Oleh Mochammad IH
Kadang hidup itu kita jalani dengan penuh rasa optimis.
Meskipun kita tak tau apa hasil kerja kita dalam menjalani hidup, namun hal-hal
itulah yang membuat kita merasa menjadi manusia sepenuhnya. Seperti itu gambaran
perasaan Falah ketika ia diberitahu salah seorang temannya bahwa ia dipanggil
menghadap Bu Veti, salah seorang pengurus harian sekolah. Selama berjalan
menuju ke kantor, ia bertanya-tanya dalam urusan apakah ia dipanggil menghadap?
Falah menyusuri jalanan beraspal yang menghubungkan kelasnya
dengan kantor sekolah. Sementara ia berjalan, awan berusaha menutupi sinar
matahari yang menyengat sejak siang hari. Namun bukannya hawa dingin yang Falah
rasakan, namun udara panas semakin membuatnya kegerahan.
Kemungkinan akan hujan seperti kemarin, pikir si pemuda.
Falah sempat terjebak tak bisa beranjak pulang dari sekolahnya karena hujan
yang begitu deras mengguyur hingga maghrib. Seandainya ia bersekolah pada pagi
hari, mungkin sore hari ia bisa bergumul dengan selimut bila hujan deras
seperti itu, namun sayang Falah bersekolah pada siang hari dan pulang setengah
jam sebelum adzan Maghrib berkumandang. Hal yang tidak bisa diganggu gugat,
mengingat keterbatasan pihak pengelola sekolah mengatasi jumlah murid yang ada
dengan kapasitas gedung yang mereka memiliki. Bahkan, salah seorang gurunya
berpendapat bahwa siang hari tidak baik untuk digunakan belajar-mengajar tidak
bisa melakukan apa-apa untuk sekedar menyuarakan pembangunan gedung baru yang
lebih banyak.
Dan tibalah si pemuda di depan kantor sekolah. Falah segera
berjalan di undakan beton bertingkat berkeramik merah bata, sesampainya di
undakan terakhir ia mencopot sepatu beserta kaus kakinya. Sebelum masuk, pemuda
itu mengecek penampilannya. Seragam kuning-hijaunya yang telah rapi itu ia
rapikan lagi, kopyah hitamnya ia copot lalu ia pasang kembali dengan rapi.
Sayang tidak ada cermin untuk memastikan wajahnya tidak kusam. Namun keringat
tubuhnya karena gerah tak membuat si pemuda nyaman, namun untungnya ia
merangkap bajunya dengan kaos oblong sehingga ia mempercayakan bau keringat
tubuhnya pada kain katun itu.
Dengan penuh rasa segan, Falah mulai masuk ke kantor untuk
menemukan orang yang mencarinya. Ia bertanya beberapa kali pada orang
dewasa—kebanyakan gurunya yang berpapasan padanya dimana perempuan yang perlu
ia hadapi. Pada akhirnya ia menemukan Bu Veti sedang asyik mengobrol dengan
Mbak Silvi, petugas administrasi muda sekolah. Melihat Falah yang sedang
berdiri menunggu dirinya, Bu Veti mengajaknya untuk masuk ke kantornya.
Kantor? Falah ragu bila ruangan itu disebut kantor. Sebuah
ruangan sempit dengan satu buah meja, ruangan ini berbatasan langsung dengan
ruang guru yang hanya dibatasi oleh sebuah lemari besar berisi berkas-berkas
sekolah sebagai sekatnya.
Di situlah Falah dan Bu Veti duduk saling berhadapan. Bu
Veti membenarkan kerudung kuningnya yang seperti selendang itu, beliau menatap
dalam mata Falah sehingga pemuda yang ditatapnya bergidik.
“Kamu pengurus mading sekolah kan, Falah?” tanya Bu Veti.
“Iya, Bu,” jawab Falah singkat.
Tanpa basa-basi, Bu Veti langsung mengungkapkan maksudnya. “Mulai
sekarang, tiap mau penerbitan terlebih dahulu kamu kirim ke saya. Biar saya
koreksi.”
Falah terdiam sesaat tak percaya, namun cepat-cepat mengiyakan
perkataan gurunya itu. Melihat gelagat keraguan muncul dari wajah si pemuda, Bu
Veti kemudian menjelaskan bahwa hal ini dipintanya sebagai hal yang perlu
dilakukan mengingat pemuda-pemudi seperti Falah dan kawan-kawannya di
kepengurusan majalah dinding sekolah perlu dibimbing agar hasil tulisan mereka
semakin berkualitas.
“Bayangkan, nak. Masak artikel yang tidak jelas bukti dan
kebenarannya kalian masukkan dan dibaca oleh teman-temanmu yang lain? Apalagi
tulisan-tulisan yang berbahaya, yang mengandung ajaran fundamentalis, ajakan
makar menolak agama. Nah, hal seperti inilah yang kita perlu dibenahi,
setidaknya kaidah-kaidah jurnalistik yang baik dan benar sudah terpenuhi.
Apalagi kita kan berada di lingkungan Pesantren, jadi usahakan menerbitkan yang
ada kaitannya dengan pendidikan di sinilah.
“Tapi jangan dikira kita sebagai lembaga sensor. Bukan
begitu, nak. Saya paham demokrasi dan kebebasan berpendapat. Saya inginnya
membimbing kalian agar lebih baik lagi.”
Banyak hal yang Falah tak paham benar dengan perkataan
gurunya itu. Apa itu ajaran fundamentalis? Makar? Menolak agama? Kaidah-kaidah
jurnalistik yang benar seperti apa? Lembaga sensor itu apa? Demokrasi?
Kebebasan berpendapat? Apa hubungannya? Begitulah pikirannya berputar-putar
sejak Falah berpamitan pada guru pembimbing baru kawan-kawannya itu sampai ia
pulang sekolah. Falah tak sempat bertanya karena ia segan, toh baru pertama
kali ini ia berhubungan dengan Bu Veti secara langsung. Harusnya ia bertanya.
***
Di depan kelas, tiga orang remaja berkumpul. Satu perempuan
dan dua laki-laki. Falah yang terlihat bersama dua orang lainnya mengucapkan
sesuatu kepada dua remaja lainnya. Tidak jelas apa yang dikatakannya, namun
sesaat kemudian Falah memimpin mereka berdua berjalan menjauhi kelas menuju
sebuah gapura.
Gapura itu memiliki tempat yang sering digunakan oleh
siswa-siswi untuk duduk-duduk dan berkumpul saat jam istirahat seperti ini.
Matahari tak bisa mengganggu mereka untuk bercengkrama saat sore seperti ini
karena sinarnya terhalang oleh gapura tersebut. Itulah alasan mereka betah
berlama-lama di sini, bahkan ketika bel tanda jam istirahat telah selesai,
mereka masih asyik bersantai dan tak bergeming.
Tempat itu lumayan penuh, rata-rata perempuan berseragam
sekolah dan berkerudung yang duduk di situ. Ketiga remaja itu memilih tempat
yang cukup longgar untuk diisi oleh mereka. Tutus, satu-satunya perempuan di
kelompok mereka memulai percakapan. Ia mengeluhkan susahnya mendapat narasumber
untuk salah satu rubrik yang akan ditulisnya.
“Mereka itu rata-rata nggak mau diwawancarai,” keluh Tutus
seraya merapikan kerudungnya. “Nggak tau kenapa.”
“Mereka takut kali,”
sambar Fian. “Kamu kan orangnya suka gigit.”
Fian dan Falah kompak tertawa, Tutus pun langsung memandang
sinis pada Fian. “Gitu ya.”
“Sudah. Sudah,” Falah menengahi mereka. “Aku ada berita
untuk kalian berdua.”
Dan pemuda itu pun menjelaskan tentang pertemuannya dengan Bu
Veti dan rencana gurunya itu untuk membimbing mereka.”Bu Veti ingin para
pengurus mading—kita bisa ditingkatkan lagi kualitasnya dalam ilmu jurnalistik
dan kepenulisan.”
“Aku malah jadi ingat Orde Baru, Lah.” Falah dan Tutus
menoleh ke arah Fian. “Kamu tau nggak, Departemen Penerangan?”
“Kementerian Penerangan maksudmu, Yan?” tanya Tutus.
“Hmm. Aku tepatnya nggak tahu nama lembaga jaman Orde Baru
itu, tapi ada kata Penerangan di dalamnya,” jelas Fian. “Tapi lembaga itu
menjadi film horror bagi para penerbitan dan jurnalis. Mulai dari penyensoran,
perijinan bahkan pembredelan, semua dilakukan sama lembaga itu.”
Fian pun menceritakan kasus-kasus pembredelan yang terjadi
saat rezim Orde Baru setaunya. Ia tak ingin kepengurusan mading sekolah menjadi
bulan-bulanan oleh sifat otoriter pengurus sekolah, meskipun dalam lingkup yang
kecil.
“Yah, aku sih masih tahap kecurigaan,” ujar Fian lagi. “Aku
khawatir kita gak bisa lagi menyuarakan hal-hal yang perlu kita suarakan lewat
mading.”
Fian pun mengingatkan kembali pada kejadian beberapa waktu
lalu, tulisan yang diunggah olehnya mengkritisi kebijakan peraturan sekolah
mengakibatkan polemik yang cukup besar di sekolah. Hal ini menjadi perbincangan
yang hangat bahkan hampir memanas antara murid-murid dan pihak sekolah. Dan
akhirnya memaksa pihak sekolah membuat sosialisasi tentang peraturan tersebut,
agar peolemik yang sedang terjadi tak berlarut-larut dan mengganggu proses
belajar-mengajar.
“Tapi Bu Veti tidak ada niatan seperti itu, Yan,” bela
Falah. “Yah, meskipun beliau memang termasuk yang paling murka dengan tulisanmu
itu.
“Tapi aku percaya beliau seperti editor dalam sebuah
penerbitan buku, dimana tugasnya untuk menyempurnakan sebuah buku hasil karya
penulis. Jangan dipandang seperti produser musik yang hanya membuat lagu yang
bisa diterima pasar. Kita kan dalam lingkup wilayah sekolah, kita bukan
pebisnis yang mencari untung.”
“Terserah deh,” ujar Fian mengakhiri perdebatan.
Setelah itu mereka terdiam cukup lama. Fian lalu memandang
Tutus. “Menurutmu gimana, Tus?” tanya Fian akhirnya. “Kamu kan orangnya selalu
jadi pihak yang netral diantara kita berdua.”
“Iya, kamu juga perempuan sendiri di sini, dimana suara kamu
juga harus didengar. Kita kan gak mau melestarikan budaya patriarki di tubuh
kepengurusan mading,” sambung Falah.
“Apanya yang gak melestarikan patriarki! Kalian berdua
bahkan nggak menyadari kalo aku ada di sini!” protes Tutus. “Dasar patriarkis!”
Mereka bertiga kompak tertawa. “Ya sudah, kita berdua nurut
aja deh sama keputusanmu.”
“Setuju, Yan. Jadi putuskan, Tus. Kita ikuti peraturannya Bu
Veti atau kita jalan seperti biasanya?”
Perempuan yang ditodong keputusan pun terlihat berpikir.
Tutus merasa jika mereka membangkang, maka ada resiko di belakangnya yang ia
bayangkan akan mengerikan. Lalu jika ia mengikuti saran Falah, ia takut hal
yang ditakutkan oleh Fian menjadi kenyataan, suara-suara mereka tentang
ketidak-adilan sekolah akan dibisukan. Kemudian ia pun memutuskan untuk mencari
aman dengan mengikuti peraturan baru yang diterapkan oleh salah satu gurunya
itu.
Bel berakhirnya jam istirahat memekik telinga para muda-mudi
berseragam. Ada yang lekas bergegas menuju kelas, tak sedikit pula yang
bertahan di tempatnya berpijak mengharap keajaiban seperti rapat guru yang
mendadak dan mereka diperbolehkan pulang cepat. Namun langit sore bersama awan
Kumulonimbus sedikit demi sedikit memenuhi angkasa membawa kegerahan yang
semakin banyak, tanda akan datangnya hujan.***
Post-Script:
Sebagian besar nama-nama di tokoh ini adalah teman-teman
penulis yang meninggal di usia yang cukup belia. Rest in peace:
Miftahul Falah
Fety Nuryana Sari
Asyirotuz Zumaroh
Chanifian Tauhidi