Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari
My rating: 1 of 5 stars
Novel ini mungkin penggambaran terbaik dari apa yang dirasakan oleh para survivor/penyintas/korban salah satu tragedi paling hitam dalam sejarah Indonesia: Tragedi 1965. Menariknya novel ini pertama kali diterbitkan pada medio 1980an (1982), dimana kekuasaan Orde Baru di tengah puncak 'kejayaan'nya. Jadi apa seorang Ahmad Tohari sudah pernah merasakan diciduk oleh satuan Kodim terdekat?
Saya pernah membaca, Tragedi 1965 juga menghancurkan gerakan perempuan. Ini ditandai dengan pelarangan organisasi seperti Gerakan Wanita Indonesia (ngomong2 kenapa ya gerwani memakai kata wanita, sedang feminis kontemporer menolak kata wanita?). Meskipun tokoh Srintil tidak ikut dalam organisasi apapun, namun hanya digunakan sebagai alat partai (hal ini juga persis menggambarkan keadaan orang2 Lekra yang organisasinya dilarang dan anggotanya dipenjara). Srintil sendiri pun ketika menjadi seorang ronggeng, ia mulanya begitu bangga status dan identitasnya itu, namun setelah ia diciduk aparat dan dipenjara, nilai awalnya sebagai perempuan sebelum geger 1965 seketika dijauhi dan ia mengkonstruksi nilai seorang perempuan lain yang jauh dari ketika ia menjadi ronggeng; persis ketika Orde Baru menghancurkan gerakan perempuan dan mengkonstruksi sebuah pemahaman baru tentang perempuan yang penuh bias patriarkis dan ironisnya hingga sekarang nilai yang ditanamkan oleh Orde Baru itu masih langgeng di tengah masyarakat.
Dalam Tragedi 1965 sendiri banyak sekali orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban. Bagaimana premis ini kemudian dibawakan dalam novel persis ketika orang-orang Dukuh Paruk yang sama sekali tidak mengerti politik, namun hanya dimanfaatkan sebagai alat partai, akibatnya Dukuh Paruk ikut pula dihancurkan. Baca sendirilah kesaksian2 para penyintas yang betebaran di internet.
Yang paling lucu menurut saya sendiri sebenarnya sosok Sersan Slamet yang digambarkan sangat kebapakan.[]
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar