Tampilkan postingan dengan label kebudayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebudayaan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 November 2016

Yang Pertama di SineRupa



Ketika melihat sendiri bagaimana segala kerepotan ayah saya mengurus keuangan keluarga ditambah pula segala urusan organisasi keagamaan yang beliau ikuti sendirian, saya jadi seperti menemukan contoh nyata dari kelakar lord_kobra ketika diejek seorang pelaku anarki namun memiliki KTP. Semoga kesehatan dan keselamatan selalu dilimpahkan Tuhan yang Maha Kuasa pada ayah saya. Bila tidak, mungkin hidup saya akan bagus untuk dituliskan sebagai salah satu novel tragedi yang menyumbang sisi kebudayaan peradaban manusia.

Omong-omong, lord_kobra juga pernah diejek sebagai “kelas menengah kurang kerjaan” atas kerja-kerja lapangannya untuk membela orang-orang yang digusur dengan laku otonomis-demokratis. Ejekan inilah yang teringat ketika saya menghadiri pemutaran pertama kolektif SineRupa di Suroso House, Jum’at lalu (28/10/2016).


Ada tiga film yang diputar berurutan malam itu. Semuanya film pendek karya sineas lokal. Dan semuanya saya rasa memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. “Di Suatu Tempat Dimana Pernah Ada Kita” karya Ernaz Ahmad memuat kritik sosial dengan isu yang paling panas hari ini: konflik agraria. Bercerita tentang seorang anak yang ingin bertani namun ia diihalangi oleh proyek pembangunan pabrik. Namun sepertinya hanya kawan-kawan yang paham dengan isu ini saja yang mengerti muatan kritik sosial pada film ini. Kawan di sebelah saya saat menonton misalnya, ia yang saya kenal memang buta akan politik akibat keberhasilan proyek depolitisasi kaum muda oleh Orde Baru, perlu dijelaskan terlebih dahulu untuk mengerti isi filmnya.

A photo posted by Sinerupa (@sinerupa) on

“Di Bioskop” karya Bias G. Wicaksi membawa penonton ke dalam kesegaran komedi dengan latar belakang kaum muda perkotaan. Tak ada yang berkesan sebenarnya, kecuali ketika tim produksi film memakai penjual pentol sebagai figuran. Ohya, ada gambar dimana seorang perempuan bertubuh gempal berlari-lari. Ketika memakai tubuh perempuan sebagai bentuk kelucuan sebenarnya bisa menjadi polemik. Namun seharusnya kita sudah melewati perdebatan seperti ini.


Satu-satunya yang memenuhi syarat sebagai film drama dalam pemutaran film itu adalah “Rena Asih” karya Lingga G. Permadie. Ada premis, karakter, konflik dan klimaks juga dikonsep drama musikal. Hasilnya, dua kawan saya yang cukup perasa bercucuran air mata. Premisnya cukup sederhana, seorang anak yang harus berkorban sesuatu untuk menyelamatkan masa depan pendidikannya. Meskipun dramanya kadang terlihat berlebihan, namun alur ceritanya sangat rapi. Saya hanya kecewa pada ending yang bahagia, karena sederhananya hidup memang tak sesederhana itu.

Dua dari tiga film itu mengambil tema kesulitan-kesulitan hidup dalam masyarakat. Namun saya merasa awkward ketika melihat sasaran audiens-nya adalah anak muda perkotaan. Bila dua film itu diputar di Balai Desa misalnya, mungkin akan cocok sekali dengan sasaran penontonnya. Namun ketika ia diputar di sudut keramaian kota, lalu apa yang bisa diharapkan dari kelas menengah? Menjawab hal itu lord_kobra berkelakar bahwa kelas menengahlah yang memicu gerakan pembangkangan sipil di Amerika tahun 60-an. “....sebagai contoh nyata pernyataan Martin Suryajaya tentang sekumpulan komunitas sok nyentrik yang mau sekedar tampil beda, yang tak mampu membedakan antara memperjuangkan revolusi dan pergi piknik[1].“[]

[1] Perang yang Tak Akan Kita Menangkan | Gutterspit https://gutterspit.com/2016/04/20/perang-yang-tak-akan-kita-menangkan-iv/

Sabtu, 22 Oktober 2016

Privasi dan Masyarakat

Salah seorang kawan, perempuan mengeluhkan tentang privasi. Sebut saja dia M. Bagaimana tetangganya senang sekali mengusik hal-hal pribadinya. Apakah benar memang masyarakat benar-benar gagal membedakan antara privasi dan bukan?

Sebagaimana generasi yang dibesarkan di era dimana begitu cairnya penetrasi negara-negara maju untuk mendistribusikan segala kebudayaan mereka ke dunia ketiga, seakan-akan itu orang-orang barat itu semua suci, dan dunia ketiga ini penuh dosa. Produk-produk yang lahir di internet itulah contohnya. Sadar atau tidak, semua kebudayaan barat itu tiba-tiba menjadi sebuah hal yang cair. Seringkali kita gagal membedakannya.

Ketika modernisme membawa hak-hak individu di dalamnya, mau tak mau kita menjadi memberontak dengan mekanisme masyarakat yang (terlihat) tak pernah mau menjunjung hak-hak individu. Begitulah yang terjadi pada saya, M, dan seluruh generasi saya yang merasa tak beres dengan masyarakat ini. Apakah pemberontakan adalah sesuatu yang tidak dibenarkan? Entahlah.

Saya kemudian memberi penggambaran kepada M tentang tembok-tembok tinggi yang dibangun oleh orang-orang dengan kekuasaan tinggi dan harta yang banyak. Privasi adalah salah satu tujuan tembok-tembok besar ini dibangun. Orang-orang ini ketakutan dengan masyarakat, masyarakat yang malah ketakutan orang-orang yang berbeda seperti orang kaya ini, takut pada agama minoritas, takut pada ras minoritas, dan kaum minoritas lainnya seperti LGBT. Apalagi masyarakat Indonesia yang memang dikenal dalam sejarah buas sekali (halo, Tragedi 1965). Jalan satu-satunya yang orang-orang kaya ini membangun kekuasaan dan mengumpulkan harta untuk membangun tembok. Dan usaha untuk membangun tembok-tembok yang semakin tinggi terus dilakukan untuk berlindung dan mengasingkan diri dari masyarakat.
Menurutku itulah kesalahan mereka, mengasingkan diri dari masyarakat. Karena mereka terasing dari masyarakat akhirnya mereka tak pernah peduli pada apa yang terjadi dengan masyarakat. Mereka tak peduli tentang derita kemiskinan dan kebodohan yang terjadi pada masyarakat. Dan saya mengatakan pada M, kita tak pernah diajari untuk menjadi pribadi yang seperti itu.

Terasing dari masyarakat takkan pernah merubah apapun. Apalagi puluhan tahun mereka membangun tembok, masyarakat kita masih saja menjadi rasis, fasis, homophobia dan seksis. Mereka gagal, atau memang tak peduli sama sekali? Dan membiarkan diri mereka mewariskan dunia yang begitu buruk untuk ditinggali bagi generasi saya. Lalu pertanyaannya kemudian apakah kita akan merubah masyarakat seperti orang-orang dunia pertama lakukan pada dunia ketiga? Apalagi di era posmodern hari ini, aneh juga dikotomi antara tradisional dan modern masih saja diperdebatkan.

Begitulah kelakar (baca: curhat) 6 paragraf ini, masih dibuka untuk diskusi yang sehat. Btw, saya post di instagram agar generasi millenial bisa membicarakan tentang isu ini. Isu menjadikan dunia ini menjadi surga (atau sekedar membuatnya lebih baik) jelas sangat urgen. Kalau generasi millenial gagal kali ini, maka kita bakal dianjing-anjingkan oleh generasi berikutnya karena tidak melakukan apapun. Tapi memang lebih gampang untuk membayangkan dunia segera kiamat dan membuat vlog tentangnya. Tabik.[]

Catatan penulis:
Sebenarnya ini akan di post Instagram, tapi entah kenapa belum disempat-sempatkan. Seinget saya, saya menulis ini dengan penuh emosional. Lalu ketika saya membaca laporan ini dari Tirto, saya jadi mengingat bagaimana masa lalu saya yang hip, modern dan individualistik. Dan bukan saya saja, saya melihat rata-rata kawan-kawan saya memang berperilaku seperti itu. Lalu menyebutnya sebagai perilaku kelas-menengah-sejak-lahir mungkin terburu-buru, tetapi setidaknya saya bisa merefleksikan masa lalu dan melihat kawan-kawan saya yang masih dengan perilaku yang sama dengan perspektif berbeda, bahkan mungkin mengapologi dan melegetimasi perilaku mereka, toh laporan tersebut juga berusaha menyebut: ini lho kelas menengah! mau gimanapun tetap kelas menengah!

Tapi ya begitu nilai-nilai komunal dan gotong royong tetap kita kampanyekan.

Rabu, 21 September 2016

Arok Dedes, Pramoedya Ananta Toer


Arok DedesArok Dedes by Pramoedya Ananta Toer
My rating: 1 of 5 stars

Sepertinya di dalam setiap novel Pram, selalu ada tokoh perempuan yang mandiri, tangguh dan tidak mau (di)tunduk(kan). Bagaimana seorang Dedes ketika diculik dan dinikahi paksa oleh Tunggul Ametung, sikapnya teguh melawan meskipun tidak secara fisik. Juga ada tokoh Umang yang digambarkan sebagai pemanah yang tangguh dan hidup dalam kondisi perang.

Ngomong2, soal intrik politik dan kerajaan yang menjadi setting Arok Dedes, jadi mengingatkan saya pada film-film korea hehehe. Jadi berbagai perebutan kekuasaan mungkin bukan hal yang baru bagi saya. Sepertinya manusia memang selalu mencari kuasa.

Kemudian ada isu fundamental anti-demokrasi di sini. Mengambil perbedaan kasta serta pemujanya yang saling menindas dan membenci satu sama lain, dalam hal ini pemuja dewa Wisnu menindas pemuja dewa Syiwa. Seperti Dedes yang hingga akhir sangat membenci orang Wisnu. Ngomong2, saya jadi penasaran ini beneran dalam agama Hindu saling memberi stigma dalam macam turunannya ya?

Yang saya tangkap, kasta brahmana yang memuja dewa Syiwa digambarkan sebagai kaum elit intelektual (mungkin di agama samawi disebut ahli kitab), juga kaum brahmana ini berdarah campuran sehingga Dedes yang berada di kasta Brahmani digambarkan sangat cantik, namun cantik campuran layaknya aktris-aktris cantik film Indonesia yang berdarah campuran. Lalu kasta Sudra yang memuja dewa Wisnu digambarkan sebagai orang-orang tani yang diberi stigma berwajah jelek dengan hidung pesek. Lalu ada pula orang-orang Buddha yang juga tak lepas dari stigma karena kebencian, karena ada latar belakang dendam pada wangsa Syailendra dan Sriwijaya.

Dulu saya ingat pernah membaca soal telaah kolonialisme pada jaman agama Hindu dan segala turunannya pertama kali masuk ke pulau Jawa. Ada pertentangan antara penduduk asli dengan penduduk kolonial. Saya hampir lupa dengan isi telaah tersebut, namun dalam novel ini gambaran pertentangan orang-orang yang telah mendiami pulau Jawa selama ribuan tahun dengan orang-orang Hindu yang baru datang dalam telaah tersebut bisa digambarkan dengan baik meskipun tidak gamblang. Orang2 asli pulau Jawa sebagai kasta sudra/orang tani/pemuja Wisnu, sedang pendatang adalah kasta brahmana.

Kisah Ken Arok sendiri memang cukup melegenda dengan kutukan keris Mpu Gandringnya sendiri (kisah tentang kutukan ini sendiri hanya berada di Serat Paraton), namun dengan cara Pram sendiri kisah itu menjadi sebuah gambaran tentang bagaimana melawan ketidak-adilan.

View all my reviews

Ronggeng Dukuh Paruk (trilogi), Ahmad Tohari


Ronggeng Dukuh ParukRonggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari
My rating: 1 of 5 stars

Novel ini mungkin penggambaran terbaik dari apa yang dirasakan oleh para survivor/penyintas/korban salah satu tragedi paling hitam dalam sejarah Indonesia: Tragedi 1965. Menariknya novel ini pertama kali diterbitkan pada medio 1980an (1982), dimana kekuasaan Orde Baru di tengah puncak 'kejayaan'nya. Jadi apa seorang Ahmad Tohari sudah pernah merasakan diciduk oleh satuan Kodim terdekat?

Saya pernah membaca, Tragedi 1965 juga menghancurkan gerakan perempuan. Ini ditandai dengan pelarangan organisasi seperti Gerakan Wanita Indonesia (ngomong2 kenapa ya gerwani memakai kata wanita, sedang feminis kontemporer menolak kata wanita?). Meskipun tokoh Srintil tidak ikut dalam organisasi apapun, namun hanya digunakan sebagai alat partai (hal ini juga persis menggambarkan keadaan orang2 Lekra yang organisasinya dilarang dan anggotanya dipenjara). Srintil sendiri pun ketika menjadi seorang ronggeng, ia mulanya begitu bangga status dan identitasnya itu, namun setelah ia diciduk aparat dan dipenjara, nilai awalnya sebagai perempuan sebelum geger 1965 seketika dijauhi dan ia mengkonstruksi nilai seorang perempuan lain yang jauh dari ketika ia menjadi ronggeng; persis ketika Orde Baru menghancurkan gerakan perempuan dan mengkonstruksi sebuah pemahaman baru tentang perempuan yang penuh bias patriarkis dan ironisnya hingga sekarang nilai yang ditanamkan oleh Orde Baru itu masih langgeng di tengah masyarakat.

Dalam Tragedi 1965 sendiri banyak sekali orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban. Bagaimana premis ini kemudian dibawakan dalam novel persis ketika orang-orang Dukuh Paruk yang sama sekali tidak mengerti politik, namun hanya dimanfaatkan sebagai alat partai, akibatnya Dukuh Paruk ikut pula dihancurkan. Baca sendirilah kesaksian2 para penyintas yang betebaran di internet.

Yang paling lucu menurut saya sendiri sebenarnya sosok Sersan Slamet yang digambarkan sangat kebapakan.[]

View all my reviews

Senin, 12 September 2016

Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, Hamka


Tenggelamnya Kapal Van Der WijckTenggelamnya Kapal Van Der Wijck by Hamka
My rating: 1 of 5 stars

Hmmm tidak mendapat informasi yang signifikan tentang pergerakan nasionalis di sini. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1938, tahun dimana dipercaya para sejarawan sebagai masa-masa berakhirnya pergerakan nasionalis yang ditandai dengan dibuangnya para aktivis macam Soekarno, Hatta, Sjahrir dan dilarangnya Partai Nasional Indonesia.

View all my reviews

Rabu, 07 September 2016

Martin Suryajaya, Kiat Sukses Hancur Lebur


Kiat Sukses Hancur LeburKiat Sukses Hancur Lebur by Martin Suryajaya
My rating: 1 of 5 stars

Dibalik isinya yang merayakan omong kosong, tersimpan berlian-berlian ilmu bagi ahli kitab. Memang sulit awalnya karena ditulis tanpa alur yang jelas. Penasaran, Martin Suryajaya habis disantet dukun mana sampai nulis beginian. Namun saya rasa buku ini menjadi shock therapy bagi kita yang terbiasa dimanjakan oleh buku-buku yang mudah dibaca.

View all my reviews

Senin, 29 Agustus 2016

Saya Adalah Anak Kandung Depolitisasi Orde Baru Kepada Pemuda




Ada tulisan menarik yang kemarin saya baca mengenai perbandingan antara pemuda sekarang dengan pemuda jaman setelah perang mempertahankan kemerdekaan (saya tuliskan di daftar pustaka). Pada tulisan pertama disebutkan bahwa upaya depolitisasi Orde Baru terhadap pemuda yang berlangsung selama puluhan tahun membuat pemuda sekarang tidak ada sama sekali, yang ada hanya remaja. Bila sebutan pemuda disematkan pada orang-orang muda yang sangat dekat sekali dengan dunia politik, sedangkan remaja adalah makhluk yang jauh sekali dari politik. Politik bagi remaja adalah hal yang “jauh di atas sana”, menganggap segalanya baik-baik saja, segalanya sudah diatur oleh pemerintah, mereka terasing dan untuk mengisi waktu luang mereka melakukan hal-hal yang konsumtif—menerima dan menghabiskan. Remaja tidak tertarik dengan perubahan, tidak tertarik untuk mengkritisi negara, dan berminat hanya pada gaya hidup (lifestyle) dan hiburan.

Pada tulisan kedua, menarik untuk disebutkan salah satu contoh kaum pemuda yang tidak asing dengan politik pada jaman demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Disebutkan bahwa organisasi-organisasi kepemudaan seperti GMNI, CGMI, GEMA-45 aktif melakukan demonstrasi, mimbar massal dan aksi langsung untuk membubarkan aksi perploncoan yang terjadi di kampus. Waktu itu aksi perploncoan merupakan aksi yang dianggap sebagai warisan kolonial dan penjajahan, dan sebagai bangsa yang baru merdeka, kaum pemuda aktif untuk ikut memberantas segala budaya kolonial dan penjajahan yang buruk. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena Orde Baru segera naik tahta kekuasaan, membungkam organisasi-organisasi kepemudaan dan mengembalikan budaya perploncoan. Dan masih banyak contoh-contoh peran aktif pemuda yang tak asing dengan perpolitikan dan sejarah yang mungkin tidak bisa disebutkan dalam tulisan ini.

Anak Kandung Orde Baru

Tidak bisa ditampik, saya adalah anak kandung yang dibesarkan oleh Orde Baru, bahkan ketika Orde Baru dipercaya runtuh, namun warisan-warisan dan hasil usaha rejim tangan besi Soeharto/militer selama puluhan tahun tidak runtuh berbarengan dengan jatuhnya Soeharto. Seperti pengumuman kemerdekaan tahun 1945 dan berdirinya negara Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan baru tidak serta merta membuat seluruh wilayah Republik Indonesia sekarang tahu bahwa mereka telah merdeka dan mendapat penguasa baru yang satu bangsa dengan mereka saat itu juga—hei, waktu itu belum ada internet! Dan untuk mengabarkan kemerdekaan ke seluruh wilayah Indonesia perlu waktu yang tidak sebentar dan usaha yang tidak mudah di tengah usaha negara-negara pemenang perang yang ingin menguasai tanah ini kembali.

Sebelum mengalami guncangan sosio-kultural-politis dalam dua tahun terakhir, saya termasuk yang disebut dengan remaja: yang hanya menghabiskan waktu dengan perilaku konsumtif. Sebelum berpikiran bahwa Orde Baru adalah yang menghasilkan perilaku konsumtif saya, saya berpikiran bahwa perilaku konsumtif ini disebabkan oleh bombardir spectacle/simulacra yang menghiasi segala ruang hidup dimana pun. Sesungguhnya kegelisahan-kegelisahan generasi saya akan perilaku konsumtif cukup bisa ditangkap, namun seringkali penyebabnya dicurigai sebagai persoalan pribadi individu masing-masing, bukan hal yang terstruktur dan sistematis. Kita bisa melihat beberapa suara remaja menghujat perilaku konsumtif, memandang rendah orang-orang yang selalu menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, melihat dengan perasaan miris orang-orang yang memamerkan diri berada di suatu tempat yang eksotis dan keren atau memamerkan barang mereka di sosial media, namun apakah perilaku konsumtif itu salah?

Menurut saya perilaku konsumtif tidaklah salah bila dibarengi dengan kesadaran politik dan sejarah yang cukup tinggi. Apakah dengan mengembalikan kesadaran politik kepada remaja akan ada penggerak yang cukup untuk melakukan perubahan? Menurut saya, itulah yang mesti dicoba sebagai eksperimen sosial. Namun bisa jadi usaha eksperimen sosial ini hanya dianggap sebagai gaya hidup baru oleh para remaja, seperti yang ditakutkan tulisan pertama.[]


Daftar Pustaka

Pradipa P Rasidi; Mengidolakan Negara, Mempasrahkan Tanggungan | Youth Proactive http://youthproactive.com/201412/speak-up/mengidolakan-negara-memprasahkan-tanggungan/

Perploncoan-Pendidikan Penindasan Sistematis Peninggalan Kolonial | Bumi Rakyat https://bumirakyat.wordpress.com/2014/01/02/perploncoan-pendidikan-penindasan-sistematis-peninggalan-kolonial/

Sabtu, 27 Agustus 2016

Film-Film Hasil Mengunduh Dari Situs Torrent yang Masih Saya Simpan Meskipun Sudah Saya Tonton (Part 3)



Di tengah kebuntuan untuk mendapat ide cerita untuk sebuah fiksi pendek, tidak menyangka saya akan melanjutkan daftar ini kembali.

23. Kasepuhan Cipta Gelar



Di tengah ancaman arus modernisasi yang kapitalistik-neolib, kita masih tidak bisa menyebut bahwa seluruh bagian negeri ini, Indonesia sudah menjadi masyarakat dengan corak produksi kapitalistik semuanya. Masih ada masyarakat yang berada di pedalaman yang masih memegang corak produksi agrikulturnya di tengah proses kapitalisasi yang sudah mulai memasuki desa. Hal yang saya ingat dari masyarakat Kasepuhan Cipta Gelar (KCG) adalah mereka tidak menjual beras hasil tanam masyarakat mereka, sehingga mereka tidak kekurangan bahan makanan, tidak sebagian masyarakat kita yang tak bisa makan karena dipecundangi pasar. Sayang sekali sebenarnya komentar dari tokoh masyarakat KCG yang masih dipengaruhi oleh perpolitikan nasional di media massa.

24. We Who Fight



Sebuah film yang diproduksi oleh aktivis-aktivis mahasiswa yang menyoroti pemogokan para supir bis Yogya. Salah satu narasi yang saya ingat di film ini adalah bagaimana seorang tokoh pemogokan bercerita tentang pengalamannya mengorganisir pemogokan sebelumnya: para supir memutuskan hanya beberapa bis yang beroperasi namun hasil operasi mereka tak disetorkan ke perusahaan tapi diberikan kepada kawan-kawan mereka yang mogok untuk konsumsi dan biaya pemogokan yang lain.

25. Harry Potter and The Deathly Hollows Part 1 (2010)

 
"KAMU NGABISIN PISANG GORENG SAYA YHA??!! HEMM?? HEMM??!!!"

Menurut saya, antara Part 1 dan Part 2, saya lebih memilih Part 1. Mungkin karena di bagian pertama ini saya suka bagaimana petualangan Harry dan dua sahabatnya kabur dari incaran Death Eaters dan berusaha menemukan Horcrux milik Voldemort yang tersisa. Sedangkan bagian kedua, Harry sudah berani melawan para fasis dunia sihir ini. Ohiyasih, sang sutradara sepertinya mengambil elemen bagaimana jika fasisme berkuasa, apalagi ada elemen rasisme dan usaha pemurnian ras juga.

26. The Take (2004)



Premis film ini saya ingat: para musuh kita yang serakah bertanya tentang solusi konkret yang kita ajukan setelah kita kritik mereka habis-habisan, dan film ini adalah jawabannya. Dengan nama Naomi Klein yang membayangi film dokumenter ini, bisa dipastikan bertema tentang apa. Film ini seperti mimpi para sosialis-sosialis abad ke 19 seperti Marx dan Bakunin, kelanjutan dari Komune Paris dan Revolusi Sapnyol (Perang Sipil), bagaimana mereka memimpikan para buruh untuk mengoperasikan pabriknya sendiri. Dan kita bisa melihat bagaimana dengan tega dan jahatnya, para pemilik pabrik ini yang telah meninggalkan mereka sebagai pengangguran (karena mereka menutup pabriknya), kembali lagi untuk merebut pabrik yang sudah dihidupkan dengan susah payah oleh para buruh dengan menggandeng alat kekerasan negara seperti polisi.

27. Love, Rosie (2014)

"eh eh eh kesenggol"


Saya nda habis pikir sebenarnya film roman-komedi-romantis bertema cinta pertama dan terakhir seperti ini banyak sekali produksi oleh Hollywood dengan berbagai judul. Ini salah satu judul yang lumayan disimpan buat nanti kalau ada yang mau minta film.

28. Palo Alto (2013)

"ngebir dulu ah, neng. daripada pusing mikirin negara~ | TAU APA KAMU SOAL NEGARA HEMMM HEMMM"


Film ini saya rekomendasikan kemana-mana sebenarnya. Meskipun bertema coming of age, tapi serius sekali dari awal ila akhir. Bercerita kisah empat remaja dengan cerita masing-masing yang seringkali seperti kita tak tahu cerita seseorang yang kita kenal karena mereka bukan termasuk orang yang berada dalam lingkaran terdekat pertemanan kita. Saya jadi ingat teman sekelas saya yang benar-benar ramah ketika bertemu, namun kemudian ia hilang begitu saja karena ada masalah yang kita tak tahu dan sekarat karenanya.

29. Stuck in Love (2012)

"bibir kamu basah banget, bhang mmm mmmm | mmmm mmmm tapi ena kan? hem? | ENAK NDASMU :)"


Sebuah keluarga pekerja literasi yang mengalami konflik keluarga yang berakhir happy ending. Sayang sekali tidak ada kelakar-kelakar dewa soal dunia sastra di sini.

30. While We’re Young (2014)

"kamu kan yang ngabisin pisang goreng saya???"


Wah film ini saya sangat rekomendasikan sekali. Dengan dibintangi aktor sekaliber Ben Stiller dan Naomi Watts dan disutradarai salah satu sutradara favorit saya, Noah Baumbach (Misstres America, Frances Ha), jadi apa belum cukup alasan untuk tidak bisa tidak menonton film ini?[]

Jumat, 26 Agustus 2016

Yusi Avianto Pareanom, Raden Mandasi si Pencuri Daging Sapi

Raden Mandasia si Pencuri Daging SapiRaden Mandasia si Pencuri Daging Sapi by Yusi Avianto Pareanom
My rating: 1 of 5 stars

Saya suka alurnya dan juga lucunya. Berharap banyak sama tema kolonialisme-nya sebenarnya, sayang kok nda ada elemen yang paling kerasa banget dalam era kolonial: rasisme dan supremasi ras tertentu. Jadinya ya gado-gado sih.

View all my reviews

Jumat, 19 Agustus 2016

Daftar Film Bajakan yang Masih Saya Simpan Meskipun Sudah Saya Tonton (Part 2)




11.          The Big Short (2015)

Film ini adalah salah satu film dari tiga film yang mengangkat krisis finansial pada tahun 2008 yang sudah saya tonton selain Inside Job (2010) dan Where to Invade Next (2015). Dengan pendekatan lebih populer, bahkan Margot Robbie yang sedang mandi harus menerangkan istilah-istilah rumit ilmu keuangan. Ah jadi ingin menonton kembali~

12.          Star Wars: Episode VII (2015)

Semata-mata menyimpan ini untuk bekal menonton sekuelnya nanti.

13.          Straight Outta Compton (2015)

Sebuah film hip-hop dengan mengambil cerita salah satu kolektif hip-hop kulit hitam yang agresif dan radikal. Layak untuk disimpan untuk ditonton kembali.

14.          What is Nationalism

Sebuah film produksi Submedia.Tv, sebuah kolektif anarkis yang cukup fenomenal dengan seri It’s The End of The World as We Know It and I Feel Fine.

15.          What is Autonomy

Ini juga film produksi Submedia.Tv

16.          Haider (2014)

Satu-satunya film India yang saya simpan. Konon film ini disadur dari salah satu drama Shakespeare, dan seperti dalam drama-drama Shakespeare, film ini juga dipenuhi dengan tragedi yang akan membekas di benakmu ketika layar sudah menghitam.

17.          10 Cloverfield Lane (2016)

Menurut saya di film ini, Mary Elizabeth Winstead cukup dimaksimalkan sebagai heroin, meskipun film ini bukan film Mary dengan performa terbaik.

18.          Cowspiracy The Sustainability Secret (2014)

Film ini saya ketahui dari teman saya sebenarnya. Konon akan diputar oleh salah satu LSM. Film dokumenter ini menyoroti bagaimana industri peternakan menyumbang emisi gas efek rumah kaca sama banyaknya dengan pertambangan dan mengonsumsi sumber air lebih banyak daripada manusia.

19.          Me and Earl and The Dying Girl (2015)

Sebuah film coming of age yang bagus. Temanya usang karena mengangkat tokoh yang sedang kena penyakit kanker, namun kisahnya segar dan digarap dengan baik. Yaiyalah, namanya juga pemenang Sundance Film Festival.

20.          It’s Kind of Funny Story (2010)

Dalam rombongan film-film coming of age yang saya unduh beberapa waktu lalu, film-film Emma Roberts yang paling saya soroti sebenarnya. Temanya segar sebenarnya, bagaimana seorang remaja yang tengah galau memutuskan untuk dirawat di sebuah rumah sakit jiwa. Tapi ya, Emma Roberts cantik memang.

21.          The Arts of Getting By (2011)

Emma Roberts lagi. Ceritanya sangat mengena sebenarnya bagi muda-mudi yang pernah punya pengalaman menyukai seseorang, namun bertepuk sebelah tangan karena sang pujaan hati memilih orang lain. Tapi konon patah hati merupakan sistem pertahanan alami manusia.

22.          Mistress America (2015)

Ini seperti sekuel dari Frances Ha, karena sutradara dan salah satu tokoh utamanya sama. Saya menonton film ini dua kali dengan jarak yang berdekatan karena sangat menyenangkan. Dengan lanskap perkotaan New York, jadi ngangenin untuk menonton film ini kembali. Salah satu adegannya bahkan mengingatkan akan gaya film Wes Anderson, toh sutradaranya memang pernah bekerja sama dengan doski. Dengan editing cepat, tak terkejut bila film ini tidak cukup lama, sekitar 40 menitan saja.