Kamis, 31 Desember 2015

Membaca Anak Semua Bangsa


Oleh Mochammad IH

Judul Buku:
Anak Semua Bangsa

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
536 halaman

Anak Semua Bangsa adalah seri kedua dari 4 jilid Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Novel kedua ini melanjutkan kisah hidup Mingke setelah ditinggal sang istri, dan bagaimana dia berusaha mengobati kehilangannya.

Setelah Anak Semua Bangsa, penulis menyadari beberapa hal. Pertama, ternyata quote-quote iconic, kalimat-kalimat terkenal yang sering didaur ulang oleh pembaca sastra khususnya pembaca tetralogi buru, hanya berasal dari seri pertama, yaitu Bumi Manusia. Pada Anak Semua Bangsa, hampir penulis tak menemukan kalimat-kalimat yang sering digunakan oleh pembacanya untuk didaur ulang, meskipun memang terjadi ulangan-ulangan kalimat dari Bumi Manusia sebagai prinsip oleh sang tokoh utama.

Kedua, meskipun Bumi Manusia cukup iconic, namun Anak Semua Bangsa membuktikan bahwa Bumi Manusia belumlah apa-apa. Di novel inilah Mingke berusaha menjawab pertanyaan tentang bangsanya sendiri, darahnya sendiri, dan hal lain-lain yang tak pernah ia pelajari di HBS. Dia bertemu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa dunia ini tidaklah sedang baik-baik saja. Mulai dari bertemu dan akhirnya berteman dengan salah seorang aktivis Angkatan Muda Cina, Khouw Ah Soe yang bercerita tentang kemerdekaan di Fillipina. Kemudian bertemu dengan seorang jurnalis Indo, Ter Haar yang menceritakan banyak hubungan korporasi dan media massa dan sedikit banyak tentang Republik Fillipina yang seumur biji jagung. Lalu tantangan Kommer untuk mengenali bangsanya sendiri dan membawa Mingke bertemu dengan petani Trunodongso.

Seperti Bumi Manusia, dalam Anak Semua Bangsa banyak hal yang masih relevan dengan hari-hari sekarang di negeri ini, padahal latar belakang Tetralogi Buru adalah jaman kolonial yang telah kita tinggalkan satu abad yang lalu. Konflik lahan Agraria, ilusi keadaan, negara yang hanya mendukung kapital, keadilan yang hanya berpihak pada golongan tertentu, praktik kecurangan dan korup aparatur negara, dsb. Apakah usaha para bapak dan ibu bangsa kita saat menggerakkan revolusi sia-sia? Apakah Revolusi Agustus '45 tidak membawa kita kemajuan? Apakah mungkin saat Revolusi Agustus '45 kita maju satu langkah, lalu kemudian kita mundur satu langkah? Buku ini cukup membawa kegelisahan-kegelisahan yang sama seperti angkatan muda jaman pergerakan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar