Belum Bisa Kulak Lagi
Suasana warung diramaikan oleh empat orang yang bermain
kartu. Dua orang berjongkok, sedang dua lainnya duduk dengan santai,
masing-masing fokus dengan kartunya sendiri-sendiri. Setelah kartu habis,
ternyata masing-masing tidak ada yang mendapat poin. Kartu pun dikocok dan
dibagikan kembali.
Nah saat itu, salah satu pemain kartu mencari jajanan kering
berbungkus plastik, namun ia segera menyadari bahwa jajanan itu habis, belum di
stok kembali. Kemudian celetukan pun bersahutan.
“Waduh. Jajannya kok habis gini,” celetuknya.
“Walah si K emang jualan air doang sekarang,” sahut yang
lain.
Mereka pun serempak tertawa, saya juga ikut tertawa dan
empunya warung, K cuma nnyengir mendengarnya.
Saya sempat menceritakan tentang hal ini di twitter. Tentang
dua keluarga muda dengan keberuntungan yang berbeda. Yang satu beruntung karena
punya jaringan keluarga borjuis, satunya beruntung karena bayinya belum pernah
sakit sekalipun. Tapi saya jadi gak enak dan merasa jahat, tadi malam saya bilang
pada ibunya bahwa belum waktunya kayaknya si bayi untuk sakit.
Setelah memperteguh niat untuk terjun langsung ke tingkat
akar rumput, mengikuti berbagai kegiatan RT (baru (semacam kegiatan) tahlilan
aja sih), saya juga sering nongkrong di sebuah warung yang menjadi “pusat
kebudayaan” di sana. Di situ hampir semua teman saya nongkrong, teman-teman
yang dianggap sebagai tukang kudeta. Setahun terakhir memang saya tidak akrab
bersama mereka.
Suasana ekonomi susah memang bisa dirasakan ketika kita
memasuki warung itu. Citra pemda Jombang yang kian bersinar tidak bisa menutupi
kenyataan seperti itu. Orang-orang yang dikenal dengan retorika-retorika
revolusi untuk perubahan dituntut menghadapi permintaan solusi kongkret. Suatu
hari memang salah satu teman saya menagih solusi itu di hadapan teman-teman
lain, dengan nada bercanda sedikit serius.
“Gimana ini, Joz, solusinya?” tanyanya.
Waktu itu saya jawab bahwa kita harus memikirkan ini
bersama-sama. Saya juga kepikiran untuk menawarkan pinjaman dari Koperasi
Khozanah, salah satu koperasi yang saya ikuti. Namun mengingat track record K
yang sudah pernah meminjam dari (so called) Bank Desa, saya jadi urung. Apalagi
saya mikir, Koperasi Khozanah juga saya pikir tidak bijak dengan tidak adanya
program pembinaan terhadap anggotanya, hal yang saya kritik dari dulu sehingga
saya juga ragu untuk meminjam modal dari mereka. Maka solusi itu saya urung
tawarkan pada K.
Pada akhirnya saya memutuskan untuk terus nongkrong dan
jajan di warung K. Toh, saya pikir, itu termasuk sebuah pertolongan karena
membantu K mendapat pemasukan, meskipun memang tidak seberapa. Tapi begitulah
saya memaknai perlawanan terakhir kita terhadap neraka di dunia ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar