Jumat, 04 Desember 2015

Rumah dan Racauan





“Bang. Aku otw.”

Begitu ketiknya dalam aplikasi obrolan elektronik di ponsel pintar bermerek Jepang. Namun yang dimaksud “otw”, kependekan dari on the way—“dalam perjalanan” adalah duduk santai di atas bangku kayu bermotif ukiran Jawa menunggu pesannya dibalas oleh Gilang. Untuk sekedar konfirmasi, pikirnya. Bangku kayu tersebut berada dalam ruang tamu yang cukup lengang, didekatnya ada sebuah meja dengan ukiran Jawa pula—satu set dengan bangku kayunya. Ia duduk sendirian. Sesekali terdengar suara beberapa tetangga yang saling bersahutan dengan motor yang lalu-lalang di gang depan rumah tersebut.

Rumah itu didapati Komar—nama panggilan si pemuda, kosong tak ada penghuninya. Ia celingak-celinguk mencari empunya rumah namun nihil hasil. Sempat ia menghujat dalam hati kebebalan kawan-kawannya yang tak menjaga rumah ini dengan benar dengan membiarkan pintunya terbuka. Lalu, Komar juga khawatir barangkali ada tetangga rumah yang mampir mencari orang-orang hilang tersebut dan mendapati wajah Komar yang asing layaknya maling. Meskipun terkesan tanpa alasan jelas, namun kekhawatiran ini berdasarkan intesitas kehadirannya di rumah itu cukup bisa dihitung dengan jari dalam 3 bulan terakhir. Lagipula bila tak ada kepentingan, ia enggan untuk main kemari. Tak ada kawan ngobrol yang asyik, batinnya menyahut. Hari ini pun ia hanya membutuhkan beberapa lembar kertas hvs untuk dicetak di rumah Gilang. Gilang mengaku hampir tak ada lembaran kertas di rumahnya—sesuatu yang dibuktikan Komar belakangan dan meminta si pemuda untuk mengambil kertas secukupnya di rumah ini.
 
Rumah itu adalah hunian merangkap kantor sekretariat organisasi persaudaraan kawan-kawan seangkatan Komar berkuliah. Pemiliknya adalah Fir, seorang pemuda kurus asal Jakarta yang sejak kecil mondok di Jombang. Rumah itu aslinya adalah milik ayah Fir, yang tiap bulan seringkali singgah untuk menghadiri pengajian. Fir menghuni rumah itu kurang lebih 5 tahun ini, begitu yang Komar dengar. Ia tinggal bersama dua saudara jauhnya dan dua kawan yang ikut tinggal. Beberapa kawan seringkali bermain ke sana untuk meramaikan rumah, terakhir mereka berpesta sate kambing dan sapi saat lebaran kurban—Komar bahkan menjadi korban betapa alotnya daging hasil panggangan mereka. Dulu sempat ada gazebo di samping rumah, namun beberapa minggu yang lalu dibongkar untuk garasi mobil. Rumah ini dulu cukup gelap karena hanya sebagian rumah saja yang dicat, lalu Fir mengecat rumah ini dengan warna hijau lumut terang beberapa waktu lalu.

 Ada sebuah lukisan—mural lebih tepatnya, di dinding kamar tamu, Komar sempat menjadi saksi pembuatannya. Pelukisnya adalah Arie, seorang pelukis muda berbakat yang aktif di komunitas pelukis Jombang. Fir mengaku, bahwa ia tidak menyuruh Arie, namun si pemuda berkulit hitam itu sendiri yang meminta Fir untuk melukis dinding ruang tamunya. Kalau Arie sedang banyak masalah, ia bakal cari pelampiasan seperti ini, tambahnya. Awalnya Komar—dengan niat bercanda, merendahkan hasilnya pembuatannya. Lalu dijawab dengan santai oleh Arie, bahwa Komar hanya melihat awal dari sebuah proses. Dan beberapa hari kemudian ketika Komar mampir ke rumah itu, ia dibuat terkagum-kagum dengan hasilnya. Sebuah mural landscape yang menampilkan keelokan sebuah senja kala sore hari.

Seharusnya rumah ini diberi nama panggilan, usul Komar dalam pikiran. Si pemuda teringat pada nama rumah cum-sekretariat milik angkatan kakak kelasnya di sebelah rumah kosnya. Sekretariat masing-masing angkatan memang hal yang cukup lumrah dan menjadi sebuah kebutuhan bagi pengenyam pendidikan di sini. Rumah itu dipanggil Delapan Enam (86), inisial acara reality show televisi yang cukup ramai diperbincangkan. Ini tak lepas dari isi acara yang meliput kegiatan kepolisian negeri ini yang seringkali—menurut Komar dipenuhi dengan drama-drama yang tak perlu. Komar merasa miris menerima kakak kelasnya memuja aparat kepolisian cukup tinggi begitu. Padahal faktanya, kepolisian adalah alat kekerasan negara. Si pemuda mengingat betapa brutal kepolisian membubarkan demonstrasi serikat buruh di depan Istana Negara beberapa waktu lalu,merusak sebuah mobil komando dengan batang bambu dan menendangi serta menangkap puluhan aktivis buruh. Apalagi baru-baru ini kepolisian juga terlibat kekerasan saat membubarkan  demonstrasi damai para mahasiswa Papua di bundaran Hotel Indonesia, berujung ditangkapnya 300 orang mahasiswa ras Melanesia dan seorang bapak berdarah Tiongkok yang ternyata korban salah tangkap. Alasan pembubarannya terlalu klise, hanya karena telat mengirim berita acara pada kepolisian. Meskipun diwarnai dengan nuansa politis bahkan terkesan membawa isu separatisme, menurut Komar kekerasan tak perlu dilakukan apalagi bagi negara yang mengaku menjunjung demokrasi. Di lini masa media sosial, Komar bahkan mendapati kritik bahwa kepolisian bersikap standar ganda menangani demonstrasi. Pemberi kritik membandingkan demonstrasi para fundamentalis agama beberapa waktu lalu yang mendukung monster pembawa perang sektarian di Timur Tengah. Demonstrasi fundamentalis agama ini tidak ‘ditertibkan’ oleh kepolisian, meskipun ancamannya nyata terhadap keutuhan NKRI—isu yang sering dihembuskan para elit militer.

Usul nama yang dipikirkan oleh Komar adalah Vanguard. Nama ini oleh Komar dirampok dari nama panggung salah seorang rapper cum-aktivis dari grup hip-hop legenda musik bawah tanah di Bandung. Sang rapper cukup keras mengkritik aparat pemerintah karena ideologi anarki yang dianutnya selama ini. Komar berharap rumah ini menjadi sebuah komune, seperti cita-cita para anarkis yang tak menghendaki kekuasaan hanya dimiliki oleh seorang atau segelintir manusia saja. Di komune, manusia-manusia akan mengorganisir diri dan bekerja sama dengan kepastian bahwa semua orang memiliki hak dan kekuasaan yang sama sehingga tak terjadi penindasan. Para anarkis percaya bahwa kekuasaan adalah penyebab penindasan manusia atas manusia. Kadang karena kepercayaan inilah, para anarkis disebut oleh Soe Hok Gie sebagai nihilis—penganut pemikiran Nietzche. Bahkan mereka disebut utopis karena ingin menghapuskan negara—kekuasaan paling tertinggi, namun hal ini seringkali dibantah oleh mereka karena sistem masyarakat komunal manusia yang dicita-citakan oleh mereka eksis sejak spesies bernama Homo Sapiens hadir di bumi, bahkan sampai sekarang sistem ini masih ada dan hidup di masyarakat-masyarakat tradisional negeri ini, meskipun jelas sekali terancam monster modernisme bernama kapitalisme.


Cukup lama Komar menunggu pesan elektronik balasan dari Gilang. Sejak awal ia memutuskan membunuh waktu dengan memperhatikan lini masa media sosial. Beberapa pengguna yang diikutinya masih berkutat dengan berita penangkapan mahasiswa Papua, ada juga tentang isu HIV/AIDS dan isu Kekerasan Terhadap Perempuan dan beberapa twit-twit lucu khas kelas menengah. Ada beberapa berita tentang advokasi buruh yang di-PHK sejak ramai Mogok Nasional lalu dan yang membuat si pemuda berambut tipis ini sedikit terkejut adalah dua acara seminar yang akan dilaksanakan di dalam satu kampus terkenal di ibukota. Masing-masing membahas dua ideologi yang digelutinya selama ini: anarkisme dan marxisme. Tak lama Komar mencuit hal tersebut dengan nada gembira.

Ia membuka profil akun media sosialnya, melihat cuitannya yang rata-rata membahas isu-isu kelas kecil. Komar memang aktivis jempol, sebuah sebutan untuk para aktivis yang hanya bersuara di jejaring media sosial, yang tak pernah terjun langsung di lapangan—meskipun tak semuanya. Ia geli sendiri menemukan julukan itu, dan terkesan bangga. Namun suatu hari ketika ia telah menyelesaikan pendidikannya, Komar berjanji akan terjun langsung seperti aktivis-aktivis revolusioner lainnya—kalau tidak mustahil, Komar ingin menjadi Che Guevara selanjutnya.

Komar seringkali berpikir bahwa dirinya jadab, cemoohan yang akrab dari kawan-kawannya untuk orang yang berbeda arah dalam ideologi maupun sikap. Padahal sebenarnya istilah itu di dunia sufisme digunakan untuk orang-orang mengaku kekhalayak umum bahwa dirinya menyatu dengan Tuhan—lalu dituduh syirik dan berakhir dihukum penggal seperti Al-Hallaj. Kadangkala cemoohan itu digunakan untuk kawan-kawan yang mempertanyakan tentang Dzat bernama Tuhan secara berlebihan, satu hal yang tak boleh didiskusikan secara umum. Komar berpikir pantas mendapat julukan jadab, karena dirinya dalam setahun terakhir mempelajari ideologi kiri dan menganggapnya benar, sesuatu yang cukup tabu di negeri ini. Apalagi dengan stigma “tak bertuhan” yang dicap berpuluh-puluh tahun dan jelas sangat kontras dengan tempat dimana Komar mengenyam pendidikan—agamis.

Namun Komar membela diri bahwa ketertarikannya pada ideologi kiri tak jauh dari hal-hal yang selama ini diajarkan gurunya yang agamis bertahun-tahun, tentang keberpihakan kepada kaum yang lemah dan tertindas. Ia melihat sendiri bagaimana kemiskinan membunuh rakyatnya pelan-pelan, bagaimana beberapa orang yang dijumpainya dalam kegiatan penjelajahan desa—penyaluran amal shodaqoh, tinggal di rumah-rumah tak layak—yang bahkan tak pantas disebut rumah karena ketidaklayakannya. Seringkali “rumah-rumah” itu hanya mempunyai luas tiga kali tiga meter persegi, yang diisi hanya sebuah dipan kayu untuk istirahat—seperti kamar kosnya, namun lebih kumuh dengan barang-barang dan berlantai tanah. Karena itu Komar selalu berpihak pada korban sejak dalam pikiran.

Beberapa saat kemudian Rendi, salah satu adik Fir datang. Pemuda tanggung itu sedikit kebingungan memarkir sepeda masuk ke garasi, karena ada motor Komar yang menghalangi jalan. Komar menunggu raut wajah yang kesal dari Rendi, namun ia hanya mendapati wajah Rendi yang naif. Lalu Komar tanpa berbasa-basi langsung menjelaskan keadaan rumah yang tak ada siapapun dan menceritakan alasannya kemari. Setelah berbasa-basi sedikit, Rendi langsung masuk ke rumah dan meninggalkan Komar menunggu di ruang tamu. Seketika itu juga Komar mendapat balasan pesan singkat dari Gilang. Maka dengan sigap ia memasukkan ponsel pintarnya ke dalam kantong celana dan melangkah gontai menuju motornya. Tak lupa Komar berpamitan pada Rendi yang sedang menikmati minuman bersoda di depan televisi—entah bisa disebut berpamitan jika yang dilakukan Komar adalah adalah menyeru kepada Rendi memberitahu dirinya akan pergi dan dibalas dengan sahutan kecil.

Begitulah Komar pergi dari rumah itu dan ia memutuskan tak memanjangkan racauannya di jalan raya, takut mengalami kecelakaan bermotor. Ia bergidik ngeri membayang pada kejadian seminggu terakhir, ketika ia mendapati hampir setiap hari ada orang meninggal di jalan-jalan. Orang-orang mistik Jawa percaya, bahwa bulan kedua dalam kalender Jawa adalah bulan yang penuh balak—nasib buruk yang menghampiri manusia. Komar bahkan tak sempat melanjutkan lamunannya karena si pemuda sempat tersasar untuk menemukan rumah Gilang.***

2015-12-04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar