Tampilkan postingan dengan label catatan kematian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan kematian. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Oktober 2016

Selamat Ulang Tahun, Kamerad





Saya berulang tahun hari ini di usia ke-24. Sedang menanti-nanti kelulusan yang tak tau kapan itu disebuah akademi relijius—lebih dikenal dengan pondok pesantren. Catatan ini sekedar memeriahkan ulang tahun saya yang sepi. Perasaan sudah melakukan hal ini sebelumnya: membuat catatan di hari ulang tahun. Ah iya benar juga, tahun lalu menulis sebuah catatan di blog soal bagaimana obsesi saya untuk berkontribusi terhadap umat manusia[1]. Dan karena generasi millenial rata-rata menjadi pesimis dan nihilis, yakin akan lumat di sistem yang busuk ini, jadi obsesi saya tahun lalu menjadi tak relevan. Ini pasti gara-gara saya baca analisa tidak resmi dari seorang intelektual muda UI, yang ditulis di blognya[2]. Dari analisanya yang lumayan tajam menganalisis fenomena Awkarin yang ditujukan kepada generasi millenial—generasi saya dan dia juga, saya berkesimpulan bahwa generasi millenial kini yang bertanggung jawab untuk merubah dunia ini menjadi lebih baik untuk generasi selanjutnya.

Doski juga menulis sebuah catatan untuk ulang tahunnya ke-22. Dengan perspektif ekologis, mb pp lebih bisa melihat kiamat daripada runtuhnya kapitalisme, meskipun ia juga menekankan bahwa pergantian sistem itu mutlak adanya, dan sinis terhadap kesombongan manusia[3]. Ah, jadi ingat mz arip—mz mz pegiat literasi, yang menulis curhat di blognya tentang kapitalisme dan kiamat. Ia juga menulis lebih gampang membayangkan kiamat daripada hancurnya kapitalisme[4]—tapi kapitalisme emang udah hancur berkali-kali, tapi selalu bisa bangkit kembali. PP, Arip, juga MC kondang—Morgue Vanguard menambah daftar panjang orang-orang yang semakin realistis terhadap perlawanan merebut kapital hari ini—kalo tidak mau dibilang mengalami demoralisasi. Gimana dengan saya? Entahlah.

Akhir-akhir ini politik ekologi semakin menarik perhatian saya, juga beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan di berbagai ruang virtual. Meskipun seorang yang percaya anarkisme seperti saya ini rada alergi dengan jalur partai (hei, lebih asyik menjalankan otonomi kolektif, demokrasi partisipatoris, gotong royong dan asosiasi bebas), namun orang-orang progresif kiri yang saya ikuti selama ini sibuk mempromosikan beberapa partai. Salah satunya partai yang latar belakang perspektifnya ekologis yaitu Partai Hijau Indonesia. Menariknya, di website resminya udah seperti orang-orang progresif kiri dengan orang liberal rukun sekali[5]. Ulil Abshar Abdala sendiri yang sangat dikenal liberal mengaku juga simpati terhadap isu ekologis di Pegunungan Kendeng[6]. Beberapa orang yang tergabung dalam Islam Bergerak juga ikut melahirkan sebuah organisasi yang dikenal dengan Front Nadhliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), yang jelas-jelas memakai perspektif ekologis[7]. Bahkan situs Anarkis.org juga menurunkan tulisan yang berperspektif ekologis yang memberi kritik pada gerakan hijau—yang membuat saya rada penasaran juga sejarah gerakan ekosentris di dunia[8]. Wew, apa yang sedang terjadi.

Jujur, saya tak pernah membaca kajian ekologis sebelumnya. Literasi saya pun tidak pernah ada yang membahas lingkungan—apalagi lingkungan akademik saya (pesantren). Saya pun selama 1-2 tahun terakhir memang fokus dalam isu kesejahteraan, perebutan ruang hidup dan gerakan literasi. Jadi isu lingkungan merupakan hal yang awam bagi saya—meskipun gerakan lingkungan Menolak Reklamasi Teluk Benoa di Bali menjadi salah satu alasan saya tertarik dengan gerakan massa.

Dengan bermunculannya gerakan-gerakan hijau, mungkin kita memasuki sebuah episode baru. Ibarat sebuah seri drama reality show Korea, kita memasuki sebuah season kedua. Season pertamanya adalah timbulnya konflik agraria di seluruh tempat di Indonesia. Dan di season kedua ini, perlawanan-perlawanan terhadap perebutan ruang itu diorganisir—bahkan berjejaring dan membuat solidaritas. Tetapi seperti seri Game of Thrones, perjuangan masih panjang untuk meraih keadilan. Ini ngawur sik.

Refleksi Diri 

Dengan latar belakang relijius-mistik-nasionalis yang bertubrukan dengan pemikiran modernis-rasionalis, lalu kemudian banting setir ke kiri, saya seperti menemukan hal ingin saya lakukan ke depannya. Sederhananya seperti perjalanan pergerakannya Ucok ex-Homicide, ikut semacam kur-pol (kursus politik) Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan menjadi kader, lalu keluar, pulang kampung dan memutuskan untuk membangun gerakan akar rumput dengan prinsip-prinsip anarkis.

Tapi semuanya membutuhkan keberanian. Dan saya belum punya itu. Butuh keberanian untuk melakukan sesuatu hal yang kita inginkan, di tengah tuntutan orang tua yang keras. Harusnya malu pada Pram yang menjadi ikon keberanian gerakan demokrasi di penghujung senja orde Baru. Sampai akhir hayatnya, Pram selalu berani bersuara untuk orang-orang kalah.

Jadi ingat beberapa orang menganjurkan sebuah jalan praktis dalam sistem busuk ini: fokuslah mendapatkan kekuasaan dan wang, lalu kau bisa dihormati dan melakukan semua yang kamu ingin lakukan. Baiklah, setelah ini saya akan membuka bisnis sendiri dan setelahnya merebut kapital dan memperbudak pekerja.

Ah, jadi ingat kekecewaan saya terhadap kawan-kawan relijius-mistik-nasionalis saya yang sungguh dimanjakan oleh orang tua pemilik kapital. Yang satu perempuan, dan saya paling ingat ia sinis dan ingin sekali merubah sistem yang memperbolehkan pekerja untuk berutang pada perusahaan ayahnya. Dan ketika saya menanyakan apa alasan pekerja ayahnya untuk meminjam uang? Ia menjawab, untuk kebutuhan sehari-hari. Waktu itu saya belum ngeh dan belum ngerti betul tentang penderitaan kaum pekerja/buruh. Dan hari ini ketika merefleksikan kembali percakapan itu, coba dipikir: mengapa pekerja ayahnya berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? YA KARENA GAJI YANG SAMPEAN BERIKAN KE PEKERJA KURANG, DEK. Seharusnya tidak perlu emosional, tapi melihat ia begitu sombong sekarang, mau tak mau menjadi emosional. Lucu memang.

Akhir-akhir ini ia bahkan mempromosikan nasionalisme, menghimbau untuk mengonsumsi produk dalam negeri dan mengurangi konsumsi produk impor. Jelas orang yang lebih mengutamakan Class War seperti saya, alergi terhadap himbauan seperti itu. Apa yang lebih penting dari mengonsumsi produk lokal yang belum jelas apa perusahaan pembuatnya membayar pekerjanya dengan layak atau berjuang agar seluruh pekerja dibayar dan bekerja dengan layak? Dan sampai di sini saja polemik tentang kelakar konsumsi lokal atau impor.

Yang kedua seorang kawan cowok yang mengeluh tentang pekerja. Saya tidak tahu situasinya, namun saya terlalu emosional dan kecewa yang akhirnya mendebatnya. Ia memang berargumen bahwa dirinya sebagai bos juga memegang kerja yang tidak berperikemanusiaan. Ini yang menarik, namun sayangnya saya tidak menanggapinya. Di dalam pengantar situs libcom.org yang sempat saya terjemahkan seadanya[9], sistem kapitalisme tidak hanya menghajar para pekerja, namun juga para bosnya. Dengan orientasinya pada pasar, maka dibenarkanlah kompetisi. Para bos akan berkompetisi satu sama lain bahkan menghalalkan segala cara. Dan yang kalah berkompetisi akan bangkrut dan hancur dikoyak-koyak kapital.

Baiklah, kiranya cukup sampai di sini. Ada deadline yang perlu diperhatikan. Jelas saya secara resmi menjadi buruh. Semoga tidak semakin kehilangan harapan untuk terus hidup. Tabik.[]



[1] Mochammad IH; Catatan Kematian #1 – Bila Aku Mati Muda | Egnaro Ekac https://egnaroekac.blogspot.co.id/2015/10/catatan-kematian-1-bila-aku-mati-muda_31.html
[2] Perdana Putri; OMG, I’m talkin’ about Awkarin —also crisis, digital labor, and galore stuffs I don’t even understand | Yellow Spider https://medium.com/@galaxybliss/omg-im-talkin-about-awkarin-also-crisis-digital-labor-and-galore-stuffs-i-don-t-even-7ad758309920#.vcfvs836b

[3] Perdana Putri; Akhirnya Saya Bisa Menyanyikan Lagu Taylor Swift—Juga Sedikit Daftar Tentang Mimpi | Laba-Laba Kuning https://blogadaryu.wordpress.com/2016/09/04/akhirnya-saya-bisa-menyanyikan-lagu-taylor-swift-juga-sedikit-daftar-tentang-mimpi/


[5] Ada nama Dewi Candraningrum yang saya tau sebagai orang liberal mengisi testimoni Partai Hijau bersanding dengan nama Zely Ariane dan Andre Barahamin yang saya tau sering menulis di situs-situs progresif kiri. Situs resmi Partai Hijau Indonesia http://www.hijau.org/

[6] Diskusi "Islam Progresif dan Kritik Ekonomi-Politik atas Islam Liberal", FISIP, UIN Ciputat | Panel Ulil Abshar Abdala https://www.youtube.com/watch?v=Ibg4gz6Z6po https://www.youtube.com/watch?v=7PfSycCBhb4
[7] Situs Daulat Hijau http://www.daulathijau.org/

[8] Bima Satria Putra; Anarkis dan Elektoralisme | Anarkis.Org http://anarkis.org/anarkis-dan-elektoralisme/

[9] Libcom.org; Kapitalisme: Sebuah Perkenalan | Subyektif Zine http://subyektifzine.blogspot.co.id/2016/02/kapitalisme-sebuah-perkenalan.html

Senin, 09 November 2015

Bila Aku Dilupakan Setelah Mati (Catatan Kematian II)



Dalam film remaja The Fault in Our Stars[1], salah satu konflik internal para karakternya adalah bagaimana ia begitu takut dilupakan setelah ia mati. Kematian sudah pasti, namun penyakit kankerlah yang membuatnya terasa pasti. Ibarat ada sebuah sistem penghisapan, kita tak pernah merasakannya, namun di belahan lain ada orang yang merasakannya langsung dan menimbulkan reaksi. Namun film ini tak menghadirkan solusi yang mencerahkan menurut penulis, karena soal melupakan dan dilupakan itu dijawab dengan hal klise seperti orang-orang dan kerabat dekat saja yang mengingatnya. Atau mungkin para sineas, bahkan penulis novelnya hanya menggambarkan saja apa yang dirasakan dan reaksi orang-orang biasa[2] menghadapi kematian.

Dalam agama Islam, seorang manusia yang telah mati, eksistensinya dalam dunia materi hilang. Namun secara maknawi, ada manusia yang dinilai eksistensinya di atas bumi masih ada. Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa orang-orang tersebut ada tiga golongan:

"Tatkala telah mati manusia itu, putus amalnya kecuali tidak putus dari 3 amal, shodaqoh yang mengalir pahalanya, atau ilmu yang dimanfaatkan dengan dia, atau anak yang sholeh dia mendoakan kepadanya."[3]

Tiga golongan yang penulis tafsirkan adalah:
1. Orang-orang yang mengeluarkan shodaqoh yang mengalir (selanjutnya akan disebut shodaqoh jariyyah).
2. Orang-orang yang mempunyai ilmu yang bermanfaat, diamalkan dan diajarkan.
3. Orang-orang yang melahirkan anak-anak yang sholeh, anak-anak yang bagus hatinya.

Manusia Yang Mengeluarkan Shodaqoh Jariyyah.
Shodaqoh jariyyah adalah ibarat salah satu kunci yang membuka pintu ketakutan kita akan dilupakan di dunia. Seakan-akan orang-orang yang mengeluarkan shodaqoh jariyyah ini tidak mati, ia seakan-akan hidup panjang, beramal terus di dunia. Menurut penulis, ia seakan-akan tak akan pernah dilupakan di dunia ini karena shodaqoh jariyyah itu. Lalu apa saja macamnya shodaqoh jariyyah itu?

Medan atau cakupan sedekah jariyyah dapat diperluas ke berbagai bidang selama masih bermanfaat bagi generasi mendatang. Dalam hal ini bidang keagamaan seperti membangun masjid, musholla. Bidang sosial seperti membangun lembaga yang melindungi orang-orang fakir miskin, anak-anak yatim dan terlantarkan. Bidang pendidikan seperti membangun pesantren, sekolah, lembaga pendidikan. Bidang kesehatan seperti membangun rumah sakit, klinik kesehatan, pengobatan gratis, dll[4].

Dalam hal ini kontribusinya sangat nyata[5], manusia yang mengeluarkan shodaqoh jariyyah adalah manusia yang takkan pernah dilupakan di dunia ini. Tulisan selanjutnya akan menjelaskan golongan kedua dan ketiga.

[1] The Fault in Our Stars www.imdb.com/title/tt2582846/
[2] Biasa dalam kalimat ini, ia bukan orang yang terkenal.
[3] Kitab Jami'ush Shoghir, Abdur Rohman Jalaludin as-Suyuthi. Bab huruf Alif halaman 56.
[4] Apa Saja yang Digolongkan Amal Jariyah? Bahtsul Masail, Maftukhan [2015]. Situs resmi Nahdlatul Ulama. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,59-id,56977-lang,id-c,bahtsul+masail-t,Apa+Saja+yang+Digolongkan+Amal+Jariyah+-.phpx
[5] Lihat Catatan Kematian #1, Mochammad IH [2015]. http://orangeofcake.blogspot.com/2015/10/catatan-kematian-1-bila-aku-mati-muda_31.html

Sabtu, 31 Oktober 2015

Catatan Kematian #1: Bila Aku Mati Muda

credit https://bayuindrap.wordpress.com/2014/03/04/soe-hok-gie-mati-muda/


Bulan Oktober adalah bulan yang istimewa bagi saya, dikarenakan saya lahir ke dunia di bulan ini. Tepat 10 Oktober 2015 kemarin, saya genap berusia 23 tahun. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini saya tidak meributkan bertambahnya umur sebagai sebuah aib. Entahlah, menurut saya meributkan hal seperti itu (lagi), seperti hal yang omong kosong. Mungkin karena pandangan saya tentang umur telah berubah dengan radikal 180 derajat. Juga pandangan politik saya, ah itu soal lain. Hal yang sia-sia juga menyebutkan hal bertambah-umur-bagai-aib, mungkin karena saya juga merasa berdosa dulu melakukan hal tersebut (meskipun tujuannya bercanda).

Bila aku mati muda, sebuah judul yang lumayan provokatif dan berpotensi menimbulkan polemik. Setidaknya itu asumsi saya sih. Tidak lain dan tidak bukan, tulisan ini akan mengkaji bagaimana saya memandang beberapa tokoh yang kebetulan singkat sekali mendapat kesempatan hidup di dunia. Tokoh-tokoh mati muda ini cukup beruntung masih dikenang hingga sekarang, bahkan beberapa orang membuat tulisan berisi kompilasi tokoh-tokoh yang mati muda[1]. Mungkin keberuntungan untuk dikenang itu pendapat yang cukup prematur, yang pada dasarnya adalah hasil dari usaha menjawab pertanyaan: Mengapa mereka dikenang? Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan semasa hidupnya hingga dikenang?

Guru saya sering bilang dalam berbagai pengajian, hidup itu seperti buku tulis. Lembaran-lembarannya adalah hari-hari kita. Apa yang kita lakukan pada hidup kita seperti kita menulis di dalam buku tersebut. Namun bliyo menekanken, hidup itu bukan soal panjang dan pendeknya umur, tapi kualitas hidup (bukan kuantitas hidup--bila memang perlu perbandingan). Kualitas hidup kita ditentukan oleh apa saja yang kita lakukan selama tinggal di atas bumi ini. Percuma jika berumur panjang tapi hal-hal yang kita lakukan setiap hari sama sekali tidak berkualitas. Pandangan hidup seperti inilah salah satu yang membuat saya memandang bahwa mati muda itu bukan perkara ingin terlihat keren dan berbeda, tapi ini soal bagaimana kita berkontribusi untuk masyarakat dan umat manusia pada umumnya.

Soe Hok Gie, aktivis tobat itu[2] adalah salah seorang yang mati muda. Menurut saya apa yang membuat ia dikenang dan hidupnya berkualitas namun singkat adalah bagaimana dia menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk kemajuan bangsa ini. Dan sampai sekarang tulisan-tulisannya, baik yang berbentuk buku, buku harian maupun kumpulan tulisannya masih dibaca dengan penuh minat oleh generasi sekarang (atau mungkin pembaca ingin disebut sebagai Generasi Y?). Kisah-kisah heroiknya sebagai aktivis mahasiswa (meskipun terdapat propaganda Orde Baru di dalamnya) terus didaur ulang dan terus menginspirasi banyak anak muda tiap generasinya.

Gie adalah salah satu contoh dari sekian banyak tokoh-tokoh yang mati muda. Masih banyak lagi tokoh-tokoh hebat yang mati muda, mulai dari WR. Soepratman, Rosa Luxemburg, Widji Thukul, para mahasiswa yang ditembak mati medio '98, Sondang[3] hingga Sebastian, seorang martir dan juga seorang aktivis buruh yang membakar diri pada Hari Buruh pada Mei 2015 ini[4].

Dari pandangan-pandangan radikal tersebut sudah terlihat jelas bukan soal lebih bahagia mati muda atau tidak, namun lebih terlihat pada kekhawatiran saya jika saya tidak mampu berkontribusi kepada dunia ini, umat manusia atau bahkan bangsa ini. Ini bukan ketakutan akan dilupakan ketika mati seperti para tokoh dalam film The Fault In Ourstars[5], hal ini hanya ketakutan saya bahwa hidup saya akan dijalani dengan sia-sia tanpa kontribusi apapun, hanya makan, minum dan tidur. Sepertinya ada obsesi tersendiri untuk menjadi orang besar dengan jasa yang besar pula. Bukankah guru kita mengharapkan kita menjadi seorang yang punya pemikiran yang besar?

Baiklah, kalimat terakhir dalam paragraf sebelumnya itu untuk kawan-kawan seangkatan saya. Para kawan politbiro[6] dalam organ angkatan saya sering mempropagandakan bahwa seluruh kawan-kawan adalah generasi para jenius-jenius dunia, para akademisi yang cemerlang, calon-calon tokoh yang merubah dunia. Mungkin propaganda ini salah satu faktor yang membuat saya mempunyai obsesi besar untuk menjadi besar. Ah, saya malu untuk mengakuinya. Tapi toh apa salahnya ingin menjadi orang yang merubah dunia?

Sebagai salam perpisahan, saya ingin mengutip Arista Ayu Nanda dan Andri Setiawan dalam majalah Lentera yang dibredel itu[7]. Mereka berdua menggambarkan dengan diksi bagaimana seseorang diingat dengan samar-samar.

"Keberadaannya tenggelam ke dalam memori masyarakat Salatiga. Terhanyut dalam bisingnya zaman, yang melena orang untuk melupakan kepingan sejarah dari tempat kakinya berpijak. Kisah seakan tak berarti, hanya menjadi cerita yang acapkali dianggap angin lalu."

[1] 15 tokoh ternama yang meninggal pada usia 27 tahun http://www.beritaunik.net/unik-aneh/15-tokoh-ternama-yang-meninggal-pada-usia-27-tahun.html
[2] Soe Hok Gie adalah aktivis pergerakan mahasiswa yang memimpin demonstrasi anti-PKI, menumbangkan rezim Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno dan mendukung serta membangun Orde Baru-nya Angkatan Darat dengan naif. Setelah dia mengetahui bahwa Orde Baru dibangun dengan pertumpahan darah, dia langsung membenci, mengkritik, dan melawan rezim tersebut hingga akhir hayatnya. Tulisan-tulisannya soal Orde Baru bisa dilihat dalam buku kumpulan tulisan Soe Hok Gie, Zaman Peralihan.
[3] Wawancara Imajiner Dengan Sondang Hutagalung https://www.facebook.com/notes/hotasi-simamora/wawancara-imajiner-dengan-sondang-hutagalung/10150453908624720
[4] Sebastian, Sampaikan Salam Kami Kepada Sondang http://www.rmoljakarta.com/read/2015/05/04/4408/Sebastian,-Sampaikan-Salam-Kami-untuk-Sondang-
[5] The Fault In Our Stars http://www.imdb.com/title/tt2582846/
[6] Politbiro berarti dewan eksekutif. https://id.wikipedia.org/wiki/Politbiro
[7] Pembredelan Majalah Lentera http://www.rappler.com/indonesia/110304-pembredelan-majalah-lentera