Salah seorang kawan, perempuan mengeluhkan tentang privasi. Sebut saja dia M. Bagaimana tetangganya senang sekali mengusik hal-hal pribadinya. Apakah benar memang masyarakat benar-benar gagal membedakan antara privasi dan bukan?
Sebagaimana generasi yang dibesarkan di era dimana begitu cairnya penetrasi negara-negara maju untuk mendistribusikan segala kebudayaan mereka ke dunia ketiga, seakan-akan itu orang-orang barat itu semua suci, dan dunia ketiga ini penuh dosa. Produk-produk yang lahir di internet itulah contohnya. Sadar atau tidak, semua kebudayaan barat itu tiba-tiba menjadi sebuah hal yang cair. Seringkali kita gagal membedakannya.
Ketika modernisme membawa hak-hak individu di dalamnya, mau tak mau kita menjadi memberontak dengan mekanisme masyarakat yang (terlihat) tak pernah mau menjunjung hak-hak individu. Begitulah yang terjadi pada saya, M, dan seluruh generasi saya yang merasa tak beres dengan masyarakat ini. Apakah pemberontakan adalah sesuatu yang tidak dibenarkan? Entahlah.
Saya kemudian memberi penggambaran kepada M tentang tembok-tembok tinggi yang dibangun oleh orang-orang dengan kekuasaan tinggi dan harta yang banyak. Privasi adalah salah satu tujuan tembok-tembok besar ini dibangun. Orang-orang ini ketakutan dengan masyarakat, masyarakat yang malah ketakutan orang-orang yang berbeda seperti orang kaya ini, takut pada agama minoritas, takut pada ras minoritas, dan kaum minoritas lainnya seperti LGBT. Apalagi masyarakat Indonesia yang memang dikenal dalam sejarah buas sekali (halo, Tragedi 1965). Jalan satu-satunya yang orang-orang kaya ini membangun kekuasaan dan mengumpulkan harta untuk membangun tembok. Dan usaha untuk membangun tembok-tembok yang semakin tinggi terus dilakukan untuk berlindung dan mengasingkan diri dari masyarakat.
Menurutku itulah kesalahan mereka, mengasingkan diri dari masyarakat. Karena mereka terasing dari masyarakat akhirnya mereka tak pernah peduli pada apa yang terjadi dengan masyarakat. Mereka tak peduli tentang derita kemiskinan dan kebodohan yang terjadi pada masyarakat. Dan saya mengatakan pada M, kita tak pernah diajari untuk menjadi pribadi yang seperti itu.
Terasing dari masyarakat takkan pernah merubah apapun. Apalagi puluhan tahun mereka membangun tembok, masyarakat kita masih saja menjadi rasis, fasis, homophobia dan seksis. Mereka gagal, atau memang tak peduli sama sekali? Dan membiarkan diri mereka mewariskan dunia yang begitu buruk untuk ditinggali bagi generasi saya. Lalu pertanyaannya kemudian apakah kita akan merubah masyarakat seperti orang-orang dunia pertama lakukan pada dunia ketiga? Apalagi di era posmodern hari ini, aneh juga dikotomi antara tradisional dan modern masih saja diperdebatkan.
Begitulah kelakar (baca: curhat) 6 paragraf ini, masih dibuka untuk diskusi yang sehat. Btw, saya post di instagram agar generasi millenial bisa membicarakan tentang isu ini. Isu menjadikan dunia ini menjadi surga (atau sekedar membuatnya lebih baik) jelas sangat urgen. Kalau generasi millenial gagal kali ini, maka kita bakal dianjing-anjingkan oleh generasi berikutnya karena tidak melakukan apapun. Tapi memang lebih gampang untuk membayangkan dunia segera kiamat dan membuat vlog tentangnya. Tabik.[]
Catatan penulis:
Sebenarnya ini akan di post Instagram, tapi entah kenapa belum disempat-sempatkan. Seinget saya, saya menulis ini dengan penuh emosional. Lalu ketika saya membaca laporan ini dari Tirto, saya jadi mengingat bagaimana masa lalu saya yang hip, modern dan individualistik. Dan bukan saya saja, saya melihat rata-rata kawan-kawan saya memang berperilaku seperti itu. Lalu menyebutnya sebagai perilaku kelas-menengah-sejak-lahir mungkin terburu-buru, tetapi setidaknya saya bisa merefleksikan masa lalu dan melihat kawan-kawan saya yang masih dengan perilaku yang sama dengan perspektif berbeda, bahkan mungkin mengapologi dan melegetimasi perilaku mereka, toh laporan tersebut juga berusaha menyebut: ini lho kelas menengah! mau gimanapun tetap kelas menengah!
Tapi ya begitu nilai-nilai komunal dan gotong royong tetap kita kampanyekan.
Sebagaimana generasi yang dibesarkan di era dimana begitu cairnya penetrasi negara-negara maju untuk mendistribusikan segala kebudayaan mereka ke dunia ketiga, seakan-akan itu orang-orang barat itu semua suci, dan dunia ketiga ini penuh dosa. Produk-produk yang lahir di internet itulah contohnya. Sadar atau tidak, semua kebudayaan barat itu tiba-tiba menjadi sebuah hal yang cair. Seringkali kita gagal membedakannya.
Ketika modernisme membawa hak-hak individu di dalamnya, mau tak mau kita menjadi memberontak dengan mekanisme masyarakat yang (terlihat) tak pernah mau menjunjung hak-hak individu. Begitulah yang terjadi pada saya, M, dan seluruh generasi saya yang merasa tak beres dengan masyarakat ini. Apakah pemberontakan adalah sesuatu yang tidak dibenarkan? Entahlah.
Saya kemudian memberi penggambaran kepada M tentang tembok-tembok tinggi yang dibangun oleh orang-orang dengan kekuasaan tinggi dan harta yang banyak. Privasi adalah salah satu tujuan tembok-tembok besar ini dibangun. Orang-orang ini ketakutan dengan masyarakat, masyarakat yang malah ketakutan orang-orang yang berbeda seperti orang kaya ini, takut pada agama minoritas, takut pada ras minoritas, dan kaum minoritas lainnya seperti LGBT. Apalagi masyarakat Indonesia yang memang dikenal dalam sejarah buas sekali (halo, Tragedi 1965). Jalan satu-satunya yang orang-orang kaya ini membangun kekuasaan dan mengumpulkan harta untuk membangun tembok. Dan usaha untuk membangun tembok-tembok yang semakin tinggi terus dilakukan untuk berlindung dan mengasingkan diri dari masyarakat.
Menurutku itulah kesalahan mereka, mengasingkan diri dari masyarakat. Karena mereka terasing dari masyarakat akhirnya mereka tak pernah peduli pada apa yang terjadi dengan masyarakat. Mereka tak peduli tentang derita kemiskinan dan kebodohan yang terjadi pada masyarakat. Dan saya mengatakan pada M, kita tak pernah diajari untuk menjadi pribadi yang seperti itu.
Terasing dari masyarakat takkan pernah merubah apapun. Apalagi puluhan tahun mereka membangun tembok, masyarakat kita masih saja menjadi rasis, fasis, homophobia dan seksis. Mereka gagal, atau memang tak peduli sama sekali? Dan membiarkan diri mereka mewariskan dunia yang begitu buruk untuk ditinggali bagi generasi saya. Lalu pertanyaannya kemudian apakah kita akan merubah masyarakat seperti orang-orang dunia pertama lakukan pada dunia ketiga? Apalagi di era posmodern hari ini, aneh juga dikotomi antara tradisional dan modern masih saja diperdebatkan.
Begitulah kelakar (baca: curhat) 6 paragraf ini, masih dibuka untuk diskusi yang sehat. Btw, saya post di instagram agar generasi millenial bisa membicarakan tentang isu ini. Isu menjadikan dunia ini menjadi surga (atau sekedar membuatnya lebih baik) jelas sangat urgen. Kalau generasi millenial gagal kali ini, maka kita bakal dianjing-anjingkan oleh generasi berikutnya karena tidak melakukan apapun. Tapi memang lebih gampang untuk membayangkan dunia segera kiamat dan membuat vlog tentangnya. Tabik.[]
Catatan penulis:
Sebenarnya ini akan di post Instagram, tapi entah kenapa belum disempat-sempatkan. Seinget saya, saya menulis ini dengan penuh emosional. Lalu ketika saya membaca laporan ini dari Tirto, saya jadi mengingat bagaimana masa lalu saya yang hip, modern dan individualistik. Dan bukan saya saja, saya melihat rata-rata kawan-kawan saya memang berperilaku seperti itu. Lalu menyebutnya sebagai perilaku kelas-menengah-sejak-lahir mungkin terburu-buru, tetapi setidaknya saya bisa merefleksikan masa lalu dan melihat kawan-kawan saya yang masih dengan perilaku yang sama dengan perspektif berbeda, bahkan mungkin mengapologi dan melegetimasi perilaku mereka, toh laporan tersebut juga berusaha menyebut: ini lho kelas menengah! mau gimanapun tetap kelas menengah!
Tapi ya begitu nilai-nilai komunal dan gotong royong tetap kita kampanyekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar