Rabu, 25 Mei 2016

Mundurnya Kegiatan Musik di THGB: Sebuah Refleksi*



Oleh Mochammad IH

Pendahuluan

Musik, menurut hemat penulis adalah salah satu bentuk seni yang dimana adalah sebuah ekspresi kemanusiaan. Jadi seni secara umum dan musik secara khusus, tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia pada umumnya. Erat kaitan musik sebagai bagian dari kemanusiaan bisa dilihat dari contoh bagaimana masyarakat hari ini merevolusi sebuah alat, sebuah aplikasi bernama pemutar musik menjadi lebih canggih dan mutakhir, dari awalnya berupa sebuah pemutar cakram yang besar seperti lemari baju, lalu menjadi lebih kecil hingga bisa digenggam oleh tangan.
Sebagai lembaga pendidikan keimanan dan kemanusiaan yang bernafaskan tassawuf, Tarbiyyah Hifdhul Ghulam wal Banat (selanjutnya disingkat THGB) tak terlepas dari kegiatan bermusik sebagai bagian dari kesenian. THGB bahkan memiliki sejarah panjang dalam membangun kancah permusikan mereka dan membuat ruang-ruang yang membuka untuk mengekspresikan kesenian terutama musik.
Penulis sendiri, semenjak masuk dan mengikuti pendidikan di THGB, merasakan sendiri atmosfir hidup kegiatan bermusik di dalam ruang-ruang ekspresi yang dibangun oleh THGB. Setiap tahun selalu ada kegiatan bermusik yang selalu dinanti, sebuah acara berkonsep lomba yang menghadirkan puluhan peserta dengan keragaman yang sungguh sangat mencengangkan, mulai dari lagu pop yang digilai remaja, musik-musik lucu-lucuan khas muda-mudi, lagu-lagu kritik sosial, hingga musik-musik yang dianggap haram jadah oleh mayoritas namun diam-diam dicintai oleh para pemuja yang malu-malu untuk mengakuinya. Hal ini berlangsung tidak hanya sekali-dua kali saja, namun berkali-kali sepanjang penulis mengenyam pendidikan di Bustan Tsani dan Tsalits.
Kegiatan bermusik yang disebutkan di atas belum termasuk ruang-ruang ekspresi lain diadakan oleh Pondok Pesantren yang kala itu masih bernama Majma’al Bahrain - Shiddiqiyyah, di luar THGB. Ruang-ruang bermusik ini bahkan memiliki sejarah yang lebih panjang dan hadir sebelum penulis berpijak di THGB, penulis hanya bisa menyebutkan beberapa, diantaranya Langen, Parade Musik Shilaturahmi Opshid Seluruh Indonesia dan Jazz Root.
Masa-masa yang penuh gairah ini berlanjut dan berusia lumayan panjang, puncaknya ketika penulis mengenyam pendidikan di Bustan Tsalits, para pemerhati kegiatan bermusik membuka sebuah ruang yang cukup besar untuk edukasi musik berkonsep kegiatan ekstrakulikuler, yang berarti di luar jam sekolah. Puncaknya ketika para peserta ekstrakulikuler ini membuat ruang berekspresi dengan konsep festival musik bertajuk Memperjuangkan Cinta Tanah Air Melalui Seni #1 dan #2. Dua acara inilah yang menurut penulis menjadi titik rekonstruksi dengan apa yang kini dirayakan sebagai Hari Musik THGB.[1]
Tentu saja bila dihubungkan dengan keadaannya sekarang, kegiatan bermusik di lingkungan THGB sungguh mengalami kemunduran secara signifikan, bila tak mau disebut memprihatinkan. Semua yang pernah merasakan gairah kegiatan bermusik yang meletup-letup saat itu, pasti bertanya-tanya dan gelisah: mengapa bisa ruang-ruang yang penuh semangat untuk berkarya itu bisa hilang? Apakah ada sesuatu yang salah? Dimana letak kesalahannya? Untuk menghadapi kegelisahan-kegelisahan hati terhadap masa depan ruang kegiatan musik di THGB, penulis di sini ingin membagikan pandangan penulis berupa beberapa faktor yang menjadi penyebab kemunduran kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini menjadi titik pemicu diskusi yang lebih panjang bagi kita semua untuk masa depan kegiatan bermusik di THGB.

Berkembangnya Stigma Negatif Terhadap Kegiatan Bermusik

Banyak kesaksian dari teman-teman penulis yang peduli terhadap kegiatan bermusik di THGB yang menyampaikan bahwa pihak pengurus sekolah tidak pernah mendukung kegiatan ini. Tapi menurut penulis penolakan dukungan dari pihak pengurus sekolah ini didasari berkembangnya stigma negatif diantara pengurus.
Stigma negatif yang berkembang antara lain, pertama, bahwa kegiatan bermusik oleh siswa-siswi THGB sering disalahgunakan untuk pacaran. Stigma ini muncul dan berkembang ketika kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik sering diadakan pada malam hari, hingga puncaknya timbul kebijakan dari pengurus sekolah dan pesantren untuk memasang jam malam untuk para siswi THGB. Kebijakan ini memukul telak kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik tanpa adanya relokasi waktu dan tawaran solusi dari pemegang kebijakan terkait, yaitu pengurus sekolah.
Kedua, kegiatan bermusik dianggap tidak memiliki faedah yang cukup besar. Jika dibandingkan dengan program-program kursus keterampilan yang berada di dalam kegiatan kokulikuler, kegiatan bermusik mungkin tidak menjamin nilai ekonomis. Namun seperti kisah kesaksian penulis di atas, ditambah dengan banyak sekali alumni-alumni THGB yang dikenal expert di bidang musik, stigma ini menjadi berkontradiksi, kalau tidak mau dibilang tidak masuk akal.
Stigma-stigma negatif ini perlu diluruskan, agar tak ada lagi salah paham. Juga perlu diadakan dialog antara para pemerhati kegiatan bermusik dengan pengurus THGB. Ini semua perlu dilakukan agar terjadi kesepakatan diantara dua pihak.

Biaya Akomodasi yang Kian Tahun, Kian Mahal

Inflasi sejak dulu menjadi musuh bagi perekonomian bagi sebuah negara, apalagi ketika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat, sehingga masyarakat semakin terjepit dengan harga-harga barang yang begitu tak terjangkau[2]. Karena inflasi pun, kebutuhan logistik untuk mengadakan ruang-ruang kesenian pun ikut tak terjangkau. Hal ini menyulitkan para pegiat kesenian dan pengurus sekolah untuk menyusun anggaran, apalagi bila sisi pemasukannya tidak seimbang dengan pengeluaran. Hal ini tidak hanya dialami oleh ruang-ruang kesenian di THGB saja, namun juga dialami oleh ruang-ruang kesenian pada umumnya.
Menurut penulis hal ini cukup bisa diatasi. Mencontoh pada pergerakan musik arus pinggir kontemporer Indonesia yang sangat ramai dibicarakan, ruang-ruang ekspresi musik bisa dibuat, dihidupkan dan dikembangkan dengan lebih sederhana tanpa menguras biaya berlebihan. Seperti memakai tempat yang lebih kecil, dengan sound system yang terlalu besar dan sebagainya. Hal seperti ini biasa mereka lakukan dan pada akhirnya bisa berkembang menjadi lebih besar.[3]

Pelajaran Kesenian yang Tidak Dimasukkan ke Dalam Mata Pelajaran Wajib Sekolah

Bila pelajaran kesenian dimasukkan ke dalam kurikulum wajib sekolah, hal ini merupakan kemajuan dan keberhasilan yang besar yang diperoleh oleh THGB, setidaknya ini sebuah niat yang sangat bagus bila THGB sangat memperhatikan soal kesenian, khususnya musik. Hal ini masih bisa diperdebatkan, misalnya mungkin dengan memasukkan kesenian sebagai kurikulum THGB, mungkin tidak cocok dengan tujuan awal dari pendirian THGB. Namun mengingat sejarah panjang kegiatan berkesenian sepanjang THGB berdiri, hal ini merupakan jawaban bahwa, meminjam istilah dari tema yang sering digunakan oleh ektrakulikuler musik: seni tidak bisa dipisahkan dari THGB.
Penulis berpikir bahwa kita bisa berkaca pada pelajaran olahraga yang telah menjadi kurikulum wajib THGB hari ini. Saat penulis masih mengenyam di Bustanuts Tsalis, tidak pernah ada pelajaran olahraga yang penulis ikuti sebagai kegiatan wajib yang berada pada jam sekolah. Namun setelah setahun kemudian setelah penulis lulus dari Bustanuts Tsalis, pelajaran olahraga masuk dalam jam sekolah. Ini adalah sebuah kemajuan dari THGB, sebuah proses panjang dengan refleksi dan pembaruan yang terus menerus dilakukan. Kesenian pula bakal ikut mewarnai proses ini hingga mencapai sebuah kemajuan baru yang dilakukan oleh THGB, meskipun perlu adanya proses untuk itu. Perlu juga untuk mempelajari kajian historis dari dimasukkannya pelajaran olahraga ke dalam kurikulum THGB. Hal ini mungkin akan dibahas di lain waktu.
Jangan khawatir pada sumber daya manusia untuk mengisi ruang-ruang kesenian bila kesenian  berhasil dimasukkan ke dalam kurikulum THGB. Banyak sekali alumni THGB yang tidak perlu dibuktikan lagi dedikasi dan keilmuannya terhadap kesenian, terutama musik.

Penutup

Demikianlah paparan penulis tentang faktor-faktor kemunduran kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini menjadi titik awal diskusi untuk menemukan titik terang masa depan ruang-ruang kesenian di Tarbiyyah Hifdhul Ghulam wal Banat.
Tulisan ini tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan, untuk itu penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Kemudian penulis sangat berbahagia bila ada yang memberi tanggapan terhadap tulisan ini berupa tulisan juga, sehingga menjadi sebuah diskusi yang menarik diikuti. Bila banyak sekali tanggapan yang masuk terhadap tulisan ini, barangkali bisa dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Semoga Alloh meridho’i semua kerja-kerja kita. Amin. Selamat Hari Musik THGB.***

*Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut Hari Musik THGB pada 26 Sya’ban 1437 H.
Mochammad IH adalah murid Maqoshidil Qur’anil Mubiin angkatan 8 dan anggota Solidaritas Peduli Musik THGB.

Kepustakaan
[1] Hari Musik THGB diperingati tiap tanggal 26 Sya’ban. Yang menjadi dasar dari peringatan ini adalah surat dari Almukarrom Kyai Mochammad Muchtar Mu’thi kepada kepala THGB waktu itu, (alm) bapak Mochammad Munif yang memutuskan untuk menetapkan tanggal 26 Sya’ban sebagai Hari Musik. (Surat ini disimpan dan ditunjukkan kepada penulis oleh (alm) bapak Mochammad Munif).
[2] Ida Muliyati; Rentetan Sejarah Inflasi Indonesia, Jejak Penderitaan Masyarakat Kecil | Redaksi LPM Jurnal Kampus FE Unlam http://redaksijurnalkampus.blogspot.co.id/2014/03/rentetan-sejarah-inflasi-indonesia.html
[3]Lihat Walk the Folk yang diinisiasi oleh Sandi Kalifadani dan Mira Asriningtyas. Gig ini adalah pengembangan dari Folk Afternoon, sedang Folk Afternoon sendiri merupakan sebuah acara musik sederhana yang meniadakan batas antara panggung dan penonton dengan justru membuka ruang bermusik seluas-luasnya: tidak ada bintang tamu, tidak ada sound, tidak perlu kemampuan bermusik yang hebat, dan tidak ada panggung secara resmi. (Titah Asmaning; Walk the Folk: Piknik, Musik, Kisah dan Jalan Kaki; Majalah Cobra http://majalahcobra.com/blog/walk-the-folk-piknik-musik-kisah-dan-jalan-kaki.html )

Kamis, 05 Mei 2016

Soal Printer



Adakah seseorang yang bisa membantu dan menemani saya untuk membeli printer?

Memang printer untuk apa?

Untuk mencetak buku dengan sederhana.

Buku apa?

Bukan buku, terlalu tebal itu. Buku kecil seperti pamflet atau zine. Isinya berupa propaganda gerakan kiri.

Memang printer yang di sekretariat organ pemuda sosial nir-demokrasi itu nda bisa dipakai?

Saya se666an. Soalnya bahan yang mau dicetak banyak sekali dan berkelanjutan. Sebenarnya bisa saja membantu membeli tinta dan barang-barang yang diperlukan, tetapi masalahnya saya tidak dekat dengan administratur-nya.

Bagaimana kalau bertanya sepupumu yang bekerja di TU sekolah itu, barangkali dia bisa membantu?

Boleh dicoba. Mungkin saya akan bertanya tentang printer yang bisa dipakai dan membelinya dimana. Tapi takutnya orang tua tahu soal ini, sedangkan uang yang saya pakai untuk membeli dari orang tua. Ah. Sial.

Kamu parno sekali ya.

Iya nih.

...........

Mungkin barangkali aku minta tolong temanku yang pernah kerja di servis printer itu.

Tapi sepertinya kamu nda yakin gitu.

Iya nih. Sial.***

Minggu, 10 April 2016

Murakami Haruki, Norwegian Wood

A photo posted by MHCMMD IH (@aliasjojoz) on


Di tengah perasaan yang cukup kacau, saya menghabiskan novel yang (kata Bernard Batubara) cukup normal untuk ukuran Haruki Murakami. Isinya padahal cukup depresif dan dipenuhi orang-orang yang 'miring'. Tokoh utamanya memiliki kenalan dan teman-teman yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tokoh-tokoh di dalamnya juga gak bisa disebut normal.

Sepertinya ini sastra Jepang pertama yang saya baca (kalau manga tidak boleh disebut dengan karya sastra), meskipun banyak yang bilang Murakami yang ini medioker. Ya tapi saya kan hidup di kota kecil bernama Jombang, lagipula di tahun inilah saya memutuskan untuk serius membaca karya sastra. Kedua, bisa dibilang Norwegian Wood memiliki latar belakang urbansentris. Saya pernah menulis dikotomi antara urbansentris dan bukan sebelumnya di blog ini. Setelah menulis itu, ini mungkin karya urbansentris pertama yang saya baca, atau mungkin Tetralogi Buru itu bisa disebut dengan urbansentris? Karena Mingke hidup di kota, dan karena kelas sosial ia adalah priyayi? Entahlah. Mungkin yang berkompeten bisa menjawabnya.

Ketiga, saya mendengar nama Murakami-san sejak Viny, (((duta kebudayaan))) JKT48 sering menulis tentang karyanya di blognya. Itupun sudah lama, sekitar-1-2 tahun yang lalu. Entah karya Murakami mana saja yang Viny baca, nanti saya googling. Di Jombang sendiri saya hanya mendapati dua karya Murakami, 1Q84 dan Norwegian Wood. Sedangkan 2 karya itu sepertinya tidak menggambarkan surealismenya bliyo. Tapi sepertinya saya tidak ingin membaca Murakami lagi, selain medioker juga karena Eka Kurniawan.

Eka Kurniawan pernah bolak-balik menulis di blognya bahwa bliyo memilih novel secara random untuk dibaca. Alasannya karena dalam dunia sastra ibaratnya seperti skena musik Indonesia hari ini. Ada yang arus utama (mainstream) yang didukung oleh kapital besar dan media, dan ada yang arus pinggir (sidestream) yang cuma didukung oleh kapital kecil. Jadi bila kita membaca sastra (yang di)pinggir(kan), kita mendapati gagasan yang benar-benar berbeda dari pada yang gagasan yang didapatkan oleh orang kebanyakan (karena mereka membaca buku yang sama). Sejak saya menyadari hal ini, mungkin bulan depan saya akan membaca buku-buku yang tak terkenal. Namun terlepas dari hal itu, Eka juga membaca Murakami yang ini (saya pernah membaca ulasannya tentang 1Q84). Dan berat juga kalau dibayangkan menahan godaan untuk tidak membaca sastra yang diomongkan oleh orang-orang, tapi tentu saja saya gak akan membeli Tere Liye.

Btw, padahal saya menulis judulnya Norwegian Wood tapi tulisannya malah curhat. Yasudah gpp. Tabik.***

Jumat, 11 Maret 2016

Rasa Sakit Yang Belum Berakhir


Pendahuluan

Setiap kali melihat postingan mantan yang mesra dengan kekasih barunya, masih saja merasa kecewa, sakit, marah dan berbagai rasa ketika menghadapi kegagalan dalam menghadapi kompetisi. Saya berkali-kali menulis tentang mantan kekasih yang satu ini di blog ini, tapi ijinkanlah kali ini saya membahasnya dengan perspektif (pseudo) ekonomi-politik, tentu saja kekirian.

Kegagalan Cinta Dalam Perspektif Ekonomi Politik


Membahas ia dengan perpektif ekonomi politik adalah hal yang baru menurut saya. Mengingat tulisan-tulisan yang pernah saya terbitkan di blog ini memakai perpektif pickup artist, yang sayangnya ilmu-ilmu pickup artist yang saya pelajari telah luntur semua. Dikarenakan memang sengaja saya melunturkan itu semua karena ilmu itu hadir karena adanya sistem kapitalisme, yang jelas sekali bertentangan dengan ideologi yang saya anut. Oh iya, sekaligus memang karena jarang dipratekkan, tetapi hal ini bukan tanpa alasan.

Memang ilmu-ilmu itu berguna sesekali dalam mengobati kekecewaan-kekecewaan yang seringkali kambuh. Namun karena saya menyadari (dengan perlahan) bahwa ilmu pickup artist itu hanya cocok dengan orang-orang yang sudah bisa mencari duit sendiri atau dalam bahasa libcom: menjual sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bagi manusia yang masih mengenyam pendidikan seperti saya, hal itu tampak mustahil dan kontradiktif.

Pertentangan Kelas


Kaum Marxis percaya dunia manusia ini dibentuk dengan sifat dialektis, pertentangan. Bukan pertentangan biasa, tetapi pertentangan kelas. Kelas yang didiami oleh mantan saya adalah kelas atas, dengan ayah yang berprofesi sebagai kelas birokrat eselon atas. Sedangkan saya berada di lingkungan keluarga kelas birokrat bawah. Ayah saya adalah pensiunan prajurit miskin, yang menurut Aji Prasetyo (salah seorang komikus lokal): mereka (prajurit miskin) ini yang dikorbankan oleh para jendral mereka di garda depan, dan mereka yang merasa mati karena membela negara padahal mah enggak.

Kalau hanya pengkategorian seperti ini, tidak akan ketemu kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan. Menurut Hilmar Farid (sejarawan yang kini menjadi menjadi Dirjen Kebudayaan), harus ada kajian historisnya. Baiklah dengan mengikuti saran bung Farid, mari kita mengungkap kajian historisnya.

Apa yang membuat ayahnya dan ayah saya tidak sama nasibnya? Apa faktornya? Padahal masing-masing mereka adalah kelas birokrat. Apa memang kelas birokrat seperti itu? Bersifat hirarkis dan tidak adil? Selama seminggu ini saya berpikir terus mengenai hal ini. Birokratisme memang bersifat tidak adil.

Lalu mengapa bisa pekerjaan ayah bisa mempengaruhi kebahagiaan anaknya?

Selama ini kegagalan cinta yang saya peroleh saya yakini karena adanya faktor. Hidup di alam kapitalisme membuat kita harus menjual sesuatu untuk memperoleh sesuatu. Bila kita ingin mendapatkan cinta (di dalam alam kapitalisme), komunitas pickup artist yang selalu membedah hal ini meyakini kita harus melakukan metode-metode.

Nah metode-metode ini mengharuskan kita menjual (investasi) waktu kita untuk mendapatkan hasil. Salah satu metode pickup artist yang saya tahu mengharuskan diri kita untuk keluar dan bergaul dengan orang banyak[1]. Yang mana bila kita diharuskan menjual sesuatu untuk mendapatkan sesuatu adalah ciri khas dari kapitalisme[2]. Sedangkan bila saya asyik untuk menjual waktu saya untuk mendapatkan social life-kehidupan sosial maka tak ada waktu yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan hidup saya. Maka dari itu hal ini tidaklah adil mengingat saya belum lagi bekerja (menjual tenaga pada kapitalis untuk mendapat uang) dan sementara ini saya mendapat uang dari orang tua yang tidaklah cukup untuk membiayai modal-modal lain untuk memperkuat daya tawar saya terhadap lawan jenis, perawatan tubuh misalnya.

Menuju Masyarakat Penuh Cinta


Ada dialog yang menarik dalam film Libertarias [1996]. Saat milisi revolusioner wanita Perang Sipil Spanyol (sepertinya Mujeres Liberes) yang berhaluan anarkisme/sosial libertarian menggerebek tempat pelacuran dan menyampaikan orasinya, mereka menegaskan bahwa cinta itu bukan untuk dijual (kapitalisme) tetapi cinta itu bebas. Lalu penegasan itu disambut dengan satir oleh sebagian pelacur bahwa para milisi revolusioner ini memang pelacur tapi bukan untuk uang tetapi dengan gratis.

Kritik yang tidak kompeten ini biarlah menjadi PR bagi para libertarian. Namun bagaimana bayangan para libertarian tentang hubungan masyarakat cinta dan masyarakat komune yang tanpa hirarki dan kelas? Apa pemikiran yang menjadi dasar para libertarian untuk bercinta dalam masyarakat komune?

Saya meyakini hubungan percintaan itu selain untuk reproduksi tetapi juga untuk fun, pleasure, kenikmatan dan main-main[3]. Dalam kehidupan sebelum kapitalisme, dalam masyarakat komune, semua karya seni dan budaya dihasilkan manusia setelah masyarakat komune ini bekerja mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mengisi waktu luang[4]. Lalu pertanyaannya kemudian hubungan percintaan itu apakah kebutuhan hidup manusia atau kebutuhan mengisi waktu luang? Nah pertanyaan ini membutuhkan hal objektif sebagai alat untuk menjawabnya dengan benar.

Penutup


Bahwa kesialan dalam kegagalan cinta memanglah berasal karena sistem kapitalisme menjadi langgeng dan hegemonik. Klise memang, toh saya juga iseng untuk menjabarkan penjelasannya. Lalu bila melihat kehidupan masyarakat antitesa kapitalisme, dalam hal ini sosial libertarian/anarkisme jawabannya belum memuaskan. Ditambah kehidupan masyarakat kontemporer tidak ada upaya yang luas untuk menyuntikkan ide-ide sosial libertarian ini. Tulisan ini terbuka untuk dikritik, karena penjabarannya yang pseudo. Semoga menjadi pemicu diskusi yang hangat. Tabik.***



[1] Joe Exorio, Berkenalan Dengan Lawan Jenis | Wikibuku https://id.wikibooks.org/wiki/Berkenalan_dengan_lawan_jenis

[2] libcom.org, Kapitalisme: Sebuah Perkenalan | Jurnal Subjektif http://subyektifzine.blogspot.com/2016/02/kapitalisme-sebuah-perkenalan.html

[3] Nosa Normanda, 5 Alasan Sederhana LGBT Bukanlah Penyakit https://eseinosa.wordpress.com/2016/01/28/5-alasan-sederhana-lgbt-bukan-penyakit/

[4] Martin Suryajaya, Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris | IndoProgress http://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/

Rabu, 17 Februari 2016

Gadis yang Bercinta Untuk Pertama Kali



 Jadi, gadis yang duduk di atas kasur putih di dalam kamarku ini sangat mengejutkanku akan pengakuannya. Ia mengaku telah melepas keperawanannya tanpa sepengetahuanku, sahabatnya. Jelas aku berang namun perasaan selanjutnya yang lebih mengisi dalam hati ialah rasa.. penasaran. Jadi aku memborbardirnya dengan puluhan pertanyaan seperti ratusan peluru yang ditembakkan senjata mesin buatan Rusia dalam satu menit. Kapan hal itu berlangsung? Bagaimana kejadiannya? Kamu bagaimana, tidak apa-apa? Hubungan kalian bagaimana sekarang? Orang tua sudah tahu? Mengapa aku tak diberitahu dulu? Apakah kalian melakukannya dengan aman?

Ia menjawabnya dengan sikap santai, sehingga membuat jawaban dan penjelasan yang keluar dari mulutnya menimbulkan kejutan-kejutan yang makin membuatku bertambah penasaran. Tak ada rasa sesal yang tergambar dalam raut wajahnya, hanya ada rasa bahagia saat ia berusaha membagi kebahagiaannya denganku, sahabatnya ini.

Ia mengaku memutuskan bercinta pertama kali dengan kekasihnya satu bulan yang lalu. Di sebuah kamar kos sempit dengan satu lemari dan kasur, si gadis bercinta dengan kekasihnya, seorang anak kampung yang cukup beruntung bisa hidup di kota besar sebagai pekerja kelas menengah. Lalu aku mendengar ceritanya diterangkan dengan detil seolah-olah sahabatku ini tidak risih sama sekali untuk menceritakannya. Sedangkan diriku merasa sedikit risih, namun penasaran.

“Kami pertama-tama saling berciuman, ia menciumku dengan penuh nafsu sehingga mulutnya menjadi basah oleh cairan salivanya. Kedengarannya menjijikkan, namun aku suka, sehingga membalas ciumannya dengan penuh nafsu juga. Hei, aku juga gugup tau. Bercinta untuk pertama kali membuat siapa saja pasti akan gugup, lagipula melakukan hal apapun untuk pertama kalinya juga pasti akan digerogoti oleh rasa grogi. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu dan aku menghentikan ciuman penuh nafsunya.”

Aku bertanya apa yang terjadi, namun sahabatku itu tak menggubrisnya malah ia minta minum kepadaku. Ia ngotot bersikap diam, meski aku sudah merayu-rayu untuk melanjutkan kisahnya. Dengan terpaksa aku menuruti kemauannya, apalagi ia mengancamku tak melanjutkan ceritanya sebelum ada minuman. Aku pun bergegas bangkit dari kasur menuju pintu kamar, tak lupa menanyakan minuman kemauannya. Sahabatku itu menjawab terserah, lalu aku menawarinya minuman cokelat yang dijual di depan kompleks rumah, dia berseru setuju.

Penjual minuman cokelat itu adalah tetanggaku, seorang lelaki muda yang ingin bekerja dengan alat produksinya sendiri sehingga ia memiliki surplus dari hasil pertukaran kerjanya sendiri. Yah, setidaknya ia belum menjadi kapitalis. Namun setelah aku duduk di dekat kedai kecilnya, aku baru menyadari usahanya adalah sebuah waralaba merek lokal, aku sangsi bila ia memiliki sepenuhnya surplus dari hasil kerjanya. Sudah pasti ia adalah kelas buruh yang menjual tenaganya pada majikan, secara tidak sadar. Kapitalisme memang canggih rupanya.

Aku memesan dua gelas cokelat dingin dengan rasa mint setelah si penjual—tetanggaku ini merekomendasikannya sebagai ‘best seller’—entah apa artinya. Selagi ia melembutkan es batu dan mencampur bubuk cokelat dengan blender, aku membenarkan letak kacamataku dan bercerita kepadanya bahwa teman-teman kuliahku rata-rata membuka usaha minuman sepertinya. Oh, benarkah, mbak? Katanya, ia pun menjelaskan bahwa minuman-minuman seperti ini sedang menjadi tren dan ramai diminati. Karena penjelasannya itu, menurutku ia secara tidak langsung mendukung adanya tuntutan pasar. Bisa saja, ketika pasar menuntut produksi cokelat lebih besar, mungkin sawah-sawah, hutan-hutan sagu penghasil pangan bisa saja disulap menjadi kebun cokelat dan akhirnya hasil pangan minim lalu terjadi bencana kelaparan. Aku teringat pemerintah Hindia Belanda—iya, pemerintah kolonial jaman dahulu itu melakukan hal yang persis dan berakibat seperti itu, namun aku lupa detilnya. Bila dibandingkan dengan menjamurnya kedai-kedai kecil minuman cepat saji seperti ini, pikiranku sepertinya berlebihan.

Dua gelas plastik berisi cokelat dingin disodorkan kepadaku. Aku menerimanya dan tak lupa mengucap terimakasih kepada lelaki muda itu. Matahari siang hari memaksaku bergegas menuju ke rumah, langkah-langkahku cepat seperti program auto-pilot, mencari jalan ke rumah yang lebih teduh. Kemudian angan-anganku memikirkan lanjutan cerita sahabatku. Tebakanku, ia mengingatkan kekasihnya untuk memakai kondom dan bila kekasihnya mengeluh, ia akan berceramah tentang hubungan seks yang aman ditambah bercerita kisah horor penyakit-penyakit menular dari kegiatan bercinta.

Ternyata tebakanku benar. Setelah ia menyeruput cokelat dingin, ia bercerita bagaimana ia merayu kekasihnya untuk memakai pengaman. “Sampai dimana tadi? Oh iya, aku teringat aku harus melakukan percintaan dengan aman. Aku pun meminta kekasihku untuk memakai pengaman. Pengaman yang mana katamu? Baiklah, itu kondom untuk lelaki. Tetapi jangan memulai bertanya mengapa tidak aku saja yang memakai kondom untuk perempuan, aku hanya ingin yang lebih praktis, lagipula aku tak pernah menemukan kondom untuk perempuan dijual bebas. Oke, mungkin lain kali aku akan mencobanya.

“Bagaimana reaksi kekasihku? Ya, seperti yang aku duga ia mengeluh. ‘Kenapa harus pakai kondom sih? Rasanya gak bakal enak, sayang.’ Ya ampun, aku hampir saja frustasi mendengarnya. Lalu aku menjelaskan alasannya dengan berusaha sabar, selain karena alasan klise seperti kehamilan yang tak direncakan, aku bercerita kisah horor tentang hantu-hantu bernama IMS, infeksi menular seksual. Aku bertanya padanya tentang raja singa. Ia menggeleng tidak tahu. Lalu aku pun menjelaskan sekenanya bahwa penyakit itu pertama-tama berupa luka kecil pada kelamin dan yang paling akhir ia akan mengakibatkan kelumpuhan dan kebutaan. Lalu aku bertanya tentang kencing nanah, lelaki ini, kekasihku dengan harga diri terluka menggeleng kembali atas ketidak tahuannya. Lalu aku bertanya tentang herpes, HIV dan bakteri dan virus lainnya yang mengakibatkan IMS karena tidak melakukan percintaan dengan aman. Kekasihku pun terlihat frustasi dan berkata, ‘Baiklah baiklah, sudah cukup cerita tentang penyakit ini, sayang. Aku akan memakai kondom, kalau itu maumu..’ Aku langsung menyela dan memprotesnya dengan alasan acuh tak acuh seperti itu. Aku mengingatkan, alasan memakai pengaman bukan karena kemauanku, tetapi karena kita berdua ingin terhindar dari resiko-resiko yang tak diinginkan. Ia hanya mengiyakan protesku, ‘Baiklah, sayang. Tetapi di kamarku tak tersedia kondom. Lagipula aku tak punya uang yang cukup untuk membelinya.’ Aku pun mengusulkan untuk patungan, dan kekasihku menyetujuinya. Ia lalu bergegas membeli kondom di apotik terdekat.”

Sahabatku itu meminum cokelat dinginnya kembali. Dan aku menatapnya dengan tatapan kenapa-kamu-menghentikan-ceritamu-aku-tak-sabar-menanti-lanjutannya, dan ia menoleh sekilas dengan tolehan sabar-sahabatku-aku-ingin-mencicipi-wafer-yang-ibumu-beri-ini. Sebatang wafer dari dalam toples tabung ia ambil dan mengunyahnya dalam mulut, ketika habis ia mengambil kembali dari toples dan memasukkan wafer yang renyah itu ke dalam mulutnya. Ketika aku akan masuk ke kamar, ibuku memang memanggilku dan menyuruhku mengambil setoples wafer sisa jajan lebaran di dapur. Sahabatku kini menyeruput cokelat dinginnya kembali, gelasnya telah basah karena esnya telah mencair membuat titik-titik air di sekeliling gelasnya, membuat meja juga dipenuhi oleh air dari es yang mencair itu. Aku pun mengambil serbet dan melap meja itu agar tidak dipenuhi air sementara sahabatku melanjutkan ceritanya.

“Kekasihku itu telah kembali dari upayanya mencari kondom. Lama sekali memang aku menunggunya, sekitar setengah jam. Ia datang dan menghampiriku dengan cerita lucu saat ia membeli barang itu. ‘Aku membelinya di minimarket terdekat,’ katanya. ‘Tapi ketika aku masuk seorang bapak-bapak juga ikut masuk. Berjaket, berpakaian gelap dan sedikit mencurigakan. Dia sempat mengelilingi minimarket lalu aku tersadar ternyata kita berdua mencari barang yang sama,’

“Aku tertawa mendengarnya. ‘Mungkin ia disuruh istrinya membeli kondom, seperti aku yang dipaksa kekasihku membeli kondom juga,’ tambah kekasihku itu. Aku tertawa dan menjawab, ‘Aku lebih yakin bapak itu sedang persiapan ingin jajan,’ dan ia tertawa—kekasihku itu.”

Sahabatku itu kemudian terdiam cukup lama, aku memandangnya dengan pandangan sudah-begitu-saja-? Ia kemudian menjawab dengan jahil, “Iya, cukup segitu kisahnya.”

“Lanjutkan ceritanya!” protesku. “Ayo lanjutkan!”

Sahabatku malah tertawa geli melihat perilaku kekanak-kanakan milikku. Baiklah baiklah, jawabnya akhirnya. Ia pun menceritakan dengan semburat merah yang perlahan muncul di pipinya dan berusaha berbisik-bisik di telingaku.***