Well, fuck fanatics.
Tadi malam gue sedikit berdiskusi tentang kebingungan gue, ketidaktahuan gue apa yang sedang terjadi.
Beliau kemarin memberikan semacam peringatan keras. Tentang perpecahan, dan kelemahan dalam organisasi.
Jadi ceritanya sudah jadi rahasia umum kalo fanatisme sudah jadi mendarah daging dalam tiap-tiap organisasi di daerah. Fanatisme ini lebih ke arah para wakil-wakil beliau (jadi beliau punya banyak wakil yang resmi untuk membina para warga). Jika wakil beliau yang A ini berkunjung maka salah satu organisasi warga tidak hadir menyambut. Jika wakil beliau yang B berkunjung maka yang tidak hadir itu malah menyambut dengan antusias. Padahal yang A ini juga perintah dari beliau untuk berkunjung. Gila.
"Fanatisme dalam organisasi mengakibatkan mudahnya pengaruh dari luar untuk masuk dan berpotensi memecah belah"
Lalu gue juga nerima kabar, kalo majalah juga membahas ini dengan perspektif berbeda. Kakak-kakak angkatan gue juga melakukan fanatisme yang sama, meskipun sekarang fanatisme seperti itu perlahan-lahan dihilangkan (mudahan usaha ini perlu dijaga terus).
Gue sempet bilang kalo Pusat gak seperti itu kan, masak Pusat mencontohkan seperti itu. Tapi setelah itu gue berkaca pada diri sendiri dan meralatnya. Ah gue juga fanatik sama kelompok gue sendiri. Damn.
Fanatisme yang gue maksud ini lebih ke arah pengertian fanatisme itu sendiri dan karena hal ini juga membuat gue tercerahkan. Gue paham, gue ternyata juga berada lingkaran kefanatikan.
Ini bukan tentang musik, bukan tentang ormas-ormas yang bawa-bawa agama itu, ini tentang temen-temen gue yang berada di sekeliling gue. Temen-temen sekolah, temen-temen yang selama 5 tahun terakhir ini sering gue jumpain.
Jadi pernahkah lo merasa dalam satu gerombolan lo diterima? Sedangkan di gerombolan yang lain merasa diabaikan, bahkan antara ada dan tiada? Lo merasa semangat dengan orang-orang ini? Sedangkan merasa sakit dan marah ketika bersama orang lain?
Itu fanatisme. Ketika perasaan diabaikan ini berlangsung terus maka dia akan berubah menjadi batu, menjadi buta dengan keadaan sekitar. I know that feelings.
Ironisnya prakteknya terus dilakuin oleh temen-temen gue, banyak jiwa-jiwa batu yang buta dengan perasaan teman-teman yang lain. Bahkan gue juga mengalami hal yang sama.
Sulit memang. Bagaimana kekecewaan dan kemarahan itu bener-bener bikin lo tersiksa dan lo sekarang harus menyatukan semuanya. Agar gak ada pertengkaran, gak ada perpecahan.
Meski syukur, angkatan gue punya seseorang seperti Mas Behi yang menjadi figur untuk menyatukan 3 angkatan sekaligus. Tapi tetap aja masih ada orang-orang yang perlu disadarkan dari kefanatikannya dan kegengsiannya.
It's seroious problem. Bagaimana mungkin beliau sampai memberi peringatan keras seperti itu.
"Saya ini tanggung jawabnya besar. Kalo saya salah, dosa saya lebih berat dari anda-anda semua. Kalo saya benar, hukuman saya lebih berat dari anda-anda semua"
Dan bagaimana menghadapinya dengan efektif ya? That's the point.
Banyak yang bilang dengan membuat diri menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Gue belum paham tentang konsep menyesuaikan diri ini. Makanya belum bisa mempraktekannya dengan benar.
--------------------------------------------
Gue jadi merasa menjilat ludah sendiri gini, gue yang selama ini menajiskan apa yang namanya fanatisme sebenernya gak bisa mengusir fanatisme dari jiwanya sendiri. Menyedihkan.
persis dengan ap ayang saya alami selama mengikuti berbagai maca komunitas mas, darikomunitas blogger, fotografer dan fans klub bola, ketika fanatisme itu mulaimuncul rasa nyaman berada di dalam komunitas tersebut menjadi hilang
BalasHapusapalagi kalo sama sekali gak ada yang kenal ya mas hehehe
Hapus