Kamis, 11 Agustus 2016

Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi, M. Aan Mansyur

Lelaki Terakhir yang Menangis di BumiLelaki Terakhir yang Menangis di Bumi by M. Aan Mansyur
My rating: 1 of 5 stars

Saya baru tau sebenarnya bahwa Aan Masnyur menulis novel. Novel ini ditulis dengan bagus. Kalau bisa menyebut, novel ini merayakan apa yang sering disebut oleh Soe Hok Gie: buku, pesta dan cinta. Juga merayakan kesendirian, idealisme dan romantisme. Cukup bagus untuk menghabiskan waktu, namun sayang tak ada hal yang mampu membuatnya menggerakkan sebuah perubahan, kecuali untuk mengenang bahwa novel ini nikmat sekali untuk dibaca.

View all my reviews

Rabu, 10 Agustus 2016

Hikayat Kadiroen, Semaun

Hikayat Kadiroen: sebuah novelHikayat Kadiroen: sebuah novel by Semaoen
My rating: 2 of 5 stars

Riwayat Semaun saat-saat jaman awal-awal pergerakan (kebangkitan bangsa) benar-benar inspiratif. Mulai umur 14 tahun, ia sudah mengikuti pergerakan politik dengan bergabung Sarekat Islam Surabaya. Pada umur 15 tahun masuk ISDV dan Serikat Buruh Kereta Api Surabaya (VSTP). Pada umur 18 tahun ia menjadi dewan pimpinan Serikat Islam dan ketua SI Semarang. Pada umur 21 tahun, ia menjadi ketua Partai Komunis Indonesia yang pertama.

Novel ini pun ditulis saat ia berada pada jaman pergerakan saat itu (1920). Saya selalu percaya, karya sastra selalu menggambarkan keadaan pada jaman tersebut, sehingga kita bisa mengambil pelajaran sejarah secara tak langsung. Menarik juga ketika Semaun bercerita ada beberapa pejabat kolonial asal Belanda ada yang baik budinya, dan ada pula yang benar-benar memiliki motif yang buruk. Penggambaran berimbang ini sama sekali berbeda dengan penggambaran jaman penjajahan saat saya SD, dimana saya menggambarkan pihak Belanda sebagai pihak yang paling bengis dan kejam. Yang kedua adalah Semaun juga menggambarkan perilaku feodal para priyayi dan bangsawan yang maunya memikirkan dirinya sendiri dan tidak mau memikirkan masyarakatnya. Perilaku feodal, sayangnya masih kita temukan hari ini terhadap para pejabat-pejabat yang tidak mau melayani masyarakatnya. Sesungguhnya inilah penyebab saya tidak suka dengan kekuasaan yang tidak berimbang diantara manusia.

Untuk istilah-istilah lawas sendiri saya tak kesulitan, karena sebelumnya membaca Tetralogi Buru dan novel Tan Malaka yang baru (Tan: Sebuah Novel). Jalan ceritanya sendiri memang mudah tertebak, namun tidak menutup semangat pergerakan di dalam jiwa penulis yang memang tokoh pergerakan awal. Saya selalu suka dengan arsip-arsip lama.

View all my reviews

Bagaimana Menggambarkan Patah Hati



Sekarang jam terantuk pada pukul dua dini hari. Sepertinya waktu yang pas untuk membahas pada hal-hal semacam ini. Mungkin juga tidak, siapa tau?

Saya suka sekali dengan film-film bertema coming of age. Barusan saya telah menonton film The Diary of a Teenage Girl (2015) sampai buyar. Saya juga sempat membaca daftar film-film coming of age yang wajib ditonton (menurut yang membuat daftar). Lagipula saya pikir, karena hollywood terus menerus memproduksi film-film bertema coming of age, sepertinya saya tidak sendirian untuk menyukai film ini.

Saya malah teringat soal patah hati. Saya pikir patah hati merupakan salah satu unsur yang tidak pernah lepas dari tema coming of age. Semua orang mengalami patah hati, hampir dipastikan. Tetapi apakah sebenarnya patah hati itu sebuah ungkapan yang benar? Sejak kapan sih ungkapan patah hati digunakan? Apa itu semacam bentuk konstruksi sosial sehingga menjadi sebuah sistem masyarakat? Atau mungkin patah hati merupakan produk evolusi? Jika patah hati merupakan sebuah mekanisme pertahanan diri, mengapa seringkali ada orang-orang yang tidak siap untuk menerima patah hati? Sepertinya saya merasa persoalan ini sangat mengganggu, karena menurut saya sih ada beberapa orang yang siap dengan patah hati dan beberapa orang yang tidak siap menerimanya.

Saya memiliki seorang kakak perempuan. Ia telah berkeluarga dan memiliki satu anak kecil yang lucu. Namun hingga hari ini kondisi kejiwaannya belum stabil karena mengalami trauma atas patah hati yang ditinggalkan seseorang di dalam hatinya. Mungkin beberapa waktu ia akan stabil, namun kadang kestabilan jiwanya akan terguncang, dan itu tidaklah mengenakkan.

Saya juga mengalami peristiwa patah hati yang tidak menyenangkan juga. Saya juga melakukan hal-hal yang bodoh saat itu, contohnya mengumbarnya di sosial media. Sungguh saya menyesal dengan sangat dalam sempat melakukan hal-hal bodoh seperti itu. Sejujurnya saya tak mau mengingat hal-hal memalukan seperti ini, namun ada nuansa mistis ketika menceritakannya kembali. Ada rasa berdesir ketika menulis hal ini lagi. Semoga saja mengingat-ingat hal-hal seperti ini tidak menjadi hal yang buruk, tetapi berbuah manfaat.

Pada akhirnya kita akan merasa berhati-hati dan khawatir bila ada sebuah hati yang retak karena segala perbuatan kita, sebab kita pernah mengalami hal itu dan mengalami peristiwa yang sangat buruk setelahnya. Ini mirip sekali dengan retorika posmodern: kita takkan pernah bisa merasa bebas bila kita tak pernah merasa terkekang.***

ps: saya merekomendasikan film bertema coming of age, Palo Alto (2013)

Senin, 08 Agustus 2016

Everyday of Politics II: Suatu Hari di Toko Serba Ada



Disinilah saya berada, di sebuah minimarket sedang membeli rokok. Pelayannya merupakan seorang perempuan yang kelihatannya habis lulus dari SMA. Wajahnya terlihat kurang ramah, saya memkalumi, mungkin sudah seharian dia berada di balik kasir dan sendirian. Atau mungkin belum dikontrak resmi oleh perusahaan setelah berbulan-bulan magang.

Soal status belum-sudahnya kontrak ini, saya jadi teringat dua orang adik kelas saya. Satunya bekerja di hotel bintang tiga selama setahun lebih, namun statusnya belum dikontrak oleh perusahaan. Kemudian satunya sebelum bulan puasa dan dapat THR, ia dipecat dan telah 8 bulan ia bekerja. Dua-duanya sama-sama tidak memiliki serikat pekerja.

Saya jadi penasaran, sebenarnya berapa bulan sih maksimal seseorang itu berstatus magang, dan harus dikontrak resmi oleh perusahaan? Maka saya mengunjungi situs perburuhan yang sering membuat tulisan-tulisan advokasi terhadap buruh, Solidaritas.net.

Sayang saya tidak menemukannya, namun ada satu tulisan berita di Solidaritas.net[1] yang menggambarkan peran serikat pekerja sangat vital untuk berhadapan dengan manajemen perusahaan yang lalim. Sudah kelihatan tidak ada harapan bagi dua orang adik kelas saya di atas, karena mereka tidak memiliki serikat.
Namun menurut Hukum Online[2], masa magang dibatasi sampai dengan maksimal setahun, setelah itu harus putusan yang jelas dari perusahaan, apakah ia diangkat menjadi pekerja kontrak atau pekerja tetap.

“Rokoknya satu, mbak,” ujar saya pada kasir perempuan minimarket ini. Dan ia langsung memberikan sebungkus rokok kepada saya ketika saya sibuk mengeluarkan uang dari dompet.

Sesungguhnya saya merasa sedikit berdosa ketika membeli rokok di tempat itu. Rasa solidaritas itu muncul (apalagi saya belajar kekiri-kirian!). Sejujurnya saya memutuskan membeli rokok di tempat itu, karena tidak ada lagi warung yang buka, dan juga saya tidak memiliki uang pecahan kecil yang seringkali membuat sulit warung-warung di pinggir jalan untuk memberi kembalian.

Namun pada akhirnya, hari ini dan seterusnya, saya tidak akan berbelanja di minimarket tersebut karena terbukti tidak berperikemanusiaan terhadap pekerjanya. Ini sebuah bentuk solidaritas yang hari ini cukup mahal untuk diberikan para individualis-individualis produk masyarakat kapitalistik. Lagian ini merupakan salah satu bentuk perlawanan terakhir seorang manusia, selain menuliskannya dan menyebarkannya. Meskipun para bos memang dituntut oleh sistem harus menindas para pekerja, tapi ya yang namanya penindas ya tetap penindas. Rebut alat produksi!***

[1] PT SANKHOSA Indonesia Gunakan Buruh Magang Lebih Dari Dua Tahun | Solidaritas.net http://www.solidaritas.net/2016/06/pt-sankhosa-indonesia-gunakan-buruh-magang-lebih-dari-dua-tahun.html

Bacaan Lanjut:

Kisah Buruh Melawan Kondisi Kerja Kontrak | Solidaritas.net http://www.solidaritas.net/2016/04/kisah-melawan-kondisi-kerja-kontrak.html
 

Jumat, 05 Agustus 2016

Memaknai Kerja Kembali



Notes ini ditulis seperti racauan, karena penulisnya baru bangun tidur. 

Dalam nyinyiran masyarakat post-modern, kerja dimaknai sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup. Kita dituntut kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kerja sudah menjadi lakon wajib manusia bersama lahir, membayar tagihan dan mati (born, work, pay the bills, die). Apakah kita bisa memilih kerja yang sesuai dengan kehendak kita pada masyarakat kapitalisme? Bisa, namun hal itu bakal menjadi sesuatu yang sulit.
Apakah selamanya kerja dimaknai dengan keterpaksaan untuk bertahan hidup? Ternyata ada yang berpendapat sebaliknya. Ini mengacu pada sejarah peradaban manusia menurut orang-orang marxis. Sebelum masyarakat kapitalisme lahir dan berkembang, ada era-era tertentu dimana manusia memaknai kerja dengan sangat berbeda dengan hari ini. Sepengetahuan saya, kerja tidak hanya aktivitas untuk mencari uang yang akan ditukarkan untuk kebutuhan hidup, namun kerja juga dimaknai sesuatu hal yang natural (sifat alamiah) bagi manusia.

Apa yang dihasilkan kerja untuk manusia? Dalam kajian marxisme sendiri ada yang disebut nilai pakai. Contohnya seperti petani bekerja di sawah untuk menumbuhkan padi dan hasilnya menjadi beras yang mempunyai nilai pakai untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat manusia (dari sini penulis membaca-baca lagi teks para marxis untuk teori nilai). Air bersih mempunyai nilai pakai untuk kebutuhan minum manusia. Hasil-hasil kerja manusia ini disebut Marx sebagai komoditas, jadi manusia bekerja menghasilkan komoditas.

Elemen komoditas yang kedua adalah nilai-tukar, yaitu nilai yang muncul saat pertukaran komoditas. Misalnya nilai-tukar sekarung beras sama dengan 5 slop rokok. (Penulis belum paham sepenuhnya, namun berpikir bahwa) beras dan 5 slop rokok sama-sama merupakan pencurahan sejumlah kerja tertentu. Misalkan untuk memproduksi berasa perlu waktu 3 bulan hingga panen. Untuk memproduksi 5 slop rokok perlu seminggu kerja. Dan kerja inilah yang menurut para marxis yang menentukan nilai dalam komoditas. Kerja adalah intinya.


(Dari sini penulis tidak ingin menulis sesuatu yang tidak dipahaminya).

Marx sendiri berpendapat bahwa segala bentuk jual-beli dan roda ekonomi tidak menghasilkan laba/profit/keuntungan. Karena masyarakat pasar sendiri adalah penjual dan juga pembeli. Contohnya: seorang petani menjual beras di pasar, namun ia juga membeli beras di pasar untuk memenuhi kebutuhan makannya. Atau seorang nelayan menjual ikan hasil tangkapannya di pasar, namun ia juga membeli ikan di pasar untuk kebutuhan lauk pauk di rumahnya. Hal ini sebenarnya diterangkan panjang lebar oleh Marx dengan segala teorinya. 

Nah dengan meyakini bahwa segala aktivitas pertukaran tidak menghasilkan laba, lalu darimana laba itu berasal? Marx percaya (dengan segala argumen dan teorinya) bahwa laba itu diambil dari kerja para buruh. Kapitalis sendiri memang yang selalu mendapatkan laba. Istilah kapitalis dialamatkan pada orang-orang yang memiliki alat produksi secara pribadi, misalnya pemilik pabrik, pemilik sawah, pemilik tanah, dan sebagainya. Para kapitalis membeli tenaga kerja dari buruh, sedangkan buruh menjual tenaga kerjanya pada para kapitalis.

Bagaimana bisa laba diambil dari kerja para buruh? Bila kita mengambil produksi jagung misalnya. Seorang buruh bisa menghasilkan 20 jagung dalam sehari. Namun kebutuhan hidup seorang buruh akan jagung adalah 10 buah dalam sehari. Nah selisih 10 jagung inilah yang akan diambil kapitalis yang dirubah menjadi laba.
Selama laba atau nilai-lebih yang dihasilkan oleh buruh masih ‘dirampok’ oleh kapitalis, maka masyarakat sendiri akan menganggap kerja sebagai sebuah keterpaksaan demi melanjutkan hidup. Seolah-olah manusia seperti mesin saja.

Dibalik Kerja Sesuai Passion

Dalam masyarakat kontemporer ada pula yang berpendapat bahwa manusia dibebaskan untuk memilih (free will), bekerja dengan keterpaksaan atau bekerja dengan passion. Passion sendiri berarti bekerja dengan semangat dan gairah yang meluap-luap tak pernah berakhir. Kedengaran seperti sesuatu hal yang menyegarkan dan menjadi solusi akan hidup yang dipenuhi perasaan tidak ikhlas.

Namun bila kita mengikuti teori dan pendapatnya Marx, maka bila kita masih tidak memperoleh hasil kerja berupa nilai-lebih maka selamanya kita akan dikutuk untuk bekerja. Sedangkan bila kita bekerja sesuai dengan gairah dan keinginan kita namun tetap di bawah naungan kapitalis, maka selamanya kita membiarkan ‘perampokan’ nilai-lebih tersebut merajalela.

 Lalu apa yang harus kita bangun dan pemaknaan apa yang harus kita tanamkan saat kita menjalani hidup kita ini? Kita harus bersabar ketika mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat limpahan rejeki. Atau mungkin kita merebut kembali apa yang menjadi ‘laba’ kita. Atau mungkin tawaran dari Karl Marx sendiri, bekerja sesuai dengan kapasitas dan mengambil barang-barang sesuai kebutuhan. Tapi pada intinya, mari kita membangun surga di dunia, tidak usah menunggu lama-lama untuk mendapatkan surga di akhirat.


Daftar Pustaka

Suryajaya, Martin; Teori Nilai-Kerja Karl Marx http://www.prp-indonesia.org/2012/teori-nilai-kerja-karl-marx