Saya menekuni dunia sastra baru-baru ini saja sih. Setelah menekuni ideologi kiri kemudian tertarik ke filsafatnya (yah ternyata saya baru tau kalau marxisme itu ada ideologi dan ada ilmu filsafatnya), lalu kemudian ternyata orang-orang pergerakan kiri ini menekuni bidang kebudayaan juga. Jadilah saya berkenalan dengan dunia literatur. Oh iya, saya termasuk orang yang menyamakan arti dari literatur dengan sastra. Mungkin karena menurut saya memang yang namanya tulisan ya sebuah kerja budaya.
Novel gelombang pertama dalam menekuni sastra ini yang saya baca adalah Kambing dan Hujan karya Makhfud Ikhwan. Bercerita tentang dua sejoli yang kesulitan mendapat restu untuk menikah dari kedua orang tuanya. Masalahnya ternyata tak sesederhana bukan hanya karena mereka beruda berada dalam keluarga yang beda afiliasi dalam organisasi Islam tapi ternyata ada sejarah personal diantara kedua ayah mereka. Menjadikan novel ini bukan sebagai cerita romantis Romeo dan Juliet versi muslim di Indonesia, tetapi nuansa brotherhood mengisi penuh alur novel.
Latar Kambing dan Hujan sangat akrab sekali dengan saya. Selama ini saya menjalani pendidikan pesantren, yang meski tidak berafiliasi dengan dua organisasi yang diceritakan di novel tersebut, namun hal yang sama adalah nuansa desa yang digambarkan oleh Makhfud Ikhwan. Oleh karena saya menjumpai nuansa desa itu setiap hari dalam 5-6 tahun ini. Seakan-akan memang hal yang personal, dan saya pikir hal itu lumrah dalam khasanah sastra di Indonesia. Dan saya ternyata salah.
Hari ini saya menyadari bahwa novel yang terkenal gara-gara menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini adalah sebuah counter/perlawanan terhadap sastra urban-sentrisme yang cenderung menceritakan kehidupan urban/perkotaan. Kambing dan Hujan yang menggambarkan desa dinilai tidak lazim dalam khasanah sastra kontemporer/kekinian. Belakangan saya menyadari hal ini.
Dulu sekali saat tahun-tahun terakhir SMA (yah tidak tepat disebut SMA, tapi pendidikannya setingkat SMA) saya membaca trilogi awal Supernova nya Dewi Lestari, lalu Perahu Kertas yang memang menggambarkan urban-sentrisme (cerita yang berlatar perkotaan). Supernova jilid pertama sendiri, tokoh-tokohnya adalah kelas menengah atas di perkotaan. Jilid kedua (Akar), meskipun sang tokoh utama, Bodhi menjalani masa kecil di pedalaman Sumatra namun ia menjalani kehidupan dewasanya di pusat hiruk pikuk Bangkok, Thailand. Kemudian Supernova: Petir juga menggambarkan si tokoh utama, Elektra hidup di pusat kota Bandung. Lalu Perahu Kertas juga merupakan novel pop yang menggambarkan para tokohnya hidup di perkotaan.
Eka Kurniawan, novelis yang paling dibicarakan akhir-akhir ini, dalam-dalam novelnya, meskipun tidak berlatar-belakang kehidupan desa, tetapi yang diangkat adalah kehidupan jalanan/pasar yang entah itu di desa maupun di kota yang menurut hemat saya merupakan sebuah tranformasi masyarakat ketika kapital masuk ke dalam pinggiran-pinggiran kota dan desa. Yah, saya hanya membaca satu novelnya saja sih, Lelaki Harimau dimana menggambarkan kehidupan sebuah desa di pedalaman Sumatra namun tak memiliki kultur pertanian di sana (seperti yang digambarkan di Kambing dan Hujan). Ayah sang tokoh utama bekerja sebagai tukang cukur di pasar. Sedang sang tokoh utama sendiri termasuk pemuda berandalan desa yang bersentuhan yang lekat dengan kehidupan jalanan.
Sebenarnya sastra islami juga ingin saya bahas, namun karena saya tidak mengikuti sastra ini, meskipun ia memiliki fenomena tersendiri dalam khasanah sastra kontemporer. Saya penasaran siapa saja yang menjadi influence bagi gerakan sastra islami ini, apa saja sih novel yang Elsirazy, Ahmad Fuadi, Tere Liye baca? Sebelum akhirnya mereka menulis novelnya. Seperti halnya Eka Kurniawan yang dalam beberapa kesempatan mengakui tulisannya dipengaruhi oleh Gabril Garcia Marques dengan realisme magisnya dan juga Pramoedya Ananta Toer dengan realisme sosialisnya. Saya juga termasuk berada di pihaknya ketika ia menyatakan bahwa kurang lebih tidak ada gunanya seorang penulis menyembunyikan novel-novel yang ia baca.
Makin kesini, saya makin menyamakan dunia sastra ini seperti dunia musik. Musik sendiri terdiri dari berbagai genre dan sejarah yang panjang. Sastra dan dunia literatur juga begitu, memiliki sejarah panjang dan "genre" berbeda. Seperti contoh generasi Beat, realisme magis, realisme sosialis lalu juga sastra avant garde, dll.
Begitulah peta sastra kontemporer yang sejauh ini saya pelajari otodidak dan pengamatan dari tulisan-tulisan kritik sastra yang betebaran di internet. Masih jauh dari kata bernilai akademik sih, karena sumber-sumbernya bukan hasil kajian akademis, maka dari itu saya menambahkan "sebuah curhat" dalam judulnya. Tabik.***
Bacaan lanjut:
Muhammad Al-Fayyadl, Masa Depan Sastra Indonesia, Surah Sastra http://www.surahsastra.com/masa-depan-sastra-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar