Pendahuluan
Setiap kali melihat postingan mantan yang mesra dengan kekasih barunya,
masih saja merasa kecewa, sakit, marah dan berbagai rasa ketika menghadapi
kegagalan dalam menghadapi kompetisi. Saya berkali-kali menulis tentang mantan
kekasih yang satu ini di blog ini, tapi ijinkanlah kali ini saya membahasnya
dengan perspektif (pseudo) ekonomi-politik, tentu saja kekirian.
Kegagalan Cinta Dalam Perspektif Ekonomi
Politik
Membahas ia dengan perpektif ekonomi politik adalah hal yang baru
menurut saya. Mengingat tulisan-tulisan yang pernah saya terbitkan di blog ini
memakai perpektif pickup artist, yang sayangnya ilmu-ilmu pickup artist yang saya
pelajari telah luntur semua. Dikarenakan memang
sengaja saya melunturkan itu semua karena ilmu itu hadir karena adanya sistem
kapitalisme, yang jelas sekali bertentangan dengan ideologi yang saya anut. Oh iya, sekaligus memang karena jarang dipratekkan, tetapi hal ini
bukan tanpa alasan.
Memang ilmu-ilmu itu berguna sesekali dalam mengobati
kekecewaan-kekecewaan yang seringkali kambuh. Namun karena saya menyadari
(dengan perlahan) bahwa ilmu pickup artist itu hanya cocok dengan orang-orang
yang sudah bisa mencari duit sendiri atau dalam bahasa libcom: menjual sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bagi manusia yang masih mengenyam
pendidikan seperti saya, hal itu tampak mustahil dan kontradiktif.
Pertentangan Kelas
Kaum Marxis percaya dunia manusia ini dibentuk dengan sifat dialektis,
pertentangan. Bukan pertentangan biasa, tetapi pertentangan kelas. Kelas yang
didiami oleh mantan saya adalah kelas atas, dengan ayah yang berprofesi sebagai
kelas birokrat eselon atas. Sedangkan saya berada di lingkungan keluarga kelas
birokrat bawah. Ayah saya adalah pensiunan prajurit miskin, yang menurut Aji
Prasetyo (salah seorang komikus lokal): mereka (prajurit miskin) ini yang
dikorbankan oleh para jendral mereka di garda depan, dan mereka yang merasa
mati karena membela negara padahal mah enggak.
Kalau hanya pengkategorian seperti ini, tidak akan ketemu
kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan. Menurut Hilmar Farid (sejarawan yang kini
menjadi menjadi Dirjen Kebudayaan), harus ada kajian historisnya. Baiklah
dengan mengikuti saran bung Farid, mari kita mengungkap kajian historisnya.
Apa yang membuat ayahnya dan ayah saya
tidak sama nasibnya? Apa faktornya? Padahal masing-masing mereka adalah kelas
birokrat. Apa memang kelas birokrat seperti itu? Bersifat hirarkis dan tidak
adil? Selama seminggu ini saya berpikir terus mengenai hal ini. Birokratisme
memang bersifat tidak adil.
Lalu mengapa bisa pekerjaan ayah bisa
mempengaruhi kebahagiaan anaknya?
Selama ini kegagalan cinta yang saya
peroleh saya yakini karena adanya faktor. Hidup di alam kapitalisme membuat kita
harus menjual sesuatu untuk memperoleh sesuatu. Bila kita ingin mendapatkan
cinta (di dalam alam kapitalisme), komunitas pickup artist yang selalu membedah
hal ini meyakini kita harus melakukan metode-metode.
Nah metode-metode ini mengharuskan kita
menjual (investasi) waktu kita untuk mendapatkan hasil. Salah satu metode
pickup artist yang saya tahu mengharuskan diri kita untuk keluar dan bergaul
dengan orang banyak[1]. Yang mana bila kita diharuskan menjual sesuatu untuk
mendapatkan sesuatu adalah ciri khas dari kapitalisme[2]. Sedangkan bila saya
asyik untuk menjual waktu saya untuk mendapatkan social life-kehidupan sosial
maka tak ada waktu yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan hidup saya. Maka dari
itu hal ini tidaklah adil mengingat saya belum lagi bekerja (menjual tenaga
pada kapitalis untuk mendapat uang) dan sementara ini saya mendapat uang dari
orang tua yang tidaklah cukup untuk membiayai modal-modal lain untuk memperkuat
daya tawar saya terhadap lawan jenis, perawatan tubuh misalnya.
Menuju Masyarakat Penuh Cinta
Ada dialog yang menarik dalam film
Libertarias [1996]. Saat milisi revolusioner wanita Perang Sipil Spanyol (sepertinya
Mujeres Liberes) yang berhaluan anarkisme/sosial libertarian menggerebek tempat
pelacuran dan menyampaikan orasinya, mereka menegaskan bahwa cinta itu bukan
untuk dijual (kapitalisme) tetapi cinta itu bebas. Lalu penegasan itu disambut
dengan satir oleh sebagian pelacur bahwa para milisi revolusioner ini memang
pelacur tapi bukan untuk uang tetapi dengan gratis.
Kritik yang tidak kompeten ini biarlah
menjadi PR bagi para libertarian. Namun bagaimana bayangan para libertarian
tentang hubungan masyarakat cinta dan masyarakat komune yang tanpa hirarki dan
kelas? Apa pemikiran yang menjadi dasar para libertarian untuk bercinta dalam
masyarakat komune?
Saya meyakini hubungan percintaan itu
selain untuk reproduksi tetapi juga untuk fun, pleasure, kenikmatan dan
main-main[3]. Dalam kehidupan sebelum kapitalisme, dalam masyarakat komune,
semua karya seni dan budaya dihasilkan manusia setelah masyarakat komune ini
bekerja mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mengisi waktu
luang[4]. Lalu pertanyaannya kemudian hubungan percintaan itu apakah kebutuhan
hidup manusia atau kebutuhan mengisi waktu luang? Nah pertanyaan ini
membutuhkan hal objektif sebagai alat untuk menjawabnya dengan benar.
Penutup
Bahwa kesialan dalam kegagalan cinta
memanglah berasal karena sistem kapitalisme menjadi langgeng dan hegemonik.
Klise memang, toh saya juga iseng untuk menjabarkan penjelasannya. Lalu bila
melihat kehidupan masyarakat antitesa kapitalisme, dalam hal ini sosial
libertarian/anarkisme jawabannya belum memuaskan. Ditambah kehidupan masyarakat
kontemporer tidak ada upaya yang luas untuk menyuntikkan ide-ide sosial
libertarian ini. Tulisan ini terbuka untuk dikritik, karena penjabarannya yang
pseudo. Semoga menjadi pemicu diskusi yang hangat. Tabik.***
[1] Joe Exorio, Berkenalan Dengan Lawan Jenis | Wikibuku https://id.wikibooks.org/wiki/Berkenalan_dengan_lawan_jenis
[2] libcom.org, Kapitalisme: Sebuah Perkenalan | Jurnal Subjektif http://subyektifzine.blogspot.com/2016/02/kapitalisme-sebuah-perkenalan.html
[3] Nosa Normanda, 5 Alasan Sederhana LGBT Bukanlah Penyakit https://eseinosa.wordpress.com/2016/01/28/5-alasan-sederhana-lgbt-bukan-penyakit/
[4] Martin Suryajaya, Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris | IndoProgress http://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar