Jadi, gadis yang duduk di atas kasur putih di dalam kamarku ini sangat
mengejutkanku akan pengakuannya. Ia mengaku telah melepas keperawanannya tanpa
sepengetahuanku, sahabatnya. Jelas aku berang namun perasaan selanjutnya yang
lebih mengisi dalam hati ialah rasa.. penasaran. Jadi aku memborbardirnya
dengan puluhan pertanyaan seperti ratusan peluru yang ditembakkan senjata mesin
buatan Rusia dalam satu menit. Kapan hal itu berlangsung? Bagaimana
kejadiannya? Kamu bagaimana, tidak apa-apa? Hubungan kalian bagaimana sekarang?
Orang tua sudah tahu? Mengapa aku tak diberitahu dulu? Apakah kalian
melakukannya dengan aman?
Ia menjawabnya dengan sikap santai, sehingga membuat jawaban dan
penjelasan yang keluar dari mulutnya menimbulkan kejutan-kejutan yang makin
membuatku bertambah penasaran. Tak ada rasa sesal yang tergambar dalam raut
wajahnya, hanya ada rasa bahagia saat ia berusaha membagi kebahagiaannya
denganku, sahabatnya ini.
Ia mengaku memutuskan bercinta pertama kali dengan kekasihnya satu
bulan yang lalu. Di sebuah kamar kos sempit dengan satu lemari dan kasur, si gadis
bercinta dengan kekasihnya, seorang anak kampung yang cukup beruntung bisa
hidup di kota besar sebagai pekerja kelas menengah. Lalu aku mendengar
ceritanya diterangkan dengan detil seolah-olah sahabatku ini tidak risih sama
sekali untuk menceritakannya. Sedangkan diriku merasa sedikit risih, namun
penasaran.
“Kami pertama-tama saling berciuman, ia menciumku dengan penuh nafsu
sehingga mulutnya menjadi basah oleh cairan salivanya. Kedengarannya
menjijikkan, namun aku suka, sehingga membalas ciumannya dengan penuh nafsu
juga. Hei, aku juga gugup tau. Bercinta untuk pertama kali membuat siapa saja
pasti akan gugup, lagipula melakukan hal apapun untuk pertama kalinya juga
pasti akan digerogoti oleh rasa grogi. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu dan
aku menghentikan ciuman penuh nafsunya.”
Aku bertanya apa yang terjadi, namun sahabatku itu tak menggubrisnya
malah ia minta minum kepadaku. Ia ngotot bersikap diam, meski aku sudah
merayu-rayu untuk melanjutkan kisahnya. Dengan terpaksa aku menuruti
kemauannya, apalagi ia mengancamku tak melanjutkan ceritanya sebelum ada
minuman. Aku pun bergegas bangkit dari kasur menuju pintu kamar, tak lupa
menanyakan minuman kemauannya. Sahabatku itu menjawab terserah, lalu aku
menawarinya minuman cokelat yang dijual di depan kompleks rumah, dia berseru
setuju.
Penjual minuman cokelat itu adalah tetanggaku, seorang lelaki muda
yang ingin bekerja dengan alat produksinya sendiri sehingga ia memiliki surplus
dari hasil pertukaran kerjanya sendiri. Yah, setidaknya ia belum menjadi
kapitalis. Namun setelah aku duduk di dekat kedai kecilnya, aku baru menyadari
usahanya adalah sebuah waralaba merek lokal, aku sangsi bila ia memiliki
sepenuhnya surplus dari hasil kerjanya. Sudah pasti ia adalah kelas buruh yang
menjual tenaganya pada majikan, secara tidak sadar. Kapitalisme memang canggih
rupanya.
Aku memesan dua gelas cokelat dingin dengan rasa mint setelah si penjual—tetanggaku
ini merekomendasikannya sebagai ‘best seller’—entah apa artinya. Selagi ia
melembutkan es batu dan mencampur bubuk cokelat dengan blender, aku membenarkan
letak kacamataku dan bercerita kepadanya bahwa teman-teman kuliahku rata-rata
membuka usaha minuman sepertinya. Oh, benarkah, mbak? Katanya, ia pun menjelaskan
bahwa minuman-minuman seperti ini sedang menjadi tren dan ramai diminati.
Karena penjelasannya itu, menurutku ia secara tidak langsung mendukung adanya
tuntutan pasar. Bisa saja, ketika pasar menuntut produksi cokelat lebih besar,
mungkin sawah-sawah, hutan-hutan sagu penghasil pangan bisa saja disulap
menjadi kebun cokelat dan akhirnya hasil pangan minim lalu terjadi bencana
kelaparan. Aku teringat pemerintah Hindia Belanda—iya, pemerintah kolonial
jaman dahulu itu melakukan hal yang persis dan berakibat seperti itu, namun aku
lupa detilnya. Bila dibandingkan dengan menjamurnya kedai-kedai kecil minuman
cepat saji seperti ini, pikiranku sepertinya berlebihan.
Dua gelas plastik berisi cokelat dingin disodorkan kepadaku. Aku
menerimanya dan tak lupa mengucap terimakasih kepada lelaki muda itu. Matahari
siang hari memaksaku bergegas menuju ke rumah, langkah-langkahku cepat seperti
program auto-pilot, mencari jalan ke rumah yang lebih teduh. Kemudian
angan-anganku memikirkan lanjutan cerita sahabatku. Tebakanku, ia mengingatkan
kekasihnya untuk memakai kondom dan bila kekasihnya mengeluh, ia akan
berceramah tentang hubungan seks yang aman ditambah bercerita kisah horor
penyakit-penyakit menular dari kegiatan bercinta.
Ternyata tebakanku benar. Setelah ia menyeruput cokelat dingin, ia
bercerita bagaimana ia merayu kekasihnya untuk memakai pengaman. “Sampai dimana
tadi? Oh iya, aku teringat aku harus melakukan percintaan dengan aman. Aku pun
meminta kekasihku untuk memakai pengaman. Pengaman yang mana katamu? Baiklah,
itu kondom untuk lelaki. Tetapi jangan memulai bertanya mengapa tidak aku saja
yang memakai kondom untuk perempuan, aku hanya ingin yang lebih praktis,
lagipula aku tak pernah menemukan kondom untuk perempuan dijual bebas. Oke,
mungkin lain kali aku akan mencobanya.
“Bagaimana reaksi kekasihku? Ya, seperti yang aku duga ia mengeluh. ‘Kenapa
harus pakai kondom sih? Rasanya gak bakal enak, sayang.’ Ya ampun, aku hampir
saja frustasi mendengarnya. Lalu aku menjelaskan alasannya dengan berusaha
sabar, selain karena alasan klise seperti kehamilan yang tak direncakan, aku
bercerita kisah horor tentang hantu-hantu bernama IMS, infeksi menular seksual.
Aku bertanya padanya tentang raja singa. Ia menggeleng tidak tahu. Lalu aku pun
menjelaskan sekenanya bahwa penyakit itu pertama-tama berupa luka kecil pada
kelamin dan yang paling akhir ia akan mengakibatkan kelumpuhan dan kebutaan.
Lalu aku bertanya tentang kencing nanah, lelaki ini, kekasihku dengan harga
diri terluka menggeleng kembali atas ketidak tahuannya. Lalu aku bertanya
tentang herpes, HIV dan bakteri dan virus lainnya yang mengakibatkan IMS karena
tidak melakukan percintaan dengan aman. Kekasihku pun terlihat frustasi dan berkata,
‘Baiklah baiklah, sudah cukup cerita tentang penyakit ini, sayang. Aku akan
memakai kondom, kalau itu maumu..’ Aku langsung menyela dan memprotesnya dengan
alasan acuh tak acuh seperti itu. Aku mengingatkan, alasan memakai pengaman
bukan karena kemauanku, tetapi karena kita berdua ingin terhindar dari
resiko-resiko yang tak diinginkan. Ia hanya mengiyakan protesku, ‘Baiklah,
sayang. Tetapi di kamarku tak tersedia kondom. Lagipula aku tak punya uang yang
cukup untuk membelinya.’ Aku pun mengusulkan untuk patungan, dan kekasihku
menyetujuinya. Ia lalu bergegas membeli kondom di apotik terdekat.”
Sahabatku itu meminum cokelat dinginnya kembali. Dan aku menatapnya
dengan tatapan
kenapa-kamu-menghentikan-ceritamu-aku-tak-sabar-menanti-lanjutannya, dan ia
menoleh sekilas dengan tolehan
sabar-sahabatku-aku-ingin-mencicipi-wafer-yang-ibumu-beri-ini. Sebatang wafer
dari dalam toples tabung ia ambil dan mengunyahnya dalam mulut, ketika habis ia
mengambil kembali dari toples dan memasukkan wafer yang renyah itu ke dalam
mulutnya. Ketika aku akan masuk ke kamar, ibuku memang memanggilku dan
menyuruhku mengambil setoples wafer sisa jajan lebaran di dapur. Sahabatku kini
menyeruput cokelat dinginnya kembali, gelasnya telah basah karena esnya telah
mencair membuat titik-titik air di sekeliling gelasnya, membuat meja juga
dipenuhi oleh air dari es yang mencair itu. Aku pun mengambil serbet dan melap
meja itu agar tidak dipenuhi air sementara sahabatku melanjutkan ceritanya.
“Kekasihku itu telah kembali dari upayanya mencari kondom. Lama sekali
memang aku menunggunya, sekitar setengah jam. Ia datang dan menghampiriku
dengan cerita lucu saat ia membeli barang itu. ‘Aku membelinya di minimarket
terdekat,’ katanya. ‘Tapi ketika aku masuk seorang bapak-bapak juga ikut masuk.
Berjaket, berpakaian gelap dan sedikit mencurigakan. Dia sempat mengelilingi
minimarket lalu aku tersadar ternyata kita berdua mencari barang yang sama,’
“Aku tertawa mendengarnya. ‘Mungkin ia disuruh istrinya membeli
kondom, seperti aku yang dipaksa kekasihku membeli kondom juga,’ tambah
kekasihku itu. Aku tertawa dan menjawab, ‘Aku lebih yakin bapak itu sedang
persiapan ingin jajan,’ dan ia tertawa—kekasihku itu.”
Sahabatku itu kemudian terdiam cukup lama, aku memandangnya dengan
pandangan sudah-begitu-saja-? Ia kemudian menjawab dengan jahil, “Iya, cukup
segitu kisahnya.”
“Lanjutkan ceritanya!” protesku. “Ayo lanjutkan!”
Sahabatku malah tertawa geli melihat perilaku kekanak-kanakan milikku.
Baiklah baiklah, jawabnya akhirnya. Ia pun menceritakan dengan semburat merah
yang perlahan muncul di pipinya dan berusaha berbisik-bisik di telingaku.***