Jumat, 13 November 2015

Buku dan Saya



Ada cerita yang panjang tentang perjalanan 'membaca' saya. Ada kegelian sendiri kalau mengingatnya, kadang juga sedikit 'perih' ketika memang ada satu-dua cerita yang memang dalam sekali dan membentuk saya seperti sekarang ini. Yah, meskipun baru mengawali usia dua puluhan, masih terlalu dini untuk bercerita, itupun kalau saya tidak mati muda.

Dibesarkan dalam perantauan, membuat saya 'dialienasikan' dari kemajuan peradaban. Tepatnya--seingat saya Kecamatan Cempaka, dekat dengan kota Martapura tapi sepertinya masuk dalam Kabupaten Banjarbaru waktu itu, tepatnya di SECATA – RINDAM VI – TANJUNGPURA – Kalimantan Selatan. Bisa disebut dengan pedalaman tempat itu sebenarnya, karena jalan aksesnya melewati perbukitan hutan yang kalau malam bisa sangat menakutkan karena hampir tidak ada penerangan jalan. Asramanya cukup luas, saya ingat sekali cukup lama tinggal di kompleks yang paling belakang sehingga berdekatan dengan hutan.

Sebenarnya saya lahir di Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah), kemudian ayah pindah tugas ke Banjarbaru itu tadi. Tak ada ingatan tentang Kuala Kapuas yang saya ingat sama sekali, ini bisa dimaklumi karena pindah ke Banjarbaru saya masih sekitar balita.

Tinggal di pedalaman pada waktu kecil, akses untuk mendapatkan buku hampir tidak ada. Tetapi saya ingat ada saudara sepupu yang tinggal satu provinsi, namun akses untuk mampir tidaklah cukup dekat. Kemudian mereka ini berbaik hati untuk memberikan koleksi lama majalah anak-anak bernama Bobo seluruhnya kepada saya. Saya senang sekali waktu itu, meskipun banyak sekali hal-hal di Majalah Bobo yang belum saya mengerti waktu itu. Hanya cerita bergambar saja yang saya baca. Maklum, masih kecil.

Menginjak kelas 4 SD, saya pindah ke Sampit (Kalimantan Tengah) setelah konflik suku Dayak-Madura berada di tahap rekonsiliasi. Meskipun berada di pusat kota, akses untuk membaca buku belum bisa saya dapatkan, bisa dimaklumi karena Sampit habis terlanda konflik suku jadi pembangunan sempat terhenti. Entah Sampit medio sekarang bagaimana, karena sempat saat pulang liburan ke sana medio 2010, saya sempat membeli novel Dan Brown bajakan di salah satu ruko pusat kota yang bahkan tidak khusus menjual buku. Seingat saya, saat SD hanya Majalah Bobo yang jadi bacaan saya, selain beberapa majalah hibah dari anak komandan ayah saya.

Pergi menuntut ilmu ke Jombang (Jawa Timur) pun tak melebarkan bacaan saya. Yah, mungkin ada perpustakaan yang koleksinya cukup banyak di sekolah saya. Namun hampir tak ada hal yang menarik minat baca, karena mungkin masalahnya adalah tak ada semacam pengantar, pendahuluan, briefing, pembekalan darimana kita mulai membaca. Saya ingat sekali di perpustakaan waktu itu mendapat hibah majalah Tempo yang cukup banyak.

Kemudian perkenalan saya kepada novel, adalah ketika mengenal seseorang yang koleksi bukunya cukup banyak waktu itu, maklum ia termasuk orang berada. Ia berbaik hati meminjamkan saya novel-novelnya, hingga pada suatu waktu hubungan kita berdua tak begitu baik yang reaksinya membuat saya kehilangan akses bacaan-bacaan yang menarik. Hal yang disesali memang, namun dengan perkenalan itulah membuka wawasan tentang buku apa yang saya cari di hidup ini.

Sempat saya pergi ke Surabaya untuk mencari pusat toko buku bekas. Seingat saya tempat itu berada di dekat stasiun yang cukup besar bernama Stasiun Pasar Turi. Hanya 2 kali saya kesana, mendapatkan Perahu Kertas-nya Dewi Lestari dan sebuah buku motivasi bisnis. Meskipun cukup kumuh namun koleksinya banyak sekali, namun karena jauh dan tak ada kawan yang bisa dipakai tempatnya untuk istirahat, saya urung untuk kembali kesana.

Sempat juga membeli buku-buku secara online, namun karena ongkos kirim yang lumayan mahal dan koleksi yang sedikit, saya jadi tidak membeli lagi.

Kota sekelas Jombang waktu itu hanya mempunyai satu toko buku yang cukup terkenal. Kemudian toko buku Toga Mas membuka cabang di sana. Karena hampir tak pernah punya budget untuk membeli buku gres-baru yang cukup mahal waktu itu hingga akhirnya membeli buku-buku teknis teknis tentang software. Yah, saya ini memang generasi teknokrat, yang kebodohannya cukup bebal waktu itu. Namun toko-toko buku Jombang koleksinya memang cukup sedikit, sehingga harus pintar menyiasati bacaan, apalagi budget pun tak seberapa.

Pada suatu waktu saya cukup galau untuk memilih antara buku dan fashion. Masalah penampilan menjadi hal yang cukup urgensi pada waktu itu, apalagi saya akrab dengan seseorang yang memang dekat dengan hal ini. Fashion menjadi kiblat saya waktu itu, hingga saya juga membuat sebuah clothing sendiri, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Banyak uang keluar namun tak timbal balik yang bagus, hingga saya kapok dan mencari alternatif fashion yang murah. Maklum, anak perantauan.

Lalu keaktifan saya mengikuti para aktivis di sosial media membuat saya menemukan lagi hal-hal yang minimal harus dan wajib dibaca oleh generasi muda Indonesia. Saya mengenal Pramoedya Ananta Toer dan generasi-generasi sastrawan Lekra, generasi-generasi Eka Kurniawan (Puthut EA, Linda Christanty, terakhir saya membeli buku Makhfud Ikhwan), generasi-generasi sastra klasik Indonesia seperti Hamka, HB Jassin, generasi-generasi baru sastra non-Raditya Dika, dll. Meskipun nama-nama itu besar dan panas, namun tak semua bukunya saya peroleh karena budget. Sungguh masalah yang klasik.

Hari ini, saya selalu ingin membeli buku dan membacanya. Meskipun budget memang harus rajin-rajin dikumpulkan dahulu. Tabique.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar