Tampilkan postingan dengan label tetralogi buru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tetralogi buru. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Januari 2016

Jejak Langkah

A photo posted by MHCMMD IH (@aliasjojoz) on


Judul Buku:
Jejak Langkah

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
732 halaman

Tidak bisa berhenti meneruskan Tetralogi Buru, entah karena nama besar Pram atau memang karena cerita tentang Mingke dan hidupnya telah mengikat hati saya. Saya cenderung memilih yang kedua, mengingat dua jilid sebelumnya saya benar-benar mendalami kisah Mingke. Mulai dari kegelisahan sebagai manusia modern di Bumi Manusia hingga pertemuannya dengan penderitaan dan ketidak-adilan yang dirasakan oleh bangsanya di Anak Semua Bangsa.

Jilid ketiga adalah yang paling seru dari dua jilid pertama. Di jilid inilah, Mingke, sang protagonis utama kita memulai dan akhirnya menjadi penggerak awal dari zaman pergerakan untuk kemerdekaan. Dengan konflik yang hadir di hampir tiap babnya, membuat pembaca mungkin tertahan napasnya. Mulai dari kisah Mingke dengan Mei sampai dengan berdirinya sebuah organisasi yang dalam sejarah Indonesia kontemporer dikecilkan perannya, Syarikat Dagang Islamiyah daripada Boedi Utomo.***

Kamis, 31 Desember 2015

Membaca Anak Semua Bangsa


Oleh Mochammad IH

Judul Buku:
Anak Semua Bangsa

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
536 halaman

Anak Semua Bangsa adalah seri kedua dari 4 jilid Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Novel kedua ini melanjutkan kisah hidup Mingke setelah ditinggal sang istri, dan bagaimana dia berusaha mengobati kehilangannya.

Setelah Anak Semua Bangsa, penulis menyadari beberapa hal. Pertama, ternyata quote-quote iconic, kalimat-kalimat terkenal yang sering didaur ulang oleh pembaca sastra khususnya pembaca tetralogi buru, hanya berasal dari seri pertama, yaitu Bumi Manusia. Pada Anak Semua Bangsa, hampir penulis tak menemukan kalimat-kalimat yang sering digunakan oleh pembacanya untuk didaur ulang, meskipun memang terjadi ulangan-ulangan kalimat dari Bumi Manusia sebagai prinsip oleh sang tokoh utama.

Kedua, meskipun Bumi Manusia cukup iconic, namun Anak Semua Bangsa membuktikan bahwa Bumi Manusia belumlah apa-apa. Di novel inilah Mingke berusaha menjawab pertanyaan tentang bangsanya sendiri, darahnya sendiri, dan hal lain-lain yang tak pernah ia pelajari di HBS. Dia bertemu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa dunia ini tidaklah sedang baik-baik saja. Mulai dari bertemu dan akhirnya berteman dengan salah seorang aktivis Angkatan Muda Cina, Khouw Ah Soe yang bercerita tentang kemerdekaan di Fillipina. Kemudian bertemu dengan seorang jurnalis Indo, Ter Haar yang menceritakan banyak hubungan korporasi dan media massa dan sedikit banyak tentang Republik Fillipina yang seumur biji jagung. Lalu tantangan Kommer untuk mengenali bangsanya sendiri dan membawa Mingke bertemu dengan petani Trunodongso.

Seperti Bumi Manusia, dalam Anak Semua Bangsa banyak hal yang masih relevan dengan hari-hari sekarang di negeri ini, padahal latar belakang Tetralogi Buru adalah jaman kolonial yang telah kita tinggalkan satu abad yang lalu. Konflik lahan Agraria, ilusi keadaan, negara yang hanya mendukung kapital, keadilan yang hanya berpihak pada golongan tertentu, praktik kecurangan dan korup aparatur negara, dsb. Apakah usaha para bapak dan ibu bangsa kita saat menggerakkan revolusi sia-sia? Apakah Revolusi Agustus '45 tidak membawa kita kemajuan? Apakah mungkin saat Revolusi Agustus '45 kita maju satu langkah, lalu kemudian kita mundur satu langkah? Buku ini cukup membawa kegelisahan-kegelisahan yang sama seperti angkatan muda jaman pergerakan.***

Senin, 21 Desember 2015

Membaca Bumi Manusia: Sebuah Pengalaman



Oleh : Mochammad IH

Judul Buku:
Bumi Manusia

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
538 halaman

Bumi Manusia adalah judul babak pertama dari Tetralogi Buru, sebuah karya fenomenal dari seorang Pramoedya Ananta Toer. Mengapa fenomenal? Menurut hemat saya:

Pertama, novel ini mengantarkan Pram (panggilan akrab beliau) untuk dikenal luas sebagai sastrawan dunia. Bahkan beliau adalah sastrawan Indonesia pertama yang paling dikenal di dunia dengan berbagai macam penghargaan, tetralogi ini diterjemahkan ke berbagai bahasa, bahkan diwajibkan dibaca di sekolah menengah salah satu negara. Kedua, setelah sempat beredar di Indonesia dengan jangka waktu yang pendek, lalu kemudian seluruh tetralogi ini dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Miris memang, ketika di luar negeri novel ini menjadi bacaan wajib, di negerinya sendiri ia dilarang dibaca, Pram bahkan mengakui hal tersebut. Ketiga, tetralogi ini dibuat pertama kali saat Pram dipenjara di Pulau Buru selama 10 tahun (Agustus 1969 - 12 November 1979), maka dari itu tetralogi ini disebut dengan Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru. Tetralogi ini seperti menjadi hal yang wajib untuk seorang Indonesia mengenal dunia sastra bangsanya sendiri, jadi semacam tidak afdhol bila belum membaca Tetralogi Buru.

Di umur ke dua puluh tiga saya baru sempat untuk membacanya, apakah bisa dibilang terlambat? Entah. Berlatarbelakang jaman kolonial Hindia Belanda pada awal-awal jaman pergerakan, awalnya saya kira roman ini akan membosankan, namun Pram menggambarkan sebuah dunia yang baru yang menarik saya mempelajari bahwa negeri ini dulunya seperti ini. Saya bisa menangkap bahwa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu tak jauh berbeda dengan pemerintahan negeri kita sekarang: pertentangan kelas antara priyayi yang diwakili para elit (pemerintahan maupun kaum pemodal), pribumi yang diwakili orang miskin yang ditindak sewenang-wenang dan kulit putih yang diwakili mental inlander bangsa ini. Meskipun ada begitu perbedaan dengan adanya isu-isu seperti rasialisme, fasisme, superiotas bangsa tertentu dan berbagai isu lainnya yang meungkin tidak relevan dengan jaman sekarang. Namun perbedaan-perbedaaan tersebut terasa tidak berarti dimana saya menangkap bahwa bangsa ini seperti jalan di tempat dalam perjuangan untuk merubahnya.

Mingke, hero dalam tokoh ini adalah seorang priyayi yang melakukan bunuh diri kelas. Dalam novel ini dijelaskan ia melakukan hal tersebut karena muak dengan budaya Jawa yang patriarkis dan feodalis. Begitulah memang, isu-isu yang beredar sebelum saya berhasil membaca novel ini adalah Jawa yang digambarkan oleh Pram begitu sangat dibenci oleh orangnya sendiri. Latar belakang Mingke memang membenarkan hal tersebut, bagaimana ia membenci budaya leluhurnya karena hidup diantara nilai-nilai universal kaum Eropa, meskipun ini sangat kontras karena ia berhadapan dengan superiotas kulit putih. Namun Bumi Manusia adalah awal, jadi bibit-bibit pergerakan kemerdekaan dari diri para priyayi dan pribumi bahkan Mingke sendiri belumlah muncul, mereka masih menerima bangsa Londo untuk memerintah orang-orang di negeri ini. Apalagi si tokoh utama sendiri masih berumur belum genap dua puluh tahun. Yah, meskipun ini tidak bisa dinilai kematangan, karena dalam sejarah: Semaoen berumur tujuh belas tahun saat pertama kali diangkat menjadi ketua umum Partai Komunis Indonesia, partai yang pertama kali melakukan pemberontakan terhadap Hindia Belanda pada zaman pergerakan. Namun bibit-bibit kemerdekaan itu mulai ditanam ketika isu-isu yang dibawa oleh keluarga de La Croix, penyebutan Max Havelaar karya Multatuli yang begitu didambakan, kecenderungan Mingke untuk suka terhadap salah satu guru sastra yang progresif, dan sebagainya. Namun Mingke masihlah kelas priyayi yang mendapat keistimewaan dalam budayanya dan tidak berhadapan dengan kesulitan yang teramat-sangat dari kelas bawah seperti pribumi. Meskipun begitu, Mingke mengalami kehilangan yang tidak bisa dinilai biasa di babak akhir cerita.***