"Pada hakikatnya uang yang dimiliki para pemodal, orang-orang
kaya itu bukan milik mereka."
Itulah kalimat pembuka sebelum kau memulai khutbahmu malam ini. Dua
orang lelaki necis terlihat siap menyimakmu sampai habis. Kau membakar sebatang
kretek filter beraroma mint, bibirmu yang berlipstik merah menghisap asapnya
dan dari ekspresimu kau terlihat sedang menyusun kalimatmu selanjutnya.
"Kita pakai silogisme perputaran uang aja ya. Premis mayornya,
barang-barang yang diproduksi buruh dilempar ke pasar menghasilkan uang. Premis
minor, uang hasil pekerjaan buruh dipergunakan untuk membeli barang yang
diproduksi. Konklusi, buruh memproduksi juga mengonsumsi barang
produksinya."
Kau merubah pose dudukmu, kali ini punggungmu kau sandarkan pada bantal
empuk di atas sandaran kursi rotan semi modern. Namun pandanganku sedikit
terkesima pada lehermu yang terbuka dan rambut hitammu yang bergelombang. Lalu
buru-buru aku mengalihkan pandang, malu terpergok oleh matamu.
"Kalau yang dikatakan daya beli rendah dari masyarakat
menyebabkan roda ekonomi melambat, berarti perputaran uang gak lancar dong.
Nah, penyebabnya apa daya beli rendah ini? Aku cenderung percaya jika
masyarakat memiliki uang maka daya beli akan tinggi, jika tidak memiliki uang
lalu dimanakah uangnya?"
Lelaki di sebelahku bertanya, lebih tepatnya mengonfirmasi
penjelasanmu. Kamu memperhatikannya seraya meneguk secangkir kopi di depanmu.
"Iya. Para pemodal dan kaum borjuis itu yang memiliki uangnya.
Mereka menahannya."
Kali ini kau bangkit dari sandaran kursi, mematikan bara kretek
filtermu yang telah habis pada asbak berbahan gelas. Ekspresimu serius, aku
sedikit bergidik.
"Kalau kenaikan gaji penyebab inflasi naik. Seharusnya jangan
jumlah gaji buruh kecil terus yang diaudit, harusnya kita mengkritik pendapatan
bos besar yang rasionya 200 kali lipat dari gaji anak buahnya.”
Kau pun menunjukkan sebuah laporan penelitian dari layar ponsel pintar
untuk menguatkan argumenmu.
“Aku juga gak tau. Maksudku, sekarang setelah kita tau kita harus bersimpati
pada buruh, aku juga tidak tau apa yang harus dilakukan. Itu membuatku
frustasi.”
Aku tersenyum geli. Kau juga melakukan hal yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar