Senin, 11 Januari 2016

Perdebatan Seni Budaya Tentang Dekat Atau Tidak Dengan Keseharian



Beberapa hari yang lalu penulis membaca sebuah pendapat di salah satu wawancara dengan musisi arus pinggir yang baru saja mengeluarkan single terbarunya. Wawancara itu membawa sebuah narasi bahwasanya gairah terhadap musik arus pinggir (sidestream) yang semakin hari semakin kencang tak lepas dari pengaruh keseharian musisi tersebut yang rata-rata hadir dalam setiap karya-karyanya. Beda sekali dengan musisi arus utama (mainstream) yang rata-rata fulltime yang karya-karyanya kadang jauh sekali keseharian mereka bahkan pendengar mereka.

Musisi non-fulltime kadang bekerja paruh waktu menjadi pekerja, pedagang atau malah menjadi bos perusahaan. Soal keseharian yang dihadirkan musisi non-fulltime ini bisa diterima dan bahkan ramai pujian adalah karena keseharian mereka mirip, sama bahkan persis dengan para pendengar mereka, seolah-olah suara mereka terwakili oleh karya musisi non-fulltime tersebut.

Pendapat tentang keseharian awalnya penulis pikir adalah hal yang menggeneralisir. Dikarenakan tidak semua musisi fulltime tidak menggambarkan keseharian mereka, ada kemungkinan mereka menggambarkan keseharian mereka dalam sebuah karya. Namun bila ditarik ke dalam sejarah, perdebatan musisi fulltime vs non-fulltime ini menggambarkan perdebatan melegenda antara kamerad-kamerad Lekra dengan para punggawa Manifes Kebudayaan pada era paska Revolusi Kemerdekaan '45, bahkan perdebatan kontemporer di kancah musik arus utama yang diawali oleh rasa sinis Jrx dari Superman Is Dead (SID) terhadap para musisi yang tidak terjun dalam dunia aktifisme.

Perdebatan Lekra dan Manifes Kebudayaan terletak pada letak kebudayaan itu sendiri. Lekra bependapat bahwa kebudayaan haruslah ada campur tangan politik dan membawa manusia dan kesehariannya. Manifes Kebudayaan berpendapat bahwa kebudayaan itu haruslah lepas dari politik dan berdiri sendiri sebagai seni yang murni tanpa ada campur sosial di dalamnya. Setelah Lekra dimusnahkan bersama Partai Komunis Indonesia, jelas Manifes Kebudayaan adalah pihak yang menang bersama Orde Baru-nya. Hal ini bisa ditandai dengan seni kontemporer negeri ini yang seringkali dikotak-kotakkan dengan seni kelas berduit dan seni kelas kere. Ya, seringkali kita merasa ada seni yang tak terjangkau dan hanya milik kaum berduit.

Perdebatan Jrx dengan musisi fulltime yang tidak bergerak dengan keadaan sosial secara historis bisa dilacak dari konsistensi SID membuat lirik perlawanan atas ketidak-adilan dalam karya-karyanya. Dalam filsafat materialisme, sesuatu yang dibuat oleh manusia berasal dari kesadarannya akan alam dan kesehariannya yang saling berdialektika. Jadi SID membuat lirik-lirik pemberontak itu berasal dari keseharian mereka sendiri, bukan dibuat-buat. Kemudian background Jrx sendiri yang seorang musisi namun juga aktivis yang 2-3 tahun ini fokus bersuara dalam perlawanan terhadap proyek reklmasi Teluk Benoa. Keseharian Jrx inilah yang tidak dimiliki oleh musisi fulltime yang disebut olehnya.

Tesis dan antitesis ini akan saling berdialektika hingga akhirnya bernegasi. Manifes Kebudayaan menegasi Lekra. Musik arus pinggir menegasi musik arus utama. Namun tesis musisi yang tidak peduli keadaan sosial melawan antitesis wacana Jrx bersama gerakan melawan proyek reklamasi Teluk Benoa masih berlangsung.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar