Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Juli 2016

Wonosalam Kilometer Dua Belas


“Just for today, how about we forget about tomorrow, and go somewhere?” (Shinichiro Watanabe)

Sedari tadi jam istirahat belum berakhir juga. Entah mengapa waktu berjalan dengan lamban hari ini. Mungkin waktu telah ditubruk oleh truk dan kakinya hanya bisa berjalan tertatih-tatih. Atau mungkin ia sedang belajar berjalan dengan kursi roda, siapa tahu?
“Icha?”
“Eh. Iya? Ada apa?”
Tumben sekali Doni menegur, pikirku.
“Yuk, pergi ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Kemana aja.”
“Sekarang?”
“Iyalah.”
“Maksudnya... Membolos?”
“Tepat sekali!” Doni mengatakannya seperti pembaca acara kuis menebak lagu itu, hanya saja rambutnya tidak dioles pomade.
“Kenapa.. maksudku, beri aku alasan kenapa harus membolos?”
“Aku ingin sesekali ingin tahu bagaimana rasanya membolos.”

Dan di sinilah kita berdua berjalan sambil menenteng tas sekolah masing-masing menyusuri trotoar dengan rumput liar menghiasi sepanjang jalan, entah apa yang dilakukan Dinas Kebersihan Pemerintah selama ini. Karena pada jam sekolah gerbang sekolah selalu terkunci, maka Doni mengajakku keluar melompati pagar beton sekolah yang cukup tinggi. Aku tampak ragu, namun Doni terus merayu, akhirnya aku berhasil melewatinya disertai hati yang berdebar-debar. Menaiki satu persatu anak tangga kayu yang cukup curam, lalu setelah sampai di atas beton yang sedikit berlumut (beruntung tak beling-beling tajam yang disusun di atasnya!), aku melompatinya dengan berteriak histeris.
Aku terjatuh di sebuah gundukan pasir yang tercampur dengan debu dan tanah, Doni tersenyum geli melihatku seraya membantuku berdiri. Kini kami berdua berada sebuah tanah kosong yang tak terawat, sebenarnya tidak kosong-kosong amat, ada kerangka rumah yang telah habis dilalap api, rumput-rumput liar yang kering dan papan yang bertuliskan “TANAH MILIK NEGARA. DILARANG MASUK.” Kami berdua melewati tanah kosong itu dengan mudah karena ada jalan setapak kecil menuju jalan raya di depannya, dan menyusuri trotoar di depannya. Doni bercerita bahwa ini adalah jalan keluar favorit teman-temannya ketika membolos.
***
Doni adalah temanku sejak kecil. Jarak rumahku dan rumahnya hanya dipisahkan oleh sebuah rumah milik seorang pensiunan tentara. Waktu kecil kami berdua bersama anak-anak kompleks rumah sering bermain bersama di halaman rumahnya. Selisih umur kami berdua cuma setahun, namun aku selalu menganggapnya lebih tua, begitu juga dengan teman-teman masa kecil kami yang lain terhadapnya. Ditambah sifatnya yang aktif sekali, jiwa kepemimpinannya bersinar diantara kelompok bermain. Kedua matanya memancarkan sorot mata yang penuh semangat dan bahagia. Hal inilah yang membuatku kagum terhadapnya sejak kecil.
Ketika aku beranjak remaja,  aku disibukkan oleh les-les yang didaftarkan oleh ibuku. Hal ini membuat kami berdua hampir tak pernah bertemu satu sama lain. Namun aku selalu terbelenggu oleh perasaan rinduku. Kadang saat aku hendak berangkat les sore, aku masih melihatnya duduk-duduk santai bersama salah satu temannya di depan rumah. Momen-momen inilah yang sangat aku tunggu. Kadang ketika ia melihatku, ia menegurku dan melambaikan tangan dengan tersenyum, namun seringkali ia tak berada di sana. Apalagi sejak ayahnya meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan bermotor (pembunuh nomor satu di jalanan!), aku hampir tak pernah melihatnya. Namun saat aku melihatnya, ada sorot mata yang berubah dari dirinya.
“Kau tau.. Kukira kau anak yang tidak biasa melakukan hal-hal seperti ini.”
“Tidak salah,” jawab Doni. “Aku memang tidak pernah membolos.”
“Memang kita akan kemana?”
“Kau mau kemana?”
“Menonton bioskop mungkin?”
Dia tertawa. “Terlalu mainstream.”
“Kau ingin yang tidak mainstream? Membom istana presiden!” jawabku ketus.
“Ya, sepertinya ide bagus,” ia tergelak.
“Eh, aku tahu suatu tempat!” seruku padanya.
“Kemana?”
“Ada sebuah gua yang sering dibicarakan orang-orang saat ini. Letaknya di sebuah kecamatan di bagian utara kota ini.”
“Arah ke Surabaya?”
“Iya.”
Setelah cukup lama menunggu bis yang menuju ke Surabaya, kami berdua berhasil mencegatnya dan masuk ke dalamnya. Sampai Selamat, nama bis itu.  Udara AC langsung menyeruak menabrak wajahku menghasilkan rasa yang tak nyaman. Setelah berhasil mengendalikan diri, aku mengikuti Doni dari belakang dan duduk salah satu kursi yang terlihat empuk. Tak lama kemudian kondektur bis menghampiri kami berdua dan memasang tarif. Setelah itu beberapa kali pengamen masuk bis dan melewati kami dengan bungkus plastik bekas air mineral berisi beberapa lembar uang dan koin serta beberapa batang rokok.
Salah satu pengamen yang menarik perhatianku adalah sepasang suami-istri yang cukup tua. Suaminya berkacamata hitam, bertopi pemancing yang pudar, berkumis lebat, terlihat tidak bisa melihat, menenteng perangkat sound system portable dan bertugas bernyanyi.  Sedangkan istrinya selain menuntun suaminya berjalan juga bertugas berkeliling membawa bungkus plastik kepada para penumpang bis. Ia memakai topi yang sama dengan suaminya, hanya saja warnanya berbeda dan memakai kaos partai yang berwarna merah pudar. Yang membuat aku kagum adalah bahwa mereka seperti sudah tahu tugas mereka masing-masing, seperti melakukan repetisi-repetisi seperti itu sebelumnya. Namun apa kerja keras mereka terbayar?
Musik dangdut klasik mengalun dan sang suami mulai bernyanyi dengan penuh penghayatan. Tidak buruk, nilaiku. Maka ketika si istri menghampiri kami berdua, aku merogoh tasku, mencari koin-koin kembalian saat membeli minuman mineral saat di sekolah tadi dan memberikan semuanya. Tak lupa memberi senyum ketika aku bertatapan dengan si istri. Namun ia cepat menunduk dan berlalu begitu saja meninggalkan ucapan terimakasih yang datar.
***
Kami berdua turun di sebuah pertigaan yang cukup besar. Kami berdua harus mencari angkutan untuk pergi ke arah barat, dan Doni sedang bertanya kepada seorang tukang becak cara untuk mencapai tempat yang bernama Wonosalam. Dan ia kembali dengan hasil nihil.
“Tidak ada angkutan pada jam seperti ini.”
Aku memberinya sebuah botol air mineral, Doni membukanya dan meneguk air di dalamnya.
“Kita jalan kaki saja dulu, barangkali nanti ada tumpangan untuk ke sana.”
Kami berdua berjalan cukup jauh, menjauhi keramaian jalan raya dan masuk ke jalan sepi yang dipenuhi oleh sawah dengan kehijauan padi yang berusia sebulan. Kendaraan hilir mudik, namun tak ada yang menghiraukan kami. Lalu tiba-tiba Doni memiliki ide yang cukup ekstrim.
“Ada sebuah sepeda kayuh di sana, aku akan mencoba mencurinya.”
Lidahku seketika tercekat. Ketika ia mulai berbicara mengenai rencanya lebih lanjut, aku meneguk liurku.
“Pikirkanlah lagi, Don,” sahutku.
“Tidak ada cara lain. Kamu mau bertelanjang dan mencegat sebuah mobil di tengah jalan?”
Aku hampir menyetujui ide yang lebih ekstrim itu, namun ia sudah berlalu menghampiri sepeda kayuh yang tergeletak di pinggir sawah, kemungkinan itu milik petani yang sedang terlelap tidur siang. Aku memutuskan mengikutinya.
Aku pun diarahkannya untuk memperhatikan sekeliling, sedangkan ia beraksi mengambil sepeda itu dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa, Doni kemudian memboncengku menyusuri. Matahari sudah melewati tengah hari, meskipun panasnya hampir tidak berkurang sedikitpun.  Apakah aku sudah gila mendukung pencurian berencana? Entahlah, aku hanya lelah berjalan kaki, dan Doni melakukan hal yang tepat dengan memboncengku.
Bila Doni merasa lelah ia berhenti dan kami beristirahat barang sejenak. Sekali ia mencoba memegang tepian mobil berbak terbuka yang melewati kami sehingga roda sepeda tak perlu ia kayuh, namun dewi keberuntungan bersama kami ketika sang pengemudi mobil berhenti dan mengajak kami untuk naik ke bak mobilnya. Beruntungnya kami bertiga punya tujuan yang sama, Goa Sigolo-Golo.
***
Pengemudi mobilnya adalah seorang lelaki separuh baya yang pendiam. Setelah mengijinkan kami berdua untuk menumpang di mobil pick-up-nya, ia tak banyak bicara lagi setelah itu. Lagipula kami berada di bak terbuka mobilnya, sedangkan ia bersama seorang pemuda berada di belakang kemudi.
Doni bersandar sebisanya di bak mobil, terlihat mukanya penuh lelah. Langit semakin gelap, senja terlihat semakin menjingga, angin berhembus melayangkan tiap-tiap helai rambutku dan suara adzan sayup-sayup terdengar di setiap masjid.
Aku tak mendengar jelas apa yang dikatakan Doni, aku pun sedikit mendekat dan ia mengulangi ucapannya sekali lagi, kali ini lebih keras.
“Kau tidak masuk les hari ini?”
“Aku sudah bosan dengan les,” jawabku sekenanya.
Ia nyengir.
Lalu aku bertanya padanya, apa dia pernah mengikuti sebuah les dan ia menjawabnya, iya, tentu saja.
“Serius?? Memangnya kau ikut les apa?”
“Gitar.”
“Kau bercanda. Kok aku tidak pernah tau kau bisa bermain gitar,” jawabku tak percaya.
“Aku tidak semahir itu. Hanya bertahan sebulan.”
“Tidak bisa satu lagupun?”
“Mungkin hanya 1-2 lagu pop.”
“Raisa?”
“Bukan. Maudy Ayunda.”
“Coba mainkan untukku.”
“Sekarang??”
“Iya, sekarang.”
Ia nyengir dan menjanjikan kapan-kapan saja Maudy Ayunda-nya.
Sejenak ku berpikir tentang penyanyi muda itu. Sepertinya aku pernah menghafal salah satu lagu hits miliknya. Mencoba menyanyikan bagian reffrain-nya dan mengulanginya sebanyak dua kali. Dan aku tersadar bahwa semuanya kini terasa hening dan Doni memperhatikanku bernyanyi sejak tadi. Oh, Tuhan.
“Aku tak tau kamu punya suara emas,” pujinya.
“Bukan. Hanya suara penyanyi kamar mandi,” jawabku.
Kita berdua harus berduet, ajaknya kemudian yang aku iyakan saja.
Seketika itu pula mobil memelankan lajunya dan akhirnya benar-benar berhenti. Kami berdua tersadar telah sampai di lokasi dan memutuskan untuk turun, tak lupa sepeda kayuh Doni giring turun juga. Sang pengemudi, seorang lelaki paruh baya dengan kumis tipis menjelaskan bahwa kami hanya punya dua jam sebelum lokasi wisata ini tutup. Setelah mengucapkan terimakasih pada bapak pengemudi baik hati itu, kami bergegas untuk masuk setelah sebelumnya menitipkan sepeda kayuh pada tukang parkir di depan lokasi dan membayar tiket.
Kami menuruni sebuah lereng bukit dengan melewati satu-persatu anak tangga. Penerangan jalan benar-benar membantu kami melewati ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang kembali untuk pulang, saat itu aku sadar bahwa kami berdua masih mengenakan seragam sekolah. Setelah itu kami menemukan sebuah sungai kecil dengan kerikil-kerikil yang hampir tak terlihat. Lalu kami naik ke atas menaiki tangga menuju tempat yang disebut Bulu View.
Beberapa orang terlihat mengerumuni warung-warung kecil yang berjejeran, sebagian bercengkerama di dekat pagar hitam yang kelihatannya merupakan pengaman bagi pengunjung agar tidak terperosok ke bawah, lagipula ada tulisan “Dilarang Melewati Pagar” di sana.
Doni mengajakku mendekat ke pagar. Ada sebuah bangku panjang dari besi bercat hitam, dan ia mengajakku duduk di situ. Tak ada pemandangan alam yang bisa disaksikan karena malam, hanya ada suara gemericik air mengalir yang terus menerus menggema dari sungai kecil yang kami lewati tadi, juga sayup-sayup terdengar suara-suara obrolan manusia dan seseorang yang sedang menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dengan sebuah gitar buluk.
“Sayang sekali sudah malam, harusnya kita dimanjakan oleh pem..”
Ucapan Doni terputus ketika kami berdua dikejutkan oleh suara tembakan. Ternyata sekelompok pemuda menerbangkan kembang api ke udara. Kembang api itu meledak kembali di udara dan memecah menjadi puluhan percikan api yang melompat kesegala penjuru, lalu kemudian menghilang ditelan angin malam. Ledakan pertama disambut ledakan kedua dan seterusnya hingga semua kembang api telah ditembakkan ke langit. Langit pun selama beberapa saat dihiasi oleh indahnya warna-warni kembang api yang istimewa. Perasaanku kemudian menjadi hangat, mataku berbinar-binar dan senyumku merekah memandangi kembang api di langit.
“Kau mau lihat lagi?” Aku mengangguk. “Aku akan ke sana untuk membelinya.”
Ternyata ada kelompok yang memang khusus menyalakan kembang api di sana (“Sudah kebijakannya warga di sini,” kata mereka). Doni hanya membeli kembang apinya lalu mereka yang akan menyalakannya. Dan ternyata tidak Doni saja yang tertarik, namun seluruh pengunjung pada saat itu membelinya serentak. Tak ayal puluhan kembang api menghiasi langit malam silih berganti selama setengah jam.
Aku tiba-tiba bertanya-tanya, kapan terakhir aku melihat kembang api di langit terbuka seperti ini. Sepertinya hanya hari-hari istimewa aku melihat kembang api dinyalakan, tetapi apakah  hari ini hari yang istimewa? Adakah alasan untuk menyebut hari ini hari istimewa?
“Apa alasanmu sebenarnya membawaku kemari, Don?” tanyaku tiba-tiba.
Doni terdiam sebentar sebelum mengejutkanku dengan jawabannya.
“Aku akan pindah besok,” aku menoleh padanya. “Bersama orang tuaku. Ke pulau Kalimantan.”
Baiklah, kau akan pergi ke Kalimantan.
“Kau tau, seringkali orang yang berpindah tempat tinggal gampang sekali dilupakan,” Doni menunduk memperhatikan sepatu hitam yang dikenakannya, atau mungkin tanah berembun yang dipijaknya. “Beberapa waktu yang lalu temanku pindah ke luar kota, dan sekarang aku sulit sekali mengingatnya.”
Aku terus menatapnya.
“Barangkali jika aku membawamu ke sini, kau mungkin bisa..”
Kau ingin aku mengingatmu. Doni tak meneruskan kalimatnya.
“Kau tau, karena kita tinggal bertetangga, sebenarnya sejak kecil aku selalu.. mengagumimu.” Aku menunduk malu. “Tapi sekarang..”
“Kau sudah punya kekasih kan, anak kelas tiga.” ucap Doni.
“Kau sudah tahu ternyata..”
“Yah. Aku sering melihat kalian berdua.”
Apakah aku terkejut bahwa Doni sejak lama menyukaiku? Sangat. Ia pernah mematahkan hatiku saat aku tau seorang kakak kelas yang rupawan, idola satu sekolah waktu itu menjadi kekasihnya. Beberapa saat aku melihat mereka berjalan berdua, namun itu hanya beberapa saat sebelum satu sekolah kembali dikejutkan oleh kekasih baru kakak-kelas-yang-rupawan itu yang ternyata bukanlah Doni lagi.
Aku berencana melupakan Doni dengan segala luka yang tak sengaja ia goreskan cukup dalam di hatiku. Saat itulah seorang kakak kelas rupawan, salah satu mantan dari kakak kelas rupawan yang tadi aku ceritakan, kapten tim basket sekolah, ketua Rohis, sering menjadi imam di masjid, dan berderet-deret hal kepemimpinan yang lain lekat dengannya. Ia mendekatiku dan memberikan semua kebahagiaan sebagai seorang kekasih.
“Ayo pulang,” ajakku pada Doni.
***
Di dalam bis antar kota dalam provinsi, kami berdua duduk sedikit berjauhan sebelum ditegur oleh kernet bis yang meminta kami duduk bersebelahan karena bis akan mulai penuh sebelum memasuki kota Jombang. Suara Via Vallen mengalun dari pengeras suara menemani pembicaraan kami berdua.
“Kau sudah tahu apa yang akan kau katakan pada orang rumah?” tanya Doni.
“Aku sudah bilang bahwa ada teman yang kecelakaan saat sekolah, dan aku sedang menemaninya.”
“Cerdas sekali. Padahal aku tidak mengalami kecelakaan apapun.”
“Jam berapa kau akan berangkat besok?” tanyaku.
“Sekitar jam 10 siang kira-kira. Kau tidak perlu datang kok.”
“Oh. Baiklah.”
Meskipun aku tak khawatir dengan apa yang akan aku jelaskan kepada orang tuaku tentang hari ini, kami berdua tak tidur rumah malam itu.

***
Pengakuan: aku dan Doni diciduk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat perjalanan pulang.
Ini terjadi setelah kami sampai di jantung kota Jombang. Setelah kami berdua turun dari bis antar kota dalam provinsi, kami berdua menyusuri jalanan menuju ke arah stadion tanpa tahu bahwa ada bentrok antara aparat Satpol PP dengan pedagang kaki lima menghadang kami di depan. Asal kau tahu, lingkungan stadion di pulau Jawa selalu dipenuhi dengan pedagang kaki lima.
Aku akan menggambarkan keadaan pada malam itu. Jalanan sepi dari kendaraan bermotor, namun ramai dengan orang-orang yang tumpah ruah ke jalan sibuk melempari batu ke arah pagar betis polisi anti huru-hara. Batu-batu berbagai ukuran berserakan di tengah jalan, truk-truk polisi berjejeran parkir.
Di pihak massa, sekumpulan lelaki separuh sebaya dan bertelanjang dada menghadang para polisi dengan berucap kata-kata kasar dengan fasih berkali-kali. Ada yang kelihatan membawa sebuah pedang samurai, namun beberapa ada yang membawa balok kayu dan melempari polisi dengan batu.
Lalu yang paling mencolok adalah sekumpulan massa dengan berkostum hitam dengan tudung jaket hitam menutupi kepala dan bandana hitam menutupi wajah, namun ada beberapa orang yang memakai topeng tokoh V dalam film V for Vendetta. Mereka berdekatan satu sama lain sehingga tampak mencolok dari massa yang lain, massa barisan depan membawa sebuah spanduk besar bertuliskan jargon anti-kapitalisme yang hampir menutupi tubuh mereka. Beberapa dari mereka membawa balok kayu dengan bendera hitam di atasnya, suatu kali ketika sekumpulan polisi mendekati dan berusaha membubarkan mereka, balok kayu itu dipakai untuk membalas pukulan-pukulan dari tongkat besi polisi.
Massa-berpakaian-hitam inilah yang paling merepotkan polisi anti huru-hara. Itu karena selain mereka melempari polisi dengan batu, mereka juga melempari polisi dengan kembang api, mercon atau beberapa peledak dengan daya kecil berkali-kali. Hal ini membuatku tak bisa membedakan antara kerusuhan dengan perayaan tahun baru.
Pihak aparat negara sendiri terdiri berbagai unsur. Pihak Satpol PP yang gagal mengusir pedagang kaki lima berada di barisan paling belakang. Satpol PP sendiri berjumlah kecil dengan polisi anti huru-hara yang didatangkan kemudian. Tiga truk polisi berisi satuan polisi anti huru-hara datang dan bersiap-siap dengan peralatan mereka masing-masing. Pelontar gas air mata, senjata api dengan peluru karet, helm polisi, tameng polisi, pelindung lutut dan kaki, serta rompi anti peluru.
Karena terlalu asyik mengamati pertempuran jalanan itu, aku dan juga Doni tak tahu bahwa Satpol PP yang tampak menganggur sedari tadi menyisir daerah tempat aku dan Doni memperhatikan bentrokan. Kami berdua diinterograsi sebentar dengan wajah kebingungan, lalu diangkut ke mobil Satpol PP dan dibawa ke kantor mereka.
***
Apa yang terjadi di kantor Satuan Polisi Pamong Praja sesungguhnya tidak begitu mengkhawatirkan. Aku dan Doni, kami berdua sama-sama lelah karena seharian beraktivitas di tengah terik siang hari. Doni yang terlihat lelah (ia telah menghabiskan energinya dengan mengayuh sepeda dan memboncengku, tentu saja) dan menahan kantuk berat bahkan hampir tak peduli bahwa ia berada di kursi pesakitan Satpol PP, bahkan ia sempat tertidur di mobil saat perjalanan kemari. Aku pun sama saja. Pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan oleh petugas yang mendata kami berdua harus diulang beberapa kali karena aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan akibat menahan kantuk.
Petugas yang meladeni kami pun sama-sama tak pedulinya. Seorang bapak separuh baya dengan kepala pelontos dan badan tambun. Ia terlihat ogah-ogahan mencatat jawaban-jawaban dari kami berdua sejak awal. Entah karena mengantuk, kelelahan karena harus bentrok selama berjam-jam sejak sore, aku tak bisa menduganya. Lagipula aku juga tak peduli.
Seteah pendataan, kami sebenarnya diperbolehkan pulang namun harus dijemput oleh orang tua. Aku terpaksa menelepon rumah, ibu yang mengangkatnya. Setelah berusaha tetap terjaga dengan mendengarkan suara keras yang berasal dari kemarahan ibu, aku menutup telepon kantor yang dipinjamkan petugas. Sebelum bapak-berkepala-pelontos-berbadan-tambun meninggalkan kami berdua, ia sempat berceletuk:
“Kalau mau membolos, usahakan jangan memakai seragam sekolah.”
Malam semakin larut. Ketika aku meliriknya, jam menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana kantor Satpol PP sangat sepi, karena aku bisa mendengar suara acara televisi dengan sangat jelas. Kami berdua dititipkan kepada petugas piket jaga malam itu. Ruang piket jaga cukup lengang, Doni bahkan sudah menemukan tempat berbaring dan tertidur pulas setelahnya. Aku cukup duduk di sebuah kursi dengan kepala bersender pada sebuah dinding, memandang kosong jalanan menanti ayahku datang.
Acara televisi menampilkan film horror Susana. Entah berapa kali film itu ditayangkan kembali, namun orang-orang sepertinya tidak menampakkan tanda-tanda kebosanan untuk melihat sosok Susana dalam layar kaca. Suaranya yang khas dan tatapannya yang menusuk, dia memang tak tergantikan. Layar televisinya padahal cukup kecil, namun bapak petugas piket jaga terlihat sangat khusyuk menontonnya. Aku sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang mencoba menghisap darah perempuan ini, namun sepertinya sia-sia belaka. Tiba-tiba aku jadi ingin membasuh muka.
Bapak petugas piket jaga berbaik hati dan rela terganggu acara menontonnya untuk mengarahkanku letak kamar kecil kantor setelah aku bertanya padanya.
“Lurus aja, mbak. Ada lemari hitam, di sebelahnya.”
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih sebelum aku melangkah sesuai arahannya. Tidak terlalu sulit menemukannya, ada sebuah lemari hitam berbahan besi berada tepat di sebelah lorong masuk kamar kecil. Aku berdiri menatap cermin yang cukup besar menempel di dinding. Sedikit terkejut melihat tampilanku yang begitu kusut namun aku cukup bisa menjaga kesadaranku. Sempat-sempatnya aku teringat Chairil Anwar, si pujangga.
Ini muka penuh luka, siapa punya?
Teman-temanku dalam seminggu terakhir asyik mempelajari puisi Chairil Anwar berjudul Selamat Tinggal. Ini tak diayal akibat salah seorang musisi indie favorit kami mengunggah rekaman terbarunya di kanal platform musik gratis miliknya, menggubah puisi si pujangga menjadi lagu favorit baru bagi kami semua. Akhirnya kami menyetelnya berulang-ulang hingga hafal di luar kepala.
Aku memutar kran pada wastafel dan air segera mengalir terkumpul di kedua telapak tanganku. Genangan air itu langsung saja kubasuhkan ke wajah. Aku mengulangi kegiatan itu berulang kali hingga aku merasa cukup untuk membuatku terjaga sampai ke rumah. Setelah itu aku menutup kran lalu merapikan penampilanku seperlunya dan keluar dari kamar kecil.
Ayah ternyata datang sendirian. Ia kemudian menjelaskan padaku bahwa ia melarang ibu untuk ikut karena cuaca malam tidak baik untuk kesehatannya. Aku sedikit bersyukur mendengarnya sekaligus bergidik membayangkan apa yang akan terjadi sesudah tiba di rumah. Ayah ternyata tau kekhawatiranku, ia berusaha menenangkanku dengan mengatakan semuanya-baik-baik-saja-tidak-perlu-ada-yang-dikhawatirkan-ayah-tidak-marah-padamu berulang kali kepadaku.
Mau tidak mau, ayah harus mengantarkan Doni pula, karena orang tua Doni sudah berada di Kalimantan. Doni kini menjawab bercakap-cakap dengan ayahku dengan sikap sigap dan jelas, seolah-olah kesadarannya dan staminanya tidak hilang sama sekali.
Aku duduk di kursi depan, di samping ayah yang berada di belakang kemudi, sedangkan Doni berada di kursi belakang. Posisi ini membuat aku tak bisa menatap wajah Doni dan segan pada ayah untuk mengajak Doni bercakap-cakap. Namun akhirnya aku bisa mengendalikan keadaan dan bertanya padanya.
“Don, kau jadi berangkat besok siang?”
“Antara iya dan tidak sebenarnya,” jawabnya ragu. “Aku lebih ingin istirahat total besok.”
Lalu ayah bertanya pukul berapa Doni berangkat, dan Doni menjawab persis dengan yang ia sampaikan padaku.
“Apa tiketmu tidak hangus?”
“Hanya tiket keretaku yang hangus, karena aku belum membeli tiket kapal.”
Percakapan kemudian diisi dengan hal-hal teknis mengenai dunia per-kereta-api-an di Indonesia. Ayah juga sempat bercerita pengalamannya memakai transportasi umum seperti kereta api dan kapal.
“Rencanamu berangkat kapan, Don?” tanyaku.
“Belum tahu,” jawabnya. “Tapi aku akan memberitahumu bila aku berangkat.”
***
Ketika masuk sekolah, adalah Indah yang pertama kali memberondongku dengan pertanyaan tentang kegiatan membolosku. Ia satu-satunya temanku yang mengetahuiku membolos bersama Doni. Ia sempat merengek-rengek untuk ikut membolos, namun aku melarangnya. Sepertinya Indah memutuskan membalas laranganku sebelumnya dengan meminta ceritaku dengan sedetil-detilnya, tentunya aku meladeninya ketika kami berdua sedang berdua saja.
Aku menceritakan semuanya pada Indah, tentang pencurian sepeda, tentang kepindahan Doni yang mendadak, juga tentang kerusuhan dan kantor Satpol PP. Ia khusyuk menyimak seperti mendengarkan seorang nabi yang sedang menyampaikan wahyu, atau mungkin gaya berceritaku yang sungguh nikmat untuk didengarkan.
Aku sebenarnya masih lelah dan mengantuk berat. Meladeni Indah pun dengan konsentrasi yang rendah, banyak omonganku yang tak nyambung. Namun terpaksa aku meladeninya, karena bila tidak, ia akan menuntutku seterusnya.
Ngomong-ngomog, aku tidak menemukan Doni di sekolah selama tiga hari selanjutnya. Seluruh teman-temannya yang aku kenal tidak melihatnya dimanapun. Bagaimana bisa seorang Doni bisa menghilang tanpa memberi kabar pada teman-temannya? Ini aneh. Tapi mungkinkah Doni yang kukenal masa kecil bukanlah Doni yang sekarang yang seringkali menutup dirinya?
Rumahnya pun tertutup rapat dan kelihatan sangat sepi. Aku dengar dari ibu bahwa rumah itu akan dijual oleh ibunya Doni. Ternyata ibunya Doni sempat berpamitan dengan ibuku, beliau bilang bahwa beliau akan menyusul suami barunya yang masih berdinas di pulau Kalimantan. Entah kemana Doni pergi. Jika dia sudah menyusul ibunya, untuk apa dia berjanji padaku akan memberitahuku kapan ia akan berangkat?
Indah adalah satu-satunya temanku yang paling kupercaya. Sudah dua tahun ini kami mengenal, saling bercerita dan berbagi suka dan duka sebagai orang remaja. Tentunya tak ada hal yang dapat kututup-tutupi darinya, ia selalu bisa mendapatiku ketika berbohong padanya.
“Cha, kau jelas ada perasaan dengan si Doni ini kan?” tuduh Indah tiba-tiba.
“Tidak mungkin,” jawabku menampik. “Aku sudah punya kekasih, Indah.”
“Nah, itu maksudku. Kau berlaku tak adil pada Arman,” tuduh Indah kembali. “Kau tak bisa membohongiku, Icha.”
“Sebenarnya, aku bertengkar dengan dia,” akuku pada Indah.
Pertengkaran aku dan Arman terjadi di sekolah. Kalau bisa dibilang, ini pertengkaran pertama kami berdua sebagai kekasih. Sekembalinya aku dari interograsi Indah, tak sengaja aku bertemu Arman. Ia ternyata sejak jam istirahat mencariku. Kami berdua berbicara di sudut sekolah. Arman tau bahwa aku membolos bersama Doni di hari sebelumnya, dan waktu itu aku terlalu mengantuk sehingga aku malah balik marah kepada Arman. Kami berdua pun tak bisa mengontrol emosi kami yang meledak.
“Aku tau kamu pergi sama Doni kemarin, Cha,” ujar Arman. “Jelaskan kepadaku.”
“Nggak ada yang perlu dijelasin,” jawabku datar. “Kita berdua nggak ada hubungan apa-apa.”
“Apanya yang gak ada?! Jangan bohong kamu, Cha,” nada bicara Arman meninggi.
“Kamu jangan teriak-teriak gitu dong,” jawabku ketus.
“Aku berhak marah dong sama kamu,” ia tak mau kalah.
“Pembicaraan ini selesai. Aku kecewa sama kamu.”
Aku berbalik pergi meninggalkan Arman yang masih tak percaya dengan perlakuanku.
“Eh, Cha. Kamu mau kemana??”
Dan ia terus memanggil namaku berulang kali, namun aku tak bergeming dan berjalan lurus ke depan.
***
Di hari keempat sejak ‘hilang’nya Doni, Teguh, salah satu teman Doni yang paling dekat dengannya sejak kecil menemuiku di sekolah. Ia mendatangi kelasku saat jam istirahat pertama. Ternyata Teguh membawa kabar dari sahabatnya itu. Awalnya ia bertanya, apa Doni sudah menemuiku, namun aku menggeleng.
“Karena sedari kemarin kamu mencari-cari Doni, aku kayaknya harus mengakui sesuatu denganmu,” terang Teguh. “Tadi malam aku bertemu dengannya, dan ia bilang akan berangkat ke Surabaya lewat kereta siang ini.”
Sebelum aku menyahut, Indah sudah menimpali, “Dia berangkat pukul berapa, Guh??”
“Kalau tidak salah, pukul sepuluh ini.”
Aku dan Indah melirik jam dinding kelas. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Masih ada satu setengah jam sebelum kereta Doni mampir ke stasiun Jombang dan berangkat ke Surabaya.
“Kamu masih bisa nyusul dia, Cha!” seru Indah menyemangatiku.
Aku tidak menghiraukan ucapan Indah. Aku masih terkejut Doni tidak memberitahuku, padahal ia sudah berjanji padaku.
Teguh pamit undur diri, tak lupa aku mengucapkan terimakasih padanya.
“Kamu tunggu apalagi, Cha??” tanya Indah tak sabaran.
“Aku malas berangkat, Indah,” timpalku.
“Jangan gitu. Kamu mungkin enggak akan ketemu Doni lagi,” Indah masih merayuku. “Aku antar deh ke stasiun.”
Maka dengan malas-malasan aku mengikutiku Indah ke tempat parkir untuk mengambil sepeda motor matiknya.
“Eh. Kita keluar lewat mana??” tanyaku tiba-tiba.
“Ya lewat depan dong, Cha,” jawab Indah enteng.
“Kalau dicegat satpam gimana??”
“Udah deh, beres. Serahin sama Indah.”
Dan seperti dugaanku, satpam sekolah mencegat kami berdua.
“Berhenti, berhenti,” cegat Pak Burhan, satpam sekolah. “Mau kemana, dek??”
“Ada urusan keluarga, Pak Burhan,” jawab Indah.
“Udah ijin sama kepala sekolah??”
“Sudah pak. Sudah diijinkan,” jawab Indah bohong.
Lalu Pak Burhan membuka gerbang jalan dan mempersilakan kami berdua melewatinya.
“Jangan ngebut di jalan, Dek!” pesan Pak Burhan.
***
Dari kompleks sekolah kami, jarak yang ditempuh untuk mencapai Stasiun Jombang sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja kami terjebak macet. Indah pun terpaksa mengendarainya pelan-pelan meskipun seringkali sepeda motor matiknya tidak bisa berjalan keman-mana. Belakangan kami ketahui bahwa jalan-jalan utama ditutup oleh polres Jombang karena adanya unjuk rasa besar oleh serikat buruh sebagai solidaritas terhadap pedagang kaki lima yang akan digusur oleh pemerintah daerah yang kemarin sempat terlibat bentrok dengan polisi.
Pukul setengan sepuluh kami berdua akhirnya tiba di depan Stasiun Jombang. Indah cepat-cepat menyuruhku masuk ke dalam, sedangkan ia mencari tempat untuk memarkir sepedanya. Aku pun berlari ke dalam ruang tunggu, lalu berhenti untuk mencari-cari sosok Doni di dalamnya, namun hasilnya nihil. Hatiku pun diliputi keresahan, khawatir takkan menemukan Doni di stasiun ini. Setelah Indah masuk ke dalam ruang tunggu, kami berdua memutuskan mencari bersama-sama di segala sudut. Dan dengan kedua mata Indah yang lebih awas, ia yang pertama kali menemukan sosok Doni. Doni ternyata sudah berada di dalam ruang tunggu kereta.
“Cha, itu dia!” seru Indah. “Ayo kita hampiri!”
Kami berdua pun berteriak memanggil Doni, namun yang bersangkutan tidak bergeming sama sekali. Aku pun mencari-cari akses masuk ruang tunggu kereta. Hanya ada satu akses masuk ke sana, dan dijaga oleh seorang satpam muda. Ketika aku mencoba masuk, satpam muda itu menghalangiku.
“Kalau mau masuk harus tunjukkan tiket dulu,” terang satpam muda itu.
“Wah kita bukan penumpang, Mas,” seruku.
“Kita cuma mau ketemu sama dia,” timpal Indah sambil menunjuk Doni yang sedang duduk di kursi tunggu. Terlihat semakin jelas Doni memakai headset berwarna putih di telinganya.
“Ya tetap enggak bisa, mba,” larang satpam muda. “Harus beli tiket dulu.”
Aku pun berteriak-teriak memanggil nama Doni, dan satpam itu melarangku berteriak dengan hardikan cukup tegas. Semua orang yang mendengarnya melihat ke arah kami.
“Mas, boleh bicara sebentar?” ujar Indah pada satpam muda itu.
Satpam muda itu mengangguk dan mengikuti Indah. Mereka berdua terlibat percakapan yang tak terdengar olehku di sudut stasiun. Dan mereka berdua pun kembali.
“Ya sudah, kalian berdua boleh masuk,” kata satpam muda itu.
“Terimakasih, Mas!” sahut aku dan Indah berbarengan.
Kami pun menghampiri Doni dan Doni terlihat terkejut tak percaya melihat kami berdua. Ia pun berdiri dan mendekat ke arah kami.
“Icha?!” serunya tak percaya.
“Doni,” timpalku dengan senyum yang penuh kelegaan.
“Kamu kok enggak bilang....”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba Doni memelukku.
Waktu seperti berhenti ketika ia mendekapku. Aku bisa merasakan tubuh Doni yang hangat dan debaran jantungku yang tiba-tiba menjadi cepat. Lalu tanpa ada perintah, tubuhku bergerak otomatis untuk membalas dekapannya. Tubuhku menarik tubuhnya lebih dekat. Mataku terpejam merasakan bulih-bulih air mata keluar semakin deras. Aku tak tau berapa lama ia mendekapku, rasanya ingin terus saja seperti ini selamanya.
Ketika Doni akhirnya melepas dekapannya, tangisku pun pecah merajuknya untuk jangan pergi. Ia hanya diam saja melihatku dengan perasaan serba salah.
Kereta yang ditunggu-tunggu telah datang. Gerbong-gerbong berbaris rapi di atas rel. Penumpang yang berniat turun di Jombang segera berdesakan keluar gerbong menuju jalan keluar stasiun. Lalu penumpang yang akan berangkat pun juga berdesak-desakan memasuki gerbong. Pengumuman dari pengeras suara semakin membuatku menyadari Doni harus masuk ke gerbong juga mengikuti yang lain karena kereta akan segera berangkat.
“Don, kumohon, jangan pergi...” pintaku padanya.
Ia hanya membalas permintaanku dengan tatapan aku-gak-bisa-gitu-cha.
Kemudian wajah Doni seperti teringat sesuatu. Lalu ia merogoh saku belakang tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah flashdisk kemudian memberikannya padaku.
“Apa ini, Don?” kataku seraya menahan isak tangisku.
“Kamu lihat pas di rumah aja,” jawabnya misterius. “Oke, aku harus berangkat nih, Cha. Jaga diri kamu baik-baik ya.”
Ia pun memelukku sekali lagi, kali ini lebih singkat. Lalu menyalami Indah dan memasuki gerbong kereta. Ia masih berada di pintu gerbong untuk bisa melihatku dan melambaikan tangannya. Aku pun melambaikan tangannya. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku pun ikut tersenyum dan melambaikan tangan lebih bersemangat lagi kepadanya. Klakson panjang kereta dibunyikan, lalu kereta pun perlahan-lahan bergerak ke arah utara membawa orang-orang pada harapan baru.
***
Saat perjalanan pulang, aku dan Indah memutuskan untuk kembali sekolah. Setelah aku memberitahu Indah tentang flashdisk yang diberikan oleh Doni kepadaku, Indah menyarankan untuk membukanya di lab komputer sekolah. Kami pun berhadapan dengan macet kembali, dan kali ini kami berdua melihat beberapa pecahan massa yang berunjuk rasa berkumpul-kumpul di pinggir sepanjang jalan yang kami lewati.
Sesampainya di sekolah, kami bertemu kembali dengan Pak Burhan yang membukakan gerbang jalan dan menginterograsi kami sebentar sebelum Indah menjawab dengan jawaban bohong yang lebih masuk akal. Aku juga berusaha menutupi wajahku yang masih sembab karena isak tangis tadi. Setelah berhasil membohongi Pak Burhan kembali, Indah mengembalikan sepeda motor matiknya kembali di tempat parkir sekolah lalu kami berdua menuju ruang lab komputer.
Sekolah cukup lengang karena seluruh siswa sedang berada di dalam kelas untuk menerima pelajaran. Kami berdua mengendap-ngendap melewati beberapa ruang kelas hingga akhirnya sampai di depan ruang lab. Cukup mudah memasuki ruang lab komputer karena pintunya yang tak terkunci. Ruangannya cukup gelap. Aku pun memilih-milih beberapa komputer untuk dipakai, dan akhirnya memilih sebuah komputer di depan yang biasa digunakan oleh para guru untuk mengajar. Beruntungnya tak ada sandi khusus untuk menjalankannya, jadi aku bisa leluasa menggunakannya dan tak lupa menancapkan flashdisk yang diberikan Doni di lubang USB untuk dibaca oleh komputer.
Indah menarik sebuah kursi dari sudut ruang lab, menaruhnya persis di sebelah kursiku, duduk di atasnya dan memperhatikanku membuka sebuah berkas video yang berada di dalam flashdisk Doni. Lalu sebuah pemutar video terbuka dan menampilkan video berdurasi sepuluh menit.
Di dalam video itu terlihat Doni sedang duduk di sebuah ruangan, kemungkinan besar ruangan itu adalah kamarnya. Ia membawa sebuah gitar dan mulai berbicara di depan kamera.
“Halo, Cha. Pertama, aku mau ucapkan terimakasih karena kamu sudah mau menemaniku seharian kemarin. Dan yang kedua,”—Doni mendehem—“kamu ingat kan waktu itu kamu memintaku untuk bermain gitar? Nah kali ini aku akan bermain buat kamu.”
“Ciyeee,” seru Indah tiba-tiba yang aku balas dengan tatapan apaan-sih-kau.
Kemudian Doni memainkan gitarnya. Gitar akustik bersenar nilon seperti yang sering dipakai oleh pemain-pemain gitar klasik. Ia memetiknya satu persatu menciptakan harmoni bunyi yang indah. Memainkannya pun dengan mengikuti sebuah irama suasana yang teratur dan berganti-ganti, kadang seperti diperlambat lalu iramanya dipercepat tiba-tiba.
“Ini lagunya siapa, Cha? Sepertinya pernah dengar,” tanya Indah pelan.
“Maudy Ayunda,” jawabku pelan, tak mau terganggu fokus mendengarkan bebunyian yang dimainkan Doni.
Doni memainkan Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda lengkap tanpa vokal, namun suasana yang dihasilkan tak kalah jauh dengan aransemen aslinya bahkan berhasil membuat hatiku tentram mendengarnya. Aku pun memutuskan untuk memutar kembali permainan gitar Doni hingga beberapa kali, tak menghiraukan godaan-godaan yang disampaikan Indah.
Baru kusadari bahwa di menit setelah permainan gitar Doni berakhir, ternyata ia kembali berbicara lagi di dalam video itu. Aku pun memutuskan untuk fokus mendengarkannya.
“Oh iya, Cha. Ada yang lupa aku sampaikan,”—Doni berdehem kembali—“sebenarnya kemungkinan besar aku akan kembali ke pulau Jawa lagi setelah lulus SMA. Jadi..”—ada jeda sebelum Doni melanjutkan kalimatnya—“maukah kamu berkenan untuk menungguku saat itu datang? Bila iya, hubungi aku ya Cha.”
Lalu video itu pun berakhir. Aku diam tak percaya dengan pesan yang disampaikan oleh Doni. Perasaan campur aduk antara terkejut, lega dan bahagia menjadi satu. Tiba-tiba saja Indah memelukku dan aku membalas pelukannya.
Tentu saja, aku akan menunggumu.***

Rabu, 17 Februari 2016

Gadis yang Bercinta Untuk Pertama Kali



 Jadi, gadis yang duduk di atas kasur putih di dalam kamarku ini sangat mengejutkanku akan pengakuannya. Ia mengaku telah melepas keperawanannya tanpa sepengetahuanku, sahabatnya. Jelas aku berang namun perasaan selanjutnya yang lebih mengisi dalam hati ialah rasa.. penasaran. Jadi aku memborbardirnya dengan puluhan pertanyaan seperti ratusan peluru yang ditembakkan senjata mesin buatan Rusia dalam satu menit. Kapan hal itu berlangsung? Bagaimana kejadiannya? Kamu bagaimana, tidak apa-apa? Hubungan kalian bagaimana sekarang? Orang tua sudah tahu? Mengapa aku tak diberitahu dulu? Apakah kalian melakukannya dengan aman?

Ia menjawabnya dengan sikap santai, sehingga membuat jawaban dan penjelasan yang keluar dari mulutnya menimbulkan kejutan-kejutan yang makin membuatku bertambah penasaran. Tak ada rasa sesal yang tergambar dalam raut wajahnya, hanya ada rasa bahagia saat ia berusaha membagi kebahagiaannya denganku, sahabatnya ini.

Ia mengaku memutuskan bercinta pertama kali dengan kekasihnya satu bulan yang lalu. Di sebuah kamar kos sempit dengan satu lemari dan kasur, si gadis bercinta dengan kekasihnya, seorang anak kampung yang cukup beruntung bisa hidup di kota besar sebagai pekerja kelas menengah. Lalu aku mendengar ceritanya diterangkan dengan detil seolah-olah sahabatku ini tidak risih sama sekali untuk menceritakannya. Sedangkan diriku merasa sedikit risih, namun penasaran.

“Kami pertama-tama saling berciuman, ia menciumku dengan penuh nafsu sehingga mulutnya menjadi basah oleh cairan salivanya. Kedengarannya menjijikkan, namun aku suka, sehingga membalas ciumannya dengan penuh nafsu juga. Hei, aku juga gugup tau. Bercinta untuk pertama kali membuat siapa saja pasti akan gugup, lagipula melakukan hal apapun untuk pertama kalinya juga pasti akan digerogoti oleh rasa grogi. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu dan aku menghentikan ciuman penuh nafsunya.”

Aku bertanya apa yang terjadi, namun sahabatku itu tak menggubrisnya malah ia minta minum kepadaku. Ia ngotot bersikap diam, meski aku sudah merayu-rayu untuk melanjutkan kisahnya. Dengan terpaksa aku menuruti kemauannya, apalagi ia mengancamku tak melanjutkan ceritanya sebelum ada minuman. Aku pun bergegas bangkit dari kasur menuju pintu kamar, tak lupa menanyakan minuman kemauannya. Sahabatku itu menjawab terserah, lalu aku menawarinya minuman cokelat yang dijual di depan kompleks rumah, dia berseru setuju.

Penjual minuman cokelat itu adalah tetanggaku, seorang lelaki muda yang ingin bekerja dengan alat produksinya sendiri sehingga ia memiliki surplus dari hasil pertukaran kerjanya sendiri. Yah, setidaknya ia belum menjadi kapitalis. Namun setelah aku duduk di dekat kedai kecilnya, aku baru menyadari usahanya adalah sebuah waralaba merek lokal, aku sangsi bila ia memiliki sepenuhnya surplus dari hasil kerjanya. Sudah pasti ia adalah kelas buruh yang menjual tenaganya pada majikan, secara tidak sadar. Kapitalisme memang canggih rupanya.

Aku memesan dua gelas cokelat dingin dengan rasa mint setelah si penjual—tetanggaku ini merekomendasikannya sebagai ‘best seller’—entah apa artinya. Selagi ia melembutkan es batu dan mencampur bubuk cokelat dengan blender, aku membenarkan letak kacamataku dan bercerita kepadanya bahwa teman-teman kuliahku rata-rata membuka usaha minuman sepertinya. Oh, benarkah, mbak? Katanya, ia pun menjelaskan bahwa minuman-minuman seperti ini sedang menjadi tren dan ramai diminati. Karena penjelasannya itu, menurutku ia secara tidak langsung mendukung adanya tuntutan pasar. Bisa saja, ketika pasar menuntut produksi cokelat lebih besar, mungkin sawah-sawah, hutan-hutan sagu penghasil pangan bisa saja disulap menjadi kebun cokelat dan akhirnya hasil pangan minim lalu terjadi bencana kelaparan. Aku teringat pemerintah Hindia Belanda—iya, pemerintah kolonial jaman dahulu itu melakukan hal yang persis dan berakibat seperti itu, namun aku lupa detilnya. Bila dibandingkan dengan menjamurnya kedai-kedai kecil minuman cepat saji seperti ini, pikiranku sepertinya berlebihan.

Dua gelas plastik berisi cokelat dingin disodorkan kepadaku. Aku menerimanya dan tak lupa mengucap terimakasih kepada lelaki muda itu. Matahari siang hari memaksaku bergegas menuju ke rumah, langkah-langkahku cepat seperti program auto-pilot, mencari jalan ke rumah yang lebih teduh. Kemudian angan-anganku memikirkan lanjutan cerita sahabatku. Tebakanku, ia mengingatkan kekasihnya untuk memakai kondom dan bila kekasihnya mengeluh, ia akan berceramah tentang hubungan seks yang aman ditambah bercerita kisah horor penyakit-penyakit menular dari kegiatan bercinta.

Ternyata tebakanku benar. Setelah ia menyeruput cokelat dingin, ia bercerita bagaimana ia merayu kekasihnya untuk memakai pengaman. “Sampai dimana tadi? Oh iya, aku teringat aku harus melakukan percintaan dengan aman. Aku pun meminta kekasihku untuk memakai pengaman. Pengaman yang mana katamu? Baiklah, itu kondom untuk lelaki. Tetapi jangan memulai bertanya mengapa tidak aku saja yang memakai kondom untuk perempuan, aku hanya ingin yang lebih praktis, lagipula aku tak pernah menemukan kondom untuk perempuan dijual bebas. Oke, mungkin lain kali aku akan mencobanya.

“Bagaimana reaksi kekasihku? Ya, seperti yang aku duga ia mengeluh. ‘Kenapa harus pakai kondom sih? Rasanya gak bakal enak, sayang.’ Ya ampun, aku hampir saja frustasi mendengarnya. Lalu aku menjelaskan alasannya dengan berusaha sabar, selain karena alasan klise seperti kehamilan yang tak direncakan, aku bercerita kisah horor tentang hantu-hantu bernama IMS, infeksi menular seksual. Aku bertanya padanya tentang raja singa. Ia menggeleng tidak tahu. Lalu aku pun menjelaskan sekenanya bahwa penyakit itu pertama-tama berupa luka kecil pada kelamin dan yang paling akhir ia akan mengakibatkan kelumpuhan dan kebutaan. Lalu aku bertanya tentang kencing nanah, lelaki ini, kekasihku dengan harga diri terluka menggeleng kembali atas ketidak tahuannya. Lalu aku bertanya tentang herpes, HIV dan bakteri dan virus lainnya yang mengakibatkan IMS karena tidak melakukan percintaan dengan aman. Kekasihku pun terlihat frustasi dan berkata, ‘Baiklah baiklah, sudah cukup cerita tentang penyakit ini, sayang. Aku akan memakai kondom, kalau itu maumu..’ Aku langsung menyela dan memprotesnya dengan alasan acuh tak acuh seperti itu. Aku mengingatkan, alasan memakai pengaman bukan karena kemauanku, tetapi karena kita berdua ingin terhindar dari resiko-resiko yang tak diinginkan. Ia hanya mengiyakan protesku, ‘Baiklah, sayang. Tetapi di kamarku tak tersedia kondom. Lagipula aku tak punya uang yang cukup untuk membelinya.’ Aku pun mengusulkan untuk patungan, dan kekasihku menyetujuinya. Ia lalu bergegas membeli kondom di apotik terdekat.”

Sahabatku itu meminum cokelat dinginnya kembali. Dan aku menatapnya dengan tatapan kenapa-kamu-menghentikan-ceritamu-aku-tak-sabar-menanti-lanjutannya, dan ia menoleh sekilas dengan tolehan sabar-sahabatku-aku-ingin-mencicipi-wafer-yang-ibumu-beri-ini. Sebatang wafer dari dalam toples tabung ia ambil dan mengunyahnya dalam mulut, ketika habis ia mengambil kembali dari toples dan memasukkan wafer yang renyah itu ke dalam mulutnya. Ketika aku akan masuk ke kamar, ibuku memang memanggilku dan menyuruhku mengambil setoples wafer sisa jajan lebaran di dapur. Sahabatku kini menyeruput cokelat dinginnya kembali, gelasnya telah basah karena esnya telah mencair membuat titik-titik air di sekeliling gelasnya, membuat meja juga dipenuhi oleh air dari es yang mencair itu. Aku pun mengambil serbet dan melap meja itu agar tidak dipenuhi air sementara sahabatku melanjutkan ceritanya.

“Kekasihku itu telah kembali dari upayanya mencari kondom. Lama sekali memang aku menunggunya, sekitar setengah jam. Ia datang dan menghampiriku dengan cerita lucu saat ia membeli barang itu. ‘Aku membelinya di minimarket terdekat,’ katanya. ‘Tapi ketika aku masuk seorang bapak-bapak juga ikut masuk. Berjaket, berpakaian gelap dan sedikit mencurigakan. Dia sempat mengelilingi minimarket lalu aku tersadar ternyata kita berdua mencari barang yang sama,’

“Aku tertawa mendengarnya. ‘Mungkin ia disuruh istrinya membeli kondom, seperti aku yang dipaksa kekasihku membeli kondom juga,’ tambah kekasihku itu. Aku tertawa dan menjawab, ‘Aku lebih yakin bapak itu sedang persiapan ingin jajan,’ dan ia tertawa—kekasihku itu.”

Sahabatku itu kemudian terdiam cukup lama, aku memandangnya dengan pandangan sudah-begitu-saja-? Ia kemudian menjawab dengan jahil, “Iya, cukup segitu kisahnya.”

“Lanjutkan ceritanya!” protesku. “Ayo lanjutkan!”

Sahabatku malah tertawa geli melihat perilaku kekanak-kanakan milikku. Baiklah baiklah, jawabnya akhirnya. Ia pun menceritakan dengan semburat merah yang perlahan muncul di pipinya dan berusaha berbisik-bisik di telingaku.***

Rabu, 10 Februari 2016

Galak



Alkisah seorang gadis perempuan difitnah oleh salah satu kekasih karibnya. Fitnahnya pun seperti sinetron dengan tema cinta segitiga, si kekasih menyukai si gadis sehingga membuat karibnya murka. Motifnya pun sepele dan terkesan arogan, hanya karena ingin diperhatikan. Si gadis pun tak terima diadu domba dengan karibnya sendiri. Parahnya karibnya pun dengan naif menerima fitnah itu tanpa curiga sedikitpun. Si gadis pun bersumpah di tengah derasnya hujan dan petir yang menggelegar, ia akan melawan patriarki!

Dengan saran seorang aktivis pergerakan libertarian, si gadis kesana kemari mencari dukungan teman-temannya yang lain. Satu demi satu teman-temannya menyatakan dukungannya, bahkan sebagian besar terenyuh oleh kisah pilu si gadis yang menjadi korban fitnah. Mulai dari teman-teman karibnya yang lain, lalu satu kelas mendukung dan lalu satu angkatan pun mendukung si gadis.

Si gadis pun langsung mengadakan konsolidasi bersama para pendukungnya untuk menentukan langkah selanjutnya. Isu yang dibawa masih sama, yaitu penghapusan terhadap sikap arogan dari seorang patriarkis. Mereka lalu menyusun berbagai kampanye dan tentunya tuntutan permintaan maaf dari si kekasih.

Tuntutannya pun dilakukan secara sistematis dan masif. Pada hari yang telah ditentukan, setiap pendukung akan mengirim foto selfie membawa plakat bertuliskan tuntutan permintaan maaf ke media sosial dan tak lupa menandai si kekasih. Lalu hari yang ditentukan telah tiba, puluhan foto bersarang di dinding si patriarkis dan menjadi perbincangan yang panas diantara para teman-teman kekasih dan berhasil membuat si patriarkis dipermalukan selama berhari-hari.

Polemik ini pun diakhiri permintaan maaf si patriarkis secara terbuka di akun media sosialnya. Si gadis bersama pendukungnya merayakan kemenangannya.***

Senin, 18 Januari 2016

Konsolidasi




Oleh Mochammad IH

Pada jam istirahat sekolah, cuaca sedang sejuk-sejuknya. Angin berhembus sepoi-sepoi menyegarkan tubuh-tubuh. Empat orang gadis berkerudung putih duduk santai dan bergosip di teras kelas. Tepat di depan mereka sebuah area permainan bola voli lengkap dengan dua tiang untuk memasang net beserta garis pembatasnya. Namun tak ada anak-anak yang cukup berani bermain bola voli pada jam istirahat seperti ini, karena melanggar aturan sekolah. Tetapi sepertinya alasan sebenenarnya adalah mereka malas mengambil bola voli di kantor guru.

Nurma, Rahma, Indra dan Eliya sedang menikmati siomay berbungkus plastik di tangan masing-masing. Bapak-bapak penjual siomay terlihat di dekat mereka lengkap dengan alat produksinya—dua kotak berwarna warni yang ditaruh di bagian belakang sepeda kayuh tua. Para membeli berkerumun di sekitar si Bapak, rata-rata para gadis berseragam putih-abu-abu dan berkerudung putih.

Nurma memperhatikan Bapak itu melayani dengan sabar para calon pembeli dagangannya. Ketika seorang gadis datang berniat untuk membeli, ia langsung membuka tutup salah satu kotak dan tiba-tiba muncul uap putih berhembus dari dalam kotak itu membawa aroma kaldu ayam. Dengan sigap si Bapak mengambil plastik pembungkus dan mengambil beberapa bola-bola kecil berwarna abu-abu gelap berbagai ukuran. Ia lalu membuka penutup botol saus pecel berwarna coklat dan menuangkannya ke dalam plastik itu. Salah satu gadis kemudian berseru untuk menghentikan usaha si Bapak untuk menuangkan saus lainnya yang berwarna merah.

Lalu Nurma berpikir pendapatan Bapak penjual siomay itu dalam sehari. Hal ini dibagikan kepada teman-temannya. “Pendapatan bapak itu berapa ya sehari?”

Eliya yang kemudian menanggapi, “Kenapa? Kamu mau jualan siomay juga?”

“Iya, kayaknya siomay begitu diminati ya” jawab Nurma

“Nalarmu dalam memandang kebutuhan pasar bagus juga, Nur. Matamu jadi berlogo rupiah gitu” sindir Eliya. “Lalu usaha gorengan kita gimana?”

“Ya, tetap diterusin, El”

“Heh, dua gadis ini pada ngegosip aja!” protes Eliya pada dua temannya yang lain, Indra dan Rahma. “Denger nih. Nurma pengen bikin usaha baru buat kita”

“Terus usaha gorengan kita gimana?” kali ini Indra dan Rahma bertanya berbarengan.

“Tetap kita terusin” jawab Nurma dan Eliya berbarengan pula.

Mereka berempat lalu keheranan karena bertanya dan menjawab dengan berbarengan, lalu tertawa bersama-sama.

“Kita harus punya sepeda kayuh dan tempatnya. Kayak si Bapak” ujar Rahma.

“Nanti aku bagian yang bikin jualan, Eliya bagian keliling pake sepeda kring-kring” tambah Indra.

“Enak aja!” protes Eliya tak terima. Lalu dua temannya tertawa melihat tanggapan Eliya.

“Kita gak usah pakai itu” jawab Nurma. “Kita titipin aja ke warung-warung, seperti gorengan yang kita bikin selama ini.”

“Boleh juga” kata Rahma. Ketiga temannya juga tampak menyetujui usul itu dan mereka  mulai mencari cara membuat siomay. Indra yang berinisiatif mencarinya di mesin pencari internet.

“Eh! Tadi aku diceritain Dinda kalau Sari minta anggaran lagi buat mading!” ujar Rahma tiba-tiba.

Ketiga temannya yang mendengarnya tampak terkejut tak percaya. Tak terkecuali Nurma yang tampak kalem dari tadi juga ikut terkejut. Indra juga menghentikan usahanya mencari tutorial membuat siomay dari layar ponsel pintarnya. Eliya yang paling tak bisa menahan ekspresi terkejutnya. “Serius, Ma?!”

“Iya, serius” jawab Rahma. “Tapi dia nggak diberi uang sama Dinda.”

“Iya tuh. Diberi uang terus tapi hasil kerjanya nggak ada sama sekali” keluh Indra. “Madingnya tetap saja kosong melompong seperti kepompong.”

Ketiga temannya yang lain berkerut dahinya mendengar kalimat terakhir Indra, namun hanya Rahma yang menanggapi. “Kepompong ada isinya, kali.”

“Kira-kira kenapa ya, akhir-akhir ini madingnya nggak diisi-isi sama anak mading?” kali ini Nurma bertanya.

“Anak-anaknya pemalas pasti” tuduh Eliya tanpa basa-basi.

“Hush. Jangan ngawur gitu dong, El” protes Rahma. “Dinda juga tanya ke Sari, ‘kenapa madingnya nggak diisi?’ Dia cuma jawab kalo anak-anak mading lagi pada sibuk semua. Susah banget buat dikumpulin.”

“Ya ampun. Kalau gitu ceritanya, mendingan aku aja yang ngisi madingnya” protes Eliya.

Nurma lalu memandang ke arah Eliya. “Ide bagus! Lebih baik kita aja yang ngisi madingnya. Gimana teman-teman?” tawar Nurma.

“Aku setuju!” jawab Eliya dengan lantang.

“Aku sih setuju, Nur. Tapi apa kita nggak lancang seperti kacang?” tanya Indra.

“Maksudnya?” tanya Eliya.

“Maksudnya kita kan bukan anak mading. Kan nggak enak sama yang lain, kalau kita ikut campur masalah mading” jawab Indra. “Bukan begitu teman-teman?”

“Mungkin kita bisa minta ijin ke Sari dulu” sahut Rahma.

“Ide bagus!” jawab ketiga temannya berbarengan.

Lalu bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Nurma, Eliya, Indra dan Rahma kemudian memutuskan melanjutkan pembahasan ini ke dalam kelas. Langit bertambah gelap karena awan hitam menutupinya. Angin pun saling menderu tak tentu arah dengan derasnya. Mungkin hujan akan datang, atau mungkin cuma gerimis saja yang datang.

***

Sebulan telah berlalu sejak empat gadis itu berkonsolidasi untuk mengisi majalah dinding sekolahnya. Nurma, Eliya, Indra dan Rahma masih duduk di tempat yang sama pada jam istirahat sekolah. Sepertinya itu memang titik favorit mereka di sekolah pesantren ini. Karena hari ini hari Selasa, maka kerudung yang mereka pakai berwarna kuning dengan seragam kuning-hijau.

“Kemarin aku lihat madingnya kosong lagi” ujar Nurma mencari perhatian ketiga temannya.

“Yang benar, Nur?” tanya balik Eliya. “Anak-anak mading memang pemalas.”

“Hush. Jangan bilang gitu lagi dong, El” sergah Rahma.

“Maksudku sebenarnya kita yang meneruskan penerbitan mading” ujar Nurma. “Tapi ternyata sulit juga membagi waktu.”

“Iya, waktu seperti batu” sahut Indra.

“Mau bagaimana lagi, Nur. Kita juga dalam masa ujian akhir sekarang” hibur Eliya.

“Ditambah kemungkinan kita juga bakalan jadi panitia lomba setelah ujian berakhir” tambah Rahma. “Pasti bakalan sibuk dan kita nggak sempat mengisi mading lagi.”

Mereka berempat mengiyakan tentang kesibukan yang telah menghadang mereka. Lalu Nurma mengingat alasan para pengurus majalah dinding yang diucapkan oleh Sari yang sebulan lalu diceritakan Dinda ke Rahma. Nurma pun merasa alasan itu bukanlah alasan pembelaan diri semata, namun ia nyata dan menghinggapi hampir seluruh siswa-siswi di sekolah ini. Ia pun berpikir seandainya tidak ada ujian dan lomba-lomba membuatnya sibuk, apakah ia dan kawan-kawan bisa membantu meneruskan penerbitan majalah dinding dengan lebih leluasa? Apalagi sekolah juga mengadakan kursus-kursus di luar jam sekolah yang sangat menyita waktu. Ia tak tahu jawabannya dan ia pula tahu rumput liar yang bergoyang diitiup angin di depannya juga tak mampu memberi jawaban.***