Rabu, 17 Februari 2016

Gadis yang Bercinta Untuk Pertama Kali



 Jadi, gadis yang duduk di atas kasur putih di dalam kamarku ini sangat mengejutkanku akan pengakuannya. Ia mengaku telah melepas keperawanannya tanpa sepengetahuanku, sahabatnya. Jelas aku berang namun perasaan selanjutnya yang lebih mengisi dalam hati ialah rasa.. penasaran. Jadi aku memborbardirnya dengan puluhan pertanyaan seperti ratusan peluru yang ditembakkan senjata mesin buatan Rusia dalam satu menit. Kapan hal itu berlangsung? Bagaimana kejadiannya? Kamu bagaimana, tidak apa-apa? Hubungan kalian bagaimana sekarang? Orang tua sudah tahu? Mengapa aku tak diberitahu dulu? Apakah kalian melakukannya dengan aman?

Ia menjawabnya dengan sikap santai, sehingga membuat jawaban dan penjelasan yang keluar dari mulutnya menimbulkan kejutan-kejutan yang makin membuatku bertambah penasaran. Tak ada rasa sesal yang tergambar dalam raut wajahnya, hanya ada rasa bahagia saat ia berusaha membagi kebahagiaannya denganku, sahabatnya ini.

Ia mengaku memutuskan bercinta pertama kali dengan kekasihnya satu bulan yang lalu. Di sebuah kamar kos sempit dengan satu lemari dan kasur, si gadis bercinta dengan kekasihnya, seorang anak kampung yang cukup beruntung bisa hidup di kota besar sebagai pekerja kelas menengah. Lalu aku mendengar ceritanya diterangkan dengan detil seolah-olah sahabatku ini tidak risih sama sekali untuk menceritakannya. Sedangkan diriku merasa sedikit risih, namun penasaran.

“Kami pertama-tama saling berciuman, ia menciumku dengan penuh nafsu sehingga mulutnya menjadi basah oleh cairan salivanya. Kedengarannya menjijikkan, namun aku suka, sehingga membalas ciumannya dengan penuh nafsu juga. Hei, aku juga gugup tau. Bercinta untuk pertama kali membuat siapa saja pasti akan gugup, lagipula melakukan hal apapun untuk pertama kalinya juga pasti akan digerogoti oleh rasa grogi. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu dan aku menghentikan ciuman penuh nafsunya.”

Aku bertanya apa yang terjadi, namun sahabatku itu tak menggubrisnya malah ia minta minum kepadaku. Ia ngotot bersikap diam, meski aku sudah merayu-rayu untuk melanjutkan kisahnya. Dengan terpaksa aku menuruti kemauannya, apalagi ia mengancamku tak melanjutkan ceritanya sebelum ada minuman. Aku pun bergegas bangkit dari kasur menuju pintu kamar, tak lupa menanyakan minuman kemauannya. Sahabatku itu menjawab terserah, lalu aku menawarinya minuman cokelat yang dijual di depan kompleks rumah, dia berseru setuju.

Penjual minuman cokelat itu adalah tetanggaku, seorang lelaki muda yang ingin bekerja dengan alat produksinya sendiri sehingga ia memiliki surplus dari hasil pertukaran kerjanya sendiri. Yah, setidaknya ia belum menjadi kapitalis. Namun setelah aku duduk di dekat kedai kecilnya, aku baru menyadari usahanya adalah sebuah waralaba merek lokal, aku sangsi bila ia memiliki sepenuhnya surplus dari hasil kerjanya. Sudah pasti ia adalah kelas buruh yang menjual tenaganya pada majikan, secara tidak sadar. Kapitalisme memang canggih rupanya.

Aku memesan dua gelas cokelat dingin dengan rasa mint setelah si penjual—tetanggaku ini merekomendasikannya sebagai ‘best seller’—entah apa artinya. Selagi ia melembutkan es batu dan mencampur bubuk cokelat dengan blender, aku membenarkan letak kacamataku dan bercerita kepadanya bahwa teman-teman kuliahku rata-rata membuka usaha minuman sepertinya. Oh, benarkah, mbak? Katanya, ia pun menjelaskan bahwa minuman-minuman seperti ini sedang menjadi tren dan ramai diminati. Karena penjelasannya itu, menurutku ia secara tidak langsung mendukung adanya tuntutan pasar. Bisa saja, ketika pasar menuntut produksi cokelat lebih besar, mungkin sawah-sawah, hutan-hutan sagu penghasil pangan bisa saja disulap menjadi kebun cokelat dan akhirnya hasil pangan minim lalu terjadi bencana kelaparan. Aku teringat pemerintah Hindia Belanda—iya, pemerintah kolonial jaman dahulu itu melakukan hal yang persis dan berakibat seperti itu, namun aku lupa detilnya. Bila dibandingkan dengan menjamurnya kedai-kedai kecil minuman cepat saji seperti ini, pikiranku sepertinya berlebihan.

Dua gelas plastik berisi cokelat dingin disodorkan kepadaku. Aku menerimanya dan tak lupa mengucap terimakasih kepada lelaki muda itu. Matahari siang hari memaksaku bergegas menuju ke rumah, langkah-langkahku cepat seperti program auto-pilot, mencari jalan ke rumah yang lebih teduh. Kemudian angan-anganku memikirkan lanjutan cerita sahabatku. Tebakanku, ia mengingatkan kekasihnya untuk memakai kondom dan bila kekasihnya mengeluh, ia akan berceramah tentang hubungan seks yang aman ditambah bercerita kisah horor penyakit-penyakit menular dari kegiatan bercinta.

Ternyata tebakanku benar. Setelah ia menyeruput cokelat dingin, ia bercerita bagaimana ia merayu kekasihnya untuk memakai pengaman. “Sampai dimana tadi? Oh iya, aku teringat aku harus melakukan percintaan dengan aman. Aku pun meminta kekasihku untuk memakai pengaman. Pengaman yang mana katamu? Baiklah, itu kondom untuk lelaki. Tetapi jangan memulai bertanya mengapa tidak aku saja yang memakai kondom untuk perempuan, aku hanya ingin yang lebih praktis, lagipula aku tak pernah menemukan kondom untuk perempuan dijual bebas. Oke, mungkin lain kali aku akan mencobanya.

“Bagaimana reaksi kekasihku? Ya, seperti yang aku duga ia mengeluh. ‘Kenapa harus pakai kondom sih? Rasanya gak bakal enak, sayang.’ Ya ampun, aku hampir saja frustasi mendengarnya. Lalu aku menjelaskan alasannya dengan berusaha sabar, selain karena alasan klise seperti kehamilan yang tak direncakan, aku bercerita kisah horor tentang hantu-hantu bernama IMS, infeksi menular seksual. Aku bertanya padanya tentang raja singa. Ia menggeleng tidak tahu. Lalu aku pun menjelaskan sekenanya bahwa penyakit itu pertama-tama berupa luka kecil pada kelamin dan yang paling akhir ia akan mengakibatkan kelumpuhan dan kebutaan. Lalu aku bertanya tentang kencing nanah, lelaki ini, kekasihku dengan harga diri terluka menggeleng kembali atas ketidak tahuannya. Lalu aku bertanya tentang herpes, HIV dan bakteri dan virus lainnya yang mengakibatkan IMS karena tidak melakukan percintaan dengan aman. Kekasihku pun terlihat frustasi dan berkata, ‘Baiklah baiklah, sudah cukup cerita tentang penyakit ini, sayang. Aku akan memakai kondom, kalau itu maumu..’ Aku langsung menyela dan memprotesnya dengan alasan acuh tak acuh seperti itu. Aku mengingatkan, alasan memakai pengaman bukan karena kemauanku, tetapi karena kita berdua ingin terhindar dari resiko-resiko yang tak diinginkan. Ia hanya mengiyakan protesku, ‘Baiklah, sayang. Tetapi di kamarku tak tersedia kondom. Lagipula aku tak punya uang yang cukup untuk membelinya.’ Aku pun mengusulkan untuk patungan, dan kekasihku menyetujuinya. Ia lalu bergegas membeli kondom di apotik terdekat.”

Sahabatku itu meminum cokelat dinginnya kembali. Dan aku menatapnya dengan tatapan kenapa-kamu-menghentikan-ceritamu-aku-tak-sabar-menanti-lanjutannya, dan ia menoleh sekilas dengan tolehan sabar-sahabatku-aku-ingin-mencicipi-wafer-yang-ibumu-beri-ini. Sebatang wafer dari dalam toples tabung ia ambil dan mengunyahnya dalam mulut, ketika habis ia mengambil kembali dari toples dan memasukkan wafer yang renyah itu ke dalam mulutnya. Ketika aku akan masuk ke kamar, ibuku memang memanggilku dan menyuruhku mengambil setoples wafer sisa jajan lebaran di dapur. Sahabatku kini menyeruput cokelat dinginnya kembali, gelasnya telah basah karena esnya telah mencair membuat titik-titik air di sekeliling gelasnya, membuat meja juga dipenuhi oleh air dari es yang mencair itu. Aku pun mengambil serbet dan melap meja itu agar tidak dipenuhi air sementara sahabatku melanjutkan ceritanya.

“Kekasihku itu telah kembali dari upayanya mencari kondom. Lama sekali memang aku menunggunya, sekitar setengah jam. Ia datang dan menghampiriku dengan cerita lucu saat ia membeli barang itu. ‘Aku membelinya di minimarket terdekat,’ katanya. ‘Tapi ketika aku masuk seorang bapak-bapak juga ikut masuk. Berjaket, berpakaian gelap dan sedikit mencurigakan. Dia sempat mengelilingi minimarket lalu aku tersadar ternyata kita berdua mencari barang yang sama,’

“Aku tertawa mendengarnya. ‘Mungkin ia disuruh istrinya membeli kondom, seperti aku yang dipaksa kekasihku membeli kondom juga,’ tambah kekasihku itu. Aku tertawa dan menjawab, ‘Aku lebih yakin bapak itu sedang persiapan ingin jajan,’ dan ia tertawa—kekasihku itu.”

Sahabatku itu kemudian terdiam cukup lama, aku memandangnya dengan pandangan sudah-begitu-saja-? Ia kemudian menjawab dengan jahil, “Iya, cukup segitu kisahnya.”

“Lanjutkan ceritanya!” protesku. “Ayo lanjutkan!”

Sahabatku malah tertawa geli melihat perilaku kekanak-kanakan milikku. Baiklah baiklah, jawabnya akhirnya. Ia pun menceritakan dengan semburat merah yang perlahan muncul di pipinya dan berusaha berbisik-bisik di telingaku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar