Jumat, 08 Januari 2016

Berlibur Di Tanah Lada



Judul Buku:
Di Tanah Lada

Penulis:
Ziggy Zezsyazeovinnazabrizkie

Penerbit, tahun terbit:
Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2015

Jumlah halaman:
244 halaman


Hal yang terlintas di kepala ketika menemukan nama penulisnya adalah membacanya dengan ironi. Jujur, awalnya saya berpikir Ziggy Z.... (okelah saya tak hapal namanya) adalah sebuah nama pena, dan memuji kepercayaan diri penulis untuk mengenalkannya (dengan ironi tentunya). Juga keseriusan panitia Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 untuk memenangkan novel ini sebagai pemenang kedua. Namun begitu saya membaca salah satu resensi, ternyata Ziggy Z adalah nama asli penulis. Saya belum menemukan artinya, namun penulis resensi tersebut menyebut nama itu memiliki arti yang bagus. Jadi tolong maafkan saya dari ironi dan kesinisan terhadap nama. Narasi untuk berusaha bertindak praduga tidak seperti yang kita pikirkan harus dikampanyekan secara aktif sepertinya.

Saya pikir idenya benar-benar segar, menggambarkan dunia anak kecil yang polos. Namun premisnya lebih menarik bagaimana dunia anak kecil yang polos dan tak pernah mengenal ketakutan itu bertemu dengan kerasnya kehidupan dalam alam modernitas, sekuleritas, bahkan kapitalisma. Jadilah sebuah kisah yang tanpa kita sadari menjadi sebuah tragedi.

Sinisme terhadap dunia, sikap skeptis yang ditunjukkan oleh Ava dan P adalah bukti bahwa modernisme telah gagal membahagiakan manusia. Dalam alam modernisme, kita bisa mendarat di bulan, kita bisa terbang dengan pesawat, manusia bisa membangun gedung pencakar langit, bahkan bisa berkomunikasi tanpa dihalang oleh tempat dan waktu. Namun di sisi lain bagai pedang bermata dua, modernisme telah menghilangkan kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh sikap orang-orang dewasa yang berada di sekeliling Ava dan P: Papa, Mama, Kak Suri dan Mas Alri. Kehidupan sekuler perkotaan ditampilkan dalam Rusun Nero, bagaimana rumah hanya sebuah tempat untuk singgah sebentar untuk mandi dan tidur.

Saya tak bisa menilai teknis cerita, toh saya merasa ini novel pertama yang saya baca tentang kehidupan urban dalam dunia perkotaan, jadi belum bisa membandingkan. Namun jika kita berbicara soal modernisme, harusnya bisa digali lebih banyak. Saya belum menemukan kisah kelas buruh bergaji UMR yang ditampilkan dalam novel ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar