Oleh : Mochammad IH
Judul Buku:
Bumi Manusia
Penulis:
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015
Jumlah halaman:
538 halaman
Bumi Manusia adalah judul
babak pertama dari Tetralogi Buru, sebuah karya fenomenal dari seorang
Pramoedya Ananta Toer. Mengapa fenomenal? Menurut
hemat saya:
Pertama, novel ini
mengantarkan Pram (panggilan akrab beliau) untuk dikenal luas sebagai sastrawan
dunia. Bahkan beliau adalah sastrawan Indonesia pertama yang paling dikenal di
dunia dengan berbagai macam penghargaan, tetralogi ini diterjemahkan ke
berbagai bahasa, bahkan diwajibkan dibaca di sekolah menengah salah satu
negara. Kedua, setelah sempat beredar di Indonesia dengan jangka waktu yang
pendek, lalu kemudian seluruh tetralogi ini dilarang oleh pemerintahan Orde
Baru. Miris memang, ketika di luar negeri novel ini menjadi bacaan wajib, di
negerinya sendiri ia dilarang dibaca, Pram bahkan mengakui hal tersebut. Ketiga,
tetralogi ini dibuat pertama kali saat Pram dipenjara di Pulau Buru selama 10
tahun (Agustus 1969 - 12 November 1979), maka dari itu tetralogi ini disebut
dengan Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru. Tetralogi
ini seperti menjadi hal yang wajib untuk seorang Indonesia mengenal dunia
sastra bangsanya sendiri, jadi semacam tidak afdhol bila belum membaca
Tetralogi Buru.
Di umur ke dua puluh tiga
saya baru sempat untuk membacanya, apakah
bisa dibilang terlambat? Entah. Berlatarbelakang jaman kolonial Hindia Belanda
pada awal-awal jaman pergerakan, awalnya saya kira roman ini akan membosankan,
namun Pram menggambarkan sebuah dunia yang baru yang menarik saya mempelajari
bahwa negeri ini dulunya seperti ini. Saya bisa menangkap bahwa pemerintahan
Hindia Belanda waktu itu tak jauh berbeda dengan pemerintahan negeri kita
sekarang: pertentangan kelas antara priyayi yang diwakili para elit (pemerintahan
maupun kaum pemodal), pribumi yang diwakili orang miskin yang ditindak
sewenang-wenang dan kulit putih yang diwakili mental inlander bangsa ini.
Meskipun ada begitu perbedaan dengan adanya isu-isu seperti rasialisme,
fasisme, superiotas bangsa tertentu dan berbagai isu lainnya yang meungkin
tidak relevan dengan jaman sekarang. Namun perbedaan-perbedaaan tersebut terasa
tidak berarti dimana saya menangkap bahwa bangsa ini seperti jalan di tempat
dalam perjuangan untuk merubahnya.
Mingke, hero dalam tokoh ini adalah seorang priyayi yang melakukan
bunuh diri kelas. Dalam novel ini dijelaskan ia melakukan hal tersebut karena
muak dengan budaya Jawa yang patriarkis dan feodalis. Begitulah memang, isu-isu
yang beredar sebelum saya berhasil membaca novel ini adalah Jawa yang
digambarkan oleh Pram begitu sangat dibenci oleh orangnya sendiri. Latar
belakang Mingke memang membenarkan hal tersebut, bagaimana ia membenci budaya
leluhurnya karena hidup diantara nilai-nilai universal kaum Eropa, meskipun ini
sangat kontras karena ia berhadapan dengan superiotas kulit putih. Namun Bumi
Manusia adalah awal, jadi bibit-bibit pergerakan kemerdekaan dari diri para
priyayi dan pribumi bahkan Mingke sendiri belumlah muncul, mereka masih
menerima bangsa Londo untuk memerintah orang-orang di negeri ini. Apalagi si
tokoh utama sendiri masih berumur belum genap dua puluh tahun. Yah, meskipun
ini tidak bisa dinilai kematangan, karena dalam sejarah: Semaoen berumur tujuh
belas tahun saat pertama kali diangkat menjadi ketua umum Partai Komunis
Indonesia, partai yang pertama kali melakukan pemberontakan terhadap Hindia
Belanda pada zaman pergerakan. Namun bibit-bibit kemerdekaan itu mulai ditanam
ketika isu-isu yang dibawa oleh keluarga de La Croix, penyebutan Max Havelaar
karya Multatuli yang begitu didambakan, kecenderungan Mingke untuk suka
terhadap salah satu guru sastra yang progresif, dan sebagainya. Namun Mingke
masihlah kelas priyayi yang mendapat keistimewaan dalam budayanya dan tidak
berhadapan dengan kesulitan yang teramat-sangat dari kelas bawah seperti
pribumi. Meskipun begitu, Mingke mengalami kehilangan yang tidak bisa dinilai
biasa di babak akhir cerita.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar