Minggu, 10 April 2016

Murakami Haruki, Norwegian Wood

A photo posted by MHCMMD IH (@aliasjojoz) on


Di tengah perasaan yang cukup kacau, saya menghabiskan novel yang (kata Bernard Batubara) cukup normal untuk ukuran Haruki Murakami. Isinya padahal cukup depresif dan dipenuhi orang-orang yang 'miring'. Tokoh utamanya memiliki kenalan dan teman-teman yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tokoh-tokoh di dalamnya juga gak bisa disebut normal.

Sepertinya ini sastra Jepang pertama yang saya baca (kalau manga tidak boleh disebut dengan karya sastra), meskipun banyak yang bilang Murakami yang ini medioker. Ya tapi saya kan hidup di kota kecil bernama Jombang, lagipula di tahun inilah saya memutuskan untuk serius membaca karya sastra. Kedua, bisa dibilang Norwegian Wood memiliki latar belakang urbansentris. Saya pernah menulis dikotomi antara urbansentris dan bukan sebelumnya di blog ini. Setelah menulis itu, ini mungkin karya urbansentris pertama yang saya baca, atau mungkin Tetralogi Buru itu bisa disebut dengan urbansentris? Karena Mingke hidup di kota, dan karena kelas sosial ia adalah priyayi? Entahlah. Mungkin yang berkompeten bisa menjawabnya.

Ketiga, saya mendengar nama Murakami-san sejak Viny, (((duta kebudayaan))) JKT48 sering menulis tentang karyanya di blognya. Itupun sudah lama, sekitar-1-2 tahun yang lalu. Entah karya Murakami mana saja yang Viny baca, nanti saya googling. Di Jombang sendiri saya hanya mendapati dua karya Murakami, 1Q84 dan Norwegian Wood. Sedangkan 2 karya itu sepertinya tidak menggambarkan surealismenya bliyo. Tapi sepertinya saya tidak ingin membaca Murakami lagi, selain medioker juga karena Eka Kurniawan.

Eka Kurniawan pernah bolak-balik menulis di blognya bahwa bliyo memilih novel secara random untuk dibaca. Alasannya karena dalam dunia sastra ibaratnya seperti skena musik Indonesia hari ini. Ada yang arus utama (mainstream) yang didukung oleh kapital besar dan media, dan ada yang arus pinggir (sidestream) yang cuma didukung oleh kapital kecil. Jadi bila kita membaca sastra (yang di)pinggir(kan), kita mendapati gagasan yang benar-benar berbeda dari pada yang gagasan yang didapatkan oleh orang kebanyakan (karena mereka membaca buku yang sama). Sejak saya menyadari hal ini, mungkin bulan depan saya akan membaca buku-buku yang tak terkenal. Namun terlepas dari hal itu, Eka juga membaca Murakami yang ini (saya pernah membaca ulasannya tentang 1Q84). Dan berat juga kalau dibayangkan menahan godaan untuk tidak membaca sastra yang diomongkan oleh orang-orang, tapi tentu saja saya gak akan membeli Tere Liye.

Btw, padahal saya menulis judulnya Norwegian Wood tapi tulisannya malah curhat. Yasudah gpp. Tabik.***

Jumat, 11 Maret 2016

Rasa Sakit Yang Belum Berakhir


Pendahuluan

Setiap kali melihat postingan mantan yang mesra dengan kekasih barunya, masih saja merasa kecewa, sakit, marah dan berbagai rasa ketika menghadapi kegagalan dalam menghadapi kompetisi. Saya berkali-kali menulis tentang mantan kekasih yang satu ini di blog ini, tapi ijinkanlah kali ini saya membahasnya dengan perspektif (pseudo) ekonomi-politik, tentu saja kekirian.

Kegagalan Cinta Dalam Perspektif Ekonomi Politik


Membahas ia dengan perpektif ekonomi politik adalah hal yang baru menurut saya. Mengingat tulisan-tulisan yang pernah saya terbitkan di blog ini memakai perpektif pickup artist, yang sayangnya ilmu-ilmu pickup artist yang saya pelajari telah luntur semua. Dikarenakan memang sengaja saya melunturkan itu semua karena ilmu itu hadir karena adanya sistem kapitalisme, yang jelas sekali bertentangan dengan ideologi yang saya anut. Oh iya, sekaligus memang karena jarang dipratekkan, tetapi hal ini bukan tanpa alasan.

Memang ilmu-ilmu itu berguna sesekali dalam mengobati kekecewaan-kekecewaan yang seringkali kambuh. Namun karena saya menyadari (dengan perlahan) bahwa ilmu pickup artist itu hanya cocok dengan orang-orang yang sudah bisa mencari duit sendiri atau dalam bahasa libcom: menjual sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bagi manusia yang masih mengenyam pendidikan seperti saya, hal itu tampak mustahil dan kontradiktif.

Pertentangan Kelas


Kaum Marxis percaya dunia manusia ini dibentuk dengan sifat dialektis, pertentangan. Bukan pertentangan biasa, tetapi pertentangan kelas. Kelas yang didiami oleh mantan saya adalah kelas atas, dengan ayah yang berprofesi sebagai kelas birokrat eselon atas. Sedangkan saya berada di lingkungan keluarga kelas birokrat bawah. Ayah saya adalah pensiunan prajurit miskin, yang menurut Aji Prasetyo (salah seorang komikus lokal): mereka (prajurit miskin) ini yang dikorbankan oleh para jendral mereka di garda depan, dan mereka yang merasa mati karena membela negara padahal mah enggak.

Kalau hanya pengkategorian seperti ini, tidak akan ketemu kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan. Menurut Hilmar Farid (sejarawan yang kini menjadi menjadi Dirjen Kebudayaan), harus ada kajian historisnya. Baiklah dengan mengikuti saran bung Farid, mari kita mengungkap kajian historisnya.

Apa yang membuat ayahnya dan ayah saya tidak sama nasibnya? Apa faktornya? Padahal masing-masing mereka adalah kelas birokrat. Apa memang kelas birokrat seperti itu? Bersifat hirarkis dan tidak adil? Selama seminggu ini saya berpikir terus mengenai hal ini. Birokratisme memang bersifat tidak adil.

Lalu mengapa bisa pekerjaan ayah bisa mempengaruhi kebahagiaan anaknya?

Selama ini kegagalan cinta yang saya peroleh saya yakini karena adanya faktor. Hidup di alam kapitalisme membuat kita harus menjual sesuatu untuk memperoleh sesuatu. Bila kita ingin mendapatkan cinta (di dalam alam kapitalisme), komunitas pickup artist yang selalu membedah hal ini meyakini kita harus melakukan metode-metode.

Nah metode-metode ini mengharuskan kita menjual (investasi) waktu kita untuk mendapatkan hasil. Salah satu metode pickup artist yang saya tahu mengharuskan diri kita untuk keluar dan bergaul dengan orang banyak[1]. Yang mana bila kita diharuskan menjual sesuatu untuk mendapatkan sesuatu adalah ciri khas dari kapitalisme[2]. Sedangkan bila saya asyik untuk menjual waktu saya untuk mendapatkan social life-kehidupan sosial maka tak ada waktu yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan hidup saya. Maka dari itu hal ini tidaklah adil mengingat saya belum lagi bekerja (menjual tenaga pada kapitalis untuk mendapat uang) dan sementara ini saya mendapat uang dari orang tua yang tidaklah cukup untuk membiayai modal-modal lain untuk memperkuat daya tawar saya terhadap lawan jenis, perawatan tubuh misalnya.

Menuju Masyarakat Penuh Cinta


Ada dialog yang menarik dalam film Libertarias [1996]. Saat milisi revolusioner wanita Perang Sipil Spanyol (sepertinya Mujeres Liberes) yang berhaluan anarkisme/sosial libertarian menggerebek tempat pelacuran dan menyampaikan orasinya, mereka menegaskan bahwa cinta itu bukan untuk dijual (kapitalisme) tetapi cinta itu bebas. Lalu penegasan itu disambut dengan satir oleh sebagian pelacur bahwa para milisi revolusioner ini memang pelacur tapi bukan untuk uang tetapi dengan gratis.

Kritik yang tidak kompeten ini biarlah menjadi PR bagi para libertarian. Namun bagaimana bayangan para libertarian tentang hubungan masyarakat cinta dan masyarakat komune yang tanpa hirarki dan kelas? Apa pemikiran yang menjadi dasar para libertarian untuk bercinta dalam masyarakat komune?

Saya meyakini hubungan percintaan itu selain untuk reproduksi tetapi juga untuk fun, pleasure, kenikmatan dan main-main[3]. Dalam kehidupan sebelum kapitalisme, dalam masyarakat komune, semua karya seni dan budaya dihasilkan manusia setelah masyarakat komune ini bekerja mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mengisi waktu luang[4]. Lalu pertanyaannya kemudian hubungan percintaan itu apakah kebutuhan hidup manusia atau kebutuhan mengisi waktu luang? Nah pertanyaan ini membutuhkan hal objektif sebagai alat untuk menjawabnya dengan benar.

Penutup


Bahwa kesialan dalam kegagalan cinta memanglah berasal karena sistem kapitalisme menjadi langgeng dan hegemonik. Klise memang, toh saya juga iseng untuk menjabarkan penjelasannya. Lalu bila melihat kehidupan masyarakat antitesa kapitalisme, dalam hal ini sosial libertarian/anarkisme jawabannya belum memuaskan. Ditambah kehidupan masyarakat kontemporer tidak ada upaya yang luas untuk menyuntikkan ide-ide sosial libertarian ini. Tulisan ini terbuka untuk dikritik, karena penjabarannya yang pseudo. Semoga menjadi pemicu diskusi yang hangat. Tabik.***



[1] Joe Exorio, Berkenalan Dengan Lawan Jenis | Wikibuku https://id.wikibooks.org/wiki/Berkenalan_dengan_lawan_jenis

[2] libcom.org, Kapitalisme: Sebuah Perkenalan | Jurnal Subjektif http://subyektifzine.blogspot.com/2016/02/kapitalisme-sebuah-perkenalan.html

[3] Nosa Normanda, 5 Alasan Sederhana LGBT Bukanlah Penyakit https://eseinosa.wordpress.com/2016/01/28/5-alasan-sederhana-lgbt-bukan-penyakit/

[4] Martin Suryajaya, Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris | IndoProgress http://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/

Rabu, 17 Februari 2016

Gadis yang Bercinta Untuk Pertama Kali



 Jadi, gadis yang duduk di atas kasur putih di dalam kamarku ini sangat mengejutkanku akan pengakuannya. Ia mengaku telah melepas keperawanannya tanpa sepengetahuanku, sahabatnya. Jelas aku berang namun perasaan selanjutnya yang lebih mengisi dalam hati ialah rasa.. penasaran. Jadi aku memborbardirnya dengan puluhan pertanyaan seperti ratusan peluru yang ditembakkan senjata mesin buatan Rusia dalam satu menit. Kapan hal itu berlangsung? Bagaimana kejadiannya? Kamu bagaimana, tidak apa-apa? Hubungan kalian bagaimana sekarang? Orang tua sudah tahu? Mengapa aku tak diberitahu dulu? Apakah kalian melakukannya dengan aman?

Ia menjawabnya dengan sikap santai, sehingga membuat jawaban dan penjelasan yang keluar dari mulutnya menimbulkan kejutan-kejutan yang makin membuatku bertambah penasaran. Tak ada rasa sesal yang tergambar dalam raut wajahnya, hanya ada rasa bahagia saat ia berusaha membagi kebahagiaannya denganku, sahabatnya ini.

Ia mengaku memutuskan bercinta pertama kali dengan kekasihnya satu bulan yang lalu. Di sebuah kamar kos sempit dengan satu lemari dan kasur, si gadis bercinta dengan kekasihnya, seorang anak kampung yang cukup beruntung bisa hidup di kota besar sebagai pekerja kelas menengah. Lalu aku mendengar ceritanya diterangkan dengan detil seolah-olah sahabatku ini tidak risih sama sekali untuk menceritakannya. Sedangkan diriku merasa sedikit risih, namun penasaran.

“Kami pertama-tama saling berciuman, ia menciumku dengan penuh nafsu sehingga mulutnya menjadi basah oleh cairan salivanya. Kedengarannya menjijikkan, namun aku suka, sehingga membalas ciumannya dengan penuh nafsu juga. Hei, aku juga gugup tau. Bercinta untuk pertama kali membuat siapa saja pasti akan gugup, lagipula melakukan hal apapun untuk pertama kalinya juga pasti akan digerogoti oleh rasa grogi. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu dan aku menghentikan ciuman penuh nafsunya.”

Aku bertanya apa yang terjadi, namun sahabatku itu tak menggubrisnya malah ia minta minum kepadaku. Ia ngotot bersikap diam, meski aku sudah merayu-rayu untuk melanjutkan kisahnya. Dengan terpaksa aku menuruti kemauannya, apalagi ia mengancamku tak melanjutkan ceritanya sebelum ada minuman. Aku pun bergegas bangkit dari kasur menuju pintu kamar, tak lupa menanyakan minuman kemauannya. Sahabatku itu menjawab terserah, lalu aku menawarinya minuman cokelat yang dijual di depan kompleks rumah, dia berseru setuju.

Penjual minuman cokelat itu adalah tetanggaku, seorang lelaki muda yang ingin bekerja dengan alat produksinya sendiri sehingga ia memiliki surplus dari hasil pertukaran kerjanya sendiri. Yah, setidaknya ia belum menjadi kapitalis. Namun setelah aku duduk di dekat kedai kecilnya, aku baru menyadari usahanya adalah sebuah waralaba merek lokal, aku sangsi bila ia memiliki sepenuhnya surplus dari hasil kerjanya. Sudah pasti ia adalah kelas buruh yang menjual tenaganya pada majikan, secara tidak sadar. Kapitalisme memang canggih rupanya.

Aku memesan dua gelas cokelat dingin dengan rasa mint setelah si penjual—tetanggaku ini merekomendasikannya sebagai ‘best seller’—entah apa artinya. Selagi ia melembutkan es batu dan mencampur bubuk cokelat dengan blender, aku membenarkan letak kacamataku dan bercerita kepadanya bahwa teman-teman kuliahku rata-rata membuka usaha minuman sepertinya. Oh, benarkah, mbak? Katanya, ia pun menjelaskan bahwa minuman-minuman seperti ini sedang menjadi tren dan ramai diminati. Karena penjelasannya itu, menurutku ia secara tidak langsung mendukung adanya tuntutan pasar. Bisa saja, ketika pasar menuntut produksi cokelat lebih besar, mungkin sawah-sawah, hutan-hutan sagu penghasil pangan bisa saja disulap menjadi kebun cokelat dan akhirnya hasil pangan minim lalu terjadi bencana kelaparan. Aku teringat pemerintah Hindia Belanda—iya, pemerintah kolonial jaman dahulu itu melakukan hal yang persis dan berakibat seperti itu, namun aku lupa detilnya. Bila dibandingkan dengan menjamurnya kedai-kedai kecil minuman cepat saji seperti ini, pikiranku sepertinya berlebihan.

Dua gelas plastik berisi cokelat dingin disodorkan kepadaku. Aku menerimanya dan tak lupa mengucap terimakasih kepada lelaki muda itu. Matahari siang hari memaksaku bergegas menuju ke rumah, langkah-langkahku cepat seperti program auto-pilot, mencari jalan ke rumah yang lebih teduh. Kemudian angan-anganku memikirkan lanjutan cerita sahabatku. Tebakanku, ia mengingatkan kekasihnya untuk memakai kondom dan bila kekasihnya mengeluh, ia akan berceramah tentang hubungan seks yang aman ditambah bercerita kisah horor penyakit-penyakit menular dari kegiatan bercinta.

Ternyata tebakanku benar. Setelah ia menyeruput cokelat dingin, ia bercerita bagaimana ia merayu kekasihnya untuk memakai pengaman. “Sampai dimana tadi? Oh iya, aku teringat aku harus melakukan percintaan dengan aman. Aku pun meminta kekasihku untuk memakai pengaman. Pengaman yang mana katamu? Baiklah, itu kondom untuk lelaki. Tetapi jangan memulai bertanya mengapa tidak aku saja yang memakai kondom untuk perempuan, aku hanya ingin yang lebih praktis, lagipula aku tak pernah menemukan kondom untuk perempuan dijual bebas. Oke, mungkin lain kali aku akan mencobanya.

“Bagaimana reaksi kekasihku? Ya, seperti yang aku duga ia mengeluh. ‘Kenapa harus pakai kondom sih? Rasanya gak bakal enak, sayang.’ Ya ampun, aku hampir saja frustasi mendengarnya. Lalu aku menjelaskan alasannya dengan berusaha sabar, selain karena alasan klise seperti kehamilan yang tak direncakan, aku bercerita kisah horor tentang hantu-hantu bernama IMS, infeksi menular seksual. Aku bertanya padanya tentang raja singa. Ia menggeleng tidak tahu. Lalu aku pun menjelaskan sekenanya bahwa penyakit itu pertama-tama berupa luka kecil pada kelamin dan yang paling akhir ia akan mengakibatkan kelumpuhan dan kebutaan. Lalu aku bertanya tentang kencing nanah, lelaki ini, kekasihku dengan harga diri terluka menggeleng kembali atas ketidak tahuannya. Lalu aku bertanya tentang herpes, HIV dan bakteri dan virus lainnya yang mengakibatkan IMS karena tidak melakukan percintaan dengan aman. Kekasihku pun terlihat frustasi dan berkata, ‘Baiklah baiklah, sudah cukup cerita tentang penyakit ini, sayang. Aku akan memakai kondom, kalau itu maumu..’ Aku langsung menyela dan memprotesnya dengan alasan acuh tak acuh seperti itu. Aku mengingatkan, alasan memakai pengaman bukan karena kemauanku, tetapi karena kita berdua ingin terhindar dari resiko-resiko yang tak diinginkan. Ia hanya mengiyakan protesku, ‘Baiklah, sayang. Tetapi di kamarku tak tersedia kondom. Lagipula aku tak punya uang yang cukup untuk membelinya.’ Aku pun mengusulkan untuk patungan, dan kekasihku menyetujuinya. Ia lalu bergegas membeli kondom di apotik terdekat.”

Sahabatku itu meminum cokelat dinginnya kembali. Dan aku menatapnya dengan tatapan kenapa-kamu-menghentikan-ceritamu-aku-tak-sabar-menanti-lanjutannya, dan ia menoleh sekilas dengan tolehan sabar-sahabatku-aku-ingin-mencicipi-wafer-yang-ibumu-beri-ini. Sebatang wafer dari dalam toples tabung ia ambil dan mengunyahnya dalam mulut, ketika habis ia mengambil kembali dari toples dan memasukkan wafer yang renyah itu ke dalam mulutnya. Ketika aku akan masuk ke kamar, ibuku memang memanggilku dan menyuruhku mengambil setoples wafer sisa jajan lebaran di dapur. Sahabatku kini menyeruput cokelat dinginnya kembali, gelasnya telah basah karena esnya telah mencair membuat titik-titik air di sekeliling gelasnya, membuat meja juga dipenuhi oleh air dari es yang mencair itu. Aku pun mengambil serbet dan melap meja itu agar tidak dipenuhi air sementara sahabatku melanjutkan ceritanya.

“Kekasihku itu telah kembali dari upayanya mencari kondom. Lama sekali memang aku menunggunya, sekitar setengah jam. Ia datang dan menghampiriku dengan cerita lucu saat ia membeli barang itu. ‘Aku membelinya di minimarket terdekat,’ katanya. ‘Tapi ketika aku masuk seorang bapak-bapak juga ikut masuk. Berjaket, berpakaian gelap dan sedikit mencurigakan. Dia sempat mengelilingi minimarket lalu aku tersadar ternyata kita berdua mencari barang yang sama,’

“Aku tertawa mendengarnya. ‘Mungkin ia disuruh istrinya membeli kondom, seperti aku yang dipaksa kekasihku membeli kondom juga,’ tambah kekasihku itu. Aku tertawa dan menjawab, ‘Aku lebih yakin bapak itu sedang persiapan ingin jajan,’ dan ia tertawa—kekasihku itu.”

Sahabatku itu kemudian terdiam cukup lama, aku memandangnya dengan pandangan sudah-begitu-saja-? Ia kemudian menjawab dengan jahil, “Iya, cukup segitu kisahnya.”

“Lanjutkan ceritanya!” protesku. “Ayo lanjutkan!”

Sahabatku malah tertawa geli melihat perilaku kekanak-kanakan milikku. Baiklah baiklah, jawabnya akhirnya. Ia pun menceritakan dengan semburat merah yang perlahan muncul di pipinya dan berusaha berbisik-bisik di telingaku.***

Rabu, 10 Februari 2016

Galak



Alkisah seorang gadis perempuan difitnah oleh salah satu kekasih karibnya. Fitnahnya pun seperti sinetron dengan tema cinta segitiga, si kekasih menyukai si gadis sehingga membuat karibnya murka. Motifnya pun sepele dan terkesan arogan, hanya karena ingin diperhatikan. Si gadis pun tak terima diadu domba dengan karibnya sendiri. Parahnya karibnya pun dengan naif menerima fitnah itu tanpa curiga sedikitpun. Si gadis pun bersumpah di tengah derasnya hujan dan petir yang menggelegar, ia akan melawan patriarki!

Dengan saran seorang aktivis pergerakan libertarian, si gadis kesana kemari mencari dukungan teman-temannya yang lain. Satu demi satu teman-temannya menyatakan dukungannya, bahkan sebagian besar terenyuh oleh kisah pilu si gadis yang menjadi korban fitnah. Mulai dari teman-teman karibnya yang lain, lalu satu kelas mendukung dan lalu satu angkatan pun mendukung si gadis.

Si gadis pun langsung mengadakan konsolidasi bersama para pendukungnya untuk menentukan langkah selanjutnya. Isu yang dibawa masih sama, yaitu penghapusan terhadap sikap arogan dari seorang patriarkis. Mereka lalu menyusun berbagai kampanye dan tentunya tuntutan permintaan maaf dari si kekasih.

Tuntutannya pun dilakukan secara sistematis dan masif. Pada hari yang telah ditentukan, setiap pendukung akan mengirim foto selfie membawa plakat bertuliskan tuntutan permintaan maaf ke media sosial dan tak lupa menandai si kekasih. Lalu hari yang ditentukan telah tiba, puluhan foto bersarang di dinding si patriarkis dan menjadi perbincangan yang panas diantara para teman-teman kekasih dan berhasil membuat si patriarkis dipermalukan selama berhari-hari.

Polemik ini pun diakhiri permintaan maaf si patriarkis secara terbuka di akun media sosialnya. Si gadis bersama pendukungnya merayakan kemenangannya.***

Selasa, 09 Februari 2016

Sastra Perlawanan Terhadap Sastra Urban-sentrisme: Sebuah Curhat



Saya menekuni dunia sastra baru-baru ini saja sih. Setelah menekuni ideologi kiri kemudian tertarik ke filsafatnya (yah ternyata saya baru tau kalau marxisme itu ada ideologi dan ada ilmu filsafatnya), lalu kemudian ternyata orang-orang pergerakan kiri ini menekuni bidang kebudayaan juga. Jadilah saya berkenalan dengan dunia literatur. Oh iya, saya termasuk orang yang menyamakan arti dari literatur dengan sastra. Mungkin karena menurut saya memang yang namanya tulisan ya sebuah kerja budaya.

Novel gelombang pertama dalam menekuni sastra ini yang saya baca adalah Kambing dan Hujan karya Makhfud Ikhwan. Bercerita tentang dua sejoli yang kesulitan mendapat restu untuk menikah dari kedua orang tuanya. Masalahnya ternyata  tak sesederhana bukan hanya karena mereka beruda berada dalam keluarga yang beda afiliasi dalam organisasi Islam tapi ternyata ada sejarah personal diantara kedua ayah mereka. Menjadikan novel ini bukan sebagai cerita romantis Romeo dan Juliet versi muslim di Indonesia, tetapi nuansa brotherhood mengisi penuh alur novel.

Latar Kambing dan Hujan sangat akrab sekali dengan saya. Selama ini saya menjalani pendidikan pesantren, yang meski tidak berafiliasi dengan dua organisasi yang diceritakan di novel tersebut, namun hal yang sama adalah nuansa desa yang digambarkan oleh Makhfud Ikhwan. Oleh karena saya menjumpai nuansa desa itu setiap hari dalam 5-6 tahun ini. Seakan-akan memang hal yang personal, dan saya pikir hal itu lumrah dalam khasanah sastra di Indonesia. Dan saya ternyata salah.

Hari ini saya menyadari bahwa novel yang terkenal gara-gara menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini adalah sebuah counter/perlawanan terhadap sastra urban-sentrisme yang cenderung menceritakan kehidupan urban/perkotaan. Kambing dan Hujan yang menggambarkan desa dinilai tidak lazim dalam khasanah sastra kontemporer/kekinian. Belakangan saya menyadari hal ini.

Dulu sekali saat tahun-tahun terakhir SMA (yah tidak tepat disebut SMA, tapi pendidikannya setingkat SMA) saya membaca trilogi awal Supernova nya Dewi Lestari, lalu Perahu Kertas yang memang menggambarkan urban-sentrisme (cerita yang berlatar perkotaan). Supernova jilid pertama sendiri, tokoh-tokohnya adalah kelas menengah atas di perkotaan. Jilid kedua (Akar), meskipun sang tokoh utama, Bodhi menjalani masa kecil di pedalaman Sumatra namun ia menjalani kehidupan dewasanya di pusat hiruk pikuk Bangkok, Thailand. Kemudian Supernova: Petir juga menggambarkan si tokoh utama, Elektra hidup di pusat kota Bandung. Lalu Perahu Kertas juga merupakan novel pop yang menggambarkan para tokohnya hidup di perkotaan.

Eka Kurniawan, novelis yang paling dibicarakan akhir-akhir ini, dalam-dalam novelnya, meskipun tidak berlatar-belakang kehidupan desa, tetapi yang diangkat adalah kehidupan jalanan/pasar yang entah itu di desa maupun di kota yang menurut hemat saya merupakan sebuah tranformasi masyarakat ketika kapital masuk ke dalam pinggiran-pinggiran kota dan desa. Yah, saya hanya membaca satu novelnya saja sih, Lelaki Harimau dimana menggambarkan kehidupan sebuah desa di pedalaman Sumatra namun tak memiliki kultur pertanian di sana (seperti yang digambarkan di Kambing dan Hujan). Ayah sang tokoh utama bekerja sebagai tukang cukur di pasar. Sedang sang tokoh utama sendiri termasuk pemuda berandalan desa yang bersentuhan yang lekat dengan kehidupan jalanan.

Sebenarnya sastra islami juga ingin saya bahas, namun karena saya tidak mengikuti sastra ini, meskipun ia memiliki fenomena tersendiri dalam khasanah sastra kontemporer. Saya penasaran siapa saja yang menjadi influence bagi gerakan sastra islami ini, apa saja sih novel yang Elsirazy, Ahmad Fuadi, Tere Liye baca? Sebelum akhirnya mereka menulis novelnya. Seperti halnya Eka Kurniawan yang dalam beberapa kesempatan mengakui tulisannya dipengaruhi oleh Gabril Garcia Marques dengan realisme magisnya dan juga Pramoedya Ananta Toer dengan realisme sosialisnya. Saya juga termasuk berada di pihaknya ketika ia menyatakan bahwa kurang lebih tidak ada gunanya seorang penulis menyembunyikan novel-novel yang ia baca.

Makin kesini, saya makin menyamakan dunia sastra ini seperti dunia musik. Musik sendiri terdiri dari berbagai genre dan sejarah yang panjang. Sastra dan dunia literatur juga begitu, memiliki sejarah panjang dan "genre" berbeda. Seperti contoh generasi Beat, realisme magis, realisme sosialis lalu juga sastra avant garde, dll.

Begitulah peta sastra kontemporer yang sejauh ini saya pelajari otodidak dan pengamatan dari tulisan-tulisan kritik sastra yang betebaran di internet. Masih jauh dari kata bernilai akademik sih, karena sumber-sumbernya bukan hasil kajian akademis, maka dari itu saya menambahkan "sebuah curhat" dalam judulnya. Tabik.***

Bacaan lanjut:
Muhammad Al-Fayyadl, Masa Depan Sastra Indonesia, Surah Sastra http://www.surahsastra.com/masa-depan-sastra-indonesia