Tidak terasa bulan September kembali datang. Dalam bulan
September sendiri banyak peristiwa yang perlu diingat, bahkan mungkin
peristiwa-peristiwa ini terus menghantui. Salah satunya Tragedi 1965. Peristiwa
ini menelan korban—menurut komandan RPKAD waktu itu—3 juta orang terbunuh.
Sungguh angka yang sangat fantastis.
Sebagai generasi millenial yang lahir pada medio 1990an--fyi saya lahir tahun 1992,
mengingat Tragedi 1965 berarti juga mengingat PKI, mengingat PKI berarti juga
mengingat Gerakan 30 September (seolah-olah hanya itu saja yang bisa diingat
dari partai terlarang itu). Seingat saya, dulu mendengar Partai Komunis
Indonesia atau PKI, hati mendadak bergetar. Bukan bergetar dalam maksud bangga,
tetapi lebih seperti ketakutan. Kok bisa sih ketakutan seperti itu mendengar
PKI diucapkan? Apa mungkin karena waktu kecil saya dihabiskan di Resimen Induk
Militer dan Asrama Komando Distrik Militer? Atau karena ayah saya seorang
Angkatan Darat?
Pertama kali terhenyak mendengar bahwa ada 3 juta orang yang
terbunuh adalah ketika salah satu ustadz saya di Pondok Pesantren membawa isu
ini—sebagai selingan pelajaran—di dalam kelas. Ustadz saya ini menyebut Tragedi
1965 sebagai sejarah hitam, yang entah mengapa kita tak pernah mendapat
keterangan yang memuaskan untuk mengetahui hal yang terjadi sebenarnya, ada apa
sih yang sebenarnya pada waktu itu?
Jika kita bertanya pada waktu dulu, kenapa sih orang-orang
(dituduh) PKI ini dibunuh? Pertama, karena mereka ini akan mengganti dasar
negara. Kedua, orang-orang ini tak bertuhan. Cukup lama sebenarnya saya
menyadari kekeliruan atas pembenaran pembunuhan terhadap manusia-manusia ini.
Saya ingat dulu sempat menghujat film Jagal (The Act of Killing) karena
memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Tapi semakin kesini, rasa
kemanusiaan saya semakin tumbuh. Tidak ada pembenaran bagi penghilangan paksa
nyawa seorang manusia pun—mungkin terdengar sedikit radikal—baik manusia yang
tidak bertuhan, maupun manusia yang ingin mengganti dasar negara. Bahkan kalau
bicara dengan dasar agama, agama yang selama ini saya anut pun dalam kitab
sucinya juga ditemukan larangan untuk membunuh manusia, siapapun itu.
Lalu semakin kesini—berkat semua literatur alternatif yang
saya baca—berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam rangkaian Tragedi 1965
sedikit demi sedikit terkuak. Tidak hanya adanya pembunuhan, namun juga ada
penyiksaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, pemfitnahan, stigma
negatif, dsb. Semua hal yang semakin terkuak ini membuat saya penasaran,
mengapa ada manusia yang tega melakukan hal-hal keji tersebut dan mereka tak
terang-terangan menyesal? Apakah kemanusiaan tidak ada harganya lagi ya hari
ini?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar