Inginnya mencoba mereview film lagi. Kali ini film dwilogi dari jepang berjudul Little Forest yang dibintangi oleh Ai Hashimoto yang berperan sebagai Ichiko. Bercerita tentang seorang gadis yang kembali ke desa kelahirannya setelah beberapa tahun tinggal di kota. Filmnya sendiri berfokus pada kehidupan Ichiko di desanya dengan disertai bayang2 masa lalunya sebagai lantar konflik cerita.
Sebenarnya kalo dari segi cerita, film ini nga bagus bagus amat bahkan terkesan datar karena konfliknya nga ada yang begitu greget. Nilai lebihnya berada gambar2 cantik panorama desa dan resep resep masakan Ichiko yang benar2 memperlihatkan keterampilan dan kegesitan Hashimoto memasak.
Yang pengen saya fokuskan adalah bagaimana film ini juga menyampaikan kritik sosial pada masyarakat pasca-fordisme meskpun gak bisa dibilang kritiknya gak fundamental amat. Kehidupan Ichiko sebagai masyarakat kota digambarkan sangat nelangsa, mulai dari makan seadanya dan kerja yang sangat keras di tempat kerja.
Soal makan seadanya ini, Ichiko diharuskan membeli makanannya sendiri dimana sangat kontras sekali dengan kehidupannya di desa, dimana ia menanam, memanen dan memasak sendiri seluruh bahan makanannya dan ia merasa berkecukupan (meskipun beberapa bumbu memang harus beli). Di kota (dimana kapitalisme bercokol sangat dalam), Ichiko sangat merasa kekurangan dengan upah yang sedikit dan ia memaksa dirinya sendiri untuk berhemat tapi pada akhirnya di akhir bulan ia tetap kekurangan. Ini sangat cocok dengan semangat efisiensi dalam kapitalisme terhadap segala biaya produksi termasuk di dalamnya upah untuk pekerja seperti Ichiko yang harus ditekan sekecil-kecilnya. Digambarkan juga dalam satu scene dimana salah satu teman kerja Ichiko yang hanya minum soda dan satu pil vitamin untuk makan siang agar ia tetap bisa bekerja. Menyeramkan.
Yang kedua, supermarket dimana Ichiko bekerja tidak menampilkan pekerja-pekerja yang lebih tua umurnya dari Ichiko. Hal ini sangat kontras dengan kehidupan di desa Ichiko (ya ampun saya lupa namanya), dimana petani-petani di desanya masih didominasi oleh orang-orang tua yang sudah kakek-nenek. Hal ini menurut saya bisa dibandingkan dengan masyarakat Indonesia kontemporer yang mengkritik sistem kerja outsourcing/kontrak. Kita bisa melihat pekerja di minimarket merah dan biru yang selalu dihiasi oleh pekerja-pekerja muda fresh graduate tanpa pernah kita melihat pekerja yang berusia lebih dari 30/40 tahun, karena mereka menerapkan sistem kerja kontrak. Sistem kerja kontrak sendiri sudah banyak dikritik karena tidak berkeadilan bahkan selalu menjadi isu yang dibawa oleh gerakan buruh di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Sedangkan di pelosok desa-desa di daerah Indonesia sendiri masih bisa kita lihat petani-petani yang usianya sudah tidak bisa disebut muda lagi namun dengan produktivitas kerjanya juga tidak bisa kita remehkan. Namun sayangnya kesejahteraan mereka tidak seperti para tengkulaknya. Seringkali para petani ini dipermainkan oleh para tengkulak dengan membeli gabah mereka dengan harga yang tidak pantas dan menjual kembali gabah mereka dengan harga setinggi-tingginya. Ini belum menyebut soal pembagian kelas petani berdasarkan kepemilikan tanah, ada yang memiliki tanah berhektar2, ada pula yang sama sekali tidak memiliki tanah.
Demikian ulasan singkat film Little Forest, maaf nyampah di timeline anda. Tabik.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar