Oleh Mochammad IH
Pada jam istirahat sekolah, cuaca sedang sejuk-sejuknya.
Angin berhembus sepoi-sepoi menyegarkan tubuh-tubuh. Empat orang gadis
berkerudung putih duduk santai dan bergosip di teras kelas. Tepat di depan
mereka sebuah area permainan bola voli lengkap dengan dua tiang untuk memasang
net beserta garis pembatasnya. Namun tak ada anak-anak yang cukup berani
bermain bola voli pada jam istirahat seperti ini, karena melanggar aturan
sekolah. Tetapi sepertinya alasan sebenenarnya adalah mereka malas mengambil
bola voli di kantor guru.
Nurma, Rahma, Indra dan Eliya sedang menikmati siomay
berbungkus plastik di tangan masing-masing. Bapak-bapak penjual siomay terlihat
di dekat mereka lengkap dengan alat produksinya—dua kotak berwarna warni yang
ditaruh di bagian belakang sepeda kayuh tua. Para membeli berkerumun di sekitar
si Bapak, rata-rata para gadis berseragam putih-abu-abu dan berkerudung putih.
Nurma memperhatikan Bapak itu melayani dengan sabar para calon
pembeli dagangannya. Ketika seorang gadis datang berniat untuk membeli, ia
langsung membuka tutup salah satu kotak dan tiba-tiba muncul uap putih
berhembus dari dalam kotak itu membawa aroma kaldu ayam. Dengan sigap si Bapak
mengambil plastik pembungkus dan mengambil beberapa bola-bola kecil berwarna abu-abu
gelap berbagai ukuran. Ia lalu membuka penutup botol saus pecel berwarna coklat
dan menuangkannya ke dalam plastik itu. Salah satu gadis kemudian berseru untuk
menghentikan usaha si Bapak untuk menuangkan saus lainnya yang berwarna merah.
Lalu Nurma berpikir pendapatan Bapak penjual siomay itu dalam
sehari. Hal ini dibagikan kepada teman-temannya. “Pendapatan bapak itu berapa
ya sehari?”
Eliya yang kemudian menanggapi, “Kenapa? Kamu mau jualan
siomay juga?”
“Iya, kayaknya siomay begitu diminati ya” jawab Nurma
“Nalarmu dalam memandang kebutuhan pasar bagus juga, Nur.
Matamu jadi berlogo rupiah gitu” sindir Eliya. “Lalu usaha gorengan kita
gimana?”
“Ya, tetap diterusin, El”
“Heh, dua gadis ini pada ngegosip aja!” protes Eliya pada
dua temannya yang lain, Indra dan Rahma. “Denger nih. Nurma pengen bikin usaha
baru buat kita”
“Terus usaha gorengan kita gimana?” kali ini Indra dan Rahma
bertanya berbarengan.
“Tetap kita terusin” jawab Nurma dan Eliya berbarengan pula.
Mereka berempat lalu keheranan karena bertanya dan menjawab
dengan berbarengan, lalu tertawa bersama-sama.
“Kita harus punya sepeda kayuh dan tempatnya. Kayak si
Bapak” ujar Rahma.
“Nanti aku bagian yang bikin jualan, Eliya bagian keliling
pake sepeda kring-kring” tambah Indra.
“Enak aja!” protes Eliya tak terima. Lalu dua temannya
tertawa melihat tanggapan Eliya.
“Kita gak usah pakai itu” jawab Nurma. “Kita titipin aja ke
warung-warung, seperti gorengan yang kita bikin selama ini.”
“Boleh juga” kata Rahma. Ketiga temannya juga tampak
menyetujui usul itu dan mereka mulai
mencari cara membuat siomay. Indra yang berinisiatif mencarinya di mesin
pencari internet.
“Eh! Tadi aku diceritain Dinda kalau Sari minta anggaran
lagi buat mading!” ujar Rahma tiba-tiba.
Ketiga temannya yang mendengarnya tampak terkejut tak
percaya. Tak terkecuali Nurma yang tampak kalem dari tadi juga ikut terkejut.
Indra juga menghentikan usahanya mencari tutorial membuat siomay dari layar
ponsel pintarnya. Eliya yang paling tak bisa menahan ekspresi terkejutnya.
“Serius, Ma?!”
“Iya, serius” jawab Rahma. “Tapi dia nggak diberi uang sama
Dinda.”
“Iya tuh. Diberi uang terus tapi hasil kerjanya nggak ada
sama sekali” keluh Indra. “Madingnya tetap saja kosong melompong seperti
kepompong.”
Ketiga temannya yang lain berkerut dahinya mendengar kalimat
terakhir Indra, namun hanya Rahma yang menanggapi. “Kepompong ada isinya,
kali.”
“Kira-kira kenapa ya, akhir-akhir ini madingnya nggak
diisi-isi sama anak mading?” kali ini Nurma bertanya.
“Anak-anaknya pemalas pasti” tuduh Eliya tanpa basa-basi.
“Hush. Jangan ngawur gitu dong, El” protes Rahma. “Dinda
juga tanya ke Sari, ‘kenapa madingnya nggak diisi?’ Dia cuma jawab kalo
anak-anak mading lagi pada sibuk semua. Susah banget buat dikumpulin.”
“Ya ampun. Kalau gitu ceritanya, mendingan aku aja yang
ngisi madingnya” protes Eliya.
Nurma lalu memandang ke arah Eliya. “Ide bagus! Lebih baik
kita aja yang ngisi madingnya. Gimana teman-teman?” tawar Nurma.
“Aku setuju!” jawab Eliya dengan lantang.
“Aku sih setuju, Nur. Tapi apa kita nggak lancang seperti
kacang?” tanya Indra.
“Maksudnya?” tanya Eliya.
“Maksudnya kita kan bukan anak mading. Kan nggak enak sama
yang lain, kalau kita ikut campur masalah mading” jawab Indra. “Bukan begitu
teman-teman?”
“Mungkin kita bisa minta ijin ke Sari dulu” sahut Rahma.
“Ide bagus!” jawab ketiga temannya berbarengan.
Lalu bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Nurma,
Eliya, Indra dan Rahma kemudian memutuskan melanjutkan pembahasan ini ke dalam
kelas. Langit bertambah gelap karena awan hitam menutupinya. Angin pun saling
menderu tak tentu arah dengan derasnya. Mungkin hujan akan datang, atau mungkin
cuma gerimis saja yang datang.
***
Sebulan telah berlalu sejak empat gadis itu berkonsolidasi
untuk mengisi majalah dinding sekolahnya. Nurma, Eliya, Indra dan Rahma masih
duduk di tempat yang sama pada jam istirahat sekolah. Sepertinya itu memang
titik favorit mereka di sekolah pesantren ini. Karena hari ini hari Selasa,
maka kerudung yang mereka pakai berwarna kuning dengan seragam kuning-hijau.
“Kemarin aku lihat madingnya kosong lagi” ujar Nurma mencari
perhatian ketiga temannya.
“Yang benar, Nur?” tanya balik Eliya. “Anak-anak mading
memang pemalas.”
“Hush. Jangan bilang gitu lagi dong, El” sergah Rahma.
“Maksudku sebenarnya kita yang meneruskan penerbitan mading”
ujar Nurma. “Tapi ternyata sulit juga membagi waktu.”
“Iya, waktu seperti batu” sahut Indra.
“Mau bagaimana lagi, Nur. Kita juga dalam masa ujian akhir sekarang”
hibur Eliya.
“Ditambah kemungkinan kita juga bakalan jadi panitia lomba
setelah ujian berakhir” tambah Rahma. “Pasti bakalan sibuk dan kita nggak
sempat mengisi mading lagi.”
Mereka berempat mengiyakan tentang kesibukan yang telah
menghadang mereka. Lalu Nurma mengingat alasan para pengurus majalah dinding
yang diucapkan oleh Sari yang sebulan lalu diceritakan Dinda ke Rahma. Nurma
pun merasa alasan itu bukanlah alasan pembelaan diri semata, namun ia nyata dan
menghinggapi hampir seluruh siswa-siswi di sekolah ini. Ia pun berpikir
seandainya tidak ada ujian dan lomba-lomba membuatnya sibuk, apakah ia dan
kawan-kawan bisa membantu meneruskan penerbitan majalah dinding dengan lebih
leluasa? Apalagi sekolah juga mengadakan kursus-kursus di luar jam sekolah yang
sangat menyita waktu. Ia tak tahu jawabannya dan ia pula tahu rumput liar yang
bergoyang diitiup angin di depannya juga tak mampu memberi jawaban.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar