Jumat, 05 Agustus 2016

Memaknai Kerja Kembali



Notes ini ditulis seperti racauan, karena penulisnya baru bangun tidur. 

Dalam nyinyiran masyarakat post-modern, kerja dimaknai sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup. Kita dituntut kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kerja sudah menjadi lakon wajib manusia bersama lahir, membayar tagihan dan mati (born, work, pay the bills, die). Apakah kita bisa memilih kerja yang sesuai dengan kehendak kita pada masyarakat kapitalisme? Bisa, namun hal itu bakal menjadi sesuatu yang sulit.
Apakah selamanya kerja dimaknai dengan keterpaksaan untuk bertahan hidup? Ternyata ada yang berpendapat sebaliknya. Ini mengacu pada sejarah peradaban manusia menurut orang-orang marxis. Sebelum masyarakat kapitalisme lahir dan berkembang, ada era-era tertentu dimana manusia memaknai kerja dengan sangat berbeda dengan hari ini. Sepengetahuan saya, kerja tidak hanya aktivitas untuk mencari uang yang akan ditukarkan untuk kebutuhan hidup, namun kerja juga dimaknai sesuatu hal yang natural (sifat alamiah) bagi manusia.

Apa yang dihasilkan kerja untuk manusia? Dalam kajian marxisme sendiri ada yang disebut nilai pakai. Contohnya seperti petani bekerja di sawah untuk menumbuhkan padi dan hasilnya menjadi beras yang mempunyai nilai pakai untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat manusia (dari sini penulis membaca-baca lagi teks para marxis untuk teori nilai). Air bersih mempunyai nilai pakai untuk kebutuhan minum manusia. Hasil-hasil kerja manusia ini disebut Marx sebagai komoditas, jadi manusia bekerja menghasilkan komoditas.

Elemen komoditas yang kedua adalah nilai-tukar, yaitu nilai yang muncul saat pertukaran komoditas. Misalnya nilai-tukar sekarung beras sama dengan 5 slop rokok. (Penulis belum paham sepenuhnya, namun berpikir bahwa) beras dan 5 slop rokok sama-sama merupakan pencurahan sejumlah kerja tertentu. Misalkan untuk memproduksi berasa perlu waktu 3 bulan hingga panen. Untuk memproduksi 5 slop rokok perlu seminggu kerja. Dan kerja inilah yang menurut para marxis yang menentukan nilai dalam komoditas. Kerja adalah intinya.


(Dari sini penulis tidak ingin menulis sesuatu yang tidak dipahaminya).

Marx sendiri berpendapat bahwa segala bentuk jual-beli dan roda ekonomi tidak menghasilkan laba/profit/keuntungan. Karena masyarakat pasar sendiri adalah penjual dan juga pembeli. Contohnya: seorang petani menjual beras di pasar, namun ia juga membeli beras di pasar untuk memenuhi kebutuhan makannya. Atau seorang nelayan menjual ikan hasil tangkapannya di pasar, namun ia juga membeli ikan di pasar untuk kebutuhan lauk pauk di rumahnya. Hal ini sebenarnya diterangkan panjang lebar oleh Marx dengan segala teorinya. 

Nah dengan meyakini bahwa segala aktivitas pertukaran tidak menghasilkan laba, lalu darimana laba itu berasal? Marx percaya (dengan segala argumen dan teorinya) bahwa laba itu diambil dari kerja para buruh. Kapitalis sendiri memang yang selalu mendapatkan laba. Istilah kapitalis dialamatkan pada orang-orang yang memiliki alat produksi secara pribadi, misalnya pemilik pabrik, pemilik sawah, pemilik tanah, dan sebagainya. Para kapitalis membeli tenaga kerja dari buruh, sedangkan buruh menjual tenaga kerjanya pada para kapitalis.

Bagaimana bisa laba diambil dari kerja para buruh? Bila kita mengambil produksi jagung misalnya. Seorang buruh bisa menghasilkan 20 jagung dalam sehari. Namun kebutuhan hidup seorang buruh akan jagung adalah 10 buah dalam sehari. Nah selisih 10 jagung inilah yang akan diambil kapitalis yang dirubah menjadi laba.
Selama laba atau nilai-lebih yang dihasilkan oleh buruh masih ‘dirampok’ oleh kapitalis, maka masyarakat sendiri akan menganggap kerja sebagai sebuah keterpaksaan demi melanjutkan hidup. Seolah-olah manusia seperti mesin saja.

Dibalik Kerja Sesuai Passion

Dalam masyarakat kontemporer ada pula yang berpendapat bahwa manusia dibebaskan untuk memilih (free will), bekerja dengan keterpaksaan atau bekerja dengan passion. Passion sendiri berarti bekerja dengan semangat dan gairah yang meluap-luap tak pernah berakhir. Kedengaran seperti sesuatu hal yang menyegarkan dan menjadi solusi akan hidup yang dipenuhi perasaan tidak ikhlas.

Namun bila kita mengikuti teori dan pendapatnya Marx, maka bila kita masih tidak memperoleh hasil kerja berupa nilai-lebih maka selamanya kita akan dikutuk untuk bekerja. Sedangkan bila kita bekerja sesuai dengan gairah dan keinginan kita namun tetap di bawah naungan kapitalis, maka selamanya kita membiarkan ‘perampokan’ nilai-lebih tersebut merajalela.

 Lalu apa yang harus kita bangun dan pemaknaan apa yang harus kita tanamkan saat kita menjalani hidup kita ini? Kita harus bersabar ketika mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat limpahan rejeki. Atau mungkin kita merebut kembali apa yang menjadi ‘laba’ kita. Atau mungkin tawaran dari Karl Marx sendiri, bekerja sesuai dengan kapasitas dan mengambil barang-barang sesuai kebutuhan. Tapi pada intinya, mari kita membangun surga di dunia, tidak usah menunggu lama-lama untuk mendapatkan surga di akhirat.


Daftar Pustaka

Suryajaya, Martin; Teori Nilai-Kerja Karl Marx http://www.prp-indonesia.org/2012/teori-nilai-kerja-karl-marx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar