Saya berulang tahun hari ini di usia ke-24. Sedang
menanti-nanti kelulusan yang tak tau kapan itu disebuah akademi relijius—lebih dikenal
dengan pondok pesantren. Catatan ini sekedar memeriahkan ulang tahun saya yang
sepi. Perasaan sudah melakukan hal ini sebelumnya: membuat catatan di hari
ulang tahun. Ah iya benar juga, tahun lalu menulis sebuah catatan di blog soal
bagaimana obsesi saya untuk berkontribusi terhadap umat manusia[1]. Dan karena
generasi millenial rata-rata menjadi pesimis dan nihilis, yakin akan lumat di
sistem yang busuk ini, jadi obsesi saya tahun lalu menjadi tak relevan. Ini
pasti gara-gara saya baca analisa tidak resmi dari seorang intelektual muda UI,
yang ditulis di blognya[2]. Dari analisanya yang lumayan tajam menganalisis
fenomena Awkarin yang ditujukan kepada generasi millenial—generasi saya dan dia
juga, saya berkesimpulan bahwa generasi millenial kini yang bertanggung jawab
untuk merubah dunia ini menjadi lebih baik untuk generasi selanjutnya.
Doski juga menulis sebuah catatan untuk ulang tahunnya ke-22.
Dengan perspektif ekologis, mb pp lebih bisa melihat kiamat daripada runtuhnya
kapitalisme, meskipun ia juga menekankan bahwa pergantian sistem itu mutlak
adanya, dan sinis terhadap kesombongan manusia[3]. Ah, jadi ingat mz arip—mz mz
pegiat literasi, yang menulis curhat di blognya tentang kapitalisme dan kiamat.
Ia juga menulis lebih gampang membayangkan kiamat daripada hancurnya
kapitalisme[4]—tapi kapitalisme emang udah hancur berkali-kali, tapi selalu
bisa bangkit kembali. PP, Arip, juga MC kondang—Morgue Vanguard menambah daftar
panjang orang-orang yang semakin realistis terhadap perlawanan merebut kapital
hari ini—kalo tidak mau dibilang mengalami demoralisasi. Gimana dengan saya?
Entahlah.
Akhir-akhir ini politik ekologi semakin menarik perhatian
saya, juga beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan di berbagai ruang
virtual. Meskipun seorang yang percaya anarkisme seperti saya ini rada alergi
dengan jalur partai (hei, lebih asyik menjalankan otonomi kolektif, demokrasi
partisipatoris, gotong royong dan asosiasi bebas), namun orang-orang progresif
kiri yang saya ikuti selama ini sibuk mempromosikan beberapa partai. Salah
satunya partai yang latar belakang perspektifnya ekologis yaitu Partai Hijau
Indonesia. Menariknya, di website resminya udah seperti orang-orang progresif
kiri dengan orang liberal rukun sekali[5]. Ulil Abshar Abdala sendiri yang sangat
dikenal liberal mengaku juga simpati terhadap isu ekologis di Pegunungan
Kendeng[6]. Beberapa orang yang tergabung dalam Islam Bergerak juga ikut
melahirkan sebuah organisasi yang dikenal dengan Front Nadhliyyin untuk Kedaulatan
Sumber Daya Alam (FNKSDA), yang jelas-jelas memakai perspektif ekologis[7].
Bahkan situs Anarkis.org juga menurunkan tulisan yang berperspektif ekologis
yang memberi kritik pada gerakan hijau—yang membuat saya rada penasaran juga
sejarah gerakan ekosentris di dunia[8]. Wew, apa yang sedang terjadi.
Jujur, saya tak pernah membaca kajian ekologis sebelumnya.
Literasi saya pun tidak pernah ada yang membahas lingkungan—apalagi lingkungan
akademik saya (pesantren). Saya pun selama 1-2 tahun terakhir memang fokus
dalam isu kesejahteraan, perebutan ruang hidup dan gerakan literasi. Jadi isu
lingkungan merupakan hal yang awam bagi saya—meskipun gerakan lingkungan
Menolak Reklamasi Teluk Benoa di Bali menjadi salah satu alasan saya tertarik
dengan gerakan massa.
Dengan bermunculannya gerakan-gerakan hijau, mungkin kita
memasuki sebuah episode baru. Ibarat sebuah seri drama reality show Korea, kita
memasuki sebuah season kedua. Season pertamanya adalah timbulnya konflik
agraria di seluruh tempat di Indonesia. Dan di season kedua ini,
perlawanan-perlawanan terhadap perebutan ruang itu diorganisir—bahkan berjejaring
dan membuat solidaritas. Tetapi seperti seri Game of Thrones, perjuangan masih
panjang untuk meraih keadilan. Ini ngawur sik.
Refleksi Diri
Dengan latar belakang relijius-mistik-nasionalis yang
bertubrukan dengan pemikiran modernis-rasionalis, lalu kemudian banting setir
ke kiri, saya seperti menemukan hal ingin saya lakukan ke depannya.
Sederhananya seperti perjalanan pergerakannya Ucok ex-Homicide, ikut semacam
kur-pol (kursus politik) Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan menjadi kader, lalu
keluar, pulang kampung dan memutuskan untuk membangun gerakan akar rumput
dengan prinsip-prinsip anarkis.
Tapi semuanya membutuhkan keberanian. Dan saya belum punya
itu. Butuh keberanian untuk melakukan sesuatu hal yang kita inginkan, di tengah
tuntutan orang tua yang keras. Harusnya malu pada Pram yang menjadi ikon
keberanian gerakan demokrasi di penghujung senja orde Baru. Sampai akhir
hayatnya, Pram selalu berani bersuara untuk orang-orang kalah.
Jadi ingat beberapa orang menganjurkan sebuah jalan praktis
dalam sistem busuk ini: fokuslah mendapatkan kekuasaan dan wang, lalu kau bisa
dihormati dan melakukan semua yang kamu ingin lakukan. Baiklah, setelah ini
saya akan membuka bisnis sendiri dan setelahnya merebut kapital dan memperbudak
pekerja.
Ah, jadi ingat kekecewaan saya terhadap kawan-kawan
relijius-mistik-nasionalis saya yang sungguh dimanjakan oleh orang tua pemilik
kapital. Yang satu perempuan, dan saya paling ingat ia sinis dan ingin sekali
merubah sistem yang memperbolehkan pekerja untuk berutang pada perusahaan
ayahnya. Dan ketika saya menanyakan apa alasan pekerja ayahnya untuk meminjam
uang? Ia menjawab, untuk kebutuhan sehari-hari. Waktu itu saya belum ngeh dan
belum ngerti betul tentang penderitaan kaum pekerja/buruh. Dan hari ini ketika
merefleksikan kembali percakapan itu, coba dipikir: mengapa pekerja ayahnya
berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? YA KARENA GAJI YANG SAMPEAN
BERIKAN KE PEKERJA KURANG, DEK. Seharusnya tidak perlu emosional, tapi melihat
ia begitu sombong sekarang, mau tak mau menjadi emosional. Lucu memang.
Akhir-akhir ini ia bahkan mempromosikan nasionalisme,
menghimbau untuk mengonsumsi produk dalam negeri dan mengurangi konsumsi produk
impor. Jelas orang yang lebih mengutamakan Class War seperti saya, alergi
terhadap himbauan seperti itu. Apa yang lebih penting dari mengonsumsi produk
lokal yang belum jelas apa perusahaan pembuatnya membayar pekerjanya dengan
layak atau berjuang agar seluruh pekerja dibayar dan bekerja dengan layak? Dan
sampai di sini saja polemik tentang kelakar konsumsi lokal atau impor.
Yang kedua seorang kawan cowok yang mengeluh tentang
pekerja. Saya tidak tahu situasinya, namun saya terlalu emosional dan kecewa
yang akhirnya mendebatnya. Ia memang berargumen bahwa dirinya sebagai bos juga
memegang kerja yang tidak berperikemanusiaan. Ini yang menarik, namun sayangnya
saya tidak menanggapinya. Di dalam pengantar situs libcom.org yang sempat saya
terjemahkan seadanya[9], sistem kapitalisme tidak hanya menghajar para pekerja,
namun juga para bosnya. Dengan orientasinya pada pasar, maka dibenarkanlah
kompetisi. Para bos akan berkompetisi satu sama lain bahkan menghalalkan segala
cara. Dan yang kalah berkompetisi akan bangkrut dan hancur dikoyak-koyak
kapital.
Baiklah, kiranya cukup sampai di sini. Ada deadline yang
perlu diperhatikan. Jelas saya secara resmi menjadi buruh. Semoga tidak semakin
kehilangan harapan untuk terus hidup. Tabik.[]
[1] Mochammad IH; Catatan Kematian #1 – Bila Aku Mati
Muda | Egnaro Ekac https://egnaroekac.blogspot.co.id/2015/10/catatan-kematian-1-bila-aku-mati-muda_31.html
[2] Perdana Putri; OMG, I’m talkin’ about Awkarin
—also crisis, digital labor, and galore stuffs I don’t even understand | Yellow
Spider https://medium.com/@galaxybliss/omg-im-talkin-about-awkarin-also-crisis-digital-labor-and-galore-stuffs-i-don-t-even-7ad758309920#.vcfvs836b
[3] Perdana Putri; Akhirnya Saya Bisa Menyanyikan Lagu
Taylor Swift—Juga Sedikit Daftar Tentang Mimpi | Laba-Laba Kuning https://blogadaryu.wordpress.com/2016/09/04/akhirnya-saya-bisa-menyanyikan-lagu-taylor-swift-juga-sedikit-daftar-tentang-mimpi/
[4] Arip; Hama-Hama Penggerutu https://yeaharip.com/2016/10/05/hama-hama-penggerutu/
[5] Ada nama Dewi Candraningrum yang saya tau sebagai
orang liberal mengisi testimoni Partai Hijau bersanding dengan nama Zely Ariane
dan Andre Barahamin yang saya tau sering menulis di situs-situs progresif kiri.
Situs resmi Partai Hijau Indonesia http://www.hijau.org/
[6] Diskusi "Islam Progresif
dan Kritik Ekonomi-Politik atas Islam Liberal", FISIP, UIN Ciputat | Panel
Ulil Abshar Abdala https://www.youtube.com/watch?v=Ibg4gz6Z6po https://www.youtube.com/watch?v=7PfSycCBhb4
[7] Situs Daulat Hijau http://www.daulathijau.org/
[8] Bima Satria Putra; Anarkis dan Elektoralisme |
Anarkis.Org http://anarkis.org/anarkis-dan-elektoralisme/
[9] Libcom.org; Kapitalisme: Sebuah Perkenalan |
Subyektif Zine http://subyektifzine.blogspot.co.id/2016/02/kapitalisme-sebuah-perkenalan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar