Kamis, 28 Januari 2016

Jejak Langkah

A photo posted by MHCMMD IH (@aliasjojoz) on


Judul Buku:
Jejak Langkah

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
732 halaman

Tidak bisa berhenti meneruskan Tetralogi Buru, entah karena nama besar Pram atau memang karena cerita tentang Mingke dan hidupnya telah mengikat hati saya. Saya cenderung memilih yang kedua, mengingat dua jilid sebelumnya saya benar-benar mendalami kisah Mingke. Mulai dari kegelisahan sebagai manusia modern di Bumi Manusia hingga pertemuannya dengan penderitaan dan ketidak-adilan yang dirasakan oleh bangsanya di Anak Semua Bangsa.

Jilid ketiga adalah yang paling seru dari dua jilid pertama. Di jilid inilah, Mingke, sang protagonis utama kita memulai dan akhirnya menjadi penggerak awal dari zaman pergerakan untuk kemerdekaan. Dengan konflik yang hadir di hampir tiap babnya, membuat pembaca mungkin tertahan napasnya. Mulai dari kisah Mingke dengan Mei sampai dengan berdirinya sebuah organisasi yang dalam sejarah Indonesia kontemporer dikecilkan perannya, Syarikat Dagang Islamiyah daripada Boedi Utomo.***

Senin, 18 Januari 2016

Konsolidasi




Oleh Mochammad IH

Pada jam istirahat sekolah, cuaca sedang sejuk-sejuknya. Angin berhembus sepoi-sepoi menyegarkan tubuh-tubuh. Empat orang gadis berkerudung putih duduk santai dan bergosip di teras kelas. Tepat di depan mereka sebuah area permainan bola voli lengkap dengan dua tiang untuk memasang net beserta garis pembatasnya. Namun tak ada anak-anak yang cukup berani bermain bola voli pada jam istirahat seperti ini, karena melanggar aturan sekolah. Tetapi sepertinya alasan sebenenarnya adalah mereka malas mengambil bola voli di kantor guru.

Nurma, Rahma, Indra dan Eliya sedang menikmati siomay berbungkus plastik di tangan masing-masing. Bapak-bapak penjual siomay terlihat di dekat mereka lengkap dengan alat produksinya—dua kotak berwarna warni yang ditaruh di bagian belakang sepeda kayuh tua. Para membeli berkerumun di sekitar si Bapak, rata-rata para gadis berseragam putih-abu-abu dan berkerudung putih.

Nurma memperhatikan Bapak itu melayani dengan sabar para calon pembeli dagangannya. Ketika seorang gadis datang berniat untuk membeli, ia langsung membuka tutup salah satu kotak dan tiba-tiba muncul uap putih berhembus dari dalam kotak itu membawa aroma kaldu ayam. Dengan sigap si Bapak mengambil plastik pembungkus dan mengambil beberapa bola-bola kecil berwarna abu-abu gelap berbagai ukuran. Ia lalu membuka penutup botol saus pecel berwarna coklat dan menuangkannya ke dalam plastik itu. Salah satu gadis kemudian berseru untuk menghentikan usaha si Bapak untuk menuangkan saus lainnya yang berwarna merah.

Lalu Nurma berpikir pendapatan Bapak penjual siomay itu dalam sehari. Hal ini dibagikan kepada teman-temannya. “Pendapatan bapak itu berapa ya sehari?”

Eliya yang kemudian menanggapi, “Kenapa? Kamu mau jualan siomay juga?”

“Iya, kayaknya siomay begitu diminati ya” jawab Nurma

“Nalarmu dalam memandang kebutuhan pasar bagus juga, Nur. Matamu jadi berlogo rupiah gitu” sindir Eliya. “Lalu usaha gorengan kita gimana?”

“Ya, tetap diterusin, El”

“Heh, dua gadis ini pada ngegosip aja!” protes Eliya pada dua temannya yang lain, Indra dan Rahma. “Denger nih. Nurma pengen bikin usaha baru buat kita”

“Terus usaha gorengan kita gimana?” kali ini Indra dan Rahma bertanya berbarengan.

“Tetap kita terusin” jawab Nurma dan Eliya berbarengan pula.

Mereka berempat lalu keheranan karena bertanya dan menjawab dengan berbarengan, lalu tertawa bersama-sama.

“Kita harus punya sepeda kayuh dan tempatnya. Kayak si Bapak” ujar Rahma.

“Nanti aku bagian yang bikin jualan, Eliya bagian keliling pake sepeda kring-kring” tambah Indra.

“Enak aja!” protes Eliya tak terima. Lalu dua temannya tertawa melihat tanggapan Eliya.

“Kita gak usah pakai itu” jawab Nurma. “Kita titipin aja ke warung-warung, seperti gorengan yang kita bikin selama ini.”

“Boleh juga” kata Rahma. Ketiga temannya juga tampak menyetujui usul itu dan mereka  mulai mencari cara membuat siomay. Indra yang berinisiatif mencarinya di mesin pencari internet.

“Eh! Tadi aku diceritain Dinda kalau Sari minta anggaran lagi buat mading!” ujar Rahma tiba-tiba.

Ketiga temannya yang mendengarnya tampak terkejut tak percaya. Tak terkecuali Nurma yang tampak kalem dari tadi juga ikut terkejut. Indra juga menghentikan usahanya mencari tutorial membuat siomay dari layar ponsel pintarnya. Eliya yang paling tak bisa menahan ekspresi terkejutnya. “Serius, Ma?!”

“Iya, serius” jawab Rahma. “Tapi dia nggak diberi uang sama Dinda.”

“Iya tuh. Diberi uang terus tapi hasil kerjanya nggak ada sama sekali” keluh Indra. “Madingnya tetap saja kosong melompong seperti kepompong.”

Ketiga temannya yang lain berkerut dahinya mendengar kalimat terakhir Indra, namun hanya Rahma yang menanggapi. “Kepompong ada isinya, kali.”

“Kira-kira kenapa ya, akhir-akhir ini madingnya nggak diisi-isi sama anak mading?” kali ini Nurma bertanya.

“Anak-anaknya pemalas pasti” tuduh Eliya tanpa basa-basi.

“Hush. Jangan ngawur gitu dong, El” protes Rahma. “Dinda juga tanya ke Sari, ‘kenapa madingnya nggak diisi?’ Dia cuma jawab kalo anak-anak mading lagi pada sibuk semua. Susah banget buat dikumpulin.”

“Ya ampun. Kalau gitu ceritanya, mendingan aku aja yang ngisi madingnya” protes Eliya.

Nurma lalu memandang ke arah Eliya. “Ide bagus! Lebih baik kita aja yang ngisi madingnya. Gimana teman-teman?” tawar Nurma.

“Aku setuju!” jawab Eliya dengan lantang.

“Aku sih setuju, Nur. Tapi apa kita nggak lancang seperti kacang?” tanya Indra.

“Maksudnya?” tanya Eliya.

“Maksudnya kita kan bukan anak mading. Kan nggak enak sama yang lain, kalau kita ikut campur masalah mading” jawab Indra. “Bukan begitu teman-teman?”

“Mungkin kita bisa minta ijin ke Sari dulu” sahut Rahma.

“Ide bagus!” jawab ketiga temannya berbarengan.

Lalu bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Nurma, Eliya, Indra dan Rahma kemudian memutuskan melanjutkan pembahasan ini ke dalam kelas. Langit bertambah gelap karena awan hitam menutupinya. Angin pun saling menderu tak tentu arah dengan derasnya. Mungkin hujan akan datang, atau mungkin cuma gerimis saja yang datang.

***

Sebulan telah berlalu sejak empat gadis itu berkonsolidasi untuk mengisi majalah dinding sekolahnya. Nurma, Eliya, Indra dan Rahma masih duduk di tempat yang sama pada jam istirahat sekolah. Sepertinya itu memang titik favorit mereka di sekolah pesantren ini. Karena hari ini hari Selasa, maka kerudung yang mereka pakai berwarna kuning dengan seragam kuning-hijau.

“Kemarin aku lihat madingnya kosong lagi” ujar Nurma mencari perhatian ketiga temannya.

“Yang benar, Nur?” tanya balik Eliya. “Anak-anak mading memang pemalas.”

“Hush. Jangan bilang gitu lagi dong, El” sergah Rahma.

“Maksudku sebenarnya kita yang meneruskan penerbitan mading” ujar Nurma. “Tapi ternyata sulit juga membagi waktu.”

“Iya, waktu seperti batu” sahut Indra.

“Mau bagaimana lagi, Nur. Kita juga dalam masa ujian akhir sekarang” hibur Eliya.

“Ditambah kemungkinan kita juga bakalan jadi panitia lomba setelah ujian berakhir” tambah Rahma. “Pasti bakalan sibuk dan kita nggak sempat mengisi mading lagi.”

Mereka berempat mengiyakan tentang kesibukan yang telah menghadang mereka. Lalu Nurma mengingat alasan para pengurus majalah dinding yang diucapkan oleh Sari yang sebulan lalu diceritakan Dinda ke Rahma. Nurma pun merasa alasan itu bukanlah alasan pembelaan diri semata, namun ia nyata dan menghinggapi hampir seluruh siswa-siswi di sekolah ini. Ia pun berpikir seandainya tidak ada ujian dan lomba-lomba membuatnya sibuk, apakah ia dan kawan-kawan bisa membantu meneruskan penerbitan majalah dinding dengan lebih leluasa? Apalagi sekolah juga mengadakan kursus-kursus di luar jam sekolah yang sangat menyita waktu. Ia tak tahu jawabannya dan ia pula tahu rumput liar yang bergoyang diitiup angin di depannya juga tak mampu memberi jawaban.***

Kamis, 14 Januari 2016

Meracau: Tentang Unit Hardcore-Punk Baru yang Menjanjikan


Oleh Mochammad IH | @aliasjojoz

Ketika penulis diminta untuk me-review sebuah single pertama dari sebuah unit hardcore-punk baru dari Jombang, penulis sedikit segan, mengingat koleksi penulis untuk musik hardcore-punk sangat terbatas. Kemudian posisi penulis yang tidak terlalu mengikuti skena musik arus bawah tanah Jombang dikarenakan kesibukan.  Lagipula penulis tidak menemukan hal yang baru dalam skena Jombang dalam hal tendensi dan keberpihakan politik mereka, sesuatu yang penulis tunggu-tunggu sejak gelombang Gerakan Menolak Reklamasi Teluk Benoa di Bali. Namun penulis ingin tulisan ini menjadi sebuah usaha yang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Berikut single pertama Meracau yang diunggah ke akun soundcloud mereka:



Ketika mendengar pertama kali, sound gitar yang dipakai oleh mereka cukup retro. Hal ini memaksa penulis mendengar koleksi unit-unit punk lawas dan menemukan beberapa track Warzone yang cukup membawa pengaruh namun minus solo gitar. Ketika membuka koleksi musik punk kontemporer, penulis mendapati ada Vomit Crew dan The Kuda dalam Sebotol Whiskey, musik yang digeber cepat dan bertenaga tanpa tedeng aling-aling.



Di departemen lirik, suara mahasiswa perantauan indekos yang masih bergantung pada kiriman orang tua cukup kentara. Penulis merasakan apa yang ditulis Meracau adalah kejujuran atas kehidupan mereka. Hal ini cukup sering ditemui pada musisi arus pinggir lain, tentang suara-suara yang mereka rasakan sendiri secara subyektif, yang malah terkesan obyektif karena beberapa kelompok masyarakat juga merasakan perasaan dan penderitaan yang sama. Fenomena ini pernah penulis tuliskan dalam halaman yang lain di blog ini.

Penulis jadi mengingat Widji Thukul. Penyair ini menyuarakan kehidupan sehari-harinya dalam puisi-puisinya, suaranya dirasakan oleh orang-orang yang sehari-harinya bernasib sama dengan Widji Thukul, kaum miskin kota dan pekerja sektor informal yang dipinggirkan atas nama "pembangunan" Orde Baru. Sedang Meracau menyuarakan keadaan sehari-harinya yang diamini oleh kelompok-kelompok mahasiswa perantauan.






Wajah-wajah punggawa Meracau adalah para pemuda yang cukup aktif berseliweran di skena Jombang. Saking aktifnya, hampir tiap gig arus bawah tanah di Jombang unit-unit mereka selain Meracau menjadi langganan line up utama skena Jombang. Ya, Meracau bukan band pertama yang mereka bangun. Ketika penulis mendapati teaser proyek Meracau dibagikan di media sosial, penulis berpikir musik apalagi yang akan dihadirkan oleh anak-anak ini? Mungkin terkesan hobi membangun unit-unit musik yang baru dan terkesan meninggalkan unit lawas, namun penulis pikir inilah cara otentik mereka untuk membangun skena Jombang--yang seringkali dipandang kota yang tidak istimewa-istimewa amat, apalagi dalam dunia perkancahan musik arus pinggir. Penulis menghormati usaha-usaha mereka yang aktif membagikan hal-hal segar di skena. Viva la scena!

Kabar terbaru yang mereka bagikan kepada penulis, Meracau berencana akan mengemas Sebotol Whiskey dan 6 lainnya dalam bentuk CD, semangat Do It Yourself mereka tonjolkan. Sepertinya ini serius dan menjanjikan. Tabik.***

Rabu, 13 Januari 2016

Dekonstruksi Bimbingan




Oleh Mochammad IH

Kadang hidup itu kita jalani dengan penuh rasa optimis. Meskipun kita tak tau apa hasil kerja kita dalam menjalani hidup, namun hal-hal itulah yang membuat kita merasa menjadi manusia sepenuhnya. Seperti itu gambaran perasaan Falah ketika ia diberitahu salah seorang temannya bahwa ia dipanggil menghadap Bu Veti, salah seorang pengurus harian sekolah. Selama berjalan menuju ke kantor, ia bertanya-tanya dalam urusan apakah ia dipanggil menghadap?

Falah menyusuri jalanan beraspal yang menghubungkan kelasnya dengan kantor sekolah. Sementara ia berjalan, awan berusaha menutupi sinar matahari yang menyengat sejak siang hari. Namun bukannya hawa dingin yang Falah rasakan, namun udara panas semakin membuatnya kegerahan.

Kemungkinan akan hujan seperti kemarin, pikir si pemuda. Falah sempat terjebak tak bisa beranjak pulang dari sekolahnya karena hujan yang begitu deras mengguyur hingga maghrib. Seandainya ia bersekolah pada pagi hari, mungkin sore hari ia bisa bergumul dengan selimut bila hujan deras seperti itu, namun sayang Falah bersekolah pada siang hari dan pulang setengah jam sebelum adzan Maghrib berkumandang. Hal yang tidak bisa diganggu gugat, mengingat keterbatasan pihak pengelola sekolah mengatasi jumlah murid yang ada dengan kapasitas gedung yang mereka memiliki. Bahkan, salah seorang gurunya berpendapat bahwa siang hari tidak baik untuk digunakan belajar-mengajar tidak bisa melakukan apa-apa untuk sekedar menyuarakan pembangunan gedung baru yang lebih banyak.

Dan tibalah si pemuda di depan kantor sekolah. Falah segera berjalan di undakan beton bertingkat berkeramik merah bata, sesampainya di undakan terakhir ia mencopot sepatu beserta kaus kakinya. Sebelum masuk, pemuda itu mengecek penampilannya. Seragam kuning-hijaunya yang telah rapi itu ia rapikan lagi, kopyah hitamnya ia copot lalu ia pasang kembali dengan rapi. Sayang tidak ada cermin untuk memastikan wajahnya tidak kusam. Namun keringat tubuhnya karena gerah tak membuat si pemuda nyaman, namun untungnya ia merangkap bajunya dengan kaos oblong sehingga ia mempercayakan bau keringat tubuhnya pada kain katun itu.

Dengan penuh rasa segan, Falah mulai masuk ke kantor untuk menemukan orang yang mencarinya. Ia bertanya beberapa kali pada orang dewasa—kebanyakan gurunya yang berpapasan padanya dimana perempuan yang perlu ia hadapi. Pada akhirnya ia menemukan Bu Veti sedang asyik mengobrol dengan Mbak Silvi, petugas administrasi muda sekolah. Melihat Falah yang sedang berdiri menunggu dirinya, Bu Veti mengajaknya untuk masuk ke kantornya.

Kantor? Falah ragu bila ruangan itu disebut kantor. Sebuah ruangan sempit dengan satu buah meja, ruangan ini berbatasan langsung dengan ruang guru yang hanya dibatasi oleh sebuah lemari besar berisi berkas-berkas sekolah sebagai sekatnya.

Di situlah Falah dan Bu Veti duduk saling berhadapan. Bu Veti membenarkan kerudung kuningnya yang seperti selendang itu, beliau menatap dalam mata Falah sehingga pemuda yang ditatapnya bergidik.

“Kamu pengurus mading sekolah kan, Falah?” tanya Bu Veti.

“Iya, Bu,” jawab Falah singkat.

Tanpa basa-basi, Bu Veti langsung mengungkapkan maksudnya. “Mulai sekarang, tiap mau penerbitan terlebih dahulu kamu kirim ke saya. Biar saya koreksi.”

Falah terdiam sesaat tak percaya, namun cepat-cepat mengiyakan perkataan gurunya itu. Melihat gelagat keraguan muncul dari wajah si pemuda, Bu Veti kemudian menjelaskan bahwa hal ini dipintanya sebagai hal yang perlu dilakukan mengingat pemuda-pemudi seperti Falah dan kawan-kawannya di kepengurusan majalah dinding sekolah perlu dibimbing agar hasil tulisan mereka semakin berkualitas.

“Bayangkan, nak. Masak artikel yang tidak jelas bukti dan kebenarannya kalian masukkan dan dibaca oleh teman-temanmu yang lain? Apalagi tulisan-tulisan yang berbahaya, yang mengandung ajaran fundamentalis, ajakan makar menolak agama. Nah, hal seperti inilah yang kita perlu dibenahi, setidaknya kaidah-kaidah jurnalistik yang baik dan benar sudah terpenuhi. Apalagi kita kan berada di lingkungan Pesantren, jadi usahakan menerbitkan yang ada kaitannya dengan pendidikan di sinilah.

“Tapi jangan dikira kita sebagai lembaga sensor. Bukan begitu, nak. Saya paham demokrasi dan kebebasan berpendapat. Saya inginnya membimbing kalian agar lebih baik lagi.”

Banyak hal yang Falah tak paham benar dengan perkataan gurunya itu. Apa itu ajaran fundamentalis? Makar? Menolak agama? Kaidah-kaidah jurnalistik yang benar seperti apa? Lembaga sensor itu apa? Demokrasi? Kebebasan berpendapat? Apa hubungannya? Begitulah pikirannya berputar-putar sejak Falah berpamitan pada guru pembimbing baru kawan-kawannya itu sampai ia pulang sekolah. Falah tak sempat bertanya karena ia segan, toh baru pertama kali ini ia berhubungan dengan Bu Veti secara langsung. Harusnya ia bertanya.

***

Di depan kelas, tiga orang remaja berkumpul. Satu perempuan dan dua laki-laki. Falah yang terlihat bersama dua orang lainnya mengucapkan sesuatu kepada dua remaja lainnya. Tidak jelas apa yang dikatakannya, namun sesaat kemudian Falah memimpin mereka berdua berjalan menjauhi kelas menuju sebuah gapura.

Gapura itu memiliki tempat yang sering digunakan oleh siswa-siswi untuk duduk-duduk dan berkumpul saat jam istirahat seperti ini. Matahari tak bisa mengganggu mereka untuk bercengkrama saat sore seperti ini karena sinarnya terhalang oleh gapura tersebut. Itulah alasan mereka betah berlama-lama di sini, bahkan ketika bel tanda jam istirahat telah selesai, mereka masih asyik bersantai dan tak bergeming.

Tempat itu lumayan penuh, rata-rata perempuan berseragam sekolah dan berkerudung yang duduk di situ. Ketiga remaja itu memilih tempat yang cukup longgar untuk diisi oleh mereka. Tutus, satu-satunya perempuan di kelompok mereka memulai percakapan. Ia mengeluhkan susahnya mendapat narasumber untuk salah satu rubrik yang akan ditulisnya.

“Mereka itu rata-rata nggak mau diwawancarai,” keluh Tutus seraya merapikan kerudungnya. “Nggak tau kenapa.”

 “Mereka takut kali,” sambar Fian. “Kamu kan orangnya suka gigit.”

Fian dan Falah kompak tertawa, Tutus pun langsung memandang sinis pada Fian. “Gitu ya.”

“Sudah. Sudah,” Falah menengahi mereka. “Aku ada berita untuk kalian berdua.”

Dan pemuda itu pun menjelaskan tentang pertemuannya dengan Bu Veti dan rencana gurunya itu untuk membimbing mereka.”Bu Veti ingin para pengurus mading—kita bisa ditingkatkan lagi kualitasnya dalam ilmu jurnalistik dan kepenulisan.”

“Aku malah jadi ingat Orde Baru, Lah.” Falah dan Tutus menoleh ke arah Fian. “Kamu tau nggak, Departemen Penerangan?”

“Kementerian Penerangan maksudmu, Yan?” tanya Tutus.

“Hmm. Aku tepatnya nggak tahu nama lembaga jaman Orde Baru itu, tapi ada kata Penerangan di dalamnya,” jelas Fian. “Tapi lembaga itu menjadi film horror bagi para penerbitan dan jurnalis. Mulai dari penyensoran, perijinan bahkan pembredelan, semua dilakukan sama lembaga itu.”

Fian pun menceritakan kasus-kasus pembredelan yang terjadi saat rezim Orde Baru setaunya. Ia tak ingin kepengurusan mading sekolah menjadi bulan-bulanan oleh sifat otoriter pengurus sekolah, meskipun dalam lingkup yang kecil.

“Yah, aku sih masih tahap kecurigaan,” ujar Fian lagi. “Aku khawatir kita gak bisa lagi menyuarakan hal-hal yang perlu kita suarakan lewat mading.”

Fian pun mengingatkan kembali pada kejadian beberapa waktu lalu, tulisan yang diunggah olehnya mengkritisi kebijakan peraturan sekolah mengakibatkan polemik yang cukup besar di sekolah. Hal ini menjadi perbincangan yang hangat bahkan hampir memanas antara murid-murid dan pihak sekolah. Dan akhirnya memaksa pihak sekolah membuat sosialisasi tentang peraturan tersebut, agar peolemik yang sedang terjadi tak berlarut-larut dan mengganggu proses belajar-mengajar.

“Tapi Bu Veti tidak ada niatan seperti itu, Yan,” bela Falah. “Yah, meskipun beliau memang termasuk yang paling murka dengan tulisanmu itu.

“Tapi aku percaya beliau seperti editor dalam sebuah penerbitan buku, dimana tugasnya untuk menyempurnakan sebuah buku hasil karya penulis. Jangan dipandang seperti produser musik yang hanya membuat lagu yang bisa diterima pasar. Kita kan dalam lingkup wilayah sekolah, kita bukan pebisnis yang mencari untung.”

“Terserah deh,” ujar Fian mengakhiri perdebatan.

Setelah itu mereka terdiam cukup lama. Fian lalu memandang Tutus. “Menurutmu gimana, Tus?” tanya Fian akhirnya. “Kamu kan orangnya selalu jadi pihak yang netral diantara kita berdua.”

“Iya, kamu juga perempuan sendiri di sini, dimana suara kamu juga harus didengar. Kita kan gak mau melestarikan budaya patriarki di tubuh kepengurusan mading,” sambung Falah.

“Apanya yang gak melestarikan patriarki! Kalian berdua bahkan nggak menyadari kalo aku ada di sini!” protes Tutus. “Dasar patriarkis!”

Mereka bertiga kompak tertawa. “Ya sudah, kita berdua nurut aja deh sama keputusanmu.”

“Setuju, Yan. Jadi putuskan, Tus. Kita ikuti peraturannya Bu Veti atau kita jalan seperti biasanya?”

Perempuan yang ditodong keputusan pun terlihat berpikir. Tutus merasa jika mereka membangkang, maka ada resiko di belakangnya yang ia bayangkan akan mengerikan. Lalu jika ia mengikuti saran Falah, ia takut hal yang ditakutkan oleh Fian menjadi kenyataan, suara-suara mereka tentang ketidak-adilan sekolah akan dibisukan. Kemudian ia pun memutuskan untuk mencari aman dengan mengikuti peraturan baru yang diterapkan oleh salah satu gurunya itu.

Bel berakhirnya jam istirahat memekik telinga para muda-mudi berseragam. Ada yang lekas bergegas menuju kelas, tak sedikit pula yang bertahan di tempatnya berpijak mengharap keajaiban seperti rapat guru yang mendadak dan mereka diperbolehkan pulang cepat. Namun langit sore bersama awan Kumulonimbus sedikit demi sedikit memenuhi angkasa membawa kegerahan yang semakin banyak, tanda akan datangnya hujan.***

Post-Script:
Sebagian besar nama-nama di tokoh ini adalah teman-teman penulis yang meninggal di usia yang cukup belia. Rest in peace:
Miftahul Falah
Fety Nuryana Sari
Asyirotuz Zumaroh
Chanifian Tauhidi

Senin, 11 Januari 2016

Perdebatan Seni Budaya Tentang Dekat Atau Tidak Dengan Keseharian



Beberapa hari yang lalu penulis membaca sebuah pendapat di salah satu wawancara dengan musisi arus pinggir yang baru saja mengeluarkan single terbarunya. Wawancara itu membawa sebuah narasi bahwasanya gairah terhadap musik arus pinggir (sidestream) yang semakin hari semakin kencang tak lepas dari pengaruh keseharian musisi tersebut yang rata-rata hadir dalam setiap karya-karyanya. Beda sekali dengan musisi arus utama (mainstream) yang rata-rata fulltime yang karya-karyanya kadang jauh sekali keseharian mereka bahkan pendengar mereka.

Musisi non-fulltime kadang bekerja paruh waktu menjadi pekerja, pedagang atau malah menjadi bos perusahaan. Soal keseharian yang dihadirkan musisi non-fulltime ini bisa diterima dan bahkan ramai pujian adalah karena keseharian mereka mirip, sama bahkan persis dengan para pendengar mereka, seolah-olah suara mereka terwakili oleh karya musisi non-fulltime tersebut.

Pendapat tentang keseharian awalnya penulis pikir adalah hal yang menggeneralisir. Dikarenakan tidak semua musisi fulltime tidak menggambarkan keseharian mereka, ada kemungkinan mereka menggambarkan keseharian mereka dalam sebuah karya. Namun bila ditarik ke dalam sejarah, perdebatan musisi fulltime vs non-fulltime ini menggambarkan perdebatan melegenda antara kamerad-kamerad Lekra dengan para punggawa Manifes Kebudayaan pada era paska Revolusi Kemerdekaan '45, bahkan perdebatan kontemporer di kancah musik arus utama yang diawali oleh rasa sinis Jrx dari Superman Is Dead (SID) terhadap para musisi yang tidak terjun dalam dunia aktifisme.

Perdebatan Lekra dan Manifes Kebudayaan terletak pada letak kebudayaan itu sendiri. Lekra bependapat bahwa kebudayaan haruslah ada campur tangan politik dan membawa manusia dan kesehariannya. Manifes Kebudayaan berpendapat bahwa kebudayaan itu haruslah lepas dari politik dan berdiri sendiri sebagai seni yang murni tanpa ada campur sosial di dalamnya. Setelah Lekra dimusnahkan bersama Partai Komunis Indonesia, jelas Manifes Kebudayaan adalah pihak yang menang bersama Orde Baru-nya. Hal ini bisa ditandai dengan seni kontemporer negeri ini yang seringkali dikotak-kotakkan dengan seni kelas berduit dan seni kelas kere. Ya, seringkali kita merasa ada seni yang tak terjangkau dan hanya milik kaum berduit.

Perdebatan Jrx dengan musisi fulltime yang tidak bergerak dengan keadaan sosial secara historis bisa dilacak dari konsistensi SID membuat lirik perlawanan atas ketidak-adilan dalam karya-karyanya. Dalam filsafat materialisme, sesuatu yang dibuat oleh manusia berasal dari kesadarannya akan alam dan kesehariannya yang saling berdialektika. Jadi SID membuat lirik-lirik pemberontak itu berasal dari keseharian mereka sendiri, bukan dibuat-buat. Kemudian background Jrx sendiri yang seorang musisi namun juga aktivis yang 2-3 tahun ini fokus bersuara dalam perlawanan terhadap proyek reklmasi Teluk Benoa. Keseharian Jrx inilah yang tidak dimiliki oleh musisi fulltime yang disebut olehnya.

Tesis dan antitesis ini akan saling berdialektika hingga akhirnya bernegasi. Manifes Kebudayaan menegasi Lekra. Musik arus pinggir menegasi musik arus utama. Namun tesis musisi yang tidak peduli keadaan sosial melawan antitesis wacana Jrx bersama gerakan melawan proyek reklamasi Teluk Benoa masih berlangsung.***

Jumat, 08 Januari 2016

Berlibur Di Tanah Lada



Judul Buku:
Di Tanah Lada

Penulis:
Ziggy Zezsyazeovinnazabrizkie

Penerbit, tahun terbit:
Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2015

Jumlah halaman:
244 halaman


Hal yang terlintas di kepala ketika menemukan nama penulisnya adalah membacanya dengan ironi. Jujur, awalnya saya berpikir Ziggy Z.... (okelah saya tak hapal namanya) adalah sebuah nama pena, dan memuji kepercayaan diri penulis untuk mengenalkannya (dengan ironi tentunya). Juga keseriusan panitia Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 untuk memenangkan novel ini sebagai pemenang kedua. Namun begitu saya membaca salah satu resensi, ternyata Ziggy Z adalah nama asli penulis. Saya belum menemukan artinya, namun penulis resensi tersebut menyebut nama itu memiliki arti yang bagus. Jadi tolong maafkan saya dari ironi dan kesinisan terhadap nama. Narasi untuk berusaha bertindak praduga tidak seperti yang kita pikirkan harus dikampanyekan secara aktif sepertinya.

Saya pikir idenya benar-benar segar, menggambarkan dunia anak kecil yang polos. Namun premisnya lebih menarik bagaimana dunia anak kecil yang polos dan tak pernah mengenal ketakutan itu bertemu dengan kerasnya kehidupan dalam alam modernitas, sekuleritas, bahkan kapitalisma. Jadilah sebuah kisah yang tanpa kita sadari menjadi sebuah tragedi.

Sinisme terhadap dunia, sikap skeptis yang ditunjukkan oleh Ava dan P adalah bukti bahwa modernisme telah gagal membahagiakan manusia. Dalam alam modernisme, kita bisa mendarat di bulan, kita bisa terbang dengan pesawat, manusia bisa membangun gedung pencakar langit, bahkan bisa berkomunikasi tanpa dihalang oleh tempat dan waktu. Namun di sisi lain bagai pedang bermata dua, modernisme telah menghilangkan kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh sikap orang-orang dewasa yang berada di sekeliling Ava dan P: Papa, Mama, Kak Suri dan Mas Alri. Kehidupan sekuler perkotaan ditampilkan dalam Rusun Nero, bagaimana rumah hanya sebuah tempat untuk singgah sebentar untuk mandi dan tidur.

Saya tak bisa menilai teknis cerita, toh saya merasa ini novel pertama yang saya baca tentang kehidupan urban dalam dunia perkotaan, jadi belum bisa membandingkan. Namun jika kita berbicara soal modernisme, harusnya bisa digali lebih banyak. Saya belum menemukan kisah kelas buruh bergaji UMR yang ditampilkan dalam novel ini.***

Sabtu, 02 Januari 2016

Ploso Hari Ini: Sebuah Telaah Kecil



Sejak beberapa hari yang lalu, saya tertarik untuk menuliskan bagaimana sektor ekonomi warga Ploso hidup dan berkembang hari ini. Berawal dari peristiwa melewati salah satu kawasan kumuh Rejoagung, ide untuk menulis hal ini berawal dari pertanyaan apakah banyak sekali penduduk Ploso menggantungkan ekonomi mereka pada sektor informal seperti yang biasa dilihat di kawasan-kawasan kumuh? Kemudian hal ini bisa menguji saya yang sudah tinggal selama 5-6 tahun apakah mengenali lingkungannya sendiri? Saya juga terbuka terhadap kritik dan kemungkinan besar akan terjadi oto-kritik dalam tulisan ini.

Ploso adalah sebuah nama kecamatan yang terletak di kawasan utara dan tergabung dalam kabupaten Jombang. Ploso mungkin bisa dibilang jalan penghubung antara Jombang dan Tuban, Bojonegoro, Lamongan, di sisi lain daerah ini juga menghubungkan Jombang dengan Mojokerto. Ada sungai Brantas sebagai tepi perbatasan. Ada pula Pasar yang cukup besar dan menjadi pusat dari daerah ini. Lalu kemudian di dekatnya ada sebuah Pondok Pesantren besar, pusat perkembangan jama'ah Thoriqoh Shiddiqiyyah.

Melihat pasar yang cukup besar dan aktif setiap hari, tidak bisa ditampik bahwa pusat perekonomian Ploso berada di sini. Jadi bisa dibilang sektor ekonomi warga Ploso salah satunya adalah lingkungan pasar. Dimana ada pasar, disitulah pemukiman padat penduduk berada, jadi di sekitar pasar kawasan kumuh berkumpul mengelilingi pasar, barat, utara, timur, selatan dengan membuka sektor informal. Di sebelah selatan pasar tepatnya di kawasan desa Rejoagung-Losari, berejejeran toko-toko yang menjajakan beraneka ragam dagangan, mulai dari bangunan yang permanen, nir-permanen, hingga semi-permanen muncul menghiasi jalan raya menuju pasar Ploso.

Di sebelah timur pasar Ploso, ada sebuah jalan yang menghubungkan pasar dengan sungai Brantas. Daerah ini sering disebut dengan Ploso. Tidak bisa dipukul rata, bahwa mata pencaharian lingkungan yang cukup kumuh ini masuk dalam lingkungan pasar, namun kian hari berjejeran pedagang dengan di kanan-kiri jalan dengan bangunan permanen, nir-permanen maupun semi permanen.

Di sebelah utara pasar Ploso terdapat sektor pendidikan yang cukup besar berdiri, Pondok Pesantren Majma'al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman - Shiddiqiyyah. Di sinilah penulis sedang mengenyam pendidikan, selain sektor pendidikan, kebanyakan warganya bergantung pada pasar di sebelah selatan, sektor informal dan sektor wisata. Sektor informal ditandai dengan terdapat banyak sekali warung-warung dan toko berdiri di kawasan Pondok Pesantren. Sektor wisata juga hidup di kawasan ini, meskipun dalam waktu harian tidak terdapat pengunjung yang signifikan, namun dalam momen-momen perayaan tertentu pengunjung kawasan ini bisa mencapai angka ribuan dalam sehari-semalam.

Penduduk Ploso juga bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian ditandai dengan ditemukannya berhektar-hektar lahan sawah basah, meskipun letaknya berada jauh dalam radius 3-5 kilometer dari Pasar Ploso. Bila musim penghujan, petani Ploso menanam padi, sedang musim kemarau, mereka akan menanam tembakau. Bila dibandingkan secara kasat mata, sektor informal dan sektor pertanian jumlah penduduk Ploso yang menggantungkan hidupnya hampir sama angkanya. Meskipun masih dibutuhkan penelitian empiris yang lebih dalam soal statistik.

Di kawasan Ploso terdapat dua pabrik yang lumayan besar, satu pabrik asal Korea yang memproduksi bahan kimia yang berada di kawasan timur laut Pasar Ploso. Yang kedua, pabrik linting rokok yang berada di utara Pasar Ploso. Kedua pabrik ini memang cukup jauh dari kawasan pusat Ploso. Namun sektor buruh di Ploso berada pada angka yang lumayan besar, meskipun tak sebesar sektor pertanian dan informal. Buruhnya tidak hanya berasal dari Ploso, namun juga berasal dari daerah sekitar Ploso seperti Plandaan.***