“Bang. Aku otw.”
Begitu ketiknya dalam aplikasi obrolan elektronik di ponsel
pintar bermerek Jepang. Namun yang dimaksud “otw”, kependekan dari on the way—“dalam
perjalanan” adalah duduk santai di atas bangku kayu bermotif ukiran Jawa
menunggu pesannya dibalas oleh Gilang. Untuk sekedar konfirmasi, pikirnya.
Bangku kayu tersebut berada dalam ruang tamu yang cukup lengang, didekatnya ada
sebuah meja dengan ukiran Jawa pula—satu set dengan bangku kayunya. Ia duduk
sendirian. Sesekali terdengar suara beberapa tetangga yang saling bersahutan
dengan motor yang lalu-lalang di gang depan rumah tersebut.
Rumah itu didapati Komar—nama panggilan si pemuda, kosong
tak ada penghuninya. Ia celingak-celinguk mencari empunya rumah namun nihil
hasil. Sempat ia menghujat dalam hati kebebalan kawan-kawannya yang tak menjaga
rumah ini dengan benar dengan membiarkan pintunya terbuka. Lalu, Komar juga
khawatir barangkali ada tetangga rumah yang mampir mencari orang-orang hilang
tersebut dan mendapati wajah Komar yang asing layaknya maling. Meskipun
terkesan tanpa alasan jelas, namun kekhawatiran ini berdasarkan intesitas
kehadirannya di rumah itu cukup bisa dihitung dengan jari dalam 3 bulan terakhir.
Lagipula bila tak ada kepentingan, ia enggan untuk main kemari. Tak ada kawan
ngobrol yang asyik, batinnya menyahut. Hari ini pun ia hanya membutuhkan
beberapa lembar kertas hvs untuk dicetak di rumah Gilang. Gilang mengaku hampir
tak ada lembaran kertas di rumahnya—sesuatu yang dibuktikan Komar belakangan
dan meminta si pemuda untuk mengambil kertas secukupnya di rumah ini.
Rumah itu adalah hunian merangkap kantor sekretariat
organisasi persaudaraan kawan-kawan seangkatan Komar berkuliah. Pemiliknya adalah
Fir, seorang pemuda kurus asal Jakarta yang sejak kecil mondok di Jombang.
Rumah itu aslinya adalah milik ayah Fir, yang tiap bulan seringkali singgah
untuk menghadiri pengajian. Fir menghuni rumah itu kurang lebih 5 tahun ini,
begitu yang Komar dengar. Ia tinggal bersama dua saudara jauhnya dan dua kawan
yang ikut tinggal. Beberapa kawan seringkali bermain ke sana untuk meramaikan
rumah, terakhir mereka berpesta sate kambing dan sapi saat lebaran kurban—Komar
bahkan menjadi korban betapa alotnya daging hasil panggangan mereka. Dulu
sempat ada gazebo di samping rumah, namun beberapa minggu yang lalu dibongkar
untuk garasi mobil. Rumah ini dulu cukup gelap karena hanya sebagian rumah saja
yang dicat, lalu Fir mengecat rumah ini dengan warna hijau lumut terang
beberapa waktu lalu.
Ada sebuah
lukisan—mural lebih tepatnya, di dinding kamar tamu, Komar sempat menjadi saksi
pembuatannya. Pelukisnya adalah Arie, seorang pelukis muda berbakat yang aktif
di komunitas pelukis Jombang. Fir mengaku, bahwa ia tidak menyuruh Arie, namun
si pemuda berkulit hitam itu sendiri yang meminta Fir untuk melukis dinding
ruang tamunya. Kalau Arie sedang banyak masalah, ia bakal cari pelampiasan
seperti ini, tambahnya. Awalnya Komar—dengan niat bercanda, merendahkan hasilnya
pembuatannya. Lalu dijawab dengan santai oleh Arie, bahwa Komar hanya melihat
awal dari sebuah proses. Dan beberapa hari kemudian ketika Komar mampir ke
rumah itu, ia dibuat terkagum-kagum dengan hasilnya. Sebuah mural landscape
yang menampilkan keelokan sebuah senja kala sore hari.
Seharusnya rumah ini diberi nama panggilan, usul Komar dalam pikiran. Si pemuda teringat pada nama rumah cum-sekretariat milik angkatan kakak kelasnya di sebelah rumah kosnya. Sekretariat masing-masing angkatan memang hal yang cukup lumrah dan menjadi sebuah kebutuhan bagi pengenyam pendidikan di sini. Rumah itu dipanggil Delapan Enam (86), inisial acara reality show televisi yang cukup ramai diperbincangkan. Ini tak lepas dari isi acara yang meliput kegiatan kepolisian negeri ini yang seringkali—menurut Komar dipenuhi dengan drama-drama yang tak perlu. Komar merasa miris menerima kakak kelasnya memuja aparat kepolisian cukup tinggi begitu. Padahal faktanya, kepolisian adalah alat kekerasan negara. Si pemuda mengingat betapa brutal kepolisian membubarkan demonstrasi serikat buruh di depan Istana Negara beberapa waktu lalu,merusak sebuah mobil komando dengan batang bambu dan menendangi serta menangkap puluhan aktivis buruh. Apalagi baru-baru ini kepolisian juga terlibat kekerasan saat membubarkan demonstrasi damai para mahasiswa Papua di bundaran Hotel Indonesia, berujung ditangkapnya 300 orang mahasiswa ras Melanesia dan seorang bapak berdarah Tiongkok yang ternyata korban salah tangkap. Alasan pembubarannya terlalu klise, hanya karena telat mengirim berita acara pada kepolisian. Meskipun diwarnai dengan nuansa politis bahkan terkesan membawa isu separatisme, menurut Komar kekerasan tak perlu dilakukan apalagi bagi negara yang mengaku menjunjung demokrasi. Di lini masa media sosial, Komar bahkan mendapati kritik bahwa kepolisian bersikap standar ganda menangani demonstrasi. Pemberi kritik membandingkan demonstrasi para fundamentalis agama beberapa waktu lalu yang mendukung monster pembawa perang sektarian di Timur Tengah. Demonstrasi fundamentalis agama ini tidak ‘ditertibkan’ oleh kepolisian, meskipun ancamannya nyata terhadap keutuhan NKRI—isu yang sering dihembuskan para elit militer.
Usul nama yang dipikirkan oleh Komar adalah Vanguard. Nama ini oleh Komar dirampok dari nama panggung salah seorang rapper cum-aktivis dari grup hip-hop legenda musik bawah tanah di Bandung. Sang rapper cukup keras mengkritik aparat pemerintah karena ideologi anarki yang dianutnya selama ini. Komar berharap rumah ini menjadi sebuah komune, seperti cita-cita para anarkis yang tak menghendaki kekuasaan hanya dimiliki oleh seorang atau segelintir manusia saja. Di komune, manusia-manusia akan mengorganisir diri dan bekerja sama dengan kepastian bahwa semua orang memiliki hak dan kekuasaan yang sama sehingga tak terjadi penindasan. Para anarkis percaya bahwa kekuasaan adalah penyebab penindasan manusia atas manusia. Kadang karena kepercayaan inilah, para anarkis disebut oleh Soe Hok Gie sebagai nihilis—penganut pemikiran Nietzche. Bahkan mereka disebut utopis karena ingin menghapuskan negara—kekuasaan paling tertinggi, namun hal ini seringkali dibantah oleh mereka karena sistem masyarakat komunal manusia yang dicita-citakan oleh mereka eksis sejak spesies bernama Homo Sapiens hadir di bumi, bahkan sampai sekarang sistem ini masih ada dan hidup di masyarakat-masyarakat tradisional negeri ini, meskipun jelas sekali terancam monster modernisme bernama kapitalisme.
Cukup lama Komar menunggu pesan elektronik balasan dari Gilang.
Sejak awal ia memutuskan membunuh waktu dengan memperhatikan lini masa media
sosial. Beberapa pengguna yang diikutinya masih berkutat dengan berita
penangkapan mahasiswa Papua, ada juga tentang isu HIV/AIDS dan isu Kekerasan
Terhadap Perempuan dan beberapa twit-twit lucu khas kelas menengah. Ada
beberapa berita tentang advokasi buruh yang di-PHK sejak ramai Mogok Nasional
lalu dan yang membuat si pemuda berambut tipis ini sedikit terkejut adalah dua
acara seminar yang akan dilaksanakan di dalam satu kampus terkenal di ibukota.
Masing-masing membahas dua ideologi yang digelutinya selama ini: anarkisme dan
marxisme. Tak lama Komar mencuit hal tersebut dengan nada gembira.
Ia membuka profil akun media sosialnya, melihat cuitannya
yang rata-rata membahas isu-isu kelas kecil. Komar memang aktivis jempol,
sebuah sebutan untuk para aktivis yang hanya bersuara di jejaring media sosial,
yang tak pernah terjun langsung di lapangan—meskipun tak semuanya. Ia geli
sendiri menemukan julukan itu, dan terkesan bangga. Namun suatu hari ketika ia telah
menyelesaikan pendidikannya, Komar berjanji akan terjun langsung seperti
aktivis-aktivis revolusioner lainnya—kalau tidak mustahil, Komar ingin menjadi
Che Guevara selanjutnya.
Komar seringkali berpikir bahwa dirinya jadab, cemoohan yang
akrab dari kawan-kawannya untuk orang yang berbeda arah dalam ideologi maupun
sikap. Padahal sebenarnya istilah itu di dunia sufisme digunakan untuk
orang-orang mengaku kekhalayak umum bahwa dirinya menyatu dengan Tuhan—lalu
dituduh syirik dan berakhir dihukum penggal seperti Al-Hallaj. Kadangkala
cemoohan itu digunakan untuk kawan-kawan yang mempertanyakan tentang Dzat
bernama Tuhan secara berlebihan, satu hal yang tak boleh didiskusikan secara
umum. Komar berpikir pantas mendapat julukan jadab, karena dirinya dalam setahun
terakhir mempelajari ideologi kiri dan menganggapnya benar, sesuatu yang cukup
tabu di negeri ini. Apalagi dengan stigma “tak bertuhan” yang dicap
berpuluh-puluh tahun dan jelas sangat kontras dengan tempat dimana Komar
mengenyam pendidikan—agamis.
Namun Komar membela diri bahwa ketertarikannya pada ideologi
kiri tak jauh dari hal-hal yang selama ini diajarkan gurunya yang agamis
bertahun-tahun, tentang keberpihakan kepada kaum yang lemah dan tertindas. Ia
melihat sendiri bagaimana kemiskinan membunuh rakyatnya pelan-pelan, bagaimana
beberapa orang yang dijumpainya dalam kegiatan penjelajahan desa—penyaluran
amal shodaqoh, tinggal di rumah-rumah tak layak—yang bahkan tak pantas disebut
rumah karena ketidaklayakannya. Seringkali “rumah-rumah” itu hanya mempunyai
luas tiga kali tiga meter persegi, yang diisi hanya sebuah dipan kayu untuk
istirahat—seperti kamar kosnya, namun lebih kumuh dengan barang-barang dan
berlantai tanah. Karena itu Komar selalu berpihak pada korban sejak dalam
pikiran.
Beberapa saat kemudian Rendi, salah satu adik Fir datang.
Pemuda tanggung itu sedikit kebingungan memarkir sepeda masuk ke garasi, karena
ada motor Komar yang menghalangi jalan. Komar menunggu raut wajah yang kesal
dari Rendi, namun ia hanya mendapati wajah Rendi yang naif. Lalu Komar tanpa
berbasa-basi langsung menjelaskan keadaan rumah yang tak ada siapapun dan
menceritakan alasannya kemari. Setelah berbasa-basi sedikit, Rendi langsung
masuk ke rumah dan meninggalkan Komar menunggu di ruang tamu. Seketika itu juga
Komar mendapat balasan pesan singkat dari Gilang. Maka dengan sigap ia
memasukkan ponsel pintarnya ke dalam kantong celana dan melangkah gontai menuju
motornya. Tak lupa Komar berpamitan pada Rendi yang sedang menikmati minuman
bersoda di depan televisi—entah bisa disebut berpamitan jika yang dilakukan
Komar adalah adalah menyeru kepada Rendi memberitahu dirinya akan pergi dan
dibalas dengan sahutan kecil.
Begitulah Komar pergi dari rumah itu dan ia memutuskan tak
memanjangkan racauannya di jalan raya, takut mengalami kecelakaan bermotor. Ia
bergidik ngeri membayang pada kejadian seminggu terakhir, ketika ia mendapati
hampir setiap hari ada orang meninggal di jalan-jalan. Orang-orang mistik Jawa
percaya, bahwa bulan kedua dalam kalender Jawa adalah bulan yang penuh
balak—nasib buruk yang menghampiri manusia. Komar bahkan tak sempat melanjutkan
lamunannya karena si pemuda sempat tersasar untuk menemukan rumah Gilang.***
2015-12-04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar