Tampilkan postingan dengan label arsip. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arsip. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Oktober 2016

Privasi dan Masyarakat

Salah seorang kawan, perempuan mengeluhkan tentang privasi. Sebut saja dia M. Bagaimana tetangganya senang sekali mengusik hal-hal pribadinya. Apakah benar memang masyarakat benar-benar gagal membedakan antara privasi dan bukan?

Sebagaimana generasi yang dibesarkan di era dimana begitu cairnya penetrasi negara-negara maju untuk mendistribusikan segala kebudayaan mereka ke dunia ketiga, seakan-akan itu orang-orang barat itu semua suci, dan dunia ketiga ini penuh dosa. Produk-produk yang lahir di internet itulah contohnya. Sadar atau tidak, semua kebudayaan barat itu tiba-tiba menjadi sebuah hal yang cair. Seringkali kita gagal membedakannya.

Ketika modernisme membawa hak-hak individu di dalamnya, mau tak mau kita menjadi memberontak dengan mekanisme masyarakat yang (terlihat) tak pernah mau menjunjung hak-hak individu. Begitulah yang terjadi pada saya, M, dan seluruh generasi saya yang merasa tak beres dengan masyarakat ini. Apakah pemberontakan adalah sesuatu yang tidak dibenarkan? Entahlah.

Saya kemudian memberi penggambaran kepada M tentang tembok-tembok tinggi yang dibangun oleh orang-orang dengan kekuasaan tinggi dan harta yang banyak. Privasi adalah salah satu tujuan tembok-tembok besar ini dibangun. Orang-orang ini ketakutan dengan masyarakat, masyarakat yang malah ketakutan orang-orang yang berbeda seperti orang kaya ini, takut pada agama minoritas, takut pada ras minoritas, dan kaum minoritas lainnya seperti LGBT. Apalagi masyarakat Indonesia yang memang dikenal dalam sejarah buas sekali (halo, Tragedi 1965). Jalan satu-satunya yang orang-orang kaya ini membangun kekuasaan dan mengumpulkan harta untuk membangun tembok. Dan usaha untuk membangun tembok-tembok yang semakin tinggi terus dilakukan untuk berlindung dan mengasingkan diri dari masyarakat.
Menurutku itulah kesalahan mereka, mengasingkan diri dari masyarakat. Karena mereka terasing dari masyarakat akhirnya mereka tak pernah peduli pada apa yang terjadi dengan masyarakat. Mereka tak peduli tentang derita kemiskinan dan kebodohan yang terjadi pada masyarakat. Dan saya mengatakan pada M, kita tak pernah diajari untuk menjadi pribadi yang seperti itu.

Terasing dari masyarakat takkan pernah merubah apapun. Apalagi puluhan tahun mereka membangun tembok, masyarakat kita masih saja menjadi rasis, fasis, homophobia dan seksis. Mereka gagal, atau memang tak peduli sama sekali? Dan membiarkan diri mereka mewariskan dunia yang begitu buruk untuk ditinggali bagi generasi saya. Lalu pertanyaannya kemudian apakah kita akan merubah masyarakat seperti orang-orang dunia pertama lakukan pada dunia ketiga? Apalagi di era posmodern hari ini, aneh juga dikotomi antara tradisional dan modern masih saja diperdebatkan.

Begitulah kelakar (baca: curhat) 6 paragraf ini, masih dibuka untuk diskusi yang sehat. Btw, saya post di instagram agar generasi millenial bisa membicarakan tentang isu ini. Isu menjadikan dunia ini menjadi surga (atau sekedar membuatnya lebih baik) jelas sangat urgen. Kalau generasi millenial gagal kali ini, maka kita bakal dianjing-anjingkan oleh generasi berikutnya karena tidak melakukan apapun. Tapi memang lebih gampang untuk membayangkan dunia segera kiamat dan membuat vlog tentangnya. Tabik.[]

Catatan penulis:
Sebenarnya ini akan di post Instagram, tapi entah kenapa belum disempat-sempatkan. Seinget saya, saya menulis ini dengan penuh emosional. Lalu ketika saya membaca laporan ini dari Tirto, saya jadi mengingat bagaimana masa lalu saya yang hip, modern dan individualistik. Dan bukan saya saja, saya melihat rata-rata kawan-kawan saya memang berperilaku seperti itu. Lalu menyebutnya sebagai perilaku kelas-menengah-sejak-lahir mungkin terburu-buru, tetapi setidaknya saya bisa merefleksikan masa lalu dan melihat kawan-kawan saya yang masih dengan perilaku yang sama dengan perspektif berbeda, bahkan mungkin mengapologi dan melegetimasi perilaku mereka, toh laporan tersebut juga berusaha menyebut: ini lho kelas menengah! mau gimanapun tetap kelas menengah!

Tapi ya begitu nilai-nilai komunal dan gotong royong tetap kita kampanyekan.

Jumat, 19 Agustus 2016

Puthut EA, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu: novelCinta Tak Pernah Tepat Waktu: novel by Puthut EA
My rating: 1 of 5 stars

Sejujurnya lebih mirip dengan kumpulan cerpen daripada sebuah novel, bab demi babnya seperti fragmen yang terpisah satu sama lain meskipun ada benang merah satu sama lain. Aneh juga bila novel ini terus dicetak. Tapi ada satu bab yang menarik tentang pergerakan politik si tokoh utamanya dengan latar belakang pasca Harto berhasil dijatuhkan. Meskipun tidak disebut nama organ politiknya, saya curiga itu adalah Partai Rakyat Demokratik yang memasuki masa-masa demoralisasi para aktivisnya.

View all my reviews

Kamis, 14 Juli 2016

Wonosalam Kilometer Dua Belas


“Just for today, how about we forget about tomorrow, and go somewhere?” (Shinichiro Watanabe)

Sedari tadi jam istirahat belum berakhir juga. Entah mengapa waktu berjalan dengan lamban hari ini. Mungkin waktu telah ditubruk oleh truk dan kakinya hanya bisa berjalan tertatih-tatih. Atau mungkin ia sedang belajar berjalan dengan kursi roda, siapa tahu?
“Icha?”
“Eh. Iya? Ada apa?”
Tumben sekali Doni menegur, pikirku.
“Yuk, pergi ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Kemana aja.”
“Sekarang?”
“Iyalah.”
“Maksudnya... Membolos?”
“Tepat sekali!” Doni mengatakannya seperti pembaca acara kuis menebak lagu itu, hanya saja rambutnya tidak dioles pomade.
“Kenapa.. maksudku, beri aku alasan kenapa harus membolos?”
“Aku ingin sesekali ingin tahu bagaimana rasanya membolos.”

Dan di sinilah kita berdua berjalan sambil menenteng tas sekolah masing-masing menyusuri trotoar dengan rumput liar menghiasi sepanjang jalan, entah apa yang dilakukan Dinas Kebersihan Pemerintah selama ini. Karena pada jam sekolah gerbang sekolah selalu terkunci, maka Doni mengajakku keluar melompati pagar beton sekolah yang cukup tinggi. Aku tampak ragu, namun Doni terus merayu, akhirnya aku berhasil melewatinya disertai hati yang berdebar-debar. Menaiki satu persatu anak tangga kayu yang cukup curam, lalu setelah sampai di atas beton yang sedikit berlumut (beruntung tak beling-beling tajam yang disusun di atasnya!), aku melompatinya dengan berteriak histeris.
Aku terjatuh di sebuah gundukan pasir yang tercampur dengan debu dan tanah, Doni tersenyum geli melihatku seraya membantuku berdiri. Kini kami berdua berada sebuah tanah kosong yang tak terawat, sebenarnya tidak kosong-kosong amat, ada kerangka rumah yang telah habis dilalap api, rumput-rumput liar yang kering dan papan yang bertuliskan “TANAH MILIK NEGARA. DILARANG MASUK.” Kami berdua melewati tanah kosong itu dengan mudah karena ada jalan setapak kecil menuju jalan raya di depannya, dan menyusuri trotoar di depannya. Doni bercerita bahwa ini adalah jalan keluar favorit teman-temannya ketika membolos.
***
Doni adalah temanku sejak kecil. Jarak rumahku dan rumahnya hanya dipisahkan oleh sebuah rumah milik seorang pensiunan tentara. Waktu kecil kami berdua bersama anak-anak kompleks rumah sering bermain bersama di halaman rumahnya. Selisih umur kami berdua cuma setahun, namun aku selalu menganggapnya lebih tua, begitu juga dengan teman-teman masa kecil kami yang lain terhadapnya. Ditambah sifatnya yang aktif sekali, jiwa kepemimpinannya bersinar diantara kelompok bermain. Kedua matanya memancarkan sorot mata yang penuh semangat dan bahagia. Hal inilah yang membuatku kagum terhadapnya sejak kecil.
Ketika aku beranjak remaja,  aku disibukkan oleh les-les yang didaftarkan oleh ibuku. Hal ini membuat kami berdua hampir tak pernah bertemu satu sama lain. Namun aku selalu terbelenggu oleh perasaan rinduku. Kadang saat aku hendak berangkat les sore, aku masih melihatnya duduk-duduk santai bersama salah satu temannya di depan rumah. Momen-momen inilah yang sangat aku tunggu. Kadang ketika ia melihatku, ia menegurku dan melambaikan tangan dengan tersenyum, namun seringkali ia tak berada di sana. Apalagi sejak ayahnya meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan bermotor (pembunuh nomor satu di jalanan!), aku hampir tak pernah melihatnya. Namun saat aku melihatnya, ada sorot mata yang berubah dari dirinya.
“Kau tau.. Kukira kau anak yang tidak biasa melakukan hal-hal seperti ini.”
“Tidak salah,” jawab Doni. “Aku memang tidak pernah membolos.”
“Memang kita akan kemana?”
“Kau mau kemana?”
“Menonton bioskop mungkin?”
Dia tertawa. “Terlalu mainstream.”
“Kau ingin yang tidak mainstream? Membom istana presiden!” jawabku ketus.
“Ya, sepertinya ide bagus,” ia tergelak.
“Eh, aku tahu suatu tempat!” seruku padanya.
“Kemana?”
“Ada sebuah gua yang sering dibicarakan orang-orang saat ini. Letaknya di sebuah kecamatan di bagian utara kota ini.”
“Arah ke Surabaya?”
“Iya.”
Setelah cukup lama menunggu bis yang menuju ke Surabaya, kami berdua berhasil mencegatnya dan masuk ke dalamnya. Sampai Selamat, nama bis itu.  Udara AC langsung menyeruak menabrak wajahku menghasilkan rasa yang tak nyaman. Setelah berhasil mengendalikan diri, aku mengikuti Doni dari belakang dan duduk salah satu kursi yang terlihat empuk. Tak lama kemudian kondektur bis menghampiri kami berdua dan memasang tarif. Setelah itu beberapa kali pengamen masuk bis dan melewati kami dengan bungkus plastik bekas air mineral berisi beberapa lembar uang dan koin serta beberapa batang rokok.
Salah satu pengamen yang menarik perhatianku adalah sepasang suami-istri yang cukup tua. Suaminya berkacamata hitam, bertopi pemancing yang pudar, berkumis lebat, terlihat tidak bisa melihat, menenteng perangkat sound system portable dan bertugas bernyanyi.  Sedangkan istrinya selain menuntun suaminya berjalan juga bertugas berkeliling membawa bungkus plastik kepada para penumpang bis. Ia memakai topi yang sama dengan suaminya, hanya saja warnanya berbeda dan memakai kaos partai yang berwarna merah pudar. Yang membuat aku kagum adalah bahwa mereka seperti sudah tahu tugas mereka masing-masing, seperti melakukan repetisi-repetisi seperti itu sebelumnya. Namun apa kerja keras mereka terbayar?
Musik dangdut klasik mengalun dan sang suami mulai bernyanyi dengan penuh penghayatan. Tidak buruk, nilaiku. Maka ketika si istri menghampiri kami berdua, aku merogoh tasku, mencari koin-koin kembalian saat membeli minuman mineral saat di sekolah tadi dan memberikan semuanya. Tak lupa memberi senyum ketika aku bertatapan dengan si istri. Namun ia cepat menunduk dan berlalu begitu saja meninggalkan ucapan terimakasih yang datar.
***
Kami berdua turun di sebuah pertigaan yang cukup besar. Kami berdua harus mencari angkutan untuk pergi ke arah barat, dan Doni sedang bertanya kepada seorang tukang becak cara untuk mencapai tempat yang bernama Wonosalam. Dan ia kembali dengan hasil nihil.
“Tidak ada angkutan pada jam seperti ini.”
Aku memberinya sebuah botol air mineral, Doni membukanya dan meneguk air di dalamnya.
“Kita jalan kaki saja dulu, barangkali nanti ada tumpangan untuk ke sana.”
Kami berdua berjalan cukup jauh, menjauhi keramaian jalan raya dan masuk ke jalan sepi yang dipenuhi oleh sawah dengan kehijauan padi yang berusia sebulan. Kendaraan hilir mudik, namun tak ada yang menghiraukan kami. Lalu tiba-tiba Doni memiliki ide yang cukup ekstrim.
“Ada sebuah sepeda kayuh di sana, aku akan mencoba mencurinya.”
Lidahku seketika tercekat. Ketika ia mulai berbicara mengenai rencanya lebih lanjut, aku meneguk liurku.
“Pikirkanlah lagi, Don,” sahutku.
“Tidak ada cara lain. Kamu mau bertelanjang dan mencegat sebuah mobil di tengah jalan?”
Aku hampir menyetujui ide yang lebih ekstrim itu, namun ia sudah berlalu menghampiri sepeda kayuh yang tergeletak di pinggir sawah, kemungkinan itu milik petani yang sedang terlelap tidur siang. Aku memutuskan mengikutinya.
Aku pun diarahkannya untuk memperhatikan sekeliling, sedangkan ia beraksi mengambil sepeda itu dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa, Doni kemudian memboncengku menyusuri. Matahari sudah melewati tengah hari, meskipun panasnya hampir tidak berkurang sedikitpun.  Apakah aku sudah gila mendukung pencurian berencana? Entahlah, aku hanya lelah berjalan kaki, dan Doni melakukan hal yang tepat dengan memboncengku.
Bila Doni merasa lelah ia berhenti dan kami beristirahat barang sejenak. Sekali ia mencoba memegang tepian mobil berbak terbuka yang melewati kami sehingga roda sepeda tak perlu ia kayuh, namun dewi keberuntungan bersama kami ketika sang pengemudi mobil berhenti dan mengajak kami untuk naik ke bak mobilnya. Beruntungnya kami bertiga punya tujuan yang sama, Goa Sigolo-Golo.
***
Pengemudi mobilnya adalah seorang lelaki separuh baya yang pendiam. Setelah mengijinkan kami berdua untuk menumpang di mobil pick-up-nya, ia tak banyak bicara lagi setelah itu. Lagipula kami berada di bak terbuka mobilnya, sedangkan ia bersama seorang pemuda berada di belakang kemudi.
Doni bersandar sebisanya di bak mobil, terlihat mukanya penuh lelah. Langit semakin gelap, senja terlihat semakin menjingga, angin berhembus melayangkan tiap-tiap helai rambutku dan suara adzan sayup-sayup terdengar di setiap masjid.
Aku tak mendengar jelas apa yang dikatakan Doni, aku pun sedikit mendekat dan ia mengulangi ucapannya sekali lagi, kali ini lebih keras.
“Kau tidak masuk les hari ini?”
“Aku sudah bosan dengan les,” jawabku sekenanya.
Ia nyengir.
Lalu aku bertanya padanya, apa dia pernah mengikuti sebuah les dan ia menjawabnya, iya, tentu saja.
“Serius?? Memangnya kau ikut les apa?”
“Gitar.”
“Kau bercanda. Kok aku tidak pernah tau kau bisa bermain gitar,” jawabku tak percaya.
“Aku tidak semahir itu. Hanya bertahan sebulan.”
“Tidak bisa satu lagupun?”
“Mungkin hanya 1-2 lagu pop.”
“Raisa?”
“Bukan. Maudy Ayunda.”
“Coba mainkan untukku.”
“Sekarang??”
“Iya, sekarang.”
Ia nyengir dan menjanjikan kapan-kapan saja Maudy Ayunda-nya.
Sejenak ku berpikir tentang penyanyi muda itu. Sepertinya aku pernah menghafal salah satu lagu hits miliknya. Mencoba menyanyikan bagian reffrain-nya dan mengulanginya sebanyak dua kali. Dan aku tersadar bahwa semuanya kini terasa hening dan Doni memperhatikanku bernyanyi sejak tadi. Oh, Tuhan.
“Aku tak tau kamu punya suara emas,” pujinya.
“Bukan. Hanya suara penyanyi kamar mandi,” jawabku.
Kita berdua harus berduet, ajaknya kemudian yang aku iyakan saja.
Seketika itu pula mobil memelankan lajunya dan akhirnya benar-benar berhenti. Kami berdua tersadar telah sampai di lokasi dan memutuskan untuk turun, tak lupa sepeda kayuh Doni giring turun juga. Sang pengemudi, seorang lelaki paruh baya dengan kumis tipis menjelaskan bahwa kami hanya punya dua jam sebelum lokasi wisata ini tutup. Setelah mengucapkan terimakasih pada bapak pengemudi baik hati itu, kami bergegas untuk masuk setelah sebelumnya menitipkan sepeda kayuh pada tukang parkir di depan lokasi dan membayar tiket.
Kami menuruni sebuah lereng bukit dengan melewati satu-persatu anak tangga. Penerangan jalan benar-benar membantu kami melewati ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang kembali untuk pulang, saat itu aku sadar bahwa kami berdua masih mengenakan seragam sekolah. Setelah itu kami menemukan sebuah sungai kecil dengan kerikil-kerikil yang hampir tak terlihat. Lalu kami naik ke atas menaiki tangga menuju tempat yang disebut Bulu View.
Beberapa orang terlihat mengerumuni warung-warung kecil yang berjejeran, sebagian bercengkerama di dekat pagar hitam yang kelihatannya merupakan pengaman bagi pengunjung agar tidak terperosok ke bawah, lagipula ada tulisan “Dilarang Melewati Pagar” di sana.
Doni mengajakku mendekat ke pagar. Ada sebuah bangku panjang dari besi bercat hitam, dan ia mengajakku duduk di situ. Tak ada pemandangan alam yang bisa disaksikan karena malam, hanya ada suara gemericik air mengalir yang terus menerus menggema dari sungai kecil yang kami lewati tadi, juga sayup-sayup terdengar suara-suara obrolan manusia dan seseorang yang sedang menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dengan sebuah gitar buluk.
“Sayang sekali sudah malam, harusnya kita dimanjakan oleh pem..”
Ucapan Doni terputus ketika kami berdua dikejutkan oleh suara tembakan. Ternyata sekelompok pemuda menerbangkan kembang api ke udara. Kembang api itu meledak kembali di udara dan memecah menjadi puluhan percikan api yang melompat kesegala penjuru, lalu kemudian menghilang ditelan angin malam. Ledakan pertama disambut ledakan kedua dan seterusnya hingga semua kembang api telah ditembakkan ke langit. Langit pun selama beberapa saat dihiasi oleh indahnya warna-warni kembang api yang istimewa. Perasaanku kemudian menjadi hangat, mataku berbinar-binar dan senyumku merekah memandangi kembang api di langit.
“Kau mau lihat lagi?” Aku mengangguk. “Aku akan ke sana untuk membelinya.”
Ternyata ada kelompok yang memang khusus menyalakan kembang api di sana (“Sudah kebijakannya warga di sini,” kata mereka). Doni hanya membeli kembang apinya lalu mereka yang akan menyalakannya. Dan ternyata tidak Doni saja yang tertarik, namun seluruh pengunjung pada saat itu membelinya serentak. Tak ayal puluhan kembang api menghiasi langit malam silih berganti selama setengah jam.
Aku tiba-tiba bertanya-tanya, kapan terakhir aku melihat kembang api di langit terbuka seperti ini. Sepertinya hanya hari-hari istimewa aku melihat kembang api dinyalakan, tetapi apakah  hari ini hari yang istimewa? Adakah alasan untuk menyebut hari ini hari istimewa?
“Apa alasanmu sebenarnya membawaku kemari, Don?” tanyaku tiba-tiba.
Doni terdiam sebentar sebelum mengejutkanku dengan jawabannya.
“Aku akan pindah besok,” aku menoleh padanya. “Bersama orang tuaku. Ke pulau Kalimantan.”
Baiklah, kau akan pergi ke Kalimantan.
“Kau tau, seringkali orang yang berpindah tempat tinggal gampang sekali dilupakan,” Doni menunduk memperhatikan sepatu hitam yang dikenakannya, atau mungkin tanah berembun yang dipijaknya. “Beberapa waktu yang lalu temanku pindah ke luar kota, dan sekarang aku sulit sekali mengingatnya.”
Aku terus menatapnya.
“Barangkali jika aku membawamu ke sini, kau mungkin bisa..”
Kau ingin aku mengingatmu. Doni tak meneruskan kalimatnya.
“Kau tau, karena kita tinggal bertetangga, sebenarnya sejak kecil aku selalu.. mengagumimu.” Aku menunduk malu. “Tapi sekarang..”
“Kau sudah punya kekasih kan, anak kelas tiga.” ucap Doni.
“Kau sudah tahu ternyata..”
“Yah. Aku sering melihat kalian berdua.”
Apakah aku terkejut bahwa Doni sejak lama menyukaiku? Sangat. Ia pernah mematahkan hatiku saat aku tau seorang kakak kelas yang rupawan, idola satu sekolah waktu itu menjadi kekasihnya. Beberapa saat aku melihat mereka berjalan berdua, namun itu hanya beberapa saat sebelum satu sekolah kembali dikejutkan oleh kekasih baru kakak-kelas-yang-rupawan itu yang ternyata bukanlah Doni lagi.
Aku berencana melupakan Doni dengan segala luka yang tak sengaja ia goreskan cukup dalam di hatiku. Saat itulah seorang kakak kelas rupawan, salah satu mantan dari kakak kelas rupawan yang tadi aku ceritakan, kapten tim basket sekolah, ketua Rohis, sering menjadi imam di masjid, dan berderet-deret hal kepemimpinan yang lain lekat dengannya. Ia mendekatiku dan memberikan semua kebahagiaan sebagai seorang kekasih.
“Ayo pulang,” ajakku pada Doni.
***
Di dalam bis antar kota dalam provinsi, kami berdua duduk sedikit berjauhan sebelum ditegur oleh kernet bis yang meminta kami duduk bersebelahan karena bis akan mulai penuh sebelum memasuki kota Jombang. Suara Via Vallen mengalun dari pengeras suara menemani pembicaraan kami berdua.
“Kau sudah tahu apa yang akan kau katakan pada orang rumah?” tanya Doni.
“Aku sudah bilang bahwa ada teman yang kecelakaan saat sekolah, dan aku sedang menemaninya.”
“Cerdas sekali. Padahal aku tidak mengalami kecelakaan apapun.”
“Jam berapa kau akan berangkat besok?” tanyaku.
“Sekitar jam 10 siang kira-kira. Kau tidak perlu datang kok.”
“Oh. Baiklah.”
Meskipun aku tak khawatir dengan apa yang akan aku jelaskan kepada orang tuaku tentang hari ini, kami berdua tak tidur rumah malam itu.

***
Pengakuan: aku dan Doni diciduk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat perjalanan pulang.
Ini terjadi setelah kami sampai di jantung kota Jombang. Setelah kami berdua turun dari bis antar kota dalam provinsi, kami berdua menyusuri jalanan menuju ke arah stadion tanpa tahu bahwa ada bentrok antara aparat Satpol PP dengan pedagang kaki lima menghadang kami di depan. Asal kau tahu, lingkungan stadion di pulau Jawa selalu dipenuhi dengan pedagang kaki lima.
Aku akan menggambarkan keadaan pada malam itu. Jalanan sepi dari kendaraan bermotor, namun ramai dengan orang-orang yang tumpah ruah ke jalan sibuk melempari batu ke arah pagar betis polisi anti huru-hara. Batu-batu berbagai ukuran berserakan di tengah jalan, truk-truk polisi berjejeran parkir.
Di pihak massa, sekumpulan lelaki separuh sebaya dan bertelanjang dada menghadang para polisi dengan berucap kata-kata kasar dengan fasih berkali-kali. Ada yang kelihatan membawa sebuah pedang samurai, namun beberapa ada yang membawa balok kayu dan melempari polisi dengan batu.
Lalu yang paling mencolok adalah sekumpulan massa dengan berkostum hitam dengan tudung jaket hitam menutupi kepala dan bandana hitam menutupi wajah, namun ada beberapa orang yang memakai topeng tokoh V dalam film V for Vendetta. Mereka berdekatan satu sama lain sehingga tampak mencolok dari massa yang lain, massa barisan depan membawa sebuah spanduk besar bertuliskan jargon anti-kapitalisme yang hampir menutupi tubuh mereka. Beberapa dari mereka membawa balok kayu dengan bendera hitam di atasnya, suatu kali ketika sekumpulan polisi mendekati dan berusaha membubarkan mereka, balok kayu itu dipakai untuk membalas pukulan-pukulan dari tongkat besi polisi.
Massa-berpakaian-hitam inilah yang paling merepotkan polisi anti huru-hara. Itu karena selain mereka melempari polisi dengan batu, mereka juga melempari polisi dengan kembang api, mercon atau beberapa peledak dengan daya kecil berkali-kali. Hal ini membuatku tak bisa membedakan antara kerusuhan dengan perayaan tahun baru.
Pihak aparat negara sendiri terdiri berbagai unsur. Pihak Satpol PP yang gagal mengusir pedagang kaki lima berada di barisan paling belakang. Satpol PP sendiri berjumlah kecil dengan polisi anti huru-hara yang didatangkan kemudian. Tiga truk polisi berisi satuan polisi anti huru-hara datang dan bersiap-siap dengan peralatan mereka masing-masing. Pelontar gas air mata, senjata api dengan peluru karet, helm polisi, tameng polisi, pelindung lutut dan kaki, serta rompi anti peluru.
Karena terlalu asyik mengamati pertempuran jalanan itu, aku dan juga Doni tak tahu bahwa Satpol PP yang tampak menganggur sedari tadi menyisir daerah tempat aku dan Doni memperhatikan bentrokan. Kami berdua diinterograsi sebentar dengan wajah kebingungan, lalu diangkut ke mobil Satpol PP dan dibawa ke kantor mereka.
***
Apa yang terjadi di kantor Satuan Polisi Pamong Praja sesungguhnya tidak begitu mengkhawatirkan. Aku dan Doni, kami berdua sama-sama lelah karena seharian beraktivitas di tengah terik siang hari. Doni yang terlihat lelah (ia telah menghabiskan energinya dengan mengayuh sepeda dan memboncengku, tentu saja) dan menahan kantuk berat bahkan hampir tak peduli bahwa ia berada di kursi pesakitan Satpol PP, bahkan ia sempat tertidur di mobil saat perjalanan kemari. Aku pun sama saja. Pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan oleh petugas yang mendata kami berdua harus diulang beberapa kali karena aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan akibat menahan kantuk.
Petugas yang meladeni kami pun sama-sama tak pedulinya. Seorang bapak separuh baya dengan kepala pelontos dan badan tambun. Ia terlihat ogah-ogahan mencatat jawaban-jawaban dari kami berdua sejak awal. Entah karena mengantuk, kelelahan karena harus bentrok selama berjam-jam sejak sore, aku tak bisa menduganya. Lagipula aku juga tak peduli.
Seteah pendataan, kami sebenarnya diperbolehkan pulang namun harus dijemput oleh orang tua. Aku terpaksa menelepon rumah, ibu yang mengangkatnya. Setelah berusaha tetap terjaga dengan mendengarkan suara keras yang berasal dari kemarahan ibu, aku menutup telepon kantor yang dipinjamkan petugas. Sebelum bapak-berkepala-pelontos-berbadan-tambun meninggalkan kami berdua, ia sempat berceletuk:
“Kalau mau membolos, usahakan jangan memakai seragam sekolah.”
Malam semakin larut. Ketika aku meliriknya, jam menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana kantor Satpol PP sangat sepi, karena aku bisa mendengar suara acara televisi dengan sangat jelas. Kami berdua dititipkan kepada petugas piket jaga malam itu. Ruang piket jaga cukup lengang, Doni bahkan sudah menemukan tempat berbaring dan tertidur pulas setelahnya. Aku cukup duduk di sebuah kursi dengan kepala bersender pada sebuah dinding, memandang kosong jalanan menanti ayahku datang.
Acara televisi menampilkan film horror Susana. Entah berapa kali film itu ditayangkan kembali, namun orang-orang sepertinya tidak menampakkan tanda-tanda kebosanan untuk melihat sosok Susana dalam layar kaca. Suaranya yang khas dan tatapannya yang menusuk, dia memang tak tergantikan. Layar televisinya padahal cukup kecil, namun bapak petugas piket jaga terlihat sangat khusyuk menontonnya. Aku sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang mencoba menghisap darah perempuan ini, namun sepertinya sia-sia belaka. Tiba-tiba aku jadi ingin membasuh muka.
Bapak petugas piket jaga berbaik hati dan rela terganggu acara menontonnya untuk mengarahkanku letak kamar kecil kantor setelah aku bertanya padanya.
“Lurus aja, mbak. Ada lemari hitam, di sebelahnya.”
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih sebelum aku melangkah sesuai arahannya. Tidak terlalu sulit menemukannya, ada sebuah lemari hitam berbahan besi berada tepat di sebelah lorong masuk kamar kecil. Aku berdiri menatap cermin yang cukup besar menempel di dinding. Sedikit terkejut melihat tampilanku yang begitu kusut namun aku cukup bisa menjaga kesadaranku. Sempat-sempatnya aku teringat Chairil Anwar, si pujangga.
Ini muka penuh luka, siapa punya?
Teman-temanku dalam seminggu terakhir asyik mempelajari puisi Chairil Anwar berjudul Selamat Tinggal. Ini tak diayal akibat salah seorang musisi indie favorit kami mengunggah rekaman terbarunya di kanal platform musik gratis miliknya, menggubah puisi si pujangga menjadi lagu favorit baru bagi kami semua. Akhirnya kami menyetelnya berulang-ulang hingga hafal di luar kepala.
Aku memutar kran pada wastafel dan air segera mengalir terkumpul di kedua telapak tanganku. Genangan air itu langsung saja kubasuhkan ke wajah. Aku mengulangi kegiatan itu berulang kali hingga aku merasa cukup untuk membuatku terjaga sampai ke rumah. Setelah itu aku menutup kran lalu merapikan penampilanku seperlunya dan keluar dari kamar kecil.
Ayah ternyata datang sendirian. Ia kemudian menjelaskan padaku bahwa ia melarang ibu untuk ikut karena cuaca malam tidak baik untuk kesehatannya. Aku sedikit bersyukur mendengarnya sekaligus bergidik membayangkan apa yang akan terjadi sesudah tiba di rumah. Ayah ternyata tau kekhawatiranku, ia berusaha menenangkanku dengan mengatakan semuanya-baik-baik-saja-tidak-perlu-ada-yang-dikhawatirkan-ayah-tidak-marah-padamu berulang kali kepadaku.
Mau tidak mau, ayah harus mengantarkan Doni pula, karena orang tua Doni sudah berada di Kalimantan. Doni kini menjawab bercakap-cakap dengan ayahku dengan sikap sigap dan jelas, seolah-olah kesadarannya dan staminanya tidak hilang sama sekali.
Aku duduk di kursi depan, di samping ayah yang berada di belakang kemudi, sedangkan Doni berada di kursi belakang. Posisi ini membuat aku tak bisa menatap wajah Doni dan segan pada ayah untuk mengajak Doni bercakap-cakap. Namun akhirnya aku bisa mengendalikan keadaan dan bertanya padanya.
“Don, kau jadi berangkat besok siang?”
“Antara iya dan tidak sebenarnya,” jawabnya ragu. “Aku lebih ingin istirahat total besok.”
Lalu ayah bertanya pukul berapa Doni berangkat, dan Doni menjawab persis dengan yang ia sampaikan padaku.
“Apa tiketmu tidak hangus?”
“Hanya tiket keretaku yang hangus, karena aku belum membeli tiket kapal.”
Percakapan kemudian diisi dengan hal-hal teknis mengenai dunia per-kereta-api-an di Indonesia. Ayah juga sempat bercerita pengalamannya memakai transportasi umum seperti kereta api dan kapal.
“Rencanamu berangkat kapan, Don?” tanyaku.
“Belum tahu,” jawabnya. “Tapi aku akan memberitahumu bila aku berangkat.”
***
Ketika masuk sekolah, adalah Indah yang pertama kali memberondongku dengan pertanyaan tentang kegiatan membolosku. Ia satu-satunya temanku yang mengetahuiku membolos bersama Doni. Ia sempat merengek-rengek untuk ikut membolos, namun aku melarangnya. Sepertinya Indah memutuskan membalas laranganku sebelumnya dengan meminta ceritaku dengan sedetil-detilnya, tentunya aku meladeninya ketika kami berdua sedang berdua saja.
Aku menceritakan semuanya pada Indah, tentang pencurian sepeda, tentang kepindahan Doni yang mendadak, juga tentang kerusuhan dan kantor Satpol PP. Ia khusyuk menyimak seperti mendengarkan seorang nabi yang sedang menyampaikan wahyu, atau mungkin gaya berceritaku yang sungguh nikmat untuk didengarkan.
Aku sebenarnya masih lelah dan mengantuk berat. Meladeni Indah pun dengan konsentrasi yang rendah, banyak omonganku yang tak nyambung. Namun terpaksa aku meladeninya, karena bila tidak, ia akan menuntutku seterusnya.
Ngomong-ngomog, aku tidak menemukan Doni di sekolah selama tiga hari selanjutnya. Seluruh teman-temannya yang aku kenal tidak melihatnya dimanapun. Bagaimana bisa seorang Doni bisa menghilang tanpa memberi kabar pada teman-temannya? Ini aneh. Tapi mungkinkah Doni yang kukenal masa kecil bukanlah Doni yang sekarang yang seringkali menutup dirinya?
Rumahnya pun tertutup rapat dan kelihatan sangat sepi. Aku dengar dari ibu bahwa rumah itu akan dijual oleh ibunya Doni. Ternyata ibunya Doni sempat berpamitan dengan ibuku, beliau bilang bahwa beliau akan menyusul suami barunya yang masih berdinas di pulau Kalimantan. Entah kemana Doni pergi. Jika dia sudah menyusul ibunya, untuk apa dia berjanji padaku akan memberitahuku kapan ia akan berangkat?
Indah adalah satu-satunya temanku yang paling kupercaya. Sudah dua tahun ini kami mengenal, saling bercerita dan berbagi suka dan duka sebagai orang remaja. Tentunya tak ada hal yang dapat kututup-tutupi darinya, ia selalu bisa mendapatiku ketika berbohong padanya.
“Cha, kau jelas ada perasaan dengan si Doni ini kan?” tuduh Indah tiba-tiba.
“Tidak mungkin,” jawabku menampik. “Aku sudah punya kekasih, Indah.”
“Nah, itu maksudku. Kau berlaku tak adil pada Arman,” tuduh Indah kembali. “Kau tak bisa membohongiku, Icha.”
“Sebenarnya, aku bertengkar dengan dia,” akuku pada Indah.
Pertengkaran aku dan Arman terjadi di sekolah. Kalau bisa dibilang, ini pertengkaran pertama kami berdua sebagai kekasih. Sekembalinya aku dari interograsi Indah, tak sengaja aku bertemu Arman. Ia ternyata sejak jam istirahat mencariku. Kami berdua berbicara di sudut sekolah. Arman tau bahwa aku membolos bersama Doni di hari sebelumnya, dan waktu itu aku terlalu mengantuk sehingga aku malah balik marah kepada Arman. Kami berdua pun tak bisa mengontrol emosi kami yang meledak.
“Aku tau kamu pergi sama Doni kemarin, Cha,” ujar Arman. “Jelaskan kepadaku.”
“Nggak ada yang perlu dijelasin,” jawabku datar. “Kita berdua nggak ada hubungan apa-apa.”
“Apanya yang gak ada?! Jangan bohong kamu, Cha,” nada bicara Arman meninggi.
“Kamu jangan teriak-teriak gitu dong,” jawabku ketus.
“Aku berhak marah dong sama kamu,” ia tak mau kalah.
“Pembicaraan ini selesai. Aku kecewa sama kamu.”
Aku berbalik pergi meninggalkan Arman yang masih tak percaya dengan perlakuanku.
“Eh, Cha. Kamu mau kemana??”
Dan ia terus memanggil namaku berulang kali, namun aku tak bergeming dan berjalan lurus ke depan.
***
Di hari keempat sejak ‘hilang’nya Doni, Teguh, salah satu teman Doni yang paling dekat dengannya sejak kecil menemuiku di sekolah. Ia mendatangi kelasku saat jam istirahat pertama. Ternyata Teguh membawa kabar dari sahabatnya itu. Awalnya ia bertanya, apa Doni sudah menemuiku, namun aku menggeleng.
“Karena sedari kemarin kamu mencari-cari Doni, aku kayaknya harus mengakui sesuatu denganmu,” terang Teguh. “Tadi malam aku bertemu dengannya, dan ia bilang akan berangkat ke Surabaya lewat kereta siang ini.”
Sebelum aku menyahut, Indah sudah menimpali, “Dia berangkat pukul berapa, Guh??”
“Kalau tidak salah, pukul sepuluh ini.”
Aku dan Indah melirik jam dinding kelas. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Masih ada satu setengah jam sebelum kereta Doni mampir ke stasiun Jombang dan berangkat ke Surabaya.
“Kamu masih bisa nyusul dia, Cha!” seru Indah menyemangatiku.
Aku tidak menghiraukan ucapan Indah. Aku masih terkejut Doni tidak memberitahuku, padahal ia sudah berjanji padaku.
Teguh pamit undur diri, tak lupa aku mengucapkan terimakasih padanya.
“Kamu tunggu apalagi, Cha??” tanya Indah tak sabaran.
“Aku malas berangkat, Indah,” timpalku.
“Jangan gitu. Kamu mungkin enggak akan ketemu Doni lagi,” Indah masih merayuku. “Aku antar deh ke stasiun.”
Maka dengan malas-malasan aku mengikutiku Indah ke tempat parkir untuk mengambil sepeda motor matiknya.
“Eh. Kita keluar lewat mana??” tanyaku tiba-tiba.
“Ya lewat depan dong, Cha,” jawab Indah enteng.
“Kalau dicegat satpam gimana??”
“Udah deh, beres. Serahin sama Indah.”
Dan seperti dugaanku, satpam sekolah mencegat kami berdua.
“Berhenti, berhenti,” cegat Pak Burhan, satpam sekolah. “Mau kemana, dek??”
“Ada urusan keluarga, Pak Burhan,” jawab Indah.
“Udah ijin sama kepala sekolah??”
“Sudah pak. Sudah diijinkan,” jawab Indah bohong.
Lalu Pak Burhan membuka gerbang jalan dan mempersilakan kami berdua melewatinya.
“Jangan ngebut di jalan, Dek!” pesan Pak Burhan.
***
Dari kompleks sekolah kami, jarak yang ditempuh untuk mencapai Stasiun Jombang sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja kami terjebak macet. Indah pun terpaksa mengendarainya pelan-pelan meskipun seringkali sepeda motor matiknya tidak bisa berjalan keman-mana. Belakangan kami ketahui bahwa jalan-jalan utama ditutup oleh polres Jombang karena adanya unjuk rasa besar oleh serikat buruh sebagai solidaritas terhadap pedagang kaki lima yang akan digusur oleh pemerintah daerah yang kemarin sempat terlibat bentrok dengan polisi.
Pukul setengan sepuluh kami berdua akhirnya tiba di depan Stasiun Jombang. Indah cepat-cepat menyuruhku masuk ke dalam, sedangkan ia mencari tempat untuk memarkir sepedanya. Aku pun berlari ke dalam ruang tunggu, lalu berhenti untuk mencari-cari sosok Doni di dalamnya, namun hasilnya nihil. Hatiku pun diliputi keresahan, khawatir takkan menemukan Doni di stasiun ini. Setelah Indah masuk ke dalam ruang tunggu, kami berdua memutuskan mencari bersama-sama di segala sudut. Dan dengan kedua mata Indah yang lebih awas, ia yang pertama kali menemukan sosok Doni. Doni ternyata sudah berada di dalam ruang tunggu kereta.
“Cha, itu dia!” seru Indah. “Ayo kita hampiri!”
Kami berdua pun berteriak memanggil Doni, namun yang bersangkutan tidak bergeming sama sekali. Aku pun mencari-cari akses masuk ruang tunggu kereta. Hanya ada satu akses masuk ke sana, dan dijaga oleh seorang satpam muda. Ketika aku mencoba masuk, satpam muda itu menghalangiku.
“Kalau mau masuk harus tunjukkan tiket dulu,” terang satpam muda itu.
“Wah kita bukan penumpang, Mas,” seruku.
“Kita cuma mau ketemu sama dia,” timpal Indah sambil menunjuk Doni yang sedang duduk di kursi tunggu. Terlihat semakin jelas Doni memakai headset berwarna putih di telinganya.
“Ya tetap enggak bisa, mba,” larang satpam muda. “Harus beli tiket dulu.”
Aku pun berteriak-teriak memanggil nama Doni, dan satpam itu melarangku berteriak dengan hardikan cukup tegas. Semua orang yang mendengarnya melihat ke arah kami.
“Mas, boleh bicara sebentar?” ujar Indah pada satpam muda itu.
Satpam muda itu mengangguk dan mengikuti Indah. Mereka berdua terlibat percakapan yang tak terdengar olehku di sudut stasiun. Dan mereka berdua pun kembali.
“Ya sudah, kalian berdua boleh masuk,” kata satpam muda itu.
“Terimakasih, Mas!” sahut aku dan Indah berbarengan.
Kami pun menghampiri Doni dan Doni terlihat terkejut tak percaya melihat kami berdua. Ia pun berdiri dan mendekat ke arah kami.
“Icha?!” serunya tak percaya.
“Doni,” timpalku dengan senyum yang penuh kelegaan.
“Kamu kok enggak bilang....”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba Doni memelukku.
Waktu seperti berhenti ketika ia mendekapku. Aku bisa merasakan tubuh Doni yang hangat dan debaran jantungku yang tiba-tiba menjadi cepat. Lalu tanpa ada perintah, tubuhku bergerak otomatis untuk membalas dekapannya. Tubuhku menarik tubuhnya lebih dekat. Mataku terpejam merasakan bulih-bulih air mata keluar semakin deras. Aku tak tau berapa lama ia mendekapku, rasanya ingin terus saja seperti ini selamanya.
Ketika Doni akhirnya melepas dekapannya, tangisku pun pecah merajuknya untuk jangan pergi. Ia hanya diam saja melihatku dengan perasaan serba salah.
Kereta yang ditunggu-tunggu telah datang. Gerbong-gerbong berbaris rapi di atas rel. Penumpang yang berniat turun di Jombang segera berdesakan keluar gerbong menuju jalan keluar stasiun. Lalu penumpang yang akan berangkat pun juga berdesak-desakan memasuki gerbong. Pengumuman dari pengeras suara semakin membuatku menyadari Doni harus masuk ke gerbong juga mengikuti yang lain karena kereta akan segera berangkat.
“Don, kumohon, jangan pergi...” pintaku padanya.
Ia hanya membalas permintaanku dengan tatapan aku-gak-bisa-gitu-cha.
Kemudian wajah Doni seperti teringat sesuatu. Lalu ia merogoh saku belakang tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah flashdisk kemudian memberikannya padaku.
“Apa ini, Don?” kataku seraya menahan isak tangisku.
“Kamu lihat pas di rumah aja,” jawabnya misterius. “Oke, aku harus berangkat nih, Cha. Jaga diri kamu baik-baik ya.”
Ia pun memelukku sekali lagi, kali ini lebih singkat. Lalu menyalami Indah dan memasuki gerbong kereta. Ia masih berada di pintu gerbong untuk bisa melihatku dan melambaikan tangannya. Aku pun melambaikan tangannya. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku pun ikut tersenyum dan melambaikan tangan lebih bersemangat lagi kepadanya. Klakson panjang kereta dibunyikan, lalu kereta pun perlahan-lahan bergerak ke arah utara membawa orang-orang pada harapan baru.
***
Saat perjalanan pulang, aku dan Indah memutuskan untuk kembali sekolah. Setelah aku memberitahu Indah tentang flashdisk yang diberikan oleh Doni kepadaku, Indah menyarankan untuk membukanya di lab komputer sekolah. Kami pun berhadapan dengan macet kembali, dan kali ini kami berdua melihat beberapa pecahan massa yang berunjuk rasa berkumpul-kumpul di pinggir sepanjang jalan yang kami lewati.
Sesampainya di sekolah, kami bertemu kembali dengan Pak Burhan yang membukakan gerbang jalan dan menginterograsi kami sebentar sebelum Indah menjawab dengan jawaban bohong yang lebih masuk akal. Aku juga berusaha menutupi wajahku yang masih sembab karena isak tangis tadi. Setelah berhasil membohongi Pak Burhan kembali, Indah mengembalikan sepeda motor matiknya kembali di tempat parkir sekolah lalu kami berdua menuju ruang lab komputer.
Sekolah cukup lengang karena seluruh siswa sedang berada di dalam kelas untuk menerima pelajaran. Kami berdua mengendap-ngendap melewati beberapa ruang kelas hingga akhirnya sampai di depan ruang lab. Cukup mudah memasuki ruang lab komputer karena pintunya yang tak terkunci. Ruangannya cukup gelap. Aku pun memilih-milih beberapa komputer untuk dipakai, dan akhirnya memilih sebuah komputer di depan yang biasa digunakan oleh para guru untuk mengajar. Beruntungnya tak ada sandi khusus untuk menjalankannya, jadi aku bisa leluasa menggunakannya dan tak lupa menancapkan flashdisk yang diberikan Doni di lubang USB untuk dibaca oleh komputer.
Indah menarik sebuah kursi dari sudut ruang lab, menaruhnya persis di sebelah kursiku, duduk di atasnya dan memperhatikanku membuka sebuah berkas video yang berada di dalam flashdisk Doni. Lalu sebuah pemutar video terbuka dan menampilkan video berdurasi sepuluh menit.
Di dalam video itu terlihat Doni sedang duduk di sebuah ruangan, kemungkinan besar ruangan itu adalah kamarnya. Ia membawa sebuah gitar dan mulai berbicara di depan kamera.
“Halo, Cha. Pertama, aku mau ucapkan terimakasih karena kamu sudah mau menemaniku seharian kemarin. Dan yang kedua,”—Doni mendehem—“kamu ingat kan waktu itu kamu memintaku untuk bermain gitar? Nah kali ini aku akan bermain buat kamu.”
“Ciyeee,” seru Indah tiba-tiba yang aku balas dengan tatapan apaan-sih-kau.
Kemudian Doni memainkan gitarnya. Gitar akustik bersenar nilon seperti yang sering dipakai oleh pemain-pemain gitar klasik. Ia memetiknya satu persatu menciptakan harmoni bunyi yang indah. Memainkannya pun dengan mengikuti sebuah irama suasana yang teratur dan berganti-ganti, kadang seperti diperlambat lalu iramanya dipercepat tiba-tiba.
“Ini lagunya siapa, Cha? Sepertinya pernah dengar,” tanya Indah pelan.
“Maudy Ayunda,” jawabku pelan, tak mau terganggu fokus mendengarkan bebunyian yang dimainkan Doni.
Doni memainkan Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda lengkap tanpa vokal, namun suasana yang dihasilkan tak kalah jauh dengan aransemen aslinya bahkan berhasil membuat hatiku tentram mendengarnya. Aku pun memutuskan untuk memutar kembali permainan gitar Doni hingga beberapa kali, tak menghiraukan godaan-godaan yang disampaikan Indah.
Baru kusadari bahwa di menit setelah permainan gitar Doni berakhir, ternyata ia kembali berbicara lagi di dalam video itu. Aku pun memutuskan untuk fokus mendengarkannya.
“Oh iya, Cha. Ada yang lupa aku sampaikan,”—Doni berdehem kembali—“sebenarnya kemungkinan besar aku akan kembali ke pulau Jawa lagi setelah lulus SMA. Jadi..”—ada jeda sebelum Doni melanjutkan kalimatnya—“maukah kamu berkenan untuk menungguku saat itu datang? Bila iya, hubungi aku ya Cha.”
Lalu video itu pun berakhir. Aku diam tak percaya dengan pesan yang disampaikan oleh Doni. Perasaan campur aduk antara terkejut, lega dan bahagia menjadi satu. Tiba-tiba saja Indah memelukku dan aku membalas pelukannya.
Tentu saja, aku akan menunggumu.***

Rabu, 25 Mei 2016

Mundurnya Kegiatan Musik di THGB: Sebuah Refleksi*



Oleh Mochammad IH

Pendahuluan

Musik, menurut hemat penulis adalah salah satu bentuk seni yang dimana adalah sebuah ekspresi kemanusiaan. Jadi seni secara umum dan musik secara khusus, tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia pada umumnya. Erat kaitan musik sebagai bagian dari kemanusiaan bisa dilihat dari contoh bagaimana masyarakat hari ini merevolusi sebuah alat, sebuah aplikasi bernama pemutar musik menjadi lebih canggih dan mutakhir, dari awalnya berupa sebuah pemutar cakram yang besar seperti lemari baju, lalu menjadi lebih kecil hingga bisa digenggam oleh tangan.
Sebagai lembaga pendidikan keimanan dan kemanusiaan yang bernafaskan tassawuf, Tarbiyyah Hifdhul Ghulam wal Banat (selanjutnya disingkat THGB) tak terlepas dari kegiatan bermusik sebagai bagian dari kesenian. THGB bahkan memiliki sejarah panjang dalam membangun kancah permusikan mereka dan membuat ruang-ruang yang membuka untuk mengekspresikan kesenian terutama musik.
Penulis sendiri, semenjak masuk dan mengikuti pendidikan di THGB, merasakan sendiri atmosfir hidup kegiatan bermusik di dalam ruang-ruang ekspresi yang dibangun oleh THGB. Setiap tahun selalu ada kegiatan bermusik yang selalu dinanti, sebuah acara berkonsep lomba yang menghadirkan puluhan peserta dengan keragaman yang sungguh sangat mencengangkan, mulai dari lagu pop yang digilai remaja, musik-musik lucu-lucuan khas muda-mudi, lagu-lagu kritik sosial, hingga musik-musik yang dianggap haram jadah oleh mayoritas namun diam-diam dicintai oleh para pemuja yang malu-malu untuk mengakuinya. Hal ini berlangsung tidak hanya sekali-dua kali saja, namun berkali-kali sepanjang penulis mengenyam pendidikan di Bustan Tsani dan Tsalits.
Kegiatan bermusik yang disebutkan di atas belum termasuk ruang-ruang ekspresi lain diadakan oleh Pondok Pesantren yang kala itu masih bernama Majma’al Bahrain - Shiddiqiyyah, di luar THGB. Ruang-ruang bermusik ini bahkan memiliki sejarah yang lebih panjang dan hadir sebelum penulis berpijak di THGB, penulis hanya bisa menyebutkan beberapa, diantaranya Langen, Parade Musik Shilaturahmi Opshid Seluruh Indonesia dan Jazz Root.
Masa-masa yang penuh gairah ini berlanjut dan berusia lumayan panjang, puncaknya ketika penulis mengenyam pendidikan di Bustan Tsalits, para pemerhati kegiatan bermusik membuka sebuah ruang yang cukup besar untuk edukasi musik berkonsep kegiatan ekstrakulikuler, yang berarti di luar jam sekolah. Puncaknya ketika para peserta ekstrakulikuler ini membuat ruang berekspresi dengan konsep festival musik bertajuk Memperjuangkan Cinta Tanah Air Melalui Seni #1 dan #2. Dua acara inilah yang menurut penulis menjadi titik rekonstruksi dengan apa yang kini dirayakan sebagai Hari Musik THGB.[1]
Tentu saja bila dihubungkan dengan keadaannya sekarang, kegiatan bermusik di lingkungan THGB sungguh mengalami kemunduran secara signifikan, bila tak mau disebut memprihatinkan. Semua yang pernah merasakan gairah kegiatan bermusik yang meletup-letup saat itu, pasti bertanya-tanya dan gelisah: mengapa bisa ruang-ruang yang penuh semangat untuk berkarya itu bisa hilang? Apakah ada sesuatu yang salah? Dimana letak kesalahannya? Untuk menghadapi kegelisahan-kegelisahan hati terhadap masa depan ruang kegiatan musik di THGB, penulis di sini ingin membagikan pandangan penulis berupa beberapa faktor yang menjadi penyebab kemunduran kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini menjadi titik pemicu diskusi yang lebih panjang bagi kita semua untuk masa depan kegiatan bermusik di THGB.

Berkembangnya Stigma Negatif Terhadap Kegiatan Bermusik

Banyak kesaksian dari teman-teman penulis yang peduli terhadap kegiatan bermusik di THGB yang menyampaikan bahwa pihak pengurus sekolah tidak pernah mendukung kegiatan ini. Tapi menurut penulis penolakan dukungan dari pihak pengurus sekolah ini didasari berkembangnya stigma negatif diantara pengurus.
Stigma negatif yang berkembang antara lain, pertama, bahwa kegiatan bermusik oleh siswa-siswi THGB sering disalahgunakan untuk pacaran. Stigma ini muncul dan berkembang ketika kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik sering diadakan pada malam hari, hingga puncaknya timbul kebijakan dari pengurus sekolah dan pesantren untuk memasang jam malam untuk para siswi THGB. Kebijakan ini memukul telak kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik tanpa adanya relokasi waktu dan tawaran solusi dari pemegang kebijakan terkait, yaitu pengurus sekolah.
Kedua, kegiatan bermusik dianggap tidak memiliki faedah yang cukup besar. Jika dibandingkan dengan program-program kursus keterampilan yang berada di dalam kegiatan kokulikuler, kegiatan bermusik mungkin tidak menjamin nilai ekonomis. Namun seperti kisah kesaksian penulis di atas, ditambah dengan banyak sekali alumni-alumni THGB yang dikenal expert di bidang musik, stigma ini menjadi berkontradiksi, kalau tidak mau dibilang tidak masuk akal.
Stigma-stigma negatif ini perlu diluruskan, agar tak ada lagi salah paham. Juga perlu diadakan dialog antara para pemerhati kegiatan bermusik dengan pengurus THGB. Ini semua perlu dilakukan agar terjadi kesepakatan diantara dua pihak.

Biaya Akomodasi yang Kian Tahun, Kian Mahal

Inflasi sejak dulu menjadi musuh bagi perekonomian bagi sebuah negara, apalagi ketika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat, sehingga masyarakat semakin terjepit dengan harga-harga barang yang begitu tak terjangkau[2]. Karena inflasi pun, kebutuhan logistik untuk mengadakan ruang-ruang kesenian pun ikut tak terjangkau. Hal ini menyulitkan para pegiat kesenian dan pengurus sekolah untuk menyusun anggaran, apalagi bila sisi pemasukannya tidak seimbang dengan pengeluaran. Hal ini tidak hanya dialami oleh ruang-ruang kesenian di THGB saja, namun juga dialami oleh ruang-ruang kesenian pada umumnya.
Menurut penulis hal ini cukup bisa diatasi. Mencontoh pada pergerakan musik arus pinggir kontemporer Indonesia yang sangat ramai dibicarakan, ruang-ruang ekspresi musik bisa dibuat, dihidupkan dan dikembangkan dengan lebih sederhana tanpa menguras biaya berlebihan. Seperti memakai tempat yang lebih kecil, dengan sound system yang terlalu besar dan sebagainya. Hal seperti ini biasa mereka lakukan dan pada akhirnya bisa berkembang menjadi lebih besar.[3]

Pelajaran Kesenian yang Tidak Dimasukkan ke Dalam Mata Pelajaran Wajib Sekolah

Bila pelajaran kesenian dimasukkan ke dalam kurikulum wajib sekolah, hal ini merupakan kemajuan dan keberhasilan yang besar yang diperoleh oleh THGB, setidaknya ini sebuah niat yang sangat bagus bila THGB sangat memperhatikan soal kesenian, khususnya musik. Hal ini masih bisa diperdebatkan, misalnya mungkin dengan memasukkan kesenian sebagai kurikulum THGB, mungkin tidak cocok dengan tujuan awal dari pendirian THGB. Namun mengingat sejarah panjang kegiatan berkesenian sepanjang THGB berdiri, hal ini merupakan jawaban bahwa, meminjam istilah dari tema yang sering digunakan oleh ektrakulikuler musik: seni tidak bisa dipisahkan dari THGB.
Penulis berpikir bahwa kita bisa berkaca pada pelajaran olahraga yang telah menjadi kurikulum wajib THGB hari ini. Saat penulis masih mengenyam di Bustanuts Tsalis, tidak pernah ada pelajaran olahraga yang penulis ikuti sebagai kegiatan wajib yang berada pada jam sekolah. Namun setelah setahun kemudian setelah penulis lulus dari Bustanuts Tsalis, pelajaran olahraga masuk dalam jam sekolah. Ini adalah sebuah kemajuan dari THGB, sebuah proses panjang dengan refleksi dan pembaruan yang terus menerus dilakukan. Kesenian pula bakal ikut mewarnai proses ini hingga mencapai sebuah kemajuan baru yang dilakukan oleh THGB, meskipun perlu adanya proses untuk itu. Perlu juga untuk mempelajari kajian historis dari dimasukkannya pelajaran olahraga ke dalam kurikulum THGB. Hal ini mungkin akan dibahas di lain waktu.
Jangan khawatir pada sumber daya manusia untuk mengisi ruang-ruang kesenian bila kesenian  berhasil dimasukkan ke dalam kurikulum THGB. Banyak sekali alumni THGB yang tidak perlu dibuktikan lagi dedikasi dan keilmuannya terhadap kesenian, terutama musik.

Penutup

Demikianlah paparan penulis tentang faktor-faktor kemunduran kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini menjadi titik awal diskusi untuk menemukan titik terang masa depan ruang-ruang kesenian di Tarbiyyah Hifdhul Ghulam wal Banat.
Tulisan ini tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan, untuk itu penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Kemudian penulis sangat berbahagia bila ada yang memberi tanggapan terhadap tulisan ini berupa tulisan juga, sehingga menjadi sebuah diskusi yang menarik diikuti. Bila banyak sekali tanggapan yang masuk terhadap tulisan ini, barangkali bisa dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Semoga Alloh meridho’i semua kerja-kerja kita. Amin. Selamat Hari Musik THGB.***

*Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut Hari Musik THGB pada 26 Sya’ban 1437 H.
Mochammad IH adalah murid Maqoshidil Qur’anil Mubiin angkatan 8 dan anggota Solidaritas Peduli Musik THGB.

Kepustakaan
[1] Hari Musik THGB diperingati tiap tanggal 26 Sya’ban. Yang menjadi dasar dari peringatan ini adalah surat dari Almukarrom Kyai Mochammad Muchtar Mu’thi kepada kepala THGB waktu itu, (alm) bapak Mochammad Munif yang memutuskan untuk menetapkan tanggal 26 Sya’ban sebagai Hari Musik. (Surat ini disimpan dan ditunjukkan kepada penulis oleh (alm) bapak Mochammad Munif).
[2] Ida Muliyati; Rentetan Sejarah Inflasi Indonesia, Jejak Penderitaan Masyarakat Kecil | Redaksi LPM Jurnal Kampus FE Unlam http://redaksijurnalkampus.blogspot.co.id/2014/03/rentetan-sejarah-inflasi-indonesia.html
[3]Lihat Walk the Folk yang diinisiasi oleh Sandi Kalifadani dan Mira Asriningtyas. Gig ini adalah pengembangan dari Folk Afternoon, sedang Folk Afternoon sendiri merupakan sebuah acara musik sederhana yang meniadakan batas antara panggung dan penonton dengan justru membuka ruang bermusik seluas-luasnya: tidak ada bintang tamu, tidak ada sound, tidak perlu kemampuan bermusik yang hebat, dan tidak ada panggung secara resmi. (Titah Asmaning; Walk the Folk: Piknik, Musik, Kisah dan Jalan Kaki; Majalah Cobra http://majalahcobra.com/blog/walk-the-folk-piknik-musik-kisah-dan-jalan-kaki.html )