Oleh: Mochammad IH
Sekumpulan anak-anak remaja berjalan menyusuri sebuah gang kecil. Sepertinya mereka melangkahkan kakinya cepat-cepat, mungkin karena terik cahaya matahari cukup menusuk pada hari Jum'at ini. Cukup bisa dimaklumi karena waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang, dimana matahari tak segan untuk menunjukkan kuasanya atas hari-hari di bumi. Salah satu remaja perempuan pada kelompok tersebut tiba-tiba merindukan gerombolan Kumulonimbus menantang sang surya dan meneduhkan perjalanannya. 'Syukur-syukur bila terjadi hujan badai,' pikir perempuan itu.
Kini mereka telah sampai di tempat yang dituju, sebuah kompleks ruangan kelas yang memanjang. Orang-orang menyebut kompleks tersebut dengan nama Lokal Timur. Ruangan ini terbagi menjadi tiga ruangan belajar-mengajar yang dibatasi oleh sekat permanen, dua buah ruang kantor untuk para guru dan sebuah ruangan yang penuh dengan komputer. Tak ada siapa-siapa di Lokal Timur, maklum saja hari Jum'at adalah hari libur sekolah itu. Hanya sesekali sekelompok anak-anak kecil laki-laki lewat berpakaian rapi, lengkap dengan sarung, peci hitam dan sajadah yang dililitkan ke leher, sepertinya mereka pergi menunaikan sholat Jum'at. Mereka tak berhenti berceloteh meskipun cuaca semakin panas saja.
Satu-satunya remaja lelaki yang berada dalam kelompok remaja di atas telah sibuk mencabuti lembaran-lembaran kertas yang berada pada sebuah lemari kayu yang dilapisi kaca. Lemari itu dibuka olehnya dengan kunci kecil yang penuh bintik-bintik karat, dan ada gantungan berbentuk buah pisang yang ukurannya cukup kontras dengan kunci yang digantunginya. Salah seorang remaja perempuan yang berkerudung tergerak maju untuk membantunya mencabuti lembaran-lembaran itu. Dua remaja perempuan lainnya hanya diam memandang dua orang itu, wajah mereka memancarkan kelelahan.
"Lho, Geri. Yang itu jangan dicabut," seru perempuan yang membantunya sedari tadi, kini kerudung merah kelabunya hanya dililitkan di lehernya. "Kamu mikir apa sih?"
Dengan kikuk, lelaki bernama Geri itu pun memasang kembali huruf-huruf berbahan flanel yang berwarna-warni cerah yang ia cabut. Geri terbayang dengan anak-anak kecil laki-laki yang berangkat menunaikan sholat Jum'at di masjid, sedang dirinya membolos tidak mengikuti ritual wajib tersebut. Ia mencoba menghitung berapa kali ia membolos, namun tidak ada angka yang pasti karena tak terhitung jumlahnya. Geri membolos bukan tanpa alasan, setiap Jum'at siang ia bersama awak redaksi majalah dinding—mading sekolahnya menerbitkan edisi baru majalah. Mengapa tidak memilih hari selain Jum'at? Karena kegiatan di luar sekolah awak redaksi sudah sangat penuh dengan kursus setiap harinya. Malam pun tidak bisa, karena waktunya tidak memadai. hanya hari Jum'at yang kosong dari jadwal.
Geri orang yang perfeksionis, kalau ia tak datang, maksudnya berkumpul dengan awak redaksi untuk memasang edisi baru mading, ia tak bisa mengontrol standar tertentu dalam menerbitkan mading edisi terbaru. Standar yang ia peroleh dari sebuah pembekalan yang diadakan sekitar 2 tahun yang lalu. Hal ini membawa Geri pada nostalgia singkat pada awal-awal ia mengemban tugas sebagai redaksi mading sekolah.
Acara pembekalan itu dilatarbelakangi oleh ketiadaan pengalaman para awak redaksi yang baru. Seminggu setelah terpilih, ia dan awak redaksi yang lain harus membuat edisi baru tanpa tau apa yang harus dilakukan. Kegelisahan Geri dan para awak redaksi lainnya ini bergolak seperti air yang mendidih, mereka rata-rata geram bercampur bingung terhadap sikap awak redaksi sebelumnya yang meninggalkan mereka dalam ketidaktahuan dan ketidakpastian. Lalu dalam suatu rapat, ide untuk mengadakan pembekalan muncul. Entah dari mana ide itu muncul, Geri sudah lupa, namun pemuda kurus ini ingat kalau teman-temannya saat itu harus memilih diantara dua guru Bahasa Indonesia senior di sekolahnya untuk mengisi pembekalan, Pak Indra dan Pak Sugeng. Namun pilihan akhirnya jatuh pada Pak Indra, karena para awak redaksi lebih akrab dengan nama itu.
Pak Indra adalah orang yang sibuk, begitu kesan pertama Geri saat ia dan dua temannya menyampaikan maksud untuk meminta Pak Indra untuk mengisi pembekalan. Selain mengajar beliau juga aktif dalam organisasi lembaga keagamaan yang bergerak di bidang kemanusiaan waktu itu. Jadi waktu adalah hal yang sangat berharga bagi beliau, sedang remaja-remaja semacam Geri dan para awak redaksi seringkali tidak bisa diajak serius. Pada akhirnya Pak Indra setuju meluangkan waktunya, perasaan lega menghampiri hati Geri dan kawan-kawannya.
Lalu hari H pun tiba, para remaja lelaki dan perempuan berpakaian rapi duduk manis di ruangan penuh komputer. Geri mengingat, waktu itu para awak redaksi masih bisa dihitung lebih dari sepuluh, kontras dengan keaktifan awak redaksi yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan sekarang. Sesaat kemudian Pak Indra pun datang, dan dengan sedikit basa-basi—bahkan hampir tidak ada basa-basi sama sekali, beliau memulai pembekalannya.
Sebuah fotokopian makalah dibagikan satu persatu kepada peserta. Kelihatannya makalah itu diambil dari sebuah buku, karena ada beberapa paragraf kalimat yang tak relevan dengan topik majalah dinding. Makalah itu berisi syarat dan prasyarat untuk media disebut sebagai majalah dinding. Lalu Pak Indra pun mulai menerangkan satu persatu, diawali dengan sebuah kalimat untuk menggambarkan majalah dinding secara sederhana.
“Sebenarnya majalah dinding itu sama saja dengan majalah-majalah pada umumnya,” ujar Pak Indra santai. “Yang membedakan hanya medianya saja, biasanya majalah memakai media kertas, namun majalah dinding memakai media dinding.”
Lalu satu persatu Pak Indra mulai menerangkan tentang nama, halaman, pengantar redaksi hingga daftar isi. Sejak hari itu Geri dan awak redaksi seperti mendapat sebuah lentera dalam kegelapan. Mulailah mereka berjalan menyusuri kegelapan dengan membuat edisi-edisi mading menurut standar yang dikemukakan Pak Indra, meskipun Geri sangsi para pembacanya memperhatikan hal-hal ini, bahkan awak redaksinya mungkin banyak yang tak mengikuti standar ini.
Hal yang paling seru diantara nostalgia itu adalah menentukan nama mading kesayangan mereka. Geri mengingat seluruh awak redaksi masing-masing mengusulkan nama, bahkan Sanah, perempuan yang membantu Geri mencabuti dan mengeluarkan edisi lama mading, mengusulkan lima nama sekaligus yang sayangnya semua ditolak. Nama yang diusulkan Geri pun ditolak. Dan pada akhirnya setelah 2 jam berkonsolidasi, para awak redaksi memutuskan nama AKSI! sebagai nama majalah mereka, akronim dari Ajang Kreatifitas Kita. Geri tidak bisa mengingat siapa yang mengusulkan nama itu pertama kali.
Sepanjang pengalaman menjadi redaksi Mading Aksi! Geri merasa hal yang paling membutuhkan kesabaran adalah membuat daftar isi. Ini dikarenakan seluruh bahan-bahan mading dicetak, disortir dan diterbitkan—dipasang di lemari berkaca harus dalam satu hari, Jum’at, agar besoknya para pembaca bisa menikmati konten terbaru yang dipersembahkan awak redaksi. Sebenarnya bisa saja Geri dan awak redaksi menunda satu hari untuk pemasangan agar ada jeda untuk mengoreksi bahan-bahan mading yang akan diterbitkan, namun karena sikap perfeksionis Geri, ia memaksakan diri untuk langsung menerbitkan hari itu juga. Ia terlalu keras dengan dirinya sendiri, padahal awak redaksi yang lain tidak melakukan hal tersebut.
Daftar isi membutuhkan halaman. Dan karena harus dibuat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, Geri menyiasati nomor-nomor halaman itu dengan potongan-potongan kecil kertas seukuran setengah ibu jari yang lalu ia tulis dengan nomor. Kemudian potongan kecil itu ia tempel ke lembaran-lembaran kertas yang akan diterbitkan. Meskipun Geri memiliki sedikit waktu, jarang ia bisa menyelesaikannya dengan cepat—bahkan ia tak jarang pula dibantu awak redaksi lain seperti Sanah.
Geri, dibantu Sanah sudah menyelesaikan pemasangan majalah dinding. Masih ada satu lemari berkaca lagi yang perlu ia dan awak redaksi ganti, yaitu yang terletak di kompleks ruangan kelas yang berhadapan langsung dengan Lokal Timur, biasa disebut dengan Lokal Barat. Lokal Barat dan Lokal Timur dipisahkan lapangan paving seluas seratus meter persegi. Membayangkan akan melewati lapangan tanpa peneduh membuat nyali Geri ciut, begitu pula tiga perempuan yang bersamanya. Ia seperti akan melewati sebuah gurun pasir gersang tanpa oase.
Mereka berjalan menyusuri lapangan dengan lemas, berusaha acuh tak acuh dengan matahari yang berusaha mencari perhatian dengan teriknya. Dan ketika mereka berhenti di depan lemari berkaca, mereka hanya memandang dengan rasa malas. Ukuran lemari berkaca di Lokal Barat sedikit lebih besar daripada yang berada di Lokal Timur. Perbedaan yang mencolok adalah bahan pembuatnya, lemari berkaca Lokal Barat terbuat dari batangan alumunium, sedangkan yang berada di Lokal Timur terbentuk dari kayu. Pernah suatu hari lemari berkaca di Lokal Barat pecah, dan perlu sekitar setengah tahun untuk memperbaikinya.
Pada akhirnya keempat remaja ini menyelesaikan tugasnya untuk memasang edisi terbaru mading. Namun Geri merasa ada yang aneh dengan hari itu, nalurinya berkata ada yang tidak beres dengan edisi baru itu. Ia kembali meneliti satu persatu lembaran-lembaran kertas yang dipajang dengan wajah tegang. Lalu akhirnya ia menemukan bahwa daftar isi belum dibuat.
“AKU LUPA MEMBUAT DAFTAR ISI!” Geri berseru. “GIMANA NIH?!”
Ia memandang satu persatu kawan-kawannya mengharap jawaban.
“Yah, udah dipasang. Masak harus dibongkar lagi?” jawab Sanah. “Aku gak mau bantu kalo gitu.”
Sanah lalu memandang lapangan paving yang silau dengan terik cahaya matahari.
“Udah deh, Ger. Untuk edisi ini kita gak pake daftar isi,” tambah Ana yang sedari tadi diam. “Lagian mana ada yang peduli dengan halaman sih?”
Geri diam saja untuk berpikir. Ia juga malas untuk membongkar dan memasangnya kembali. Namun sikap perfeksonisnya tak membuat hatinya tenang.
“Yuk, San. Kita nyari es Oyen,” ajak Ana pada Sanah tanpa memperdulikan Geri yang diam mematung.
Geri menahan marah mendengarnya, namun apa boleh buat, nomor-nomor halaman yang hilang itu takkan membawa semangat membara kembali pada awak-awak redaksi apabila dipasang kembali. Hati remaja lelaki itu membenarkan perkataan Ana, bahwa memang tak ada yang peduli dengan hal kecil seperti itu. Hari-hari perfeksionis seorang Geri mungkin telah berakhir dimakan waktu yang meluncur begitu cepat melahap semangat kerjanya. Namun rasa sayangnya pada mading sekolahnya tetap dalam jiwa, meskipun tradisi telah berhenti dan hancur ditelan masa. Setidaknya Geri sudah berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya pada jaman.***
(Cerpen ini dikurasi dalam Galeri Acara Ulang Tahun THGB ke 31).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar