantren). Rasa kepedulian terhadap orang-orang kalah, rasa kepedulian terhadap masyarakat, rasa kepedulian terhadap tanah air.

Cukup ironis sebenarnya, belakangan setelah saya mempelajari gerakan kiri, saya baru menyadari bahwa lembaga pendidikan yang selama ini menanamkan “rasa kepedulian” ini mengarah pada fasisme. Dan saya masih kesusahan untuk keluar dari lingkaran ini.

Tapi memang tidak bisa tidak diakui bahwa peran lembaga pendidikan ini memang yang menyambungan saya dengan apa yang dicita-citakan oleh gerakan kiri. Yaitu membuat dunia menjadi lebih baik.

Akar Rumput

Isu yang lagi hangat dibicarakan oleh gerakan kiri hari ini adalah mengorganisir di tingkat akar rumput. Di tengah ancaman terhadap demokrasi, perebutan ruang hidup dan fasisme seperti Orde Baru bangkit kembali, para intelektual kiri berlomba-lomba mengeluarkan fatwanya untuk mengorganisir gerakan akar rumput. Contohnya bagaimana intelektual-intelektual ini gagal mendapat simpati masyarakat ketimbang organisasi-organisasi anti-demokrasi dan partai-partai borjuis yang memang turun langsung mengambil simpati masyarakat. Buat apa merasa marah dan kecewa karena masyarakat lebih memilih para serigala, kalau kita tidak terjun langsung ke masyarakat, begitu intinya.

Maka dari itu bagi generasi yang tumbuh besar pasca orde baru seperti saya, tumbuh besar dengan masyarakat kapitalistik, berpaham individualistik, tercengang dengan kehidupan borjuis, turun ke bawah dan bergabung dengan masyarakat menjadi hal yang sangat berat sekali. Beneran. Serius.

Mengikuti kegiatan karang taruna, berjaga pos ronda, ikut tahlilan atau membangun perpustakaan desa adalah hal yang sangat asing bagi generasi millenial seperti saya. Hal yang tak pernah diajarkan, bahkan oleh lembaga pendidikan saya yang bisa disebut tradisional. Mengecewakan memang, tapi mau bagaimana lagi hampir semua seperti itu (bahkan adik perempuan saya!).

Karena asing dan merasa buta dengan apa yang harus dilakukan, pada akhirnya usaha-usaha ini bisalah disebut dengan otodidak. Apalagi tanpa teman-teman yang tidak memiliki pemahaman dan cita-cita yang sama. Memang ada yang sama, namun mereka telat menyadari bahwa mengorganisir gerakan akar rumput adalah fatwa wajib ain bagi gerakan kiri. Jadinya kegiatan otodidak ini hanya eksperimen-eksperimen yang tak tahu apakah akan menjadi sesuatu yang efektif untuk melawan musuh.

Sekedar membagi argumen-argumen gerakan rumput (entah apalah namanya) yang sedang saya coba. Pertama, menolak kompartementalisme. Ini artinya tidak melulu tukang puisi harus membuat puisi, selebtwit hanya mengetwit, youtubers hanya membuat vlog, penulis hanya menulis dan organisator hanya mengorganisir. Jadi harus ada fleksibilitas seperti penjaga warung kopi yang lagi belajar membuat vlog.

Kedua, adalah memberi solusi kongkret dan cepat pada masyarakat yang sedang tertindas. Ini hal yang baru bagi saya sebenarnya. Sempat merefleksikan juga beberapa kegiatan yang akan saya adakan, apakah memang bermanfaat langsung dan menjawab masalah masyarakat atau malah sebaliknya.
Kedua argumen itu ditawarkan oleh kawan-kawan anarko. Mereka yang sepertinya menjadi gelombang baru gerakan anti-otoritarian hari ini. Ngomong-ngomong, setelah mengkurasi zine-zine anti-otoritarian, saya baru nyadar: pasca reformasi gerakan anti-otoritarian sempat aktif sekali (namun tidak tumbuh di pulau jawa) memberi sumbangan pemikiran-pemikiran alternatif.

Ada satu hal yang saya percaya dan belum tergoyahkan: pendidikan adalah kunci. Pendidikan juga menurut saya berhubungan dengan kesadaran diri dan apa yang sedang terjadi. Pendidikan pula yang membuat masyarakat bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Jadi mencerdaskan bangsa adalah harga mati.***

Post script: sebenarnya ingin menambah link-link bacaaan lebih lanjut, namun ternyata tidur siang lebih ena~

Jumat, 11 Maret 2016

Rasa Sakit Yang Belum Berakhir


Pendahuluan

Setiap kali melihat postingan mantan yang mesra dengan kekasih barunya, masih saja merasa kecewa, sakit, marah dan berbagai rasa ketika menghadapi kegagalan dalam menghadapi kompetisi. Saya berkali-kali menulis tentang mantan kekasih yang satu ini di blog ini, tapi ijinkanlah kali ini saya membahasnya dengan perspektif (pseudo) ekonomi-politik, tentu saja kekirian.

Kegagalan Cinta Dalam Perspektif Ekonomi Politik


Membahas ia dengan perpektif ekonomi politik adalah hal yang baru menurut saya. Mengingat tulisan-tulisan yang pernah saya terbitkan di blog ini memakai perpektif pickup artist, yang sayangnya ilmu-ilmu pickup artist yang saya pelajari telah luntur semua. Dikarenakan memang sengaja saya melunturkan itu semua karena ilmu itu hadir karena adanya sistem kapitalisme, yang jelas sekali bertentangan dengan ideologi yang saya anut. Oh iya, sekaligus memang karena jarang dipratekkan, tetapi hal ini bukan tanpa alasan.

Memang ilmu-ilmu itu berguna sesekali dalam mengobati kekecewaan-kekecewaan yang seringkali kambuh. Namun karena saya menyadari (dengan perlahan) bahwa ilmu pickup artist itu hanya cocok dengan orang-orang yang sudah bisa mencari duit sendiri atau dalam bahasa libcom: menjual sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bagi manusia yang masih mengenyam pendidikan seperti saya, hal itu tampak mustahil dan kontradiktif.

Pertentangan Kelas


Kaum Marxis percaya dunia manusia ini dibentuk dengan sifat dialektis, pertentangan. Bukan pertentangan biasa, tetapi pertentangan kelas. Kelas yang didiami oleh mantan saya adalah kelas atas, dengan ayah yang berprofesi sebagai kelas birokrat eselon atas. Sedangkan saya berada di lingkungan keluarga kelas birokrat bawah. Ayah saya adalah pensiunan prajurit miskin, yang menurut Aji Prasetyo (salah seorang komikus lokal): mereka (prajurit miskin) ini yang dikorbankan oleh para jendral mereka di garda depan, dan mereka yang merasa mati karena membela negara padahal mah enggak.

Kalau hanya pengkategorian seperti ini, tidak akan ketemu kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan. Menurut Hilmar Farid (sejarawan yang kini menjadi menjadi Dirjen Kebudayaan), harus ada kajian historisnya. Baiklah dengan mengikuti saran bung Farid, mari kita mengungkap kajian historisnya.

Apa yang membuat ayahnya dan ayah saya tidak sama nasibnya? Apa faktornya? Padahal masing-masing mereka adalah kelas birokrat. Apa memang kelas birokrat seperti itu? Bersifat hirarkis dan tidak adil? Selama seminggu ini saya berpikir terus mengenai hal ini. Birokratisme memang bersifat tidak adil.

Lalu mengapa bisa pekerjaan ayah bisa mempengaruhi kebahagiaan anaknya?

Selama ini kegagalan cinta yang saya peroleh saya yakini karena adanya faktor. Hidup di alam kapitalisme membuat kita harus menjual sesuatu untuk memperoleh sesuatu. Bila kita ingin mendapatkan cinta (di dalam alam kapitalisme), komunitas pickup artist yang selalu membedah hal ini meyakini kita harus melakukan metode-metode.

Nah metode-metode ini mengharuskan kita menjual (investasi) waktu kita untuk mendapatkan hasil. Salah satu metode pickup artist yang saya tahu mengharuskan diri kita untuk keluar dan bergaul dengan orang banyak[1]. Yang mana bila kita diharuskan menjual sesuatu untuk mendapatkan sesuatu adalah ciri khas dari kapitalisme[2]. Sedangkan bila saya asyik untuk menjual waktu saya untuk mendapatkan social life-kehidupan sosial maka tak ada waktu yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan hidup saya. Maka dari itu hal ini tidaklah adil mengingat saya belum lagi bekerja (menjual tenaga pada kapitalis untuk mendapat uang) dan sementara ini saya mendapat uang dari orang tua yang tidaklah cukup untuk membiayai modal-modal lain untuk memperkuat daya tawar saya terhadap lawan jenis, perawatan tubuh misalnya.

Menuju Masyarakat Penuh Cinta


Ada dialog yang menarik dalam film Libertarias [1996]. Saat milisi revolusioner wanita Perang Sipil Spanyol (sepertinya Mujeres Liberes) yang berhaluan anarkisme/sosial libertarian menggerebek tempat pelacuran dan menyampaikan orasinya, mereka menegaskan bahwa cinta itu bukan untuk dijual (kapitalisme) tetapi cinta itu bebas. Lalu penegasan itu disambut dengan satir oleh sebagian pelacur bahwa para milisi revolusioner ini memang pelacur tapi bukan untuk uang tetapi dengan gratis.

Kritik yang tidak kompeten ini biarlah menjadi PR bagi para libertarian. Namun bagaimana bayangan para libertarian tentang hubungan masyarakat cinta dan masyarakat komune yang tanpa hirarki dan kelas? Apa pemikiran yang menjadi dasar para libertarian untuk bercinta dalam masyarakat komune?

Saya meyakini hubungan percintaan itu selain untuk reproduksi tetapi juga untuk fun, pleasure, kenikmatan dan main-main[3]. Dalam kehidupan sebelum kapitalisme, dalam masyarakat komune, semua karya seni dan budaya dihasilkan manusia setelah masyarakat komune ini bekerja mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mengisi waktu luang[4]. Lalu pertanyaannya kemudian hubungan percintaan itu apakah kebutuhan hidup manusia atau kebutuhan mengisi waktu luang? Nah pertanyaan ini membutuhkan hal objektif sebagai alat untuk menjawabnya dengan benar.

Penutup


Bahwa kesialan dalam kegagalan cinta memanglah berasal karena sistem kapitalisme menjadi langgeng dan hegemonik. Klise memang, toh saya juga iseng untuk menjabarkan penjelasannya. Lalu bila melihat kehidupan masyarakat antitesa kapitalisme, dalam hal ini sosial libertarian/anarkisme jawabannya belum memuaskan. Ditambah kehidupan masyarakat kontemporer tidak ada upaya yang luas untuk menyuntikkan ide-ide sosial libertarian ini. Tulisan ini terbuka untuk dikritik, karena penjabarannya yang pseudo. Semoga menjadi pemicu diskusi yang hangat. Tabik.***



[1] Joe Exorio, Berkenalan Dengan Lawan Jenis | Wikibuku https://id.wikibooks.org/wiki/Berkenalan_dengan_lawan_jenis

[2] libcom.org, Kapitalisme: Sebuah Perkenalan | Jurnal Subjektif http://subyektifzine.blogspot.com/2016/02/kapitalisme-sebuah-perkenalan.html

[3] Nosa Normanda, 5 Alasan Sederhana LGBT Bukanlah Penyakit https://eseinosa.wordpress.com/2016/01/28/5-alasan-sederhana-lgbt-bukan-penyakit/

[4] Martin Suryajaya, Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris | IndoProgress http://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/