Melibatkan diri di lapangan atau dalam kenyataan adalah belajar memahami bahwa kenyataan tidaklah semudah dan sehitam-putih teori ideologi apa pun, belajar mempengaruhi tanpa memaksakan kehendak, belajar membaur tanpa meninggalkan prinsip, belajar terbiasa bahwa orang sering memilih kesalahan yang nyaman ketimbang kebenaran yang menakutkan, belajar menguji teori dalam kenyataan dan lapang dada saat teori tak sesuai dengan kenyataan, dan yang terpenting: belajar bahwa pencapaian-pencapaian sekecil apa pun yang dibangun dengan tangan sendiri di tanah sendiri terasa jauh lebih bermakna ketimbang cerita-cerita sempurna di ujung langit yang toh tak pernah kita lakukan sendiri.
Keputusan saya untuk mengikuti berbagai aktivis kiri di
social media setahun ini, membawa saya pada beberapa hal yang bisa diceritakan.
Di Indonesia sendiri, Kiri identik dengan gerakan komunis. Ini tak lepas
sejarah panjang dan fenomenal dari Partai Komunis Indonesia yang bahkan dimulai
sebelum negara ini berdiri.
Namun saya tak berhenti di komunisme, tapi juga mulai
belajar sosialis-sosialis yang lain. Mempelajari gerakan-gerakan yang
disebut-sebut sebagai keberhasilan proyek-proyek sosialis membawa saya pada
kepercayaan pada gerakan bersenjata. Tidak ada perubahan tanpa revolusi
bersenjata, begitu keyakinan saya, diilhami oleh gerakan Chiapas (Meksiko),
revolusi Kuba, dan revolusi Rojava yang sedang berlangsung.
Namun saya sadar gerakan bersenjata haruslah dengan
perhitungan yang matang. Sejarah berbicara, kudeta gagal PKI tahun 1926
berakibat jauh lebih mengerikan. Begitu pula yang terjadi pada tahun 1965. Dan
baru-baru ini hal mengerikan terjadi di Turki, ketika rezim Erdogan membalas
kudeta gagal dengan hal yang jauh mengerikan.
Alasan
Apa yang membuat saya tertarik dengan gerakan kiri? Saya
tidak tahu bagaimana awalnya, namun belakangan ini saya berpikiran semua ini
karena rasa kepedulian. Rasa kepedulian ini tidak datang dari langit, tapi
ditanamkan oleh lembaga pendidikan saya sejak sekolah menengah (pesantren).
Rasa kepedulian terhadap orang-orang kalah, rasa kepedulian terhadap masyarakat,
rasa kepedulian terhadap tanah air.
Cukup ironis sebenarnya, belakangan setelah saya mempelajari
gerakan kiri, saya baru menyadari bahwa lembaga pendidikan yang selama ini
menanamkan “rasa kepedulian” ini mengarah pada fasisme. Dan saya masih
kesusahan untuk keluar dari lingkaran ini.
Tapi memang tidak bisa tidak diakui bahwa peran lembaga
pendidikan ini memang yang menyambungan saya dengan apa yang dicita-citakan
oleh gerakan kiri. Yaitu membuat dunia menjadi lebih baik.
Akar Rumput
Isu yang lagi hangat dibicarakan oleh gerakan kiri hari ini
adalah mengorganisir di tingkat akar rumput. Di tengah ancaman terhadap
demokrasi, perebutan ruang hidup dan fasisme seperti Orde Baru bangkit kembali,
para intelektual kiri berlomba-lomba mengeluarkan fatwanya untuk mengorganisir
gerakan akar rumput. Contohnya bagaimana intelektual-intelektual ini gagal
mendapat simpati masyarakat ketimbang organisasi-organisasi anti-demokrasi dan
partai-partai borjuis yang memang turun langsung mengambil simpati masyarakat.
Buat apa merasa marah dan kecewa karena masyarakat lebih memilih para serigala,
kalau kita tidak terjun langsung ke masyarakat, begitu intinya.
Maka dari itu bagi generasi yang tumbuh besar pasca orde
baru seperti saya, tumbuh besar dengan masyarakat kapitalistik, berpaham
individualistik, tercengang dengan kehidupan borjuis, turun ke bawah dan
bergabung dengan masyarakat menjadi hal yang sangat berat sekali. Beneran.
Serius.
Mengikuti kegiatan karang taruna, berjaga pos ronda, ikut
tahlilan atau membangun perpustakaan desa adalah hal yang sangat asing bagi
generasi millenial seperti saya. Hal yang tak pernah diajarkan, bahkan oleh
lembaga pendidikan saya yang bisa disebut tradisional. Mengecewakan memang,
tapi mau bagaimana lagi hampir semua seperti itu (bahkan adik perempuan saya!).
Karena asing dan merasa buta dengan apa yang harus
dilakukan, pada akhirnya usaha-usaha ini bisalah disebut dengan otodidak.
Apalagi tanpa teman-teman yang tidak memiliki pemahaman dan cita-cita yang
sama. Memang ada yang sama, namun mereka telat menyadari bahwa mengorganisir
gerakan akar rumput adalah fatwa wajib ain bagi gerakan kiri. Jadinya kegiatan
otodidak ini hanya eksperimen-eksperimen yang tak tahu apakah akan menjadi
sesuatu yang efektif untuk melawan musuh.
Sekedar membagi argumen-argumen gerakan rumput (entah apalah
namanya) yang sedang saya coba. Pertama, menolak kompartementalisme. Ini
artinya tidak melulu tukang puisi harus membuat puisi, selebtwit hanya
mengetwit, youtubers hanya membuat vlog, penulis hanya menulis dan organisator
hanya mengorganisir. Jadi harus ada fleksibilitas seperti penjaga warung kopi
yang lagi belajar membuat vlog.
Kedua, adalah memberi solusi kongkret dan cepat pada
masyarakat yang sedang tertindas. Ini hal yang baru bagi saya sebenarnya.
Sempat merefleksikan juga beberapa kegiatan yang akan saya adakan, apakah memang
bermanfaat langsung dan menjawab masalah masyarakat atau malah sebaliknya.
Kedua argumen itu ditawarkan oleh kawan-kawan anarko. Mereka
yang sepertinya menjadi gelombang baru gerakan anti-otoritarian hari ini.
Ngomong-ngomong, setelah mengkurasi zine-zine anti-otoritarian, saya baru
nyadar: pasca reformasi gerakan anti-otoritarian sempat aktif sekali (namun
tidak tumbuh di pulau jawa) memberi sumbangan pemikiran-pemikiran alternatif.
Ada satu hal yang saya percaya dan belum tergoyahkan:
pendidikan adalah kunci. Pendidikan juga menurut saya berhubungan dengan
kesadaran diri dan apa yang sedang terjadi. Pendidikan pula yang membuat
masyarakat bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Jadi mencerdaskan bangsa
adalah harga mati.***
Post script: sebenarnya ingin menambah link-link bacaaan
lebih lanjut, namun ternyata tidur siang lebih ena~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar