Minggu, 31 Juli 2016

Everyday of Politics I


Belum Bisa Kulak Lagi

Suasana warung diramaikan oleh empat orang yang bermain kartu. Dua orang berjongkok, sedang dua lainnya duduk dengan santai, masing-masing fokus dengan kartunya sendiri-sendiri. Setelah kartu habis, ternyata masing-masing tidak ada yang mendapat poin. Kartu pun dikocok dan dibagikan kembali.

Nah saat itu, salah satu pemain kartu mencari jajanan kering berbungkus plastik, namun ia segera menyadari bahwa jajanan itu habis, belum di stok kembali. Kemudian celetukan pun bersahutan.

“Waduh. Jajannya kok habis gini,” celetuknya.

“Walah si K emang jualan air doang sekarang,” sahut yang lain.

Mereka pun serempak tertawa, saya juga ikut tertawa dan empunya warung, K cuma nnyengir mendengarnya.




Saya sempat menceritakan tentang hal ini di twitter. Tentang dua keluarga muda dengan keberuntungan yang berbeda. Yang satu beruntung karena punya jaringan keluarga borjuis, satunya beruntung karena bayinya belum pernah sakit sekalipun. Tapi saya jadi gak enak dan merasa jahat, tadi malam saya bilang pada ibunya bahwa belum waktunya kayaknya si bayi untuk sakit.

Setelah memperteguh niat untuk terjun langsung ke tingkat akar rumput, mengikuti berbagai kegiatan RT (baru (semacam kegiatan) tahlilan aja sih), saya juga sering nongkrong di sebuah warung yang menjadi “pusat kebudayaan” di sana. Di situ hampir semua teman saya nongkrong, teman-teman yang dianggap sebagai tukang kudeta. Setahun terakhir memang saya tidak akrab bersama mereka.

Suasana ekonomi susah memang bisa dirasakan ketika kita memasuki warung itu. Citra pemda Jombang yang kian bersinar tidak bisa menutupi kenyataan seperti itu. Orang-orang yang dikenal dengan retorika-retorika revolusi untuk perubahan dituntut menghadapi permintaan solusi kongkret. Suatu hari memang salah satu teman saya menagih solusi itu di hadapan teman-teman lain, dengan nada bercanda sedikit serius.

“Gimana ini, Joz, solusinya?” tanyanya.

Waktu itu saya jawab bahwa kita harus memikirkan ini bersama-sama. Saya juga kepikiran untuk menawarkan pinjaman dari Koperasi Khozanah, salah satu koperasi yang saya ikuti. Namun mengingat track record K yang sudah pernah meminjam dari (so called) Bank Desa, saya jadi urung. Apalagi saya mikir, Koperasi Khozanah juga saya pikir tidak bijak dengan tidak adanya program pembinaan terhadap anggotanya, hal yang saya kritik dari dulu sehingga saya juga ragu untuk meminjam modal dari mereka. Maka solusi itu saya urung tawarkan pada K.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk terus nongkrong dan jajan di warung K. Toh, saya pikir, itu termasuk sebuah pertolongan karena membantu K mendapat pemasukan, meskipun memang tidak seberapa. Tapi begitulah saya memaknai perlawanan terakhir kita terhadap neraka di dunia ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar