Senin, 21 Desember 2015

Membaca Bumi Manusia: Sebuah Pengalaman



Oleh : Mochammad IH

Judul Buku:
Bumi Manusia

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
538 halaman

Bumi Manusia adalah judul babak pertama dari Tetralogi Buru, sebuah karya fenomenal dari seorang Pramoedya Ananta Toer. Mengapa fenomenal? Menurut hemat saya:

Pertama, novel ini mengantarkan Pram (panggilan akrab beliau) untuk dikenal luas sebagai sastrawan dunia. Bahkan beliau adalah sastrawan Indonesia pertama yang paling dikenal di dunia dengan berbagai macam penghargaan, tetralogi ini diterjemahkan ke berbagai bahasa, bahkan diwajibkan dibaca di sekolah menengah salah satu negara. Kedua, setelah sempat beredar di Indonesia dengan jangka waktu yang pendek, lalu kemudian seluruh tetralogi ini dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Miris memang, ketika di luar negeri novel ini menjadi bacaan wajib, di negerinya sendiri ia dilarang dibaca, Pram bahkan mengakui hal tersebut. Ketiga, tetralogi ini dibuat pertama kali saat Pram dipenjara di Pulau Buru selama 10 tahun (Agustus 1969 - 12 November 1979), maka dari itu tetralogi ini disebut dengan Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru. Tetralogi ini seperti menjadi hal yang wajib untuk seorang Indonesia mengenal dunia sastra bangsanya sendiri, jadi semacam tidak afdhol bila belum membaca Tetralogi Buru.

Di umur ke dua puluh tiga saya baru sempat untuk membacanya, apakah bisa dibilang terlambat? Entah. Berlatarbelakang jaman kolonial Hindia Belanda pada awal-awal jaman pergerakan, awalnya saya kira roman ini akan membosankan, namun Pram menggambarkan sebuah dunia yang baru yang menarik saya mempelajari bahwa negeri ini dulunya seperti ini. Saya bisa menangkap bahwa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu tak jauh berbeda dengan pemerintahan negeri kita sekarang: pertentangan kelas antara priyayi yang diwakili para elit (pemerintahan maupun kaum pemodal), pribumi yang diwakili orang miskin yang ditindak sewenang-wenang dan kulit putih yang diwakili mental inlander bangsa ini. Meskipun ada begitu perbedaan dengan adanya isu-isu seperti rasialisme, fasisme, superiotas bangsa tertentu dan berbagai isu lainnya yang meungkin tidak relevan dengan jaman sekarang. Namun perbedaan-perbedaaan tersebut terasa tidak berarti dimana saya menangkap bahwa bangsa ini seperti jalan di tempat dalam perjuangan untuk merubahnya.

Mingke, hero dalam tokoh ini adalah seorang priyayi yang melakukan bunuh diri kelas. Dalam novel ini dijelaskan ia melakukan hal tersebut karena muak dengan budaya Jawa yang patriarkis dan feodalis. Begitulah memang, isu-isu yang beredar sebelum saya berhasil membaca novel ini adalah Jawa yang digambarkan oleh Pram begitu sangat dibenci oleh orangnya sendiri. Latar belakang Mingke memang membenarkan hal tersebut, bagaimana ia membenci budaya leluhurnya karena hidup diantara nilai-nilai universal kaum Eropa, meskipun ini sangat kontras karena ia berhadapan dengan superiotas kulit putih. Namun Bumi Manusia adalah awal, jadi bibit-bibit pergerakan kemerdekaan dari diri para priyayi dan pribumi bahkan Mingke sendiri belumlah muncul, mereka masih menerima bangsa Londo untuk memerintah orang-orang di negeri ini. Apalagi si tokoh utama sendiri masih berumur belum genap dua puluh tahun. Yah, meskipun ini tidak bisa dinilai kematangan, karena dalam sejarah: Semaoen berumur tujuh belas tahun saat pertama kali diangkat menjadi ketua umum Partai Komunis Indonesia, partai yang pertama kali melakukan pemberontakan terhadap Hindia Belanda pada zaman pergerakan. Namun bibit-bibit kemerdekaan itu mulai ditanam ketika isu-isu yang dibawa oleh keluarga de La Croix, penyebutan Max Havelaar karya Multatuli yang begitu didambakan, kecenderungan Mingke untuk suka terhadap salah satu guru sastra yang progresif, dan sebagainya. Namun Mingke masihlah kelas priyayi yang mendapat keistimewaan dalam budayanya dan tidak berhadapan dengan kesulitan yang teramat-sangat dari kelas bawah seperti pribumi. Meskipun begitu, Mingke mengalami kehilangan yang tidak bisa dinilai biasa di babak akhir cerita.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar