Notes ini ditulis seperti racauan, karena penulisnya baru
bangun tidur.
Dalam nyinyiran masyarakat post-modern, kerja dimaknai
sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup. Kita dituntut kerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Kerja sudah menjadi lakon wajib manusia bersama lahir,
membayar tagihan dan mati (born, work, pay the bills, die). Apakah kita bisa
memilih kerja yang sesuai dengan kehendak kita pada masyarakat kapitalisme?
Bisa, namun hal itu bakal menjadi sesuatu yang sulit.
Apakah selamanya kerja dimaknai dengan keterpaksaan untuk
bertahan hidup? Ternyata ada yang berpendapat sebaliknya. Ini mengacu pada
sejarah peradaban manusia menurut orang-orang marxis. Sebelum masyarakat
kapitalisme lahir dan berkembang, ada era-era tertentu dimana manusia memaknai
kerja dengan sangat berbeda dengan hari ini. Sepengetahuan saya, kerja tidak
hanya aktivitas untuk mencari uang yang akan ditukarkan untuk kebutuhan hidup,
namun kerja juga dimaknai sesuatu hal yang natural (sifat alamiah) bagi manusia.
Apa yang dihasilkan kerja untuk manusia? Dalam kajian
marxisme sendiri ada yang disebut nilai pakai. Contohnya seperti petani bekerja
di sawah untuk menumbuhkan padi dan hasilnya menjadi beras yang mempunyai nilai
pakai untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat manusia (dari sini penulis
membaca-baca lagi teks para marxis untuk teori nilai). Air bersih mempunyai
nilai pakai untuk kebutuhan minum manusia. Hasil-hasil kerja manusia ini
disebut Marx sebagai komoditas, jadi manusia bekerja menghasilkan komoditas.
Elemen komoditas yang kedua adalah nilai-tukar, yaitu nilai yang muncul saat pertukaran komoditas. Misalnya nilai-tukar sekarung beras sama dengan 5 slop rokok. (Penulis belum paham sepenuhnya, namun berpikir bahwa) beras dan 5 slop rokok sama-sama merupakan pencurahan sejumlah kerja tertentu. Misalkan untuk memproduksi berasa perlu waktu 3 bulan hingga panen. Untuk memproduksi 5 slop rokok perlu seminggu kerja. Dan kerja inilah yang menurut para marxis yang menentukan nilai dalam komoditas. Kerja adalah intinya.
(Dari sini penulis tidak ingin menulis sesuatu yang tidak
dipahaminya).
Marx sendiri berpendapat bahwa segala bentuk jual-beli dan
roda ekonomi tidak menghasilkan laba/profit/keuntungan. Karena masyarakat pasar
sendiri adalah penjual dan juga pembeli. Contohnya: seorang petani menjual
beras di pasar, namun ia juga membeli beras di pasar untuk memenuhi kebutuhan
makannya. Atau seorang nelayan menjual ikan hasil tangkapannya di pasar, namun
ia juga membeli ikan di pasar untuk kebutuhan lauk pauk di rumahnya. Hal ini
sebenarnya diterangkan panjang lebar oleh Marx dengan segala teorinya.
Nah dengan meyakini bahwa segala aktivitas pertukaran tidak
menghasilkan laba, lalu darimana laba itu berasal? Marx percaya (dengan segala
argumen dan teorinya) bahwa laba itu diambil dari kerja para buruh. Kapitalis
sendiri memang yang selalu mendapatkan laba. Istilah kapitalis dialamatkan pada
orang-orang yang memiliki alat produksi secara pribadi, misalnya pemilik
pabrik, pemilik sawah, pemilik tanah, dan sebagainya. Para kapitalis membeli
tenaga kerja dari buruh, sedangkan buruh menjual tenaga kerjanya pada para
kapitalis.
Bagaimana bisa laba diambil dari kerja para buruh? Bila kita
mengambil produksi jagung misalnya. Seorang buruh bisa menghasilkan 20 jagung
dalam sehari. Namun kebutuhan hidup seorang buruh akan jagung adalah 10 buah
dalam sehari. Nah selisih 10 jagung inilah yang akan diambil kapitalis yang
dirubah menjadi laba.
Selama laba atau nilai-lebih yang dihasilkan oleh buruh
masih ‘dirampok’ oleh kapitalis, maka masyarakat sendiri akan menganggap kerja
sebagai sebuah keterpaksaan demi melanjutkan hidup. Seolah-olah manusia seperti
mesin saja.
Dibalik Kerja Sesuai Passion
Dalam masyarakat kontemporer ada pula yang berpendapat bahwa
manusia dibebaskan untuk memilih (free will), bekerja dengan keterpaksaan atau
bekerja dengan passion. Passion sendiri berarti bekerja dengan semangat dan
gairah yang meluap-luap tak pernah berakhir. Kedengaran seperti sesuatu hal
yang menyegarkan dan menjadi solusi akan hidup yang dipenuhi perasaan tidak
ikhlas.
Namun bila kita mengikuti teori dan pendapatnya Marx, maka
bila kita masih tidak memperoleh hasil kerja berupa nilai-lebih maka selamanya
kita akan dikutuk untuk bekerja. Sedangkan bila kita bekerja sesuai dengan
gairah dan keinginan kita namun tetap di bawah naungan kapitalis, maka
selamanya kita membiarkan ‘perampokan’ nilai-lebih tersebut merajalela.
Lalu apa yang harus kita bangun dan pemaknaan apa yang harus
kita tanamkan saat kita menjalani hidup kita ini? Kita harus bersabar ketika
mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat limpahan rejeki. Atau mungkin
kita merebut kembali apa yang menjadi ‘laba’ kita. Atau mungkin tawaran dari
Karl Marx sendiri, bekerja sesuai dengan kapasitas dan mengambil barang-barang
sesuai kebutuhan. Tapi pada intinya, mari kita membangun surga di dunia, tidak
usah menunggu lama-lama untuk mendapatkan surga di akhirat.
Daftar Pustaka
Suryajaya, Martin; Teori Nilai-Kerja Karl Marx http://www.prp-indonesia.org/2012/teori-nilai-kerja-karl-marx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar