Minggu, 31 Juli 2016

Everyday of Politics I


Belum Bisa Kulak Lagi

Suasana warung diramaikan oleh empat orang yang bermain kartu. Dua orang berjongkok, sedang dua lainnya duduk dengan santai, masing-masing fokus dengan kartunya sendiri-sendiri. Setelah kartu habis, ternyata masing-masing tidak ada yang mendapat poin. Kartu pun dikocok dan dibagikan kembali.

Nah saat itu, salah satu pemain kartu mencari jajanan kering berbungkus plastik, namun ia segera menyadari bahwa jajanan itu habis, belum di stok kembali. Kemudian celetukan pun bersahutan.

“Waduh. Jajannya kok habis gini,” celetuknya.

“Walah si K emang jualan air doang sekarang,” sahut yang lain.

Mereka pun serempak tertawa, saya juga ikut tertawa dan empunya warung, K cuma nnyengir mendengarnya.




Saya sempat menceritakan tentang hal ini di twitter. Tentang dua keluarga muda dengan keberuntungan yang berbeda. Yang satu beruntung karena punya jaringan keluarga borjuis, satunya beruntung karena bayinya belum pernah sakit sekalipun. Tapi saya jadi gak enak dan merasa jahat, tadi malam saya bilang pada ibunya bahwa belum waktunya kayaknya si bayi untuk sakit.

Setelah memperteguh niat untuk terjun langsung ke tingkat akar rumput, mengikuti berbagai kegiatan RT (baru (semacam kegiatan) tahlilan aja sih), saya juga sering nongkrong di sebuah warung yang menjadi “pusat kebudayaan” di sana. Di situ hampir semua teman saya nongkrong, teman-teman yang dianggap sebagai tukang kudeta. Setahun terakhir memang saya tidak akrab bersama mereka.

Suasana ekonomi susah memang bisa dirasakan ketika kita memasuki warung itu. Citra pemda Jombang yang kian bersinar tidak bisa menutupi kenyataan seperti itu. Orang-orang yang dikenal dengan retorika-retorika revolusi untuk perubahan dituntut menghadapi permintaan solusi kongkret. Suatu hari memang salah satu teman saya menagih solusi itu di hadapan teman-teman lain, dengan nada bercanda sedikit serius.

“Gimana ini, Joz, solusinya?” tanyanya.

Waktu itu saya jawab bahwa kita harus memikirkan ini bersama-sama. Saya juga kepikiran untuk menawarkan pinjaman dari Koperasi Khozanah, salah satu koperasi yang saya ikuti. Namun mengingat track record K yang sudah pernah meminjam dari (so called) Bank Desa, saya jadi urung. Apalagi saya mikir, Koperasi Khozanah juga saya pikir tidak bijak dengan tidak adanya program pembinaan terhadap anggotanya, hal yang saya kritik dari dulu sehingga saya juga ragu untuk meminjam modal dari mereka. Maka solusi itu saya urung tawarkan pada K.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk terus nongkrong dan jajan di warung K. Toh, saya pikir, itu termasuk sebuah pertolongan karena membantu K mendapat pemasukan, meskipun memang tidak seberapa. Tapi begitulah saya memaknai perlawanan terakhir kita terhadap neraka di dunia ini.***

Sabtu, 30 Juli 2016

Goo Hye-sun, Tango

TangoTango by Goo Hye Sun
My rating: 1 of 5 stars

Kalau bisa disimpulkan Tango adalah Roman Picisan biasa dengan retorika-retorika kalimat puitis. Awalnya saya merasa ini sebuah cerita coming of age, namun tidak ada konflik selain konflik hubungan romansa, sepertinya berlebihan bila disebut drama coming of age. Kecewa sih iya, namun saya tetap hormat pada Hye-sun karena posisinya sebagai agen kebudayaan dari salah satu agensi besar dunia hiburan Korea.

Ngomong-ngomong, setelah jagat literasi Indonesia ramai membicarakan The Vegetarian - Han Kang, saya jadi bertanya-tanya kenapa Tango tidak disebut-sebut? Setelah membaca Tango, saya jadi tahu jawabannya.

View all my reviews

Selasa, 26 Juli 2016

Otodidak Bergerak di Akar Rumput





Melibatkan diri di lapangan atau dalam kenyataan adalah belajar memahami bahwa kenyataan tidaklah semudah dan sehitam-putih teori ideologi apa pun, belajar mempengaruhi tanpa memaksakan kehendak, belajar membaur tanpa meninggalkan prinsip, belajar terbiasa bahwa orang sering memilih kesalahan yang nyaman ketimbang kebenaran yang menakutkan, belajar menguji teori dalam kenyataan dan lapang dada saat teori tak sesuai dengan kenyataan, dan yang terpenting: belajar bahwa pencapaian-pencapaian sekecil apa pun yang dibangun dengan tangan sendiri di tanah sendiri terasa jauh lebih bermakna ketimbang cerita-cerita sempurna di ujung langit yang toh tak pernah kita lakukan sendiri.

Keputusan saya untuk mengikuti berbagai aktivis kiri di social media setahun ini, membawa saya pada beberapa hal yang bisa diceritakan. Di Indonesia sendiri, Kiri identik dengan gerakan komunis. Ini tak lepas sejarah panjang dan fenomenal dari Partai Komunis Indonesia yang bahkan dimulai sebelum negara ini berdiri.

Namun saya tak berhenti di komunisme, tapi juga mulai belajar sosialis-sosialis yang lain. Mempelajari gerakan-gerakan yang disebut-sebut sebagai keberhasilan proyek-proyek sosialis membawa saya pada kepercayaan pada gerakan bersenjata. Tidak ada perubahan tanpa revolusi bersenjata, begitu keyakinan saya, diilhami oleh gerakan Chiapas (Meksiko), revolusi Kuba, dan revolusi Rojava yang sedang berlangsung.

Namun saya sadar gerakan bersenjata haruslah dengan perhitungan yang matang. Sejarah berbicara, kudeta gagal PKI tahun 1926 berakibat jauh lebih mengerikan. Begitu pula yang terjadi pada tahun 1965. Dan baru-baru ini hal mengerikan terjadi di Turki, ketika rezim Erdogan membalas kudeta gagal dengan hal yang jauh mengerikan.

Alasan

Apa yang membuat saya tertarik dengan gerakan kiri? Saya tidak tahu bagaimana awalnya, namun belakangan ini saya berpikiran semua ini karena rasa kepedulian. Rasa kepedulian ini tidak datang dari langit, tapi ditanamkan oleh lembaga pendidikan saya sejak sekolah menengah (pesantren). Rasa kepedulian terhadap orang-orang kalah, rasa kepedulian terhadap masyarakat, rasa kepedulian terhadap tanah air.

Cukup ironis sebenarnya, belakangan setelah saya mempelajari gerakan kiri, saya baru menyadari bahwa lembaga pendidikan yang selama ini menanamkan “rasa kepedulian” ini mengarah pada fasisme. Dan saya masih kesusahan untuk keluar dari lingkaran ini.

Tapi memang tidak bisa tidak diakui bahwa peran lembaga pendidikan ini memang yang menyambungan saya dengan apa yang dicita-citakan oleh gerakan kiri. Yaitu membuat dunia menjadi lebih baik.

Akar Rumput

Isu yang lagi hangat dibicarakan oleh gerakan kiri hari ini adalah mengorganisir di tingkat akar rumput. Di tengah ancaman terhadap demokrasi, perebutan ruang hidup dan fasisme seperti Orde Baru bangkit kembali, para intelektual kiri berlomba-lomba mengeluarkan fatwanya untuk mengorganisir gerakan akar rumput. Contohnya bagaimana intelektual-intelektual ini gagal mendapat simpati masyarakat ketimbang organisasi-organisasi anti-demokrasi dan partai-partai borjuis yang memang turun langsung mengambil simpati masyarakat. Buat apa merasa marah dan kecewa karena masyarakat lebih memilih para serigala, kalau kita tidak terjun langsung ke masyarakat, begitu intinya.

Maka dari itu bagi generasi yang tumbuh besar pasca orde baru seperti saya, tumbuh besar dengan masyarakat kapitalistik, berpaham individualistik, tercengang dengan kehidupan borjuis, turun ke bawah dan bergabung dengan masyarakat menjadi hal yang sangat berat sekali. Beneran. Serius.

Mengikuti kegiatan karang taruna, berjaga pos ronda, ikut tahlilan atau membangun perpustakaan desa adalah hal yang sangat asing bagi generasi millenial seperti saya. Hal yang tak pernah diajarkan, bahkan oleh lembaga pendidikan saya yang bisa disebut tradisional. Mengecewakan memang, tapi mau bagaimana lagi hampir semua seperti itu (bahkan adik perempuan saya!).

Karena asing dan merasa buta dengan apa yang harus dilakukan, pada akhirnya usaha-usaha ini bisalah disebut dengan otodidak. Apalagi tanpa teman-teman yang tidak memiliki pemahaman dan cita-cita yang sama. Memang ada yang sama, namun mereka telat menyadari bahwa mengorganisir gerakan akar rumput adalah fatwa wajib ain bagi gerakan kiri. Jadinya kegiatan otodidak ini hanya eksperimen-eksperimen yang tak tahu apakah akan menjadi sesuatu yang efektif untuk melawan musuh.

Sekedar membagi argumen-argumen gerakan rumput (entah apalah namanya) yang sedang saya coba. Pertama, menolak kompartementalisme. Ini artinya tidak melulu tukang puisi harus membuat puisi, selebtwit hanya mengetwit, youtubers hanya membuat vlog, penulis hanya menulis dan organisator hanya mengorganisir. Jadi harus ada fleksibilitas seperti penjaga warung kopi yang lagi belajar membuat vlog.

Kedua, adalah memberi solusi kongkret dan cepat pada masyarakat yang sedang tertindas. Ini hal yang baru bagi saya sebenarnya. Sempat merefleksikan juga beberapa kegiatan yang akan saya adakan, apakah memang bermanfaat langsung dan menjawab masalah masyarakat atau malah sebaliknya.
Kedua argumen itu ditawarkan oleh kawan-kawan anarko. Mereka yang sepertinya menjadi gelombang baru gerakan anti-otoritarian hari ini. Ngomong-ngomong, setelah mengkurasi zine-zine anti-otoritarian, saya baru nyadar: pasca reformasi gerakan anti-otoritarian sempat aktif sekali (namun tidak tumbuh di pulau jawa) memberi sumbangan pemikiran-pemikiran alternatif.

Ada satu hal yang saya percaya dan belum tergoyahkan: pendidikan adalah kunci. Pendidikan juga menurut saya berhubungan dengan kesadaran diri dan apa yang sedang terjadi. Pendidikan pula yang membuat masyarakat bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Jadi mencerdaskan bangsa adalah harga mati.***

Post script: sebenarnya ingin menambah link-link bacaaan lebih lanjut, namun ternyata tidur siang lebih ena~

Senin, 25 Juli 2016

Tan: Sebuah Novel, Hendri Tedja

Tan: Sebuah NovelTan: Sebuah Novel by Hendri Teja
My rating: 1 of 5 stars

Well, ini novel yang bagus. Berhasil mengaduk-ngaduk perasaan juga. Endingnya juga bagus, namun sayangnya klise. Penulis juga boleh dapat pujian karena peran seorang Tan Malaka pada usaha kudeta PKI pada 1926 memang cukup krusial (karena PKI pada seterusnya menganggap Tan seorang pengkhianat secara terbuka) dan penulis menulisnya dengan fokus yang bagus. Akibat novel ini pun pertanyaan-pertanyaan tentang fakta sejarah juga mulai bermunculan. Misalnya, sejak kapan Tan Malaka memulai pelariannya di luar negeri? Seperti yang diterangkan Tan sendiri di pendahuluan Madilog. (Karena novel ini tidak menceritakan kaburnya Tan keluar negeri karena aktivitasnya di PKH).

Overall, novel ini ibarat film hollywood yang digarap dengan bagus namun setelah keluar bioskop kita akan lupa dengan apa yang kita tonton. Karena kita tahu kisah Tan Malaka sendiri lebih seru dari novelnya.

View all my reviews

Kamis, 14 Juli 2016

Wonosalam Kilometer Dua Belas


“Just for today, how about we forget about tomorrow, and go somewhere?” (Shinichiro Watanabe)

Sedari tadi jam istirahat belum berakhir juga. Entah mengapa waktu berjalan dengan lamban hari ini. Mungkin waktu telah ditubruk oleh truk dan kakinya hanya bisa berjalan tertatih-tatih. Atau mungkin ia sedang belajar berjalan dengan kursi roda, siapa tahu?
“Icha?”
“Eh. Iya? Ada apa?”
Tumben sekali Doni menegur, pikirku.
“Yuk, pergi ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Kemana aja.”
“Sekarang?”
“Iyalah.”
“Maksudnya... Membolos?”
“Tepat sekali!” Doni mengatakannya seperti pembaca acara kuis menebak lagu itu, hanya saja rambutnya tidak dioles pomade.
“Kenapa.. maksudku, beri aku alasan kenapa harus membolos?”
“Aku ingin sesekali ingin tahu bagaimana rasanya membolos.”

Dan di sinilah kita berdua berjalan sambil menenteng tas sekolah masing-masing menyusuri trotoar dengan rumput liar menghiasi sepanjang jalan, entah apa yang dilakukan Dinas Kebersihan Pemerintah selama ini. Karena pada jam sekolah gerbang sekolah selalu terkunci, maka Doni mengajakku keluar melompati pagar beton sekolah yang cukup tinggi. Aku tampak ragu, namun Doni terus merayu, akhirnya aku berhasil melewatinya disertai hati yang berdebar-debar. Menaiki satu persatu anak tangga kayu yang cukup curam, lalu setelah sampai di atas beton yang sedikit berlumut (beruntung tak beling-beling tajam yang disusun di atasnya!), aku melompatinya dengan berteriak histeris.
Aku terjatuh di sebuah gundukan pasir yang tercampur dengan debu dan tanah, Doni tersenyum geli melihatku seraya membantuku berdiri. Kini kami berdua berada sebuah tanah kosong yang tak terawat, sebenarnya tidak kosong-kosong amat, ada kerangka rumah yang telah habis dilalap api, rumput-rumput liar yang kering dan papan yang bertuliskan “TANAH MILIK NEGARA. DILARANG MASUK.” Kami berdua melewati tanah kosong itu dengan mudah karena ada jalan setapak kecil menuju jalan raya di depannya, dan menyusuri trotoar di depannya. Doni bercerita bahwa ini adalah jalan keluar favorit teman-temannya ketika membolos.
***
Doni adalah temanku sejak kecil. Jarak rumahku dan rumahnya hanya dipisahkan oleh sebuah rumah milik seorang pensiunan tentara. Waktu kecil kami berdua bersama anak-anak kompleks rumah sering bermain bersama di halaman rumahnya. Selisih umur kami berdua cuma setahun, namun aku selalu menganggapnya lebih tua, begitu juga dengan teman-teman masa kecil kami yang lain terhadapnya. Ditambah sifatnya yang aktif sekali, jiwa kepemimpinannya bersinar diantara kelompok bermain. Kedua matanya memancarkan sorot mata yang penuh semangat dan bahagia. Hal inilah yang membuatku kagum terhadapnya sejak kecil.
Ketika aku beranjak remaja,  aku disibukkan oleh les-les yang didaftarkan oleh ibuku. Hal ini membuat kami berdua hampir tak pernah bertemu satu sama lain. Namun aku selalu terbelenggu oleh perasaan rinduku. Kadang saat aku hendak berangkat les sore, aku masih melihatnya duduk-duduk santai bersama salah satu temannya di depan rumah. Momen-momen inilah yang sangat aku tunggu. Kadang ketika ia melihatku, ia menegurku dan melambaikan tangan dengan tersenyum, namun seringkali ia tak berada di sana. Apalagi sejak ayahnya meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan bermotor (pembunuh nomor satu di jalanan!), aku hampir tak pernah melihatnya. Namun saat aku melihatnya, ada sorot mata yang berubah dari dirinya.
“Kau tau.. Kukira kau anak yang tidak biasa melakukan hal-hal seperti ini.”
“Tidak salah,” jawab Doni. “Aku memang tidak pernah membolos.”
“Memang kita akan kemana?”
“Kau mau kemana?”
“Menonton bioskop mungkin?”
Dia tertawa. “Terlalu mainstream.”
“Kau ingin yang tidak mainstream? Membom istana presiden!” jawabku ketus.
“Ya, sepertinya ide bagus,” ia tergelak.
“Eh, aku tahu suatu tempat!” seruku padanya.
“Kemana?”
“Ada sebuah gua yang sering dibicarakan orang-orang saat ini. Letaknya di sebuah kecamatan di bagian utara kota ini.”
“Arah ke Surabaya?”
“Iya.”
Setelah cukup lama menunggu bis yang menuju ke Surabaya, kami berdua berhasil mencegatnya dan masuk ke dalamnya. Sampai Selamat, nama bis itu.  Udara AC langsung menyeruak menabrak wajahku menghasilkan rasa yang tak nyaman. Setelah berhasil mengendalikan diri, aku mengikuti Doni dari belakang dan duduk salah satu kursi yang terlihat empuk. Tak lama kemudian kondektur bis menghampiri kami berdua dan memasang tarif. Setelah itu beberapa kali pengamen masuk bis dan melewati kami dengan bungkus plastik bekas air mineral berisi beberapa lembar uang dan koin serta beberapa batang rokok.
Salah satu pengamen yang menarik perhatianku adalah sepasang suami-istri yang cukup tua. Suaminya berkacamata hitam, bertopi pemancing yang pudar, berkumis lebat, terlihat tidak bisa melihat, menenteng perangkat sound system portable dan bertugas bernyanyi.  Sedangkan istrinya selain menuntun suaminya berjalan juga bertugas berkeliling membawa bungkus plastik kepada para penumpang bis. Ia memakai topi yang sama dengan suaminya, hanya saja warnanya berbeda dan memakai kaos partai yang berwarna merah pudar. Yang membuat aku kagum adalah bahwa mereka seperti sudah tahu tugas mereka masing-masing, seperti melakukan repetisi-repetisi seperti itu sebelumnya. Namun apa kerja keras mereka terbayar?
Musik dangdut klasik mengalun dan sang suami mulai bernyanyi dengan penuh penghayatan. Tidak buruk, nilaiku. Maka ketika si istri menghampiri kami berdua, aku merogoh tasku, mencari koin-koin kembalian saat membeli minuman mineral saat di sekolah tadi dan memberikan semuanya. Tak lupa memberi senyum ketika aku bertatapan dengan si istri. Namun ia cepat menunduk dan berlalu begitu saja meninggalkan ucapan terimakasih yang datar.
***
Kami berdua turun di sebuah pertigaan yang cukup besar. Kami berdua harus mencari angkutan untuk pergi ke arah barat, dan Doni sedang bertanya kepada seorang tukang becak cara untuk mencapai tempat yang bernama Wonosalam. Dan ia kembali dengan hasil nihil.
“Tidak ada angkutan pada jam seperti ini.”
Aku memberinya sebuah botol air mineral, Doni membukanya dan meneguk air di dalamnya.
“Kita jalan kaki saja dulu, barangkali nanti ada tumpangan untuk ke sana.”
Kami berdua berjalan cukup jauh, menjauhi keramaian jalan raya dan masuk ke jalan sepi yang dipenuhi oleh sawah dengan kehijauan padi yang berusia sebulan. Kendaraan hilir mudik, namun tak ada yang menghiraukan kami. Lalu tiba-tiba Doni memiliki ide yang cukup ekstrim.
“Ada sebuah sepeda kayuh di sana, aku akan mencoba mencurinya.”
Lidahku seketika tercekat. Ketika ia mulai berbicara mengenai rencanya lebih lanjut, aku meneguk liurku.
“Pikirkanlah lagi, Don,” sahutku.
“Tidak ada cara lain. Kamu mau bertelanjang dan mencegat sebuah mobil di tengah jalan?”
Aku hampir menyetujui ide yang lebih ekstrim itu, namun ia sudah berlalu menghampiri sepeda kayuh yang tergeletak di pinggir sawah, kemungkinan itu milik petani yang sedang terlelap tidur siang. Aku memutuskan mengikutinya.
Aku pun diarahkannya untuk memperhatikan sekeliling, sedangkan ia beraksi mengambil sepeda itu dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa, Doni kemudian memboncengku menyusuri. Matahari sudah melewati tengah hari, meskipun panasnya hampir tidak berkurang sedikitpun.  Apakah aku sudah gila mendukung pencurian berencana? Entahlah, aku hanya lelah berjalan kaki, dan Doni melakukan hal yang tepat dengan memboncengku.
Bila Doni merasa lelah ia berhenti dan kami beristirahat barang sejenak. Sekali ia mencoba memegang tepian mobil berbak terbuka yang melewati kami sehingga roda sepeda tak perlu ia kayuh, namun dewi keberuntungan bersama kami ketika sang pengemudi mobil berhenti dan mengajak kami untuk naik ke bak mobilnya. Beruntungnya kami bertiga punya tujuan yang sama, Goa Sigolo-Golo.
***
Pengemudi mobilnya adalah seorang lelaki separuh baya yang pendiam. Setelah mengijinkan kami berdua untuk menumpang di mobil pick-up-nya, ia tak banyak bicara lagi setelah itu. Lagipula kami berada di bak terbuka mobilnya, sedangkan ia bersama seorang pemuda berada di belakang kemudi.
Doni bersandar sebisanya di bak mobil, terlihat mukanya penuh lelah. Langit semakin gelap, senja terlihat semakin menjingga, angin berhembus melayangkan tiap-tiap helai rambutku dan suara adzan sayup-sayup terdengar di setiap masjid.
Aku tak mendengar jelas apa yang dikatakan Doni, aku pun sedikit mendekat dan ia mengulangi ucapannya sekali lagi, kali ini lebih keras.
“Kau tidak masuk les hari ini?”
“Aku sudah bosan dengan les,” jawabku sekenanya.
Ia nyengir.
Lalu aku bertanya padanya, apa dia pernah mengikuti sebuah les dan ia menjawabnya, iya, tentu saja.
“Serius?? Memangnya kau ikut les apa?”
“Gitar.”
“Kau bercanda. Kok aku tidak pernah tau kau bisa bermain gitar,” jawabku tak percaya.
“Aku tidak semahir itu. Hanya bertahan sebulan.”
“Tidak bisa satu lagupun?”
“Mungkin hanya 1-2 lagu pop.”
“Raisa?”
“Bukan. Maudy Ayunda.”
“Coba mainkan untukku.”
“Sekarang??”
“Iya, sekarang.”
Ia nyengir dan menjanjikan kapan-kapan saja Maudy Ayunda-nya.
Sejenak ku berpikir tentang penyanyi muda itu. Sepertinya aku pernah menghafal salah satu lagu hits miliknya. Mencoba menyanyikan bagian reffrain-nya dan mengulanginya sebanyak dua kali. Dan aku tersadar bahwa semuanya kini terasa hening dan Doni memperhatikanku bernyanyi sejak tadi. Oh, Tuhan.
“Aku tak tau kamu punya suara emas,” pujinya.
“Bukan. Hanya suara penyanyi kamar mandi,” jawabku.
Kita berdua harus berduet, ajaknya kemudian yang aku iyakan saja.
Seketika itu pula mobil memelankan lajunya dan akhirnya benar-benar berhenti. Kami berdua tersadar telah sampai di lokasi dan memutuskan untuk turun, tak lupa sepeda kayuh Doni giring turun juga. Sang pengemudi, seorang lelaki paruh baya dengan kumis tipis menjelaskan bahwa kami hanya punya dua jam sebelum lokasi wisata ini tutup. Setelah mengucapkan terimakasih pada bapak pengemudi baik hati itu, kami bergegas untuk masuk setelah sebelumnya menitipkan sepeda kayuh pada tukang parkir di depan lokasi dan membayar tiket.
Kami menuruni sebuah lereng bukit dengan melewati satu-persatu anak tangga. Penerangan jalan benar-benar membantu kami melewati ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang kembali untuk pulang, saat itu aku sadar bahwa kami berdua masih mengenakan seragam sekolah. Setelah itu kami menemukan sebuah sungai kecil dengan kerikil-kerikil yang hampir tak terlihat. Lalu kami naik ke atas menaiki tangga menuju tempat yang disebut Bulu View.
Beberapa orang terlihat mengerumuni warung-warung kecil yang berjejeran, sebagian bercengkerama di dekat pagar hitam yang kelihatannya merupakan pengaman bagi pengunjung agar tidak terperosok ke bawah, lagipula ada tulisan “Dilarang Melewati Pagar” di sana.
Doni mengajakku mendekat ke pagar. Ada sebuah bangku panjang dari besi bercat hitam, dan ia mengajakku duduk di situ. Tak ada pemandangan alam yang bisa disaksikan karena malam, hanya ada suara gemericik air mengalir yang terus menerus menggema dari sungai kecil yang kami lewati tadi, juga sayup-sayup terdengar suara-suara obrolan manusia dan seseorang yang sedang menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dengan sebuah gitar buluk.
“Sayang sekali sudah malam, harusnya kita dimanjakan oleh pem..”
Ucapan Doni terputus ketika kami berdua dikejutkan oleh suara tembakan. Ternyata sekelompok pemuda menerbangkan kembang api ke udara. Kembang api itu meledak kembali di udara dan memecah menjadi puluhan percikan api yang melompat kesegala penjuru, lalu kemudian menghilang ditelan angin malam. Ledakan pertama disambut ledakan kedua dan seterusnya hingga semua kembang api telah ditembakkan ke langit. Langit pun selama beberapa saat dihiasi oleh indahnya warna-warni kembang api yang istimewa. Perasaanku kemudian menjadi hangat, mataku berbinar-binar dan senyumku merekah memandangi kembang api di langit.
“Kau mau lihat lagi?” Aku mengangguk. “Aku akan ke sana untuk membelinya.”
Ternyata ada kelompok yang memang khusus menyalakan kembang api di sana (“Sudah kebijakannya warga di sini,” kata mereka). Doni hanya membeli kembang apinya lalu mereka yang akan menyalakannya. Dan ternyata tidak Doni saja yang tertarik, namun seluruh pengunjung pada saat itu membelinya serentak. Tak ayal puluhan kembang api menghiasi langit malam silih berganti selama setengah jam.
Aku tiba-tiba bertanya-tanya, kapan terakhir aku melihat kembang api di langit terbuka seperti ini. Sepertinya hanya hari-hari istimewa aku melihat kembang api dinyalakan, tetapi apakah  hari ini hari yang istimewa? Adakah alasan untuk menyebut hari ini hari istimewa?
“Apa alasanmu sebenarnya membawaku kemari, Don?” tanyaku tiba-tiba.
Doni terdiam sebentar sebelum mengejutkanku dengan jawabannya.
“Aku akan pindah besok,” aku menoleh padanya. “Bersama orang tuaku. Ke pulau Kalimantan.”
Baiklah, kau akan pergi ke Kalimantan.
“Kau tau, seringkali orang yang berpindah tempat tinggal gampang sekali dilupakan,” Doni menunduk memperhatikan sepatu hitam yang dikenakannya, atau mungkin tanah berembun yang dipijaknya. “Beberapa waktu yang lalu temanku pindah ke luar kota, dan sekarang aku sulit sekali mengingatnya.”
Aku terus menatapnya.
“Barangkali jika aku membawamu ke sini, kau mungkin bisa..”
Kau ingin aku mengingatmu. Doni tak meneruskan kalimatnya.
“Kau tau, karena kita tinggal bertetangga, sebenarnya sejak kecil aku selalu.. mengagumimu.” Aku menunduk malu. “Tapi sekarang..”
“Kau sudah punya kekasih kan, anak kelas tiga.” ucap Doni.
“Kau sudah tahu ternyata..”
“Yah. Aku sering melihat kalian berdua.”
Apakah aku terkejut bahwa Doni sejak lama menyukaiku? Sangat. Ia pernah mematahkan hatiku saat aku tau seorang kakak kelas yang rupawan, idola satu sekolah waktu itu menjadi kekasihnya. Beberapa saat aku melihat mereka berjalan berdua, namun itu hanya beberapa saat sebelum satu sekolah kembali dikejutkan oleh kekasih baru kakak-kelas-yang-rupawan itu yang ternyata bukanlah Doni lagi.
Aku berencana melupakan Doni dengan segala luka yang tak sengaja ia goreskan cukup dalam di hatiku. Saat itulah seorang kakak kelas rupawan, salah satu mantan dari kakak kelas rupawan yang tadi aku ceritakan, kapten tim basket sekolah, ketua Rohis, sering menjadi imam di masjid, dan berderet-deret hal kepemimpinan yang lain lekat dengannya. Ia mendekatiku dan memberikan semua kebahagiaan sebagai seorang kekasih.
“Ayo pulang,” ajakku pada Doni.
***
Di dalam bis antar kota dalam provinsi, kami berdua duduk sedikit berjauhan sebelum ditegur oleh kernet bis yang meminta kami duduk bersebelahan karena bis akan mulai penuh sebelum memasuki kota Jombang. Suara Via Vallen mengalun dari pengeras suara menemani pembicaraan kami berdua.
“Kau sudah tahu apa yang akan kau katakan pada orang rumah?” tanya Doni.
“Aku sudah bilang bahwa ada teman yang kecelakaan saat sekolah, dan aku sedang menemaninya.”
“Cerdas sekali. Padahal aku tidak mengalami kecelakaan apapun.”
“Jam berapa kau akan berangkat besok?” tanyaku.
“Sekitar jam 10 siang kira-kira. Kau tidak perlu datang kok.”
“Oh. Baiklah.”
Meskipun aku tak khawatir dengan apa yang akan aku jelaskan kepada orang tuaku tentang hari ini, kami berdua tak tidur rumah malam itu.

***
Pengakuan: aku dan Doni diciduk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat perjalanan pulang.
Ini terjadi setelah kami sampai di jantung kota Jombang. Setelah kami berdua turun dari bis antar kota dalam provinsi, kami berdua menyusuri jalanan menuju ke arah stadion tanpa tahu bahwa ada bentrok antara aparat Satpol PP dengan pedagang kaki lima menghadang kami di depan. Asal kau tahu, lingkungan stadion di pulau Jawa selalu dipenuhi dengan pedagang kaki lima.
Aku akan menggambarkan keadaan pada malam itu. Jalanan sepi dari kendaraan bermotor, namun ramai dengan orang-orang yang tumpah ruah ke jalan sibuk melempari batu ke arah pagar betis polisi anti huru-hara. Batu-batu berbagai ukuran berserakan di tengah jalan, truk-truk polisi berjejeran parkir.
Di pihak massa, sekumpulan lelaki separuh sebaya dan bertelanjang dada menghadang para polisi dengan berucap kata-kata kasar dengan fasih berkali-kali. Ada yang kelihatan membawa sebuah pedang samurai, namun beberapa ada yang membawa balok kayu dan melempari polisi dengan batu.
Lalu yang paling mencolok adalah sekumpulan massa dengan berkostum hitam dengan tudung jaket hitam menutupi kepala dan bandana hitam menutupi wajah, namun ada beberapa orang yang memakai topeng tokoh V dalam film V for Vendetta. Mereka berdekatan satu sama lain sehingga tampak mencolok dari massa yang lain, massa barisan depan membawa sebuah spanduk besar bertuliskan jargon anti-kapitalisme yang hampir menutupi tubuh mereka. Beberapa dari mereka membawa balok kayu dengan bendera hitam di atasnya, suatu kali ketika sekumpulan polisi mendekati dan berusaha membubarkan mereka, balok kayu itu dipakai untuk membalas pukulan-pukulan dari tongkat besi polisi.
Massa-berpakaian-hitam inilah yang paling merepotkan polisi anti huru-hara. Itu karena selain mereka melempari polisi dengan batu, mereka juga melempari polisi dengan kembang api, mercon atau beberapa peledak dengan daya kecil berkali-kali. Hal ini membuatku tak bisa membedakan antara kerusuhan dengan perayaan tahun baru.
Pihak aparat negara sendiri terdiri berbagai unsur. Pihak Satpol PP yang gagal mengusir pedagang kaki lima berada di barisan paling belakang. Satpol PP sendiri berjumlah kecil dengan polisi anti huru-hara yang didatangkan kemudian. Tiga truk polisi berisi satuan polisi anti huru-hara datang dan bersiap-siap dengan peralatan mereka masing-masing. Pelontar gas air mata, senjata api dengan peluru karet, helm polisi, tameng polisi, pelindung lutut dan kaki, serta rompi anti peluru.
Karena terlalu asyik mengamati pertempuran jalanan itu, aku dan juga Doni tak tahu bahwa Satpol PP yang tampak menganggur sedari tadi menyisir daerah tempat aku dan Doni memperhatikan bentrokan. Kami berdua diinterograsi sebentar dengan wajah kebingungan, lalu diangkut ke mobil Satpol PP dan dibawa ke kantor mereka.
***
Apa yang terjadi di kantor Satuan Polisi Pamong Praja sesungguhnya tidak begitu mengkhawatirkan. Aku dan Doni, kami berdua sama-sama lelah karena seharian beraktivitas di tengah terik siang hari. Doni yang terlihat lelah (ia telah menghabiskan energinya dengan mengayuh sepeda dan memboncengku, tentu saja) dan menahan kantuk berat bahkan hampir tak peduli bahwa ia berada di kursi pesakitan Satpol PP, bahkan ia sempat tertidur di mobil saat perjalanan kemari. Aku pun sama saja. Pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan oleh petugas yang mendata kami berdua harus diulang beberapa kali karena aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan akibat menahan kantuk.
Petugas yang meladeni kami pun sama-sama tak pedulinya. Seorang bapak separuh baya dengan kepala pelontos dan badan tambun. Ia terlihat ogah-ogahan mencatat jawaban-jawaban dari kami berdua sejak awal. Entah karena mengantuk, kelelahan karena harus bentrok selama berjam-jam sejak sore, aku tak bisa menduganya. Lagipula aku juga tak peduli.
Seteah pendataan, kami sebenarnya diperbolehkan pulang namun harus dijemput oleh orang tua. Aku terpaksa menelepon rumah, ibu yang mengangkatnya. Setelah berusaha tetap terjaga dengan mendengarkan suara keras yang berasal dari kemarahan ibu, aku menutup telepon kantor yang dipinjamkan petugas. Sebelum bapak-berkepala-pelontos-berbadan-tambun meninggalkan kami berdua, ia sempat berceletuk:
“Kalau mau membolos, usahakan jangan memakai seragam sekolah.”
Malam semakin larut. Ketika aku meliriknya, jam menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana kantor Satpol PP sangat sepi, karena aku bisa mendengar suara acara televisi dengan sangat jelas. Kami berdua dititipkan kepada petugas piket jaga malam itu. Ruang piket jaga cukup lengang, Doni bahkan sudah menemukan tempat berbaring dan tertidur pulas setelahnya. Aku cukup duduk di sebuah kursi dengan kepala bersender pada sebuah dinding, memandang kosong jalanan menanti ayahku datang.
Acara televisi menampilkan film horror Susana. Entah berapa kali film itu ditayangkan kembali, namun orang-orang sepertinya tidak menampakkan tanda-tanda kebosanan untuk melihat sosok Susana dalam layar kaca. Suaranya yang khas dan tatapannya yang menusuk, dia memang tak tergantikan. Layar televisinya padahal cukup kecil, namun bapak petugas piket jaga terlihat sangat khusyuk menontonnya. Aku sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang mencoba menghisap darah perempuan ini, namun sepertinya sia-sia belaka. Tiba-tiba aku jadi ingin membasuh muka.
Bapak petugas piket jaga berbaik hati dan rela terganggu acara menontonnya untuk mengarahkanku letak kamar kecil kantor setelah aku bertanya padanya.
“Lurus aja, mbak. Ada lemari hitam, di sebelahnya.”
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih sebelum aku melangkah sesuai arahannya. Tidak terlalu sulit menemukannya, ada sebuah lemari hitam berbahan besi berada tepat di sebelah lorong masuk kamar kecil. Aku berdiri menatap cermin yang cukup besar menempel di dinding. Sedikit terkejut melihat tampilanku yang begitu kusut namun aku cukup bisa menjaga kesadaranku. Sempat-sempatnya aku teringat Chairil Anwar, si pujangga.
Ini muka penuh luka, siapa punya?
Teman-temanku dalam seminggu terakhir asyik mempelajari puisi Chairil Anwar berjudul Selamat Tinggal. Ini tak diayal akibat salah seorang musisi indie favorit kami mengunggah rekaman terbarunya di kanal platform musik gratis miliknya, menggubah puisi si pujangga menjadi lagu favorit baru bagi kami semua. Akhirnya kami menyetelnya berulang-ulang hingga hafal di luar kepala.
Aku memutar kran pada wastafel dan air segera mengalir terkumpul di kedua telapak tanganku. Genangan air itu langsung saja kubasuhkan ke wajah. Aku mengulangi kegiatan itu berulang kali hingga aku merasa cukup untuk membuatku terjaga sampai ke rumah. Setelah itu aku menutup kran lalu merapikan penampilanku seperlunya dan keluar dari kamar kecil.
Ayah ternyata datang sendirian. Ia kemudian menjelaskan padaku bahwa ia melarang ibu untuk ikut karena cuaca malam tidak baik untuk kesehatannya. Aku sedikit bersyukur mendengarnya sekaligus bergidik membayangkan apa yang akan terjadi sesudah tiba di rumah. Ayah ternyata tau kekhawatiranku, ia berusaha menenangkanku dengan mengatakan semuanya-baik-baik-saja-tidak-perlu-ada-yang-dikhawatirkan-ayah-tidak-marah-padamu berulang kali kepadaku.
Mau tidak mau, ayah harus mengantarkan Doni pula, karena orang tua Doni sudah berada di Kalimantan. Doni kini menjawab bercakap-cakap dengan ayahku dengan sikap sigap dan jelas, seolah-olah kesadarannya dan staminanya tidak hilang sama sekali.
Aku duduk di kursi depan, di samping ayah yang berada di belakang kemudi, sedangkan Doni berada di kursi belakang. Posisi ini membuat aku tak bisa menatap wajah Doni dan segan pada ayah untuk mengajak Doni bercakap-cakap. Namun akhirnya aku bisa mengendalikan keadaan dan bertanya padanya.
“Don, kau jadi berangkat besok siang?”
“Antara iya dan tidak sebenarnya,” jawabnya ragu. “Aku lebih ingin istirahat total besok.”
Lalu ayah bertanya pukul berapa Doni berangkat, dan Doni menjawab persis dengan yang ia sampaikan padaku.
“Apa tiketmu tidak hangus?”
“Hanya tiket keretaku yang hangus, karena aku belum membeli tiket kapal.”
Percakapan kemudian diisi dengan hal-hal teknis mengenai dunia per-kereta-api-an di Indonesia. Ayah juga sempat bercerita pengalamannya memakai transportasi umum seperti kereta api dan kapal.
“Rencanamu berangkat kapan, Don?” tanyaku.
“Belum tahu,” jawabnya. “Tapi aku akan memberitahumu bila aku berangkat.”
***
Ketika masuk sekolah, adalah Indah yang pertama kali memberondongku dengan pertanyaan tentang kegiatan membolosku. Ia satu-satunya temanku yang mengetahuiku membolos bersama Doni. Ia sempat merengek-rengek untuk ikut membolos, namun aku melarangnya. Sepertinya Indah memutuskan membalas laranganku sebelumnya dengan meminta ceritaku dengan sedetil-detilnya, tentunya aku meladeninya ketika kami berdua sedang berdua saja.
Aku menceritakan semuanya pada Indah, tentang pencurian sepeda, tentang kepindahan Doni yang mendadak, juga tentang kerusuhan dan kantor Satpol PP. Ia khusyuk menyimak seperti mendengarkan seorang nabi yang sedang menyampaikan wahyu, atau mungkin gaya berceritaku yang sungguh nikmat untuk didengarkan.
Aku sebenarnya masih lelah dan mengantuk berat. Meladeni Indah pun dengan konsentrasi yang rendah, banyak omonganku yang tak nyambung. Namun terpaksa aku meladeninya, karena bila tidak, ia akan menuntutku seterusnya.
Ngomong-ngomog, aku tidak menemukan Doni di sekolah selama tiga hari selanjutnya. Seluruh teman-temannya yang aku kenal tidak melihatnya dimanapun. Bagaimana bisa seorang Doni bisa menghilang tanpa memberi kabar pada teman-temannya? Ini aneh. Tapi mungkinkah Doni yang kukenal masa kecil bukanlah Doni yang sekarang yang seringkali menutup dirinya?
Rumahnya pun tertutup rapat dan kelihatan sangat sepi. Aku dengar dari ibu bahwa rumah itu akan dijual oleh ibunya Doni. Ternyata ibunya Doni sempat berpamitan dengan ibuku, beliau bilang bahwa beliau akan menyusul suami barunya yang masih berdinas di pulau Kalimantan. Entah kemana Doni pergi. Jika dia sudah menyusul ibunya, untuk apa dia berjanji padaku akan memberitahuku kapan ia akan berangkat?
Indah adalah satu-satunya temanku yang paling kupercaya. Sudah dua tahun ini kami mengenal, saling bercerita dan berbagi suka dan duka sebagai orang remaja. Tentunya tak ada hal yang dapat kututup-tutupi darinya, ia selalu bisa mendapatiku ketika berbohong padanya.
“Cha, kau jelas ada perasaan dengan si Doni ini kan?” tuduh Indah tiba-tiba.
“Tidak mungkin,” jawabku menampik. “Aku sudah punya kekasih, Indah.”
“Nah, itu maksudku. Kau berlaku tak adil pada Arman,” tuduh Indah kembali. “Kau tak bisa membohongiku, Icha.”
“Sebenarnya, aku bertengkar dengan dia,” akuku pada Indah.
Pertengkaran aku dan Arman terjadi di sekolah. Kalau bisa dibilang, ini pertengkaran pertama kami berdua sebagai kekasih. Sekembalinya aku dari interograsi Indah, tak sengaja aku bertemu Arman. Ia ternyata sejak jam istirahat mencariku. Kami berdua berbicara di sudut sekolah. Arman tau bahwa aku membolos bersama Doni di hari sebelumnya, dan waktu itu aku terlalu mengantuk sehingga aku malah balik marah kepada Arman. Kami berdua pun tak bisa mengontrol emosi kami yang meledak.
“Aku tau kamu pergi sama Doni kemarin, Cha,” ujar Arman. “Jelaskan kepadaku.”
“Nggak ada yang perlu dijelasin,” jawabku datar. “Kita berdua nggak ada hubungan apa-apa.”
“Apanya yang gak ada?! Jangan bohong kamu, Cha,” nada bicara Arman meninggi.
“Kamu jangan teriak-teriak gitu dong,” jawabku ketus.
“Aku berhak marah dong sama kamu,” ia tak mau kalah.
“Pembicaraan ini selesai. Aku kecewa sama kamu.”
Aku berbalik pergi meninggalkan Arman yang masih tak percaya dengan perlakuanku.
“Eh, Cha. Kamu mau kemana??”
Dan ia terus memanggil namaku berulang kali, namun aku tak bergeming dan berjalan lurus ke depan.
***
Di hari keempat sejak ‘hilang’nya Doni, Teguh, salah satu teman Doni yang paling dekat dengannya sejak kecil menemuiku di sekolah. Ia mendatangi kelasku saat jam istirahat pertama. Ternyata Teguh membawa kabar dari sahabatnya itu. Awalnya ia bertanya, apa Doni sudah menemuiku, namun aku menggeleng.
“Karena sedari kemarin kamu mencari-cari Doni, aku kayaknya harus mengakui sesuatu denganmu,” terang Teguh. “Tadi malam aku bertemu dengannya, dan ia bilang akan berangkat ke Surabaya lewat kereta siang ini.”
Sebelum aku menyahut, Indah sudah menimpali, “Dia berangkat pukul berapa, Guh??”
“Kalau tidak salah, pukul sepuluh ini.”
Aku dan Indah melirik jam dinding kelas. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Masih ada satu setengah jam sebelum kereta Doni mampir ke stasiun Jombang dan berangkat ke Surabaya.
“Kamu masih bisa nyusul dia, Cha!” seru Indah menyemangatiku.
Aku tidak menghiraukan ucapan Indah. Aku masih terkejut Doni tidak memberitahuku, padahal ia sudah berjanji padaku.
Teguh pamit undur diri, tak lupa aku mengucapkan terimakasih padanya.
“Kamu tunggu apalagi, Cha??” tanya Indah tak sabaran.
“Aku malas berangkat, Indah,” timpalku.
“Jangan gitu. Kamu mungkin enggak akan ketemu Doni lagi,” Indah masih merayuku. “Aku antar deh ke stasiun.”
Maka dengan malas-malasan aku mengikutiku Indah ke tempat parkir untuk mengambil sepeda motor matiknya.
“Eh. Kita keluar lewat mana??” tanyaku tiba-tiba.
“Ya lewat depan dong, Cha,” jawab Indah enteng.
“Kalau dicegat satpam gimana??”
“Udah deh, beres. Serahin sama Indah.”
Dan seperti dugaanku, satpam sekolah mencegat kami berdua.
“Berhenti, berhenti,” cegat Pak Burhan, satpam sekolah. “Mau kemana, dek??”
“Ada urusan keluarga, Pak Burhan,” jawab Indah.
“Udah ijin sama kepala sekolah??”
“Sudah pak. Sudah diijinkan,” jawab Indah bohong.
Lalu Pak Burhan membuka gerbang jalan dan mempersilakan kami berdua melewatinya.
“Jangan ngebut di jalan, Dek!” pesan Pak Burhan.
***
Dari kompleks sekolah kami, jarak yang ditempuh untuk mencapai Stasiun Jombang sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja kami terjebak macet. Indah pun terpaksa mengendarainya pelan-pelan meskipun seringkali sepeda motor matiknya tidak bisa berjalan keman-mana. Belakangan kami ketahui bahwa jalan-jalan utama ditutup oleh polres Jombang karena adanya unjuk rasa besar oleh serikat buruh sebagai solidaritas terhadap pedagang kaki lima yang akan digusur oleh pemerintah daerah yang kemarin sempat terlibat bentrok dengan polisi.
Pukul setengan sepuluh kami berdua akhirnya tiba di depan Stasiun Jombang. Indah cepat-cepat menyuruhku masuk ke dalam, sedangkan ia mencari tempat untuk memarkir sepedanya. Aku pun berlari ke dalam ruang tunggu, lalu berhenti untuk mencari-cari sosok Doni di dalamnya, namun hasilnya nihil. Hatiku pun diliputi keresahan, khawatir takkan menemukan Doni di stasiun ini. Setelah Indah masuk ke dalam ruang tunggu, kami berdua memutuskan mencari bersama-sama di segala sudut. Dan dengan kedua mata Indah yang lebih awas, ia yang pertama kali menemukan sosok Doni. Doni ternyata sudah berada di dalam ruang tunggu kereta.
“Cha, itu dia!” seru Indah. “Ayo kita hampiri!”
Kami berdua pun berteriak memanggil Doni, namun yang bersangkutan tidak bergeming sama sekali. Aku pun mencari-cari akses masuk ruang tunggu kereta. Hanya ada satu akses masuk ke sana, dan dijaga oleh seorang satpam muda. Ketika aku mencoba masuk, satpam muda itu menghalangiku.
“Kalau mau masuk harus tunjukkan tiket dulu,” terang satpam muda itu.
“Wah kita bukan penumpang, Mas,” seruku.
“Kita cuma mau ketemu sama dia,” timpal Indah sambil menunjuk Doni yang sedang duduk di kursi tunggu. Terlihat semakin jelas Doni memakai headset berwarna putih di telinganya.
“Ya tetap enggak bisa, mba,” larang satpam muda. “Harus beli tiket dulu.”
Aku pun berteriak-teriak memanggil nama Doni, dan satpam itu melarangku berteriak dengan hardikan cukup tegas. Semua orang yang mendengarnya melihat ke arah kami.
“Mas, boleh bicara sebentar?” ujar Indah pada satpam muda itu.
Satpam muda itu mengangguk dan mengikuti Indah. Mereka berdua terlibat percakapan yang tak terdengar olehku di sudut stasiun. Dan mereka berdua pun kembali.
“Ya sudah, kalian berdua boleh masuk,” kata satpam muda itu.
“Terimakasih, Mas!” sahut aku dan Indah berbarengan.
Kami pun menghampiri Doni dan Doni terlihat terkejut tak percaya melihat kami berdua. Ia pun berdiri dan mendekat ke arah kami.
“Icha?!” serunya tak percaya.
“Doni,” timpalku dengan senyum yang penuh kelegaan.
“Kamu kok enggak bilang....”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba Doni memelukku.
Waktu seperti berhenti ketika ia mendekapku. Aku bisa merasakan tubuh Doni yang hangat dan debaran jantungku yang tiba-tiba menjadi cepat. Lalu tanpa ada perintah, tubuhku bergerak otomatis untuk membalas dekapannya. Tubuhku menarik tubuhnya lebih dekat. Mataku terpejam merasakan bulih-bulih air mata keluar semakin deras. Aku tak tau berapa lama ia mendekapku, rasanya ingin terus saja seperti ini selamanya.
Ketika Doni akhirnya melepas dekapannya, tangisku pun pecah merajuknya untuk jangan pergi. Ia hanya diam saja melihatku dengan perasaan serba salah.
Kereta yang ditunggu-tunggu telah datang. Gerbong-gerbong berbaris rapi di atas rel. Penumpang yang berniat turun di Jombang segera berdesakan keluar gerbong menuju jalan keluar stasiun. Lalu penumpang yang akan berangkat pun juga berdesak-desakan memasuki gerbong. Pengumuman dari pengeras suara semakin membuatku menyadari Doni harus masuk ke gerbong juga mengikuti yang lain karena kereta akan segera berangkat.
“Don, kumohon, jangan pergi...” pintaku padanya.
Ia hanya membalas permintaanku dengan tatapan aku-gak-bisa-gitu-cha.
Kemudian wajah Doni seperti teringat sesuatu. Lalu ia merogoh saku belakang tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah flashdisk kemudian memberikannya padaku.
“Apa ini, Don?” kataku seraya menahan isak tangisku.
“Kamu lihat pas di rumah aja,” jawabnya misterius. “Oke, aku harus berangkat nih, Cha. Jaga diri kamu baik-baik ya.”
Ia pun memelukku sekali lagi, kali ini lebih singkat. Lalu menyalami Indah dan memasuki gerbong kereta. Ia masih berada di pintu gerbong untuk bisa melihatku dan melambaikan tangannya. Aku pun melambaikan tangannya. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku pun ikut tersenyum dan melambaikan tangan lebih bersemangat lagi kepadanya. Klakson panjang kereta dibunyikan, lalu kereta pun perlahan-lahan bergerak ke arah utara membawa orang-orang pada harapan baru.
***
Saat perjalanan pulang, aku dan Indah memutuskan untuk kembali sekolah. Setelah aku memberitahu Indah tentang flashdisk yang diberikan oleh Doni kepadaku, Indah menyarankan untuk membukanya di lab komputer sekolah. Kami pun berhadapan dengan macet kembali, dan kali ini kami berdua melihat beberapa pecahan massa yang berunjuk rasa berkumpul-kumpul di pinggir sepanjang jalan yang kami lewati.
Sesampainya di sekolah, kami bertemu kembali dengan Pak Burhan yang membukakan gerbang jalan dan menginterograsi kami sebentar sebelum Indah menjawab dengan jawaban bohong yang lebih masuk akal. Aku juga berusaha menutupi wajahku yang masih sembab karena isak tangis tadi. Setelah berhasil membohongi Pak Burhan kembali, Indah mengembalikan sepeda motor matiknya kembali di tempat parkir sekolah lalu kami berdua menuju ruang lab komputer.
Sekolah cukup lengang karena seluruh siswa sedang berada di dalam kelas untuk menerima pelajaran. Kami berdua mengendap-ngendap melewati beberapa ruang kelas hingga akhirnya sampai di depan ruang lab. Cukup mudah memasuki ruang lab komputer karena pintunya yang tak terkunci. Ruangannya cukup gelap. Aku pun memilih-milih beberapa komputer untuk dipakai, dan akhirnya memilih sebuah komputer di depan yang biasa digunakan oleh para guru untuk mengajar. Beruntungnya tak ada sandi khusus untuk menjalankannya, jadi aku bisa leluasa menggunakannya dan tak lupa menancapkan flashdisk yang diberikan Doni di lubang USB untuk dibaca oleh komputer.
Indah menarik sebuah kursi dari sudut ruang lab, menaruhnya persis di sebelah kursiku, duduk di atasnya dan memperhatikanku membuka sebuah berkas video yang berada di dalam flashdisk Doni. Lalu sebuah pemutar video terbuka dan menampilkan video berdurasi sepuluh menit.
Di dalam video itu terlihat Doni sedang duduk di sebuah ruangan, kemungkinan besar ruangan itu adalah kamarnya. Ia membawa sebuah gitar dan mulai berbicara di depan kamera.
“Halo, Cha. Pertama, aku mau ucapkan terimakasih karena kamu sudah mau menemaniku seharian kemarin. Dan yang kedua,”—Doni mendehem—“kamu ingat kan waktu itu kamu memintaku untuk bermain gitar? Nah kali ini aku akan bermain buat kamu.”
“Ciyeee,” seru Indah tiba-tiba yang aku balas dengan tatapan apaan-sih-kau.
Kemudian Doni memainkan gitarnya. Gitar akustik bersenar nilon seperti yang sering dipakai oleh pemain-pemain gitar klasik. Ia memetiknya satu persatu menciptakan harmoni bunyi yang indah. Memainkannya pun dengan mengikuti sebuah irama suasana yang teratur dan berganti-ganti, kadang seperti diperlambat lalu iramanya dipercepat tiba-tiba.
“Ini lagunya siapa, Cha? Sepertinya pernah dengar,” tanya Indah pelan.
“Maudy Ayunda,” jawabku pelan, tak mau terganggu fokus mendengarkan bebunyian yang dimainkan Doni.
Doni memainkan Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda lengkap tanpa vokal, namun suasana yang dihasilkan tak kalah jauh dengan aransemen aslinya bahkan berhasil membuat hatiku tentram mendengarnya. Aku pun memutuskan untuk memutar kembali permainan gitar Doni hingga beberapa kali, tak menghiraukan godaan-godaan yang disampaikan Indah.
Baru kusadari bahwa di menit setelah permainan gitar Doni berakhir, ternyata ia kembali berbicara lagi di dalam video itu. Aku pun memutuskan untuk fokus mendengarkannya.
“Oh iya, Cha. Ada yang lupa aku sampaikan,”—Doni berdehem kembali—“sebenarnya kemungkinan besar aku akan kembali ke pulau Jawa lagi setelah lulus SMA. Jadi..”—ada jeda sebelum Doni melanjutkan kalimatnya—“maukah kamu berkenan untuk menungguku saat itu datang? Bila iya, hubungi aku ya Cha.”
Lalu video itu pun berakhir. Aku diam tak percaya dengan pesan yang disampaikan oleh Doni. Perasaan campur aduk antara terkejut, lega dan bahagia menjadi satu. Tiba-tiba saja Indah memelukku dan aku membalas pelukannya.
Tentu saja, aku akan menunggumu.***