Minggu, 08 November 2015

Smart Aleck



"Pada hakikatnya uang yang dimiliki para pemodal, orang-orang kaya itu bukan milik mereka."

Itulah kalimat pembuka sebelum kau memulai khutbahmu malam ini. Dua orang lelaki necis terlihat siap menyimakmu sampai habis. Kau membakar sebatang kretek filter beraroma mint, bibirmu yang berlipstik merah menghisap asapnya dan dari ekspresimu kau terlihat sedang menyusun kalimatmu selanjutnya.

"Kita pakai silogisme perputaran uang aja ya. Premis mayornya, barang-barang yang diproduksi buruh dilempar ke pasar menghasilkan uang. Premis minor, uang hasil pekerjaan buruh dipergunakan untuk membeli barang yang diproduksi. Konklusi, buruh memproduksi juga mengonsumsi barang produksinya."

Kau merubah pose dudukmu, kali ini punggungmu kau sandarkan pada bantal empuk di atas sandaran kursi rotan semi modern. Namun pandanganku sedikit terkesima pada lehermu yang terbuka dan rambut hitammu yang bergelombang. Lalu buru-buru aku mengalihkan pandang, malu terpergok oleh matamu.

"Kalau yang dikatakan daya beli rendah dari masyarakat menyebabkan roda ekonomi melambat, berarti perputaran uang gak lancar dong. Nah, penyebabnya apa daya beli rendah ini? Aku cenderung percaya jika masyarakat memiliki uang maka daya beli akan tinggi, jika tidak memiliki uang lalu dimanakah uangnya?"

Lelaki di sebelahku bertanya, lebih tepatnya mengonfirmasi penjelasanmu. Kamu memperhatikannya seraya meneguk secangkir kopi di depanmu.

"Iya. Para pemodal dan kaum borjuis itu yang memiliki uangnya. Mereka menahannya."

Kali ini kau bangkit dari sandaran kursi, mematikan bara kretek filtermu yang telah habis pada asbak berbahan gelas. Ekspresimu serius, aku sedikit bergidik.

"Kalau kenaikan gaji penyebab inflasi naik. Seharusnya jangan jumlah gaji buruh kecil terus yang diaudit, harusnya kita mengkritik pendapatan bos besar yang rasionya 200 kali lipat dari gaji anak buahnya.”

Kau pun menunjukkan sebuah laporan penelitian dari layar ponsel pintar untuk menguatkan argumenmu.

“Aku juga gak tau. Maksudku, sekarang setelah kita tau kita harus bersimpati pada buruh, aku juga tidak tau apa yang harus dilakukan. Itu membuatku frustasi.”

Aku tersenyum geli. Kau juga melakukan hal yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar