“Just for today, how about we forget about tomorrow, and
go somewhere?” (Shinichiro Watanabe)
Sedari tadi jam istirahat belum berakhir juga. Entah mengapa
waktu berjalan dengan lamban hari ini. Mungkin waktu telah ditubruk oleh truk
dan kakinya hanya bisa berjalan tertatih-tatih. Atau mungkin ia sedang belajar
berjalan dengan kursi roda, siapa tahu?
“Icha?”
“Eh. Iya? Ada apa?”
Tumben sekali Doni menegur, pikirku.
“Yuk, pergi ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Kemana aja.”
“Sekarang?”
“Iyalah.”
“Maksudnya... Membolos?”
“Tepat sekali!” Doni mengatakannya seperti pembaca acara
kuis menebak lagu itu, hanya saja rambutnya tidak dioles pomade.
“Kenapa.. maksudku, beri aku alasan kenapa harus membolos?”
“Aku ingin sesekali ingin tahu bagaimana rasanya membolos.”
Dan di sinilah kita berdua berjalan sambil menenteng tas
sekolah masing-masing menyusuri trotoar dengan rumput liar menghiasi sepanjang
jalan, entah apa yang dilakukan Dinas Kebersihan Pemerintah selama ini. Karena
pada jam sekolah gerbang sekolah selalu terkunci, maka Doni mengajakku keluar
melompati pagar beton sekolah yang cukup tinggi. Aku tampak ragu, namun Doni
terus merayu, akhirnya aku berhasil melewatinya disertai hati yang
berdebar-debar. Menaiki satu persatu anak tangga kayu yang cukup curam, lalu
setelah sampai di atas beton yang sedikit berlumut (beruntung tak beling-beling
tajam yang disusun di atasnya!), aku melompatinya dengan berteriak histeris.
Aku terjatuh di sebuah gundukan pasir yang tercampur dengan
debu dan tanah, Doni tersenyum geli melihatku seraya membantuku berdiri. Kini
kami berdua berada sebuah tanah kosong yang tak terawat, sebenarnya tidak
kosong-kosong amat, ada kerangka rumah yang telah habis dilalap api,
rumput-rumput liar yang kering dan papan yang bertuliskan “TANAH MILIK NEGARA.
DILARANG MASUK.” Kami berdua melewati tanah kosong itu dengan mudah karena ada
jalan setapak kecil menuju jalan raya di depannya, dan menyusuri trotoar di
depannya. Doni bercerita bahwa ini adalah jalan keluar favorit teman-temannya
ketika membolos.
***
Doni adalah temanku sejak kecil. Jarak rumahku dan rumahnya
hanya dipisahkan oleh sebuah rumah milik seorang pensiunan tentara. Waktu kecil
kami berdua bersama anak-anak kompleks rumah sering bermain bersama di halaman rumahnya.
Selisih umur kami berdua cuma setahun, namun aku selalu menganggapnya lebih
tua, begitu juga dengan teman-teman masa kecil kami yang lain terhadapnya.
Ditambah sifatnya yang aktif sekali, jiwa kepemimpinannya bersinar diantara
kelompok bermain. Kedua matanya memancarkan sorot mata yang penuh semangat dan
bahagia. Hal inilah yang membuatku kagum terhadapnya sejak kecil.
Ketika aku beranjak remaja, aku disibukkan oleh les-les yang didaftarkan
oleh ibuku. Hal ini membuat kami berdua hampir tak pernah bertemu satu sama
lain. Namun aku selalu terbelenggu oleh perasaan rinduku. Kadang saat aku
hendak berangkat les sore, aku masih melihatnya duduk-duduk santai bersama
salah satu temannya di depan rumah. Momen-momen inilah yang sangat aku tunggu.
Kadang ketika ia melihatku, ia menegurku dan melambaikan tangan dengan
tersenyum, namun seringkali ia tak berada di sana. Apalagi sejak ayahnya
meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan bermotor (pembunuh nomor
satu di jalanan!), aku hampir tak pernah melihatnya. Namun saat aku melihatnya,
ada sorot mata yang berubah dari dirinya.
“Kau tau.. Kukira kau anak yang tidak biasa melakukan
hal-hal seperti ini.”
“Tidak salah,” jawab Doni. “Aku memang tidak pernah
membolos.”
“Memang kita akan kemana?”
“Kau mau kemana?”
“Menonton bioskop mungkin?”
Dia tertawa. “Terlalu mainstream.”
“Kau ingin yang tidak mainstream? Membom istana presiden!”
jawabku ketus.
“Ya, sepertinya ide bagus,” ia tergelak.
“Eh, aku tahu suatu tempat!” seruku padanya.
“Kemana?”
“Ada sebuah gua yang sering dibicarakan orang-orang saat
ini. Letaknya di sebuah kecamatan di bagian utara kota ini.”
“Arah ke Surabaya?”
“Iya.”
Setelah cukup lama menunggu bis yang menuju ke Surabaya,
kami berdua berhasil mencegatnya dan masuk ke dalamnya. Sampai Selamat, nama
bis itu. Udara AC langsung menyeruak
menabrak wajahku menghasilkan rasa yang tak nyaman. Setelah berhasil
mengendalikan diri, aku mengikuti Doni dari belakang dan duduk salah satu kursi
yang terlihat empuk. Tak lama kemudian kondektur bis menghampiri kami berdua
dan memasang tarif. Setelah itu beberapa kali pengamen masuk bis dan melewati
kami dengan bungkus plastik bekas air mineral berisi beberapa lembar uang dan
koin serta beberapa batang rokok.
Salah satu pengamen yang menarik perhatianku adalah sepasang
suami-istri yang cukup tua. Suaminya berkacamata hitam, bertopi pemancing yang
pudar, berkumis lebat, terlihat tidak bisa melihat, menenteng perangkat sound
system portable dan bertugas bernyanyi. Sedangkan
istrinya selain menuntun suaminya berjalan juga bertugas berkeliling membawa
bungkus plastik kepada para penumpang bis. Ia memakai topi yang sama dengan
suaminya, hanya saja warnanya berbeda dan memakai kaos partai yang berwarna
merah pudar. Yang membuat aku kagum adalah bahwa mereka seperti sudah tahu
tugas mereka masing-masing, seperti melakukan repetisi-repetisi seperti itu
sebelumnya. Namun apa kerja keras mereka terbayar?
Musik dangdut klasik mengalun dan sang suami mulai bernyanyi
dengan penuh penghayatan. Tidak buruk, nilaiku. Maka ketika si istri menghampiri
kami berdua, aku merogoh tasku, mencari koin-koin kembalian saat membeli
minuman mineral saat di sekolah tadi dan memberikan semuanya. Tak lupa memberi
senyum ketika aku bertatapan dengan si istri. Namun ia cepat menunduk dan berlalu
begitu saja meninggalkan ucapan terimakasih yang datar.
***
Kami berdua turun di sebuah pertigaan yang cukup besar. Kami
berdua harus mencari angkutan untuk pergi ke arah barat, dan Doni sedang
bertanya kepada seorang tukang becak cara untuk mencapai tempat yang bernama
Wonosalam. Dan ia kembali dengan hasil nihil.
“Tidak ada angkutan pada jam seperti ini.”
Aku memberinya sebuah botol air mineral, Doni membukanya dan
meneguk air di dalamnya.
“Kita jalan kaki saja dulu, barangkali nanti ada tumpangan
untuk ke sana.”
Kami berdua berjalan cukup jauh, menjauhi keramaian jalan
raya dan masuk ke jalan sepi yang dipenuhi oleh sawah dengan kehijauan padi
yang berusia sebulan. Kendaraan hilir mudik, namun tak ada yang menghiraukan
kami. Lalu tiba-tiba Doni memiliki ide yang cukup ekstrim.
“Ada sebuah sepeda kayuh di sana, aku akan mencoba
mencurinya.”
Lidahku seketika tercekat. Ketika ia mulai berbicara mengenai
rencanya lebih lanjut, aku meneguk liurku.
“Pikirkanlah lagi, Don,” sahutku.
“Tidak ada cara lain. Kamu mau bertelanjang dan mencegat
sebuah mobil di tengah jalan?”
Aku hampir menyetujui ide yang lebih ekstrim itu, namun ia
sudah berlalu menghampiri sepeda kayuh yang tergeletak di pinggir sawah,
kemungkinan itu milik petani yang sedang terlelap tidur siang. Aku memutuskan
mengikutinya.
Aku pun diarahkannya untuk memperhatikan sekeliling,
sedangkan ia beraksi mengambil sepeda itu dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa, Doni
kemudian memboncengku menyusuri. Matahari sudah melewati tengah hari, meskipun
panasnya hampir tidak berkurang sedikitpun. Apakah aku sudah gila mendukung pencurian
berencana? Entahlah, aku hanya lelah berjalan kaki, dan Doni melakukan hal yang
tepat dengan memboncengku.
Bila Doni merasa lelah ia berhenti dan kami beristirahat
barang sejenak. Sekali ia mencoba memegang tepian mobil berbak terbuka yang
melewati kami sehingga roda sepeda tak perlu ia kayuh, namun dewi keberuntungan
bersama kami ketika sang pengemudi mobil berhenti dan mengajak kami untuk naik
ke bak mobilnya. Beruntungnya kami bertiga punya tujuan yang sama, Goa
Sigolo-Golo.
***
Pengemudi mobilnya adalah seorang lelaki separuh baya yang
pendiam. Setelah mengijinkan kami berdua untuk menumpang di mobil pick-up-nya,
ia tak banyak bicara lagi setelah itu. Lagipula kami berada di bak terbuka
mobilnya, sedangkan ia bersama seorang pemuda berada di belakang kemudi.
Doni bersandar sebisanya di bak mobil, terlihat mukanya
penuh lelah. Langit semakin gelap, senja terlihat semakin menjingga, angin
berhembus melayangkan tiap-tiap helai rambutku dan suara adzan sayup-sayup
terdengar di setiap masjid.
Aku tak mendengar jelas apa yang dikatakan Doni, aku pun
sedikit mendekat dan ia mengulangi ucapannya sekali lagi, kali ini lebih keras.
“Kau tidak masuk les hari ini?”
“Aku sudah bosan dengan les,” jawabku sekenanya.
Ia nyengir.
Lalu aku bertanya padanya, apa dia pernah mengikuti sebuah
les dan ia menjawabnya, iya, tentu saja.
“Serius?? Memangnya kau ikut les apa?”
“Gitar.”
“Kau bercanda. Kok aku tidak pernah tau kau bisa bermain
gitar,” jawabku tak percaya.
“Aku tidak semahir itu. Hanya bertahan sebulan.”
“Tidak bisa satu lagupun?”
“Mungkin hanya 1-2 lagu pop.”
“Raisa?”
“Bukan. Maudy Ayunda.”
“Coba mainkan untukku.”
“Sekarang??”
“Iya, sekarang.”
Ia nyengir dan menjanjikan kapan-kapan saja Maudy
Ayunda-nya.
Sejenak ku berpikir tentang penyanyi muda itu. Sepertinya
aku pernah menghafal salah satu lagu hits miliknya. Mencoba menyanyikan bagian
reffrain-nya dan mengulanginya sebanyak dua kali. Dan aku tersadar bahwa
semuanya kini terasa hening dan Doni memperhatikanku bernyanyi sejak tadi. Oh,
Tuhan.
“Aku tak tau kamu punya suara emas,” pujinya.
“Bukan. Hanya suara penyanyi kamar mandi,” jawabku.
Kita berdua harus berduet, ajaknya kemudian yang aku iyakan
saja.
Seketika itu pula mobil memelankan lajunya dan akhirnya
benar-benar berhenti. Kami berdua tersadar telah sampai di lokasi dan
memutuskan untuk turun, tak lupa sepeda kayuh Doni giring turun juga. Sang
pengemudi, seorang lelaki paruh baya dengan kumis tipis menjelaskan bahwa kami
hanya punya dua jam sebelum lokasi wisata ini tutup. Setelah mengucapkan
terimakasih pada bapak pengemudi baik hati itu, kami bergegas untuk masuk
setelah sebelumnya menitipkan sepeda kayuh pada tukang parkir di depan lokasi
dan membayar tiket.
Kami menuruni sebuah lereng bukit dengan melewati
satu-persatu anak tangga. Penerangan jalan benar-benar membantu kami melewati
ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang kembali untuk
pulang, saat itu aku sadar bahwa kami berdua masih mengenakan seragam sekolah. Setelah
itu kami menemukan sebuah sungai kecil dengan kerikil-kerikil yang hampir tak
terlihat. Lalu kami naik ke atas menaiki tangga menuju tempat yang disebut Bulu
View.
Beberapa orang terlihat mengerumuni warung-warung kecil yang
berjejeran, sebagian bercengkerama di dekat pagar hitam yang kelihatannya
merupakan pengaman bagi pengunjung agar tidak terperosok ke bawah, lagipula ada
tulisan “Dilarang Melewati Pagar” di sana.
Doni mengajakku mendekat ke pagar. Ada sebuah bangku panjang
dari besi bercat hitam, dan ia mengajakku duduk di situ. Tak ada pemandangan
alam yang bisa disaksikan karena malam, hanya ada suara gemericik air mengalir
yang terus menerus menggema dari sungai kecil yang kami lewati tadi, juga
sayup-sayup terdengar suara-suara obrolan manusia dan seseorang yang sedang
menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dengan sebuah gitar buluk.
“Sayang sekali sudah malam, harusnya kita dimanjakan oleh
pem..”
Ucapan Doni terputus ketika kami berdua dikejutkan oleh
suara tembakan. Ternyata sekelompok pemuda menerbangkan kembang api ke udara.
Kembang api itu meledak kembali di udara dan memecah menjadi puluhan percikan
api yang melompat kesegala penjuru, lalu kemudian menghilang ditelan angin
malam. Ledakan pertama disambut ledakan kedua dan seterusnya hingga semua
kembang api telah ditembakkan ke langit. Langit pun selama beberapa saat
dihiasi oleh indahnya warna-warni kembang api yang istimewa. Perasaanku
kemudian menjadi hangat, mataku berbinar-binar dan senyumku merekah memandangi
kembang api di langit.
“Kau mau lihat lagi?” Aku mengangguk. “Aku akan ke sana
untuk membelinya.”
Ternyata ada kelompok yang memang khusus menyalakan kembang
api di sana (“Sudah kebijakannya warga di sini,” kata mereka). Doni hanya
membeli kembang apinya lalu mereka yang akan menyalakannya. Dan ternyata tidak
Doni saja yang tertarik, namun seluruh pengunjung pada saat itu membelinya
serentak. Tak ayal puluhan kembang api menghiasi langit malam silih berganti
selama setengah jam.
Aku tiba-tiba bertanya-tanya, kapan terakhir aku melihat
kembang api di langit terbuka seperti ini. Sepertinya hanya hari-hari istimewa
aku melihat kembang api dinyalakan, tetapi apakah hari ini hari yang istimewa? Adakah alasan
untuk menyebut hari ini hari istimewa?
“Apa alasanmu sebenarnya membawaku kemari, Don?” tanyaku
tiba-tiba.
Doni terdiam sebentar sebelum mengejutkanku dengan
jawabannya.
“Aku akan pindah besok,” aku menoleh padanya. “Bersama orang
tuaku. Ke pulau Kalimantan.”
Baiklah, kau akan pergi ke Kalimantan.
“Kau tau, seringkali orang yang berpindah tempat tinggal gampang
sekali dilupakan,” Doni menunduk memperhatikan sepatu hitam yang dikenakannya,
atau mungkin tanah berembun yang dipijaknya. “Beberapa waktu yang lalu temanku
pindah ke luar kota, dan sekarang aku sulit sekali mengingatnya.”
Aku terus menatapnya.
“Barangkali jika aku membawamu ke sini, kau mungkin bisa..”
Kau ingin aku mengingatmu. Doni tak meneruskan
kalimatnya.
“Kau tau, karena kita tinggal bertetangga, sebenarnya sejak
kecil aku selalu.. mengagumimu.” Aku menunduk malu. “Tapi sekarang..”
“Kau sudah punya kekasih kan, anak kelas tiga.” ucap Doni.
“Kau sudah tahu ternyata..”
“Yah. Aku sering melihat kalian berdua.”
Apakah aku terkejut bahwa Doni sejak lama menyukaiku? Sangat.
Ia pernah mematahkan hatiku saat aku tau seorang kakak kelas yang rupawan,
idola satu sekolah waktu itu menjadi kekasihnya. Beberapa saat aku melihat
mereka berjalan berdua, namun itu hanya beberapa saat sebelum satu sekolah
kembali dikejutkan oleh kekasih baru kakak-kelas-yang-rupawan itu yang ternyata
bukanlah Doni lagi.
Aku berencana melupakan Doni dengan segala luka yang tak
sengaja ia goreskan cukup dalam di hatiku. Saat itulah seorang kakak kelas
rupawan, salah satu mantan dari kakak kelas rupawan yang tadi aku ceritakan,
kapten tim basket sekolah, ketua Rohis, sering menjadi imam di masjid, dan
berderet-deret hal kepemimpinan yang lain lekat dengannya. Ia mendekatiku dan
memberikan semua kebahagiaan sebagai seorang kekasih.
“Ayo pulang,” ajakku pada Doni.
***
Di dalam bis antar kota dalam provinsi, kami berdua duduk
sedikit berjauhan sebelum ditegur oleh kernet bis yang meminta kami duduk
bersebelahan karena bis akan mulai penuh sebelum memasuki kota Jombang. Suara
Via Vallen mengalun dari pengeras suara menemani pembicaraan kami berdua.
“Kau sudah tahu apa yang akan kau katakan pada orang rumah?”
tanya Doni.
“Aku sudah bilang bahwa ada teman yang kecelakaan saat
sekolah, dan aku sedang menemaninya.”
“Cerdas sekali. Padahal aku tidak mengalami kecelakaan
apapun.”
“Jam berapa kau akan berangkat besok?” tanyaku.
“Sekitar jam 10 siang kira-kira. Kau tidak perlu datang
kok.”
“Oh. Baiklah.”
Meskipun aku tak khawatir dengan apa yang akan aku jelaskan
kepada orang tuaku tentang hari ini, kami berdua tak tidur rumah malam itu.
***
Pengakuan: aku dan Doni diciduk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) saat perjalanan pulang.
Ini terjadi setelah kami sampai di jantung kota Jombang.
Setelah kami berdua turun dari bis antar kota dalam provinsi, kami berdua
menyusuri jalanan menuju ke arah stadion tanpa tahu bahwa ada bentrok antara
aparat Satpol PP dengan pedagang kaki lima menghadang kami di depan. Asal kau
tahu, lingkungan stadion di pulau Jawa selalu dipenuhi dengan pedagang kaki
lima.
Aku akan menggambarkan keadaan pada malam itu. Jalanan sepi
dari kendaraan bermotor, namun ramai dengan orang-orang yang tumpah ruah ke
jalan sibuk melempari batu ke arah pagar betis polisi anti huru-hara. Batu-batu
berbagai ukuran berserakan di tengah jalan, truk-truk polisi berjejeran parkir.
Di pihak massa, sekumpulan lelaki separuh sebaya dan
bertelanjang dada menghadang para polisi dengan berucap kata-kata kasar dengan
fasih berkali-kali. Ada yang kelihatan membawa sebuah pedang samurai, namun
beberapa ada yang membawa balok kayu dan melempari polisi dengan batu.
Lalu yang paling mencolok adalah sekumpulan massa dengan
berkostum hitam dengan tudung jaket hitam menutupi kepala dan bandana hitam
menutupi wajah, namun ada beberapa orang yang memakai topeng tokoh V dalam film
V for Vendetta. Mereka berdekatan satu sama lain sehingga tampak mencolok dari
massa yang lain, massa barisan depan membawa sebuah spanduk besar bertuliskan
jargon anti-kapitalisme yang hampir menutupi tubuh mereka. Beberapa dari mereka
membawa balok kayu dengan bendera hitam di atasnya, suatu kali ketika
sekumpulan polisi mendekati dan berusaha membubarkan mereka, balok kayu itu
dipakai untuk membalas pukulan-pukulan dari tongkat besi polisi.
Massa-berpakaian-hitam inilah yang paling merepotkan polisi
anti huru-hara. Itu karena selain mereka melempari polisi dengan batu, mereka
juga melempari polisi dengan kembang api, mercon atau beberapa peledak dengan
daya kecil berkali-kali. Hal ini membuatku tak bisa membedakan antara kerusuhan
dengan perayaan tahun baru.
Pihak aparat negara sendiri terdiri berbagai unsur. Pihak
Satpol PP yang gagal mengusir pedagang kaki lima berada di barisan paling
belakang. Satpol PP sendiri berjumlah kecil dengan polisi anti huru-hara yang
didatangkan kemudian. Tiga truk polisi berisi satuan polisi anti huru-hara
datang dan bersiap-siap dengan peralatan mereka masing-masing. Pelontar gas air
mata, senjata api dengan peluru karet, helm polisi, tameng polisi, pelindung
lutut dan kaki, serta rompi anti peluru.
Karena terlalu asyik mengamati pertempuran jalanan itu, aku
dan juga Doni tak tahu bahwa Satpol PP yang tampak menganggur sedari tadi
menyisir daerah tempat aku dan Doni memperhatikan bentrokan. Kami berdua
diinterograsi sebentar dengan wajah kebingungan, lalu diangkut ke mobil Satpol
PP dan dibawa ke kantor mereka.
***
Apa yang terjadi di kantor Satuan Polisi Pamong Praja
sesungguhnya tidak begitu mengkhawatirkan. Aku dan Doni, kami berdua sama-sama
lelah karena seharian beraktivitas di tengah terik siang hari. Doni yang
terlihat lelah (ia telah menghabiskan energinya dengan mengayuh sepeda dan
memboncengku, tentu saja) dan menahan kantuk berat bahkan hampir tak peduli
bahwa ia berada di kursi pesakitan Satpol PP, bahkan ia sempat tertidur di
mobil saat perjalanan kemari. Aku pun sama saja. Pertanyaan-pertanyaan yang
disodorkan oleh petugas yang mendata kami berdua harus diulang beberapa kali
karena aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan akibat menahan kantuk.
Petugas yang meladeni kami pun sama-sama tak pedulinya.
Seorang bapak separuh baya dengan kepala pelontos dan badan tambun. Ia terlihat
ogah-ogahan mencatat jawaban-jawaban dari kami berdua sejak awal. Entah karena
mengantuk, kelelahan karena harus bentrok selama berjam-jam sejak sore, aku tak
bisa menduganya. Lagipula aku juga tak peduli.
Seteah pendataan, kami sebenarnya diperbolehkan pulang namun
harus dijemput oleh orang tua. Aku terpaksa menelepon rumah, ibu yang
mengangkatnya. Setelah berusaha tetap terjaga dengan mendengarkan suara keras
yang berasal dari kemarahan ibu, aku menutup telepon kantor yang dipinjamkan
petugas. Sebelum bapak-berkepala-pelontos-berbadan-tambun meninggalkan kami
berdua, ia sempat berceletuk:
“Kalau mau membolos, usahakan jangan memakai seragam sekolah.”
Malam semakin larut. Ketika aku meliriknya, jam menunjukkan
pukul sebelas malam. Suasana kantor Satpol PP sangat sepi, karena aku bisa
mendengar suara acara televisi dengan sangat jelas. Kami berdua dititipkan
kepada petugas piket jaga malam itu. Ruang piket jaga cukup lengang, Doni
bahkan sudah menemukan tempat berbaring dan tertidur pulas setelahnya. Aku
cukup duduk di sebuah kursi dengan kepala bersender pada sebuah dinding,
memandang kosong jalanan menanti ayahku datang.
Acara televisi menampilkan film horror Susana. Entah berapa
kali film itu ditayangkan kembali, namun orang-orang sepertinya tidak
menampakkan tanda-tanda kebosanan untuk melihat sosok Susana dalam layar kaca. Suaranya
yang khas dan tatapannya yang menusuk, dia memang tak tergantikan. Layar
televisinya padahal cukup kecil, namun bapak petugas piket jaga terlihat sangat
khusyuk menontonnya. Aku sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang mencoba menghisap
darah perempuan ini, namun sepertinya sia-sia belaka. Tiba-tiba aku jadi ingin
membasuh muka.
Bapak petugas piket jaga berbaik hati dan rela terganggu
acara menontonnya untuk mengarahkanku letak kamar kecil kantor setelah aku
bertanya padanya.
“Lurus aja, mbak. Ada lemari hitam, di sebelahnya.”
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih sebelum aku melangkah
sesuai arahannya. Tidak terlalu sulit menemukannya, ada sebuah lemari hitam
berbahan besi berada tepat di sebelah lorong masuk kamar kecil. Aku berdiri
menatap cermin yang cukup besar menempel di dinding. Sedikit terkejut melihat
tampilanku yang begitu kusut namun aku cukup bisa menjaga kesadaranku.
Sempat-sempatnya aku teringat Chairil Anwar, si pujangga.
Ini muka penuh luka, siapa punya?
Teman-temanku dalam seminggu terakhir asyik mempelajari
puisi Chairil Anwar berjudul Selamat Tinggal. Ini tak diayal akibat salah seorang
musisi indie favorit kami mengunggah rekaman terbarunya di kanal platform musik
gratis miliknya, menggubah puisi si pujangga menjadi lagu favorit baru bagi
kami semua. Akhirnya kami menyetelnya berulang-ulang hingga hafal di luar
kepala.
Aku memutar kran pada wastafel dan air segera mengalir
terkumpul di kedua telapak tanganku. Genangan air itu langsung saja kubasuhkan
ke wajah. Aku mengulangi kegiatan itu berulang kali hingga aku merasa cukup
untuk membuatku terjaga sampai ke rumah. Setelah itu aku menutup kran lalu
merapikan penampilanku seperlunya dan keluar dari kamar kecil.
Ayah ternyata datang sendirian. Ia kemudian menjelaskan
padaku bahwa ia melarang ibu untuk ikut karena cuaca malam tidak baik untuk
kesehatannya. Aku sedikit bersyukur mendengarnya sekaligus bergidik
membayangkan apa yang akan terjadi sesudah tiba di rumah. Ayah ternyata tau
kekhawatiranku, ia berusaha menenangkanku dengan mengatakan
semuanya-baik-baik-saja-tidak-perlu-ada-yang-dikhawatirkan-ayah-tidak-marah-padamu
berulang kali kepadaku.
Mau tidak mau, ayah harus mengantarkan Doni pula, karena
orang tua Doni sudah berada di Kalimantan. Doni kini menjawab bercakap-cakap
dengan ayahku dengan sikap sigap dan jelas, seolah-olah kesadarannya dan
staminanya tidak hilang sama sekali.
Aku duduk di kursi depan, di samping ayah yang berada di
belakang kemudi, sedangkan Doni berada di kursi belakang. Posisi ini membuat
aku tak bisa menatap wajah Doni dan segan pada ayah untuk mengajak Doni
bercakap-cakap. Namun akhirnya aku bisa mengendalikan keadaan dan bertanya
padanya.
“Don, kau jadi berangkat besok siang?”
“Antara iya dan tidak sebenarnya,” jawabnya ragu. “Aku lebih
ingin istirahat total besok.”
Lalu ayah bertanya pukul berapa Doni berangkat, dan Doni
menjawab persis dengan yang ia sampaikan padaku.
“Apa tiketmu tidak hangus?”
“Hanya tiket keretaku yang hangus, karena aku belum membeli
tiket kapal.”
Percakapan kemudian diisi dengan hal-hal teknis mengenai
dunia per-kereta-api-an di Indonesia. Ayah juga sempat bercerita pengalamannya
memakai transportasi umum seperti kereta api dan kapal.
“Rencanamu berangkat kapan, Don?” tanyaku.
“Belum tahu,” jawabnya. “Tapi aku akan memberitahumu bila
aku berangkat.”
***
Ketika masuk sekolah, adalah Indah yang pertama kali
memberondongku dengan pertanyaan tentang kegiatan membolosku. Ia satu-satunya
temanku yang mengetahuiku membolos bersama Doni. Ia sempat merengek-rengek
untuk ikut membolos, namun aku melarangnya. Sepertinya Indah memutuskan
membalas laranganku sebelumnya dengan meminta ceritaku dengan sedetil-detilnya,
tentunya aku meladeninya ketika kami berdua sedang berdua saja.
Aku menceritakan semuanya pada Indah, tentang pencurian
sepeda, tentang kepindahan Doni yang mendadak, juga tentang kerusuhan dan
kantor Satpol PP. Ia khusyuk menyimak seperti mendengarkan seorang nabi yang
sedang menyampaikan wahyu, atau mungkin gaya berceritaku yang sungguh nikmat
untuk didengarkan.
Aku sebenarnya masih lelah dan mengantuk berat. Meladeni
Indah pun dengan konsentrasi yang rendah, banyak omonganku yang tak nyambung.
Namun terpaksa aku meladeninya, karena bila tidak, ia akan menuntutku
seterusnya.
Ngomong-ngomog, aku tidak menemukan Doni di sekolah selama tiga
hari selanjutnya. Seluruh teman-temannya yang aku kenal tidak melihatnya
dimanapun. Bagaimana bisa seorang Doni bisa menghilang tanpa memberi kabar pada
teman-temannya? Ini aneh. Tapi mungkinkah Doni yang kukenal masa kecil bukanlah
Doni yang sekarang yang seringkali menutup dirinya?
Rumahnya pun tertutup rapat dan kelihatan sangat sepi. Aku
dengar dari ibu bahwa rumah itu akan dijual oleh ibunya Doni. Ternyata ibunya
Doni sempat berpamitan dengan ibuku, beliau bilang bahwa beliau akan menyusul
suami barunya yang masih berdinas di pulau Kalimantan. Entah kemana Doni pergi.
Jika dia sudah menyusul ibunya, untuk apa dia berjanji padaku akan
memberitahuku kapan ia akan berangkat?
Indah adalah satu-satunya temanku yang paling kupercaya.
Sudah dua tahun ini kami mengenal, saling bercerita dan berbagi suka dan duka
sebagai orang remaja. Tentunya tak ada hal yang dapat kututup-tutupi darinya,
ia selalu bisa mendapatiku ketika berbohong padanya.
“Cha, kau jelas ada perasaan dengan si Doni ini kan?” tuduh
Indah tiba-tiba.
“Tidak mungkin,” jawabku menampik. “Aku sudah punya kekasih,
Indah.”
“Nah, itu maksudku. Kau berlaku tak adil pada Arman,” tuduh
Indah kembali. “Kau tak bisa membohongiku, Icha.”
“Sebenarnya, aku bertengkar dengan dia,” akuku pada Indah.
Pertengkaran aku dan Arman terjadi di sekolah. Kalau bisa
dibilang, ini pertengkaran pertama kami berdua sebagai kekasih. Sekembalinya
aku dari interograsi Indah, tak sengaja aku bertemu Arman. Ia ternyata sejak
jam istirahat mencariku. Kami berdua berbicara di sudut sekolah. Arman tau
bahwa aku membolos bersama Doni di hari sebelumnya, dan waktu itu aku terlalu
mengantuk sehingga aku malah balik marah kepada Arman. Kami berdua pun tak bisa
mengontrol emosi kami yang meledak.
“Aku tau kamu pergi sama Doni kemarin, Cha,” ujar Arman. “Jelaskan
kepadaku.”
“Nggak ada yang perlu dijelasin,” jawabku datar. “Kita
berdua nggak ada hubungan apa-apa.”
“Apanya yang gak ada?! Jangan bohong kamu, Cha,” nada bicara
Arman meninggi.
“Kamu jangan teriak-teriak gitu dong,” jawabku ketus.
“Aku berhak marah dong sama kamu,” ia tak mau kalah.
“Pembicaraan ini selesai. Aku kecewa sama kamu.”
Aku berbalik pergi meninggalkan Arman yang masih tak percaya
dengan perlakuanku.
“Eh, Cha. Kamu mau kemana??”
Dan ia terus memanggil namaku berulang kali, namun aku tak
bergeming dan berjalan lurus ke depan.
***
Di hari keempat sejak ‘hilang’nya Doni, Teguh, salah satu
teman Doni yang paling dekat dengannya sejak kecil menemuiku di sekolah. Ia
mendatangi kelasku saat jam istirahat pertama. Ternyata Teguh membawa kabar
dari sahabatnya itu. Awalnya ia bertanya, apa Doni sudah menemuiku, namun aku
menggeleng.
“Karena sedari kemarin kamu mencari-cari Doni, aku kayaknya
harus mengakui sesuatu denganmu,” terang Teguh. “Tadi malam aku bertemu
dengannya, dan ia bilang akan berangkat ke Surabaya lewat kereta siang ini.”
Sebelum aku menyahut, Indah sudah menimpali, “Dia berangkat
pukul berapa, Guh??”
“Kalau tidak salah, pukul sepuluh ini.”
Aku dan Indah melirik jam dinding kelas. Jam menunjukkan
pukul setengah sembilan. Masih ada satu setengah jam sebelum kereta Doni mampir
ke stasiun Jombang dan berangkat ke Surabaya.
“Kamu masih bisa nyusul dia, Cha!” seru Indah
menyemangatiku.
Aku tidak menghiraukan ucapan Indah. Aku masih terkejut Doni
tidak memberitahuku, padahal ia sudah berjanji padaku.
Teguh pamit undur diri, tak lupa aku mengucapkan terimakasih
padanya.
“Kamu tunggu apalagi, Cha??” tanya Indah tak sabaran.
“Aku malas berangkat, Indah,” timpalku.
“Jangan gitu. Kamu mungkin enggak akan ketemu Doni lagi,”
Indah masih merayuku. “Aku antar deh ke stasiun.”
Maka dengan malas-malasan aku mengikutiku Indah ke tempat
parkir untuk mengambil sepeda motor matiknya.
“Eh. Kita keluar lewat mana??” tanyaku tiba-tiba.
“Ya lewat depan dong, Cha,” jawab Indah enteng.
“Kalau dicegat satpam gimana??”
“Udah deh, beres. Serahin sama Indah.”
Dan seperti dugaanku, satpam sekolah mencegat kami berdua.
“Berhenti, berhenti,” cegat Pak Burhan, satpam sekolah. “Mau
kemana, dek??”
“Ada urusan keluarga, Pak Burhan,” jawab Indah.
“Udah ijin sama kepala sekolah??”
“Sudah pak. Sudah diijinkan,” jawab Indah bohong.
Lalu Pak Burhan membuka gerbang jalan dan mempersilakan kami
berdua melewatinya.
“Jangan ngebut di jalan, Dek!” pesan Pak Burhan.
***
Dari kompleks sekolah kami, jarak yang ditempuh untuk
mencapai Stasiun Jombang sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja kami
terjebak macet. Indah pun terpaksa mengendarainya pelan-pelan meskipun
seringkali sepeda motor matiknya tidak bisa berjalan keman-mana. Belakangan
kami ketahui bahwa jalan-jalan utama ditutup oleh polres Jombang karena adanya
unjuk rasa besar oleh serikat buruh sebagai solidaritas terhadap pedagang kaki
lima yang akan digusur oleh pemerintah daerah yang kemarin sempat terlibat
bentrok dengan polisi.
Pukul setengan sepuluh kami berdua akhirnya tiba di depan
Stasiun Jombang. Indah cepat-cepat menyuruhku masuk ke dalam, sedangkan ia
mencari tempat untuk memarkir sepedanya. Aku pun berlari ke dalam ruang tunggu,
lalu berhenti untuk mencari-cari sosok Doni di dalamnya, namun hasilnya nihil.
Hatiku pun diliputi keresahan, khawatir takkan menemukan Doni di stasiun ini.
Setelah Indah masuk ke dalam ruang tunggu, kami berdua memutuskan mencari
bersama-sama di segala sudut. Dan dengan kedua mata Indah yang lebih awas, ia
yang pertama kali menemukan sosok Doni. Doni ternyata sudah berada di dalam
ruang tunggu kereta.
“Cha, itu dia!” seru Indah. “Ayo kita hampiri!”
Kami berdua pun berteriak memanggil Doni, namun yang
bersangkutan tidak bergeming sama sekali. Aku pun mencari-cari akses masuk
ruang tunggu kereta. Hanya ada satu akses masuk ke sana, dan dijaga oleh
seorang satpam muda. Ketika aku mencoba masuk, satpam muda itu menghalangiku.
“Kalau mau masuk harus tunjukkan tiket dulu,” terang satpam
muda itu.
“Wah kita bukan penumpang, Mas,” seruku.
“Kita cuma mau ketemu sama dia,” timpal Indah sambil
menunjuk Doni yang sedang duduk di kursi tunggu. Terlihat semakin jelas Doni
memakai headset berwarna putih di telinganya.
“Ya tetap enggak bisa, mba,” larang satpam muda. “Harus beli
tiket dulu.”
Aku pun berteriak-teriak memanggil nama Doni, dan satpam itu
melarangku berteriak dengan hardikan cukup tegas. Semua orang yang mendengarnya
melihat ke arah kami.
“Mas, boleh bicara sebentar?” ujar Indah pada satpam muda
itu.
Satpam muda itu mengangguk dan mengikuti Indah. Mereka
berdua terlibat percakapan yang tak terdengar olehku di sudut stasiun. Dan
mereka berdua pun kembali.
“Ya sudah, kalian berdua boleh masuk,” kata satpam muda itu.
“Terimakasih, Mas!” sahut aku dan Indah berbarengan.
Kami pun menghampiri Doni dan Doni terlihat terkejut tak
percaya melihat kami berdua. Ia pun berdiri dan mendekat ke arah kami.
“Icha?!” serunya tak percaya.
“Doni,” timpalku dengan senyum yang penuh kelegaan.
“Kamu kok enggak bilang....”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba Doni memelukku.
Waktu seperti berhenti ketika ia mendekapku. Aku bisa
merasakan tubuh Doni yang hangat dan debaran jantungku yang tiba-tiba menjadi
cepat. Lalu tanpa ada perintah, tubuhku bergerak otomatis untuk membalas
dekapannya. Tubuhku menarik tubuhnya lebih dekat. Mataku terpejam merasakan
bulih-bulih air mata keluar semakin deras. Aku tak tau berapa lama ia
mendekapku, rasanya ingin terus saja seperti ini selamanya.
Ketika Doni akhirnya melepas dekapannya, tangisku pun pecah
merajuknya untuk jangan pergi. Ia hanya diam saja melihatku dengan perasaan
serba salah.
Kereta yang ditunggu-tunggu telah datang. Gerbong-gerbong
berbaris rapi di atas rel. Penumpang yang berniat turun di Jombang segera
berdesakan keluar gerbong menuju jalan keluar stasiun. Lalu penumpang yang akan
berangkat pun juga berdesak-desakan memasuki gerbong. Pengumuman dari pengeras
suara semakin membuatku menyadari Doni harus masuk ke gerbong juga mengikuti
yang lain karena kereta akan segera berangkat.
“Don, kumohon, jangan pergi...” pintaku padanya.
Ia hanya membalas permintaanku dengan tatapan
aku-gak-bisa-gitu-cha.
Kemudian wajah Doni seperti teringat sesuatu. Lalu ia
merogoh saku belakang tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah flashdisk
kemudian memberikannya padaku.
“Apa ini, Don?” kataku seraya menahan isak tangisku.
“Kamu lihat pas di rumah aja,” jawabnya misterius. “Oke, aku
harus berangkat nih, Cha. Jaga diri kamu baik-baik ya.”
Ia pun memelukku sekali lagi, kali ini lebih singkat. Lalu
menyalami Indah dan memasuki gerbong kereta. Ia masih berada di pintu gerbong
untuk bisa melihatku dan melambaikan tangannya. Aku pun melambaikan tangannya.
Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku pun ikut tersenyum dan
melambaikan tangan lebih bersemangat lagi kepadanya. Klakson panjang kereta
dibunyikan, lalu kereta pun perlahan-lahan bergerak ke arah utara membawa
orang-orang pada harapan baru.
***
Saat perjalanan pulang, aku dan Indah memutuskan untuk kembali sekolah. Setelah aku memberitahu Indah tentang flashdisk yang diberikan oleh Doni kepadaku, Indah menyarankan untuk membukanya di lab komputer sekolah. Kami pun berhadapan dengan macet kembali, dan kali ini kami berdua melihat beberapa pecahan massa yang berunjuk rasa berkumpul-kumpul di pinggir sepanjang jalan yang kami lewati.
Saat perjalanan pulang, aku dan Indah memutuskan untuk kembali sekolah. Setelah aku memberitahu Indah tentang flashdisk yang diberikan oleh Doni kepadaku, Indah menyarankan untuk membukanya di lab komputer sekolah. Kami pun berhadapan dengan macet kembali, dan kali ini kami berdua melihat beberapa pecahan massa yang berunjuk rasa berkumpul-kumpul di pinggir sepanjang jalan yang kami lewati.
Sesampainya di sekolah, kami bertemu kembali dengan Pak
Burhan yang membukakan gerbang jalan dan menginterograsi kami sebentar sebelum
Indah menjawab dengan jawaban bohong yang lebih masuk akal. Aku juga berusaha
menutupi wajahku yang masih sembab karena isak tangis tadi. Setelah berhasil
membohongi Pak Burhan kembali, Indah mengembalikan sepeda motor matiknya
kembali di tempat parkir sekolah lalu kami berdua menuju ruang lab komputer.
Sekolah cukup lengang karena seluruh siswa sedang berada di
dalam kelas untuk menerima pelajaran. Kami berdua mengendap-ngendap melewati
beberapa ruang kelas hingga akhirnya sampai di depan ruang lab. Cukup mudah
memasuki ruang lab komputer karena pintunya yang tak terkunci. Ruangannya cukup
gelap. Aku pun memilih-milih beberapa komputer untuk dipakai, dan akhirnya
memilih sebuah komputer di depan yang biasa digunakan oleh para guru untuk
mengajar. Beruntungnya tak ada sandi khusus untuk menjalankannya, jadi aku bisa
leluasa menggunakannya dan tak lupa menancapkan flashdisk yang diberikan Doni
di lubang USB untuk dibaca oleh komputer.
Indah menarik sebuah kursi dari sudut ruang lab, menaruhnya
persis di sebelah kursiku, duduk di atasnya dan memperhatikanku membuka sebuah
berkas video yang berada di dalam flashdisk Doni. Lalu sebuah pemutar video
terbuka dan menampilkan video berdurasi sepuluh menit.
Di dalam video itu terlihat Doni sedang duduk di sebuah
ruangan, kemungkinan besar ruangan itu adalah kamarnya. Ia membawa sebuah gitar
dan mulai berbicara di depan kamera.
“Halo, Cha. Pertama, aku mau ucapkan terimakasih karena kamu
sudah mau menemaniku seharian kemarin. Dan yang kedua,”—Doni mendehem—“kamu
ingat kan waktu itu kamu memintaku untuk bermain gitar? Nah kali ini aku akan bermain
buat kamu.”
“Ciyeee,” seru Indah tiba-tiba yang aku balas dengan tatapan
apaan-sih-kau.
Kemudian Doni memainkan gitarnya. Gitar akustik bersenar
nilon seperti yang sering dipakai oleh pemain-pemain gitar klasik. Ia
memetiknya satu persatu menciptakan harmoni bunyi yang indah. Memainkannya pun
dengan mengikuti sebuah irama suasana yang teratur dan berganti-ganti, kadang
seperti diperlambat lalu iramanya dipercepat tiba-tiba.
“Ini lagunya siapa, Cha? Sepertinya pernah dengar,” tanya
Indah pelan.
“Maudy Ayunda,” jawabku pelan, tak mau terganggu fokus
mendengarkan bebunyian yang dimainkan Doni.
Doni memainkan Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy
Ayunda lengkap tanpa vokal, namun suasana yang dihasilkan tak kalah jauh dengan
aransemen aslinya bahkan berhasil membuat hatiku tentram mendengarnya. Aku pun
memutuskan untuk memutar kembali permainan gitar Doni hingga beberapa kali, tak
menghiraukan godaan-godaan yang disampaikan Indah.
Baru kusadari bahwa di menit setelah permainan gitar Doni
berakhir, ternyata ia kembali berbicara lagi di dalam video itu. Aku pun
memutuskan untuk fokus mendengarkannya.
“Oh iya, Cha. Ada yang lupa aku sampaikan,”—Doni berdehem
kembali—“sebenarnya kemungkinan besar aku akan kembali ke pulau Jawa lagi setelah
lulus SMA. Jadi..”—ada jeda sebelum Doni melanjutkan kalimatnya—“maukah kamu
berkenan untuk menungguku saat itu datang? Bila iya, hubungi aku ya Cha.”
Lalu video itu pun berakhir. Aku diam tak percaya dengan
pesan yang disampaikan oleh Doni. Perasaan campur aduk antara terkejut, lega
dan bahagia menjadi satu. Tiba-tiba saja Indah memelukku dan aku membalas
pelukannya.
Tentu saja, aku akan menunggumu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar