Kamis, 31 Desember 2015

Membaca Anak Semua Bangsa


Oleh Mochammad IH

Judul Buku:
Anak Semua Bangsa

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
536 halaman

Anak Semua Bangsa adalah seri kedua dari 4 jilid Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Novel kedua ini melanjutkan kisah hidup Mingke setelah ditinggal sang istri, dan bagaimana dia berusaha mengobati kehilangannya.

Setelah Anak Semua Bangsa, penulis menyadari beberapa hal. Pertama, ternyata quote-quote iconic, kalimat-kalimat terkenal yang sering didaur ulang oleh pembaca sastra khususnya pembaca tetralogi buru, hanya berasal dari seri pertama, yaitu Bumi Manusia. Pada Anak Semua Bangsa, hampir penulis tak menemukan kalimat-kalimat yang sering digunakan oleh pembacanya untuk didaur ulang, meskipun memang terjadi ulangan-ulangan kalimat dari Bumi Manusia sebagai prinsip oleh sang tokoh utama.

Kedua, meskipun Bumi Manusia cukup iconic, namun Anak Semua Bangsa membuktikan bahwa Bumi Manusia belumlah apa-apa. Di novel inilah Mingke berusaha menjawab pertanyaan tentang bangsanya sendiri, darahnya sendiri, dan hal lain-lain yang tak pernah ia pelajari di HBS. Dia bertemu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa dunia ini tidaklah sedang baik-baik saja. Mulai dari bertemu dan akhirnya berteman dengan salah seorang aktivis Angkatan Muda Cina, Khouw Ah Soe yang bercerita tentang kemerdekaan di Fillipina. Kemudian bertemu dengan seorang jurnalis Indo, Ter Haar yang menceritakan banyak hubungan korporasi dan media massa dan sedikit banyak tentang Republik Fillipina yang seumur biji jagung. Lalu tantangan Kommer untuk mengenali bangsanya sendiri dan membawa Mingke bertemu dengan petani Trunodongso.

Seperti Bumi Manusia, dalam Anak Semua Bangsa banyak hal yang masih relevan dengan hari-hari sekarang di negeri ini, padahal latar belakang Tetralogi Buru adalah jaman kolonial yang telah kita tinggalkan satu abad yang lalu. Konflik lahan Agraria, ilusi keadaan, negara yang hanya mendukung kapital, keadilan yang hanya berpihak pada golongan tertentu, praktik kecurangan dan korup aparatur negara, dsb. Apakah usaha para bapak dan ibu bangsa kita saat menggerakkan revolusi sia-sia? Apakah Revolusi Agustus '45 tidak membawa kita kemajuan? Apakah mungkin saat Revolusi Agustus '45 kita maju satu langkah, lalu kemudian kita mundur satu langkah? Buku ini cukup membawa kegelisahan-kegelisahan yang sama seperti angkatan muda jaman pergerakan.***

Selasa, 22 Desember 2015

Nomor-Nomor Halaman Mading yang Hilang


Oleh: Mochammad IH

Sekumpulan anak-anak remaja berjalan menyusuri sebuah gang kecil. Sepertinya mereka melangkahkan kakinya cepat-cepat, mungkin karena terik cahaya matahari cukup menusuk pada hari Jum'at ini. Cukup bisa dimaklumi karena waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang, dimana matahari tak segan untuk menunjukkan kuasanya atas hari-hari di bumi. Salah satu remaja perempuan pada kelompok tersebut tiba-tiba merindukan gerombolan Kumulonimbus menantang sang surya dan meneduhkan perjalanannya. 'Syukur-syukur bila terjadi hujan badai,' pikir perempuan itu.

Kini mereka telah sampai di tempat yang dituju, sebuah kompleks ruangan kelas yang memanjang. Orang-orang menyebut kompleks tersebut dengan nama Lokal Timur. Ruangan ini terbagi menjadi tiga ruangan belajar-mengajar yang dibatasi oleh sekat permanen, dua buah ruang kantor untuk para guru dan sebuah ruangan yang penuh dengan komputer. Tak ada siapa-siapa di Lokal Timur, maklum saja hari Jum'at adalah hari libur sekolah itu. Hanya sesekali sekelompok anak-anak kecil laki-laki lewat berpakaian rapi, lengkap dengan sarung, peci hitam dan sajadah yang dililitkan ke leher, sepertinya mereka pergi menunaikan sholat Jum'at. Mereka tak berhenti berceloteh meskipun cuaca semakin panas saja.

Satu-satunya remaja lelaki yang berada dalam kelompok remaja di atas telah sibuk mencabuti lembaran-lembaran kertas yang berada pada sebuah lemari kayu yang dilapisi kaca. Lemari itu dibuka olehnya dengan kunci kecil yang penuh bintik-bintik karat, dan ada gantungan berbentuk buah pisang yang ukurannya cukup kontras dengan kunci yang digantunginya. Salah seorang remaja perempuan yang berkerudung tergerak maju untuk membantunya mencabuti lembaran-lembaran itu. Dua remaja perempuan lainnya hanya diam memandang dua orang itu, wajah mereka memancarkan kelelahan.

"Lho, Geri. Yang itu jangan dicabut," seru perempuan yang membantunya sedari tadi, kini kerudung merah kelabunya hanya dililitkan di lehernya. "Kamu mikir apa sih?"

Dengan kikuk, lelaki bernama Geri itu pun memasang kembali huruf-huruf berbahan flanel yang berwarna-warni cerah yang ia cabut. Geri terbayang dengan anak-anak kecil laki-laki yang berangkat menunaikan sholat Jum'at di masjid, sedang dirinya membolos tidak mengikuti ritual wajib tersebut. Ia mencoba menghitung berapa kali ia membolos, namun tidak ada angka yang pasti karena tak terhitung jumlahnya. Geri membolos bukan tanpa alasan, setiap Jum'at siang ia bersama awak redaksi majalah dinding—mading sekolahnya menerbitkan edisi baru majalah. Mengapa tidak memilih hari selain Jum'at? Karena kegiatan di luar sekolah awak redaksi sudah sangat penuh dengan kursus setiap harinya. Malam pun tidak bisa, karena waktunya tidak memadai. hanya hari Jum'at yang kosong dari jadwal.

Geri orang yang perfeksionis, kalau ia tak datang, maksudnya berkumpul dengan awak redaksi untuk memasang edisi baru mading, ia tak bisa mengontrol standar tertentu dalam menerbitkan mading edisi terbaru. Standar yang ia peroleh dari sebuah pembekalan yang diadakan sekitar 2 tahun yang lalu. Hal ini membawa Geri pada nostalgia singkat pada awal-awal ia mengemban tugas sebagai redaksi mading sekolah.

Acara pembekalan itu dilatarbelakangi oleh ketiadaan pengalaman para awak redaksi yang baru. Seminggu setelah terpilih, ia dan awak redaksi yang lain harus membuat edisi baru tanpa tau apa yang harus dilakukan. Kegelisahan Geri dan para awak redaksi lainnya ini bergolak seperti air yang mendidih, mereka rata-rata geram bercampur bingung terhadap sikap awak redaksi sebelumnya yang meninggalkan mereka dalam ketidaktahuan dan ketidakpastian. Lalu dalam suatu rapat, ide untuk mengadakan pembekalan muncul. Entah dari mana ide itu muncul, Geri sudah lupa, namun pemuda kurus ini ingat kalau teman-temannya saat itu harus memilih diantara dua guru Bahasa Indonesia senior di sekolahnya untuk mengisi pembekalan, Pak Indra dan Pak Sugeng. Namun pilihan akhirnya jatuh pada Pak Indra, karena para awak redaksi lebih akrab dengan nama itu.

Pak Indra adalah orang yang sibuk, begitu kesan pertama Geri saat ia dan dua temannya menyampaikan maksud untuk meminta Pak Indra untuk mengisi pembekalan. Selain mengajar beliau juga aktif dalam organisasi lembaga keagamaan yang bergerak di bidang kemanusiaan waktu itu. Jadi waktu adalah hal yang sangat berharga bagi beliau, sedang remaja-remaja semacam Geri dan para awak redaksi seringkali tidak bisa diajak serius. Pada akhirnya Pak Indra setuju meluangkan waktunya, perasaan lega menghampiri hati Geri dan kawan-kawannya.

Lalu hari H pun tiba, para remaja lelaki dan perempuan berpakaian rapi duduk manis di ruangan penuh komputer. Geri mengingat, waktu itu para awak redaksi masih bisa dihitung lebih dari sepuluh, kontras dengan keaktifan awak redaksi yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan sekarang. Sesaat kemudian Pak Indra pun datang, dan dengan sedikit basa-basi—bahkan hampir tidak ada basa-basi sama sekali, beliau memulai pembekalannya.

Sebuah fotokopian makalah dibagikan satu persatu kepada peserta. Kelihatannya makalah itu diambil dari sebuah buku, karena ada beberapa paragraf kalimat yang tak relevan dengan topik majalah dinding. Makalah itu berisi syarat dan prasyarat untuk media disebut sebagai majalah dinding. Lalu Pak Indra pun mulai menerangkan satu persatu, diawali dengan sebuah kalimat untuk menggambarkan majalah dinding secara sederhana.

“Sebenarnya majalah dinding itu sama saja dengan majalah-majalah pada umumnya,” ujar Pak Indra santai. “Yang membedakan hanya medianya saja, biasanya majalah memakai media kertas, namun majalah dinding memakai media dinding.”

Lalu satu persatu Pak Indra mulai menerangkan tentang nama, halaman, pengantar redaksi hingga daftar isi. Sejak hari itu Geri dan awak redaksi seperti mendapat sebuah lentera dalam kegelapan. Mulailah mereka berjalan menyusuri kegelapan dengan membuat edisi-edisi mading menurut standar yang dikemukakan Pak Indra, meskipun Geri sangsi para pembacanya memperhatikan hal-hal ini, bahkan awak redaksinya mungkin banyak yang tak mengikuti standar ini.

Hal yang paling seru diantara nostalgia itu adalah menentukan nama mading kesayangan mereka. Geri mengingat seluruh awak redaksi masing-masing mengusulkan nama, bahkan Sanah, perempuan yang membantu Geri mencabuti dan mengeluarkan edisi lama mading, mengusulkan lima nama sekaligus yang sayangnya semua ditolak. Nama yang diusulkan Geri pun ditolak. Dan pada akhirnya setelah 2 jam berkonsolidasi, para awak redaksi memutuskan nama AKSI! sebagai nama majalah mereka, akronim dari Ajang Kreatifitas Kita. Geri tidak bisa mengingat siapa yang mengusulkan nama itu pertama kali.

Sepanjang pengalaman menjadi redaksi Mading Aksi! Geri merasa hal yang paling membutuhkan kesabaran adalah membuat daftar isi. Ini dikarenakan seluruh bahan-bahan mading dicetak, disortir dan diterbitkan—dipasang di lemari berkaca harus dalam satu hari, Jum’at, agar besoknya para pembaca bisa menikmati konten terbaru yang dipersembahkan awak redaksi. Sebenarnya bisa saja Geri dan awak redaksi menunda satu hari untuk pemasangan agar ada jeda untuk mengoreksi bahan-bahan mading yang akan diterbitkan, namun karena sikap perfeksionis Geri, ia memaksakan diri untuk langsung menerbitkan hari itu juga. Ia terlalu keras dengan dirinya sendiri, padahal awak redaksi yang lain tidak melakukan hal tersebut.

Daftar isi membutuhkan halaman. Dan karena harus dibuat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,  Geri menyiasati nomor-nomor halaman itu dengan potongan-potongan kecil kertas seukuran setengah ibu jari yang lalu ia tulis dengan nomor. Kemudian potongan kecil itu ia tempel ke lembaran-lembaran kertas yang akan diterbitkan. Meskipun Geri memiliki sedikit waktu, jarang ia bisa menyelesaikannya dengan cepat—bahkan ia tak jarang pula dibantu awak redaksi lain seperti Sanah.

Geri, dibantu Sanah sudah menyelesaikan pemasangan majalah dinding. Masih ada satu lemari berkaca lagi yang perlu ia dan awak redaksi ganti, yaitu yang terletak di kompleks ruangan kelas yang berhadapan langsung dengan Lokal Timur, biasa disebut dengan Lokal Barat. Lokal Barat dan Lokal Timur dipisahkan lapangan paving seluas seratus meter persegi. Membayangkan akan melewati lapangan tanpa peneduh membuat nyali Geri ciut, begitu pula tiga perempuan yang bersamanya. Ia seperti akan melewati sebuah gurun pasir gersang tanpa oase.

Mereka berjalan menyusuri lapangan dengan lemas, berusaha acuh tak acuh dengan matahari yang berusaha mencari perhatian dengan teriknya. Dan ketika mereka berhenti di depan lemari berkaca, mereka hanya memandang dengan rasa malas. Ukuran lemari berkaca di Lokal Barat sedikit lebih besar daripada yang berada di Lokal Timur. Perbedaan yang mencolok adalah bahan pembuatnya, lemari berkaca Lokal Barat terbuat dari batangan alumunium, sedangkan yang berada di Lokal Timur terbentuk dari kayu. Pernah suatu hari lemari berkaca di Lokal Barat pecah, dan perlu sekitar setengah tahun untuk memperbaikinya.

Pada akhirnya keempat remaja ini menyelesaikan tugasnya untuk memasang edisi terbaru mading. Namun Geri merasa ada yang aneh dengan hari itu, nalurinya berkata ada yang tidak beres dengan edisi baru itu. Ia kembali meneliti satu persatu lembaran-lembaran kertas yang dipajang dengan wajah tegang. Lalu akhirnya ia menemukan bahwa daftar isi belum dibuat.

“AKU LUPA MEMBUAT DAFTAR ISI!” Geri berseru. “GIMANA NIH?!”

Ia memandang satu persatu kawan-kawannya mengharap jawaban.

“Yah, udah dipasang. Masak harus dibongkar lagi?” jawab Sanah. “Aku gak mau bantu kalo gitu.”
Sanah lalu memandang lapangan paving yang silau dengan terik cahaya matahari.

“Udah deh, Ger. Untuk edisi ini kita gak pake daftar isi,” tambah Ana yang sedari tadi diam. “Lagian mana ada yang peduli dengan halaman sih?”

Geri diam saja untuk berpikir. Ia juga malas untuk membongkar dan memasangnya kembali. Namun sikap perfeksonisnya tak membuat hatinya tenang.

“Yuk, San. Kita nyari es Oyen,” ajak Ana pada Sanah tanpa memperdulikan Geri yang diam mematung.

Geri menahan marah mendengarnya, namun apa boleh buat, nomor-nomor halaman yang hilang itu takkan membawa semangat membara kembali pada awak-awak redaksi apabila dipasang kembali. Hati remaja lelaki itu membenarkan perkataan Ana, bahwa memang tak ada yang peduli dengan hal kecil seperti itu. Hari-hari perfeksionis seorang Geri mungkin telah berakhir dimakan waktu yang meluncur begitu cepat melahap semangat kerjanya. Namun rasa sayangnya pada mading sekolahnya tetap dalam jiwa, meskipun tradisi telah berhenti dan hancur ditelan masa. Setidaknya Geri sudah berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya pada jaman.***

(Cerpen ini dikurasi dalam Galeri Acara Ulang Tahun THGB ke 31).

Senin, 21 Desember 2015

Membaca Bumi Manusia: Sebuah Pengalaman



Oleh : Mochammad IH

Judul Buku:
Bumi Manusia

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
538 halaman

Bumi Manusia adalah judul babak pertama dari Tetralogi Buru, sebuah karya fenomenal dari seorang Pramoedya Ananta Toer. Mengapa fenomenal? Menurut hemat saya:

Pertama, novel ini mengantarkan Pram (panggilan akrab beliau) untuk dikenal luas sebagai sastrawan dunia. Bahkan beliau adalah sastrawan Indonesia pertama yang paling dikenal di dunia dengan berbagai macam penghargaan, tetralogi ini diterjemahkan ke berbagai bahasa, bahkan diwajibkan dibaca di sekolah menengah salah satu negara. Kedua, setelah sempat beredar di Indonesia dengan jangka waktu yang pendek, lalu kemudian seluruh tetralogi ini dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Miris memang, ketika di luar negeri novel ini menjadi bacaan wajib, di negerinya sendiri ia dilarang dibaca, Pram bahkan mengakui hal tersebut. Ketiga, tetralogi ini dibuat pertama kali saat Pram dipenjara di Pulau Buru selama 10 tahun (Agustus 1969 - 12 November 1979), maka dari itu tetralogi ini disebut dengan Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru. Tetralogi ini seperti menjadi hal yang wajib untuk seorang Indonesia mengenal dunia sastra bangsanya sendiri, jadi semacam tidak afdhol bila belum membaca Tetralogi Buru.

Di umur ke dua puluh tiga saya baru sempat untuk membacanya, apakah bisa dibilang terlambat? Entah. Berlatarbelakang jaman kolonial Hindia Belanda pada awal-awal jaman pergerakan, awalnya saya kira roman ini akan membosankan, namun Pram menggambarkan sebuah dunia yang baru yang menarik saya mempelajari bahwa negeri ini dulunya seperti ini. Saya bisa menangkap bahwa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu tak jauh berbeda dengan pemerintahan negeri kita sekarang: pertentangan kelas antara priyayi yang diwakili para elit (pemerintahan maupun kaum pemodal), pribumi yang diwakili orang miskin yang ditindak sewenang-wenang dan kulit putih yang diwakili mental inlander bangsa ini. Meskipun ada begitu perbedaan dengan adanya isu-isu seperti rasialisme, fasisme, superiotas bangsa tertentu dan berbagai isu lainnya yang meungkin tidak relevan dengan jaman sekarang. Namun perbedaan-perbedaaan tersebut terasa tidak berarti dimana saya menangkap bahwa bangsa ini seperti jalan di tempat dalam perjuangan untuk merubahnya.

Mingke, hero dalam tokoh ini adalah seorang priyayi yang melakukan bunuh diri kelas. Dalam novel ini dijelaskan ia melakukan hal tersebut karena muak dengan budaya Jawa yang patriarkis dan feodalis. Begitulah memang, isu-isu yang beredar sebelum saya berhasil membaca novel ini adalah Jawa yang digambarkan oleh Pram begitu sangat dibenci oleh orangnya sendiri. Latar belakang Mingke memang membenarkan hal tersebut, bagaimana ia membenci budaya leluhurnya karena hidup diantara nilai-nilai universal kaum Eropa, meskipun ini sangat kontras karena ia berhadapan dengan superiotas kulit putih. Namun Bumi Manusia adalah awal, jadi bibit-bibit pergerakan kemerdekaan dari diri para priyayi dan pribumi bahkan Mingke sendiri belumlah muncul, mereka masih menerima bangsa Londo untuk memerintah orang-orang di negeri ini. Apalagi si tokoh utama sendiri masih berumur belum genap dua puluh tahun. Yah, meskipun ini tidak bisa dinilai kematangan, karena dalam sejarah: Semaoen berumur tujuh belas tahun saat pertama kali diangkat menjadi ketua umum Partai Komunis Indonesia, partai yang pertama kali melakukan pemberontakan terhadap Hindia Belanda pada zaman pergerakan. Namun bibit-bibit kemerdekaan itu mulai ditanam ketika isu-isu yang dibawa oleh keluarga de La Croix, penyebutan Max Havelaar karya Multatuli yang begitu didambakan, kecenderungan Mingke untuk suka terhadap salah satu guru sastra yang progresif, dan sebagainya. Namun Mingke masihlah kelas priyayi yang mendapat keistimewaan dalam budayanya dan tidak berhadapan dengan kesulitan yang teramat-sangat dari kelas bawah seperti pribumi. Meskipun begitu, Mingke mengalami kehilangan yang tidak bisa dinilai biasa di babak akhir cerita.***

Jumat, 04 Desember 2015

Rumah dan Racauan





“Bang. Aku otw.”

Begitu ketiknya dalam aplikasi obrolan elektronik di ponsel pintar bermerek Jepang. Namun yang dimaksud “otw”, kependekan dari on the way—“dalam perjalanan” adalah duduk santai di atas bangku kayu bermotif ukiran Jawa menunggu pesannya dibalas oleh Gilang. Untuk sekedar konfirmasi, pikirnya. Bangku kayu tersebut berada dalam ruang tamu yang cukup lengang, didekatnya ada sebuah meja dengan ukiran Jawa pula—satu set dengan bangku kayunya. Ia duduk sendirian. Sesekali terdengar suara beberapa tetangga yang saling bersahutan dengan motor yang lalu-lalang di gang depan rumah tersebut.

Rumah itu didapati Komar—nama panggilan si pemuda, kosong tak ada penghuninya. Ia celingak-celinguk mencari empunya rumah namun nihil hasil. Sempat ia menghujat dalam hati kebebalan kawan-kawannya yang tak menjaga rumah ini dengan benar dengan membiarkan pintunya terbuka. Lalu, Komar juga khawatir barangkali ada tetangga rumah yang mampir mencari orang-orang hilang tersebut dan mendapati wajah Komar yang asing layaknya maling. Meskipun terkesan tanpa alasan jelas, namun kekhawatiran ini berdasarkan intesitas kehadirannya di rumah itu cukup bisa dihitung dengan jari dalam 3 bulan terakhir. Lagipula bila tak ada kepentingan, ia enggan untuk main kemari. Tak ada kawan ngobrol yang asyik, batinnya menyahut. Hari ini pun ia hanya membutuhkan beberapa lembar kertas hvs untuk dicetak di rumah Gilang. Gilang mengaku hampir tak ada lembaran kertas di rumahnya—sesuatu yang dibuktikan Komar belakangan dan meminta si pemuda untuk mengambil kertas secukupnya di rumah ini.
 
Rumah itu adalah hunian merangkap kantor sekretariat organisasi persaudaraan kawan-kawan seangkatan Komar berkuliah. Pemiliknya adalah Fir, seorang pemuda kurus asal Jakarta yang sejak kecil mondok di Jombang. Rumah itu aslinya adalah milik ayah Fir, yang tiap bulan seringkali singgah untuk menghadiri pengajian. Fir menghuni rumah itu kurang lebih 5 tahun ini, begitu yang Komar dengar. Ia tinggal bersama dua saudara jauhnya dan dua kawan yang ikut tinggal. Beberapa kawan seringkali bermain ke sana untuk meramaikan rumah, terakhir mereka berpesta sate kambing dan sapi saat lebaran kurban—Komar bahkan menjadi korban betapa alotnya daging hasil panggangan mereka. Dulu sempat ada gazebo di samping rumah, namun beberapa minggu yang lalu dibongkar untuk garasi mobil. Rumah ini dulu cukup gelap karena hanya sebagian rumah saja yang dicat, lalu Fir mengecat rumah ini dengan warna hijau lumut terang beberapa waktu lalu.

 Ada sebuah lukisan—mural lebih tepatnya, di dinding kamar tamu, Komar sempat menjadi saksi pembuatannya. Pelukisnya adalah Arie, seorang pelukis muda berbakat yang aktif di komunitas pelukis Jombang. Fir mengaku, bahwa ia tidak menyuruh Arie, namun si pemuda berkulit hitam itu sendiri yang meminta Fir untuk melukis dinding ruang tamunya. Kalau Arie sedang banyak masalah, ia bakal cari pelampiasan seperti ini, tambahnya. Awalnya Komar—dengan niat bercanda, merendahkan hasilnya pembuatannya. Lalu dijawab dengan santai oleh Arie, bahwa Komar hanya melihat awal dari sebuah proses. Dan beberapa hari kemudian ketika Komar mampir ke rumah itu, ia dibuat terkagum-kagum dengan hasilnya. Sebuah mural landscape yang menampilkan keelokan sebuah senja kala sore hari.

Seharusnya rumah ini diberi nama panggilan, usul Komar dalam pikiran. Si pemuda teringat pada nama rumah cum-sekretariat milik angkatan kakak kelasnya di sebelah rumah kosnya. Sekretariat masing-masing angkatan memang hal yang cukup lumrah dan menjadi sebuah kebutuhan bagi pengenyam pendidikan di sini. Rumah itu dipanggil Delapan Enam (86), inisial acara reality show televisi yang cukup ramai diperbincangkan. Ini tak lepas dari isi acara yang meliput kegiatan kepolisian negeri ini yang seringkali—menurut Komar dipenuhi dengan drama-drama yang tak perlu. Komar merasa miris menerima kakak kelasnya memuja aparat kepolisian cukup tinggi begitu. Padahal faktanya, kepolisian adalah alat kekerasan negara. Si pemuda mengingat betapa brutal kepolisian membubarkan demonstrasi serikat buruh di depan Istana Negara beberapa waktu lalu,merusak sebuah mobil komando dengan batang bambu dan menendangi serta menangkap puluhan aktivis buruh. Apalagi baru-baru ini kepolisian juga terlibat kekerasan saat membubarkan  demonstrasi damai para mahasiswa Papua di bundaran Hotel Indonesia, berujung ditangkapnya 300 orang mahasiswa ras Melanesia dan seorang bapak berdarah Tiongkok yang ternyata korban salah tangkap. Alasan pembubarannya terlalu klise, hanya karena telat mengirim berita acara pada kepolisian. Meskipun diwarnai dengan nuansa politis bahkan terkesan membawa isu separatisme, menurut Komar kekerasan tak perlu dilakukan apalagi bagi negara yang mengaku menjunjung demokrasi. Di lini masa media sosial, Komar bahkan mendapati kritik bahwa kepolisian bersikap standar ganda menangani demonstrasi. Pemberi kritik membandingkan demonstrasi para fundamentalis agama beberapa waktu lalu yang mendukung monster pembawa perang sektarian di Timur Tengah. Demonstrasi fundamentalis agama ini tidak ‘ditertibkan’ oleh kepolisian, meskipun ancamannya nyata terhadap keutuhan NKRI—isu yang sering dihembuskan para elit militer.

Usul nama yang dipikirkan oleh Komar adalah Vanguard. Nama ini oleh Komar dirampok dari nama panggung salah seorang rapper cum-aktivis dari grup hip-hop legenda musik bawah tanah di Bandung. Sang rapper cukup keras mengkritik aparat pemerintah karena ideologi anarki yang dianutnya selama ini. Komar berharap rumah ini menjadi sebuah komune, seperti cita-cita para anarkis yang tak menghendaki kekuasaan hanya dimiliki oleh seorang atau segelintir manusia saja. Di komune, manusia-manusia akan mengorganisir diri dan bekerja sama dengan kepastian bahwa semua orang memiliki hak dan kekuasaan yang sama sehingga tak terjadi penindasan. Para anarkis percaya bahwa kekuasaan adalah penyebab penindasan manusia atas manusia. Kadang karena kepercayaan inilah, para anarkis disebut oleh Soe Hok Gie sebagai nihilis—penganut pemikiran Nietzche. Bahkan mereka disebut utopis karena ingin menghapuskan negara—kekuasaan paling tertinggi, namun hal ini seringkali dibantah oleh mereka karena sistem masyarakat komunal manusia yang dicita-citakan oleh mereka eksis sejak spesies bernama Homo Sapiens hadir di bumi, bahkan sampai sekarang sistem ini masih ada dan hidup di masyarakat-masyarakat tradisional negeri ini, meskipun jelas sekali terancam monster modernisme bernama kapitalisme.


Cukup lama Komar menunggu pesan elektronik balasan dari Gilang. Sejak awal ia memutuskan membunuh waktu dengan memperhatikan lini masa media sosial. Beberapa pengguna yang diikutinya masih berkutat dengan berita penangkapan mahasiswa Papua, ada juga tentang isu HIV/AIDS dan isu Kekerasan Terhadap Perempuan dan beberapa twit-twit lucu khas kelas menengah. Ada beberapa berita tentang advokasi buruh yang di-PHK sejak ramai Mogok Nasional lalu dan yang membuat si pemuda berambut tipis ini sedikit terkejut adalah dua acara seminar yang akan dilaksanakan di dalam satu kampus terkenal di ibukota. Masing-masing membahas dua ideologi yang digelutinya selama ini: anarkisme dan marxisme. Tak lama Komar mencuit hal tersebut dengan nada gembira.

Ia membuka profil akun media sosialnya, melihat cuitannya yang rata-rata membahas isu-isu kelas kecil. Komar memang aktivis jempol, sebuah sebutan untuk para aktivis yang hanya bersuara di jejaring media sosial, yang tak pernah terjun langsung di lapangan—meskipun tak semuanya. Ia geli sendiri menemukan julukan itu, dan terkesan bangga. Namun suatu hari ketika ia telah menyelesaikan pendidikannya, Komar berjanji akan terjun langsung seperti aktivis-aktivis revolusioner lainnya—kalau tidak mustahil, Komar ingin menjadi Che Guevara selanjutnya.

Komar seringkali berpikir bahwa dirinya jadab, cemoohan yang akrab dari kawan-kawannya untuk orang yang berbeda arah dalam ideologi maupun sikap. Padahal sebenarnya istilah itu di dunia sufisme digunakan untuk orang-orang mengaku kekhalayak umum bahwa dirinya menyatu dengan Tuhan—lalu dituduh syirik dan berakhir dihukum penggal seperti Al-Hallaj. Kadangkala cemoohan itu digunakan untuk kawan-kawan yang mempertanyakan tentang Dzat bernama Tuhan secara berlebihan, satu hal yang tak boleh didiskusikan secara umum. Komar berpikir pantas mendapat julukan jadab, karena dirinya dalam setahun terakhir mempelajari ideologi kiri dan menganggapnya benar, sesuatu yang cukup tabu di negeri ini. Apalagi dengan stigma “tak bertuhan” yang dicap berpuluh-puluh tahun dan jelas sangat kontras dengan tempat dimana Komar mengenyam pendidikan—agamis.

Namun Komar membela diri bahwa ketertarikannya pada ideologi kiri tak jauh dari hal-hal yang selama ini diajarkan gurunya yang agamis bertahun-tahun, tentang keberpihakan kepada kaum yang lemah dan tertindas. Ia melihat sendiri bagaimana kemiskinan membunuh rakyatnya pelan-pelan, bagaimana beberapa orang yang dijumpainya dalam kegiatan penjelajahan desa—penyaluran amal shodaqoh, tinggal di rumah-rumah tak layak—yang bahkan tak pantas disebut rumah karena ketidaklayakannya. Seringkali “rumah-rumah” itu hanya mempunyai luas tiga kali tiga meter persegi, yang diisi hanya sebuah dipan kayu untuk istirahat—seperti kamar kosnya, namun lebih kumuh dengan barang-barang dan berlantai tanah. Karena itu Komar selalu berpihak pada korban sejak dalam pikiran.

Beberapa saat kemudian Rendi, salah satu adik Fir datang. Pemuda tanggung itu sedikit kebingungan memarkir sepeda masuk ke garasi, karena ada motor Komar yang menghalangi jalan. Komar menunggu raut wajah yang kesal dari Rendi, namun ia hanya mendapati wajah Rendi yang naif. Lalu Komar tanpa berbasa-basi langsung menjelaskan keadaan rumah yang tak ada siapapun dan menceritakan alasannya kemari. Setelah berbasa-basi sedikit, Rendi langsung masuk ke rumah dan meninggalkan Komar menunggu di ruang tamu. Seketika itu juga Komar mendapat balasan pesan singkat dari Gilang. Maka dengan sigap ia memasukkan ponsel pintarnya ke dalam kantong celana dan melangkah gontai menuju motornya. Tak lupa Komar berpamitan pada Rendi yang sedang menikmati minuman bersoda di depan televisi—entah bisa disebut berpamitan jika yang dilakukan Komar adalah adalah menyeru kepada Rendi memberitahu dirinya akan pergi dan dibalas dengan sahutan kecil.

Begitulah Komar pergi dari rumah itu dan ia memutuskan tak memanjangkan racauannya di jalan raya, takut mengalami kecelakaan bermotor. Ia bergidik ngeri membayang pada kejadian seminggu terakhir, ketika ia mendapati hampir setiap hari ada orang meninggal di jalan-jalan. Orang-orang mistik Jawa percaya, bahwa bulan kedua dalam kalender Jawa adalah bulan yang penuh balak—nasib buruk yang menghampiri manusia. Komar bahkan tak sempat melanjutkan lamunannya karena si pemuda sempat tersasar untuk menemukan rumah Gilang.***

2015-12-04

Jumat, 13 November 2015

Buku dan Saya



Ada cerita yang panjang tentang perjalanan 'membaca' saya. Ada kegelian sendiri kalau mengingatnya, kadang juga sedikit 'perih' ketika memang ada satu-dua cerita yang memang dalam sekali dan membentuk saya seperti sekarang ini. Yah, meskipun baru mengawali usia dua puluhan, masih terlalu dini untuk bercerita, itupun kalau saya tidak mati muda.

Dibesarkan dalam perantauan, membuat saya 'dialienasikan' dari kemajuan peradaban. Tepatnya--seingat saya Kecamatan Cempaka, dekat dengan kota Martapura tapi sepertinya masuk dalam Kabupaten Banjarbaru waktu itu, tepatnya di SECATA – RINDAM VI – TANJUNGPURA – Kalimantan Selatan. Bisa disebut dengan pedalaman tempat itu sebenarnya, karena jalan aksesnya melewati perbukitan hutan yang kalau malam bisa sangat menakutkan karena hampir tidak ada penerangan jalan. Asramanya cukup luas, saya ingat sekali cukup lama tinggal di kompleks yang paling belakang sehingga berdekatan dengan hutan.

Sebenarnya saya lahir di Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah), kemudian ayah pindah tugas ke Banjarbaru itu tadi. Tak ada ingatan tentang Kuala Kapuas yang saya ingat sama sekali, ini bisa dimaklumi karena pindah ke Banjarbaru saya masih sekitar balita.

Tinggal di pedalaman pada waktu kecil, akses untuk mendapatkan buku hampir tidak ada. Tetapi saya ingat ada saudara sepupu yang tinggal satu provinsi, namun akses untuk mampir tidaklah cukup dekat. Kemudian mereka ini berbaik hati untuk memberikan koleksi lama majalah anak-anak bernama Bobo seluruhnya kepada saya. Saya senang sekali waktu itu, meskipun banyak sekali hal-hal di Majalah Bobo yang belum saya mengerti waktu itu. Hanya cerita bergambar saja yang saya baca. Maklum, masih kecil.

Menginjak kelas 4 SD, saya pindah ke Sampit (Kalimantan Tengah) setelah konflik suku Dayak-Madura berada di tahap rekonsiliasi. Meskipun berada di pusat kota, akses untuk membaca buku belum bisa saya dapatkan, bisa dimaklumi karena Sampit habis terlanda konflik suku jadi pembangunan sempat terhenti. Entah Sampit medio sekarang bagaimana, karena sempat saat pulang liburan ke sana medio 2010, saya sempat membeli novel Dan Brown bajakan di salah satu ruko pusat kota yang bahkan tidak khusus menjual buku. Seingat saya, saat SD hanya Majalah Bobo yang jadi bacaan saya, selain beberapa majalah hibah dari anak komandan ayah saya.

Pergi menuntut ilmu ke Jombang (Jawa Timur) pun tak melebarkan bacaan saya. Yah, mungkin ada perpustakaan yang koleksinya cukup banyak di sekolah saya. Namun hampir tak ada hal yang menarik minat baca, karena mungkin masalahnya adalah tak ada semacam pengantar, pendahuluan, briefing, pembekalan darimana kita mulai membaca. Saya ingat sekali di perpustakaan waktu itu mendapat hibah majalah Tempo yang cukup banyak.

Kemudian perkenalan saya kepada novel, adalah ketika mengenal seseorang yang koleksi bukunya cukup banyak waktu itu, maklum ia termasuk orang berada. Ia berbaik hati meminjamkan saya novel-novelnya, hingga pada suatu waktu hubungan kita berdua tak begitu baik yang reaksinya membuat saya kehilangan akses bacaan-bacaan yang menarik. Hal yang disesali memang, namun dengan perkenalan itulah membuka wawasan tentang buku apa yang saya cari di hidup ini.

Sempat saya pergi ke Surabaya untuk mencari pusat toko buku bekas. Seingat saya tempat itu berada di dekat stasiun yang cukup besar bernama Stasiun Pasar Turi. Hanya 2 kali saya kesana, mendapatkan Perahu Kertas-nya Dewi Lestari dan sebuah buku motivasi bisnis. Meskipun cukup kumuh namun koleksinya banyak sekali, namun karena jauh dan tak ada kawan yang bisa dipakai tempatnya untuk istirahat, saya urung untuk kembali kesana.

Sempat juga membeli buku-buku secara online, namun karena ongkos kirim yang lumayan mahal dan koleksi yang sedikit, saya jadi tidak membeli lagi.

Kota sekelas Jombang waktu itu hanya mempunyai satu toko buku yang cukup terkenal. Kemudian toko buku Toga Mas membuka cabang di sana. Karena hampir tak pernah punya budget untuk membeli buku gres-baru yang cukup mahal waktu itu hingga akhirnya membeli buku-buku teknis teknis tentang software. Yah, saya ini memang generasi teknokrat, yang kebodohannya cukup bebal waktu itu. Namun toko-toko buku Jombang koleksinya memang cukup sedikit, sehingga harus pintar menyiasati bacaan, apalagi budget pun tak seberapa.

Pada suatu waktu saya cukup galau untuk memilih antara buku dan fashion. Masalah penampilan menjadi hal yang cukup urgensi pada waktu itu, apalagi saya akrab dengan seseorang yang memang dekat dengan hal ini. Fashion menjadi kiblat saya waktu itu, hingga saya juga membuat sebuah clothing sendiri, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Banyak uang keluar namun tak timbal balik yang bagus, hingga saya kapok dan mencari alternatif fashion yang murah. Maklum, anak perantauan.

Lalu keaktifan saya mengikuti para aktivis di sosial media membuat saya menemukan lagi hal-hal yang minimal harus dan wajib dibaca oleh generasi muda Indonesia. Saya mengenal Pramoedya Ananta Toer dan generasi-generasi sastrawan Lekra, generasi-generasi Eka Kurniawan (Puthut EA, Linda Christanty, terakhir saya membeli buku Makhfud Ikhwan), generasi-generasi sastra klasik Indonesia seperti Hamka, HB Jassin, generasi-generasi baru sastra non-Raditya Dika, dll. Meskipun nama-nama itu besar dan panas, namun tak semua bukunya saya peroleh karena budget. Sungguh masalah yang klasik.

Hari ini, saya selalu ingin membeli buku dan membacanya. Meskipun budget memang harus rajin-rajin dikumpulkan dahulu. Tabique.

Senin, 09 November 2015

Bila Aku Dilupakan Setelah Mati (Catatan Kematian II)



Dalam film remaja The Fault in Our Stars[1], salah satu konflik internal para karakternya adalah bagaimana ia begitu takut dilupakan setelah ia mati. Kematian sudah pasti, namun penyakit kankerlah yang membuatnya terasa pasti. Ibarat ada sebuah sistem penghisapan, kita tak pernah merasakannya, namun di belahan lain ada orang yang merasakannya langsung dan menimbulkan reaksi. Namun film ini tak menghadirkan solusi yang mencerahkan menurut penulis, karena soal melupakan dan dilupakan itu dijawab dengan hal klise seperti orang-orang dan kerabat dekat saja yang mengingatnya. Atau mungkin para sineas, bahkan penulis novelnya hanya menggambarkan saja apa yang dirasakan dan reaksi orang-orang biasa[2] menghadapi kematian.

Dalam agama Islam, seorang manusia yang telah mati, eksistensinya dalam dunia materi hilang. Namun secara maknawi, ada manusia yang dinilai eksistensinya di atas bumi masih ada. Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa orang-orang tersebut ada tiga golongan:

"Tatkala telah mati manusia itu, putus amalnya kecuali tidak putus dari 3 amal, shodaqoh yang mengalir pahalanya, atau ilmu yang dimanfaatkan dengan dia, atau anak yang sholeh dia mendoakan kepadanya."[3]

Tiga golongan yang penulis tafsirkan adalah:
1. Orang-orang yang mengeluarkan shodaqoh yang mengalir (selanjutnya akan disebut shodaqoh jariyyah).
2. Orang-orang yang mempunyai ilmu yang bermanfaat, diamalkan dan diajarkan.
3. Orang-orang yang melahirkan anak-anak yang sholeh, anak-anak yang bagus hatinya.

Manusia Yang Mengeluarkan Shodaqoh Jariyyah.
Shodaqoh jariyyah adalah ibarat salah satu kunci yang membuka pintu ketakutan kita akan dilupakan di dunia. Seakan-akan orang-orang yang mengeluarkan shodaqoh jariyyah ini tidak mati, ia seakan-akan hidup panjang, beramal terus di dunia. Menurut penulis, ia seakan-akan tak akan pernah dilupakan di dunia ini karena shodaqoh jariyyah itu. Lalu apa saja macamnya shodaqoh jariyyah itu?

Medan atau cakupan sedekah jariyyah dapat diperluas ke berbagai bidang selama masih bermanfaat bagi generasi mendatang. Dalam hal ini bidang keagamaan seperti membangun masjid, musholla. Bidang sosial seperti membangun lembaga yang melindungi orang-orang fakir miskin, anak-anak yatim dan terlantarkan. Bidang pendidikan seperti membangun pesantren, sekolah, lembaga pendidikan. Bidang kesehatan seperti membangun rumah sakit, klinik kesehatan, pengobatan gratis, dll[4].

Dalam hal ini kontribusinya sangat nyata[5], manusia yang mengeluarkan shodaqoh jariyyah adalah manusia yang takkan pernah dilupakan di dunia ini. Tulisan selanjutnya akan menjelaskan golongan kedua dan ketiga.

[1] The Fault in Our Stars www.imdb.com/title/tt2582846/
[2] Biasa dalam kalimat ini, ia bukan orang yang terkenal.
[3] Kitab Jami'ush Shoghir, Abdur Rohman Jalaludin as-Suyuthi. Bab huruf Alif halaman 56.
[4] Apa Saja yang Digolongkan Amal Jariyah? Bahtsul Masail, Maftukhan [2015]. Situs resmi Nahdlatul Ulama. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,59-id,56977-lang,id-c,bahtsul+masail-t,Apa+Saja+yang+Digolongkan+Amal+Jariyah+-.phpx
[5] Lihat Catatan Kematian #1, Mochammad IH [2015]. http://orangeofcake.blogspot.com/2015/10/catatan-kematian-1-bila-aku-mati-muda_31.html