Rabu, 14 September 2016

September



Tidak terasa bulan September kembali datang. Dalam bulan September sendiri banyak peristiwa yang perlu diingat, bahkan mungkin peristiwa-peristiwa ini terus menghantui. Salah satunya Tragedi 1965. Peristiwa ini menelan korban—menurut komandan RPKAD waktu itu—3 juta orang terbunuh. Sungguh angka yang sangat fantastis.

Sebagai generasi millenial yang lahir pada medio 1990an--fyi saya lahir tahun 1992, mengingat Tragedi 1965 berarti juga mengingat PKI, mengingat PKI berarti juga mengingat Gerakan 30 September (seolah-olah hanya itu saja yang bisa diingat dari partai terlarang itu). Seingat saya, dulu mendengar Partai Komunis Indonesia atau PKI, hati mendadak bergetar. Bukan bergetar dalam maksud bangga, tetapi lebih seperti ketakutan. Kok bisa sih ketakutan seperti itu mendengar PKI diucapkan? Apa mungkin karena waktu kecil saya dihabiskan di Resimen Induk Militer dan Asrama Komando Distrik Militer? Atau karena ayah saya seorang Angkatan Darat?

Pertama kali terhenyak mendengar bahwa ada 3 juta orang yang terbunuh adalah ketika salah satu ustadz saya di Pondok Pesantren membawa isu ini—sebagai selingan pelajaran—di dalam kelas. Ustadz saya ini menyebut Tragedi 1965 sebagai sejarah hitam, yang entah mengapa kita tak pernah mendapat keterangan yang memuaskan untuk mengetahui hal yang terjadi sebenarnya, ada apa sih yang sebenarnya pada waktu itu?

Jika kita bertanya pada waktu dulu, kenapa sih orang-orang (dituduh) PKI ini dibunuh? Pertama, karena mereka ini akan mengganti dasar negara. Kedua, orang-orang ini tak bertuhan. Cukup lama sebenarnya saya menyadari kekeliruan atas pembenaran pembunuhan terhadap manusia-manusia ini. Saya ingat dulu sempat menghujat film Jagal (The Act of Killing) karena memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Tapi semakin kesini, rasa kemanusiaan saya semakin tumbuh. Tidak ada pembenaran bagi penghilangan paksa nyawa seorang manusia pun—mungkin terdengar sedikit radikal—baik manusia yang tidak bertuhan, maupun manusia yang ingin mengganti dasar negara. Bahkan kalau bicara dengan dasar agama, agama yang selama ini saya anut pun dalam kitab sucinya juga ditemukan larangan untuk membunuh manusia, siapapun itu.

Lalu semakin kesini—berkat semua literatur alternatif yang saya baca—berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam rangkaian Tragedi 1965 sedikit demi sedikit terkuak. Tidak hanya adanya pembunuhan, namun juga ada penyiksaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, pemfitnahan, stigma negatif, dsb. Semua hal yang semakin terkuak ini membuat saya penasaran, mengapa ada manusia yang tega melakukan hal-hal keji tersebut dan mereka tak terang-terangan menyesal? Apakah kemanusiaan tidak ada harganya lagi ya hari ini?[]

Senin, 12 September 2016

Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, Hamka


Tenggelamnya Kapal Van Der WijckTenggelamnya Kapal Van Der Wijck by Hamka
My rating: 1 of 5 stars

Hmmm tidak mendapat informasi yang signifikan tentang pergerakan nasionalis di sini. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1938, tahun dimana dipercaya para sejarawan sebagai masa-masa berakhirnya pergerakan nasionalis yang ditandai dengan dibuangnya para aktivis macam Soekarno, Hatta, Sjahrir dan dilarangnya Partai Nasional Indonesia.

View all my reviews

Rabu, 07 September 2016

Martin Suryajaya, Kiat Sukses Hancur Lebur


Kiat Sukses Hancur LeburKiat Sukses Hancur Lebur by Martin Suryajaya
My rating: 1 of 5 stars

Dibalik isinya yang merayakan omong kosong, tersimpan berlian-berlian ilmu bagi ahli kitab. Memang sulit awalnya karena ditulis tanpa alur yang jelas. Penasaran, Martin Suryajaya habis disantet dukun mana sampai nulis beginian. Namun saya rasa buku ini menjadi shock therapy bagi kita yang terbiasa dimanjakan oleh buku-buku yang mudah dibaca.

View all my reviews

Senin, 29 Agustus 2016

Saya Adalah Anak Kandung Depolitisasi Orde Baru Kepada Pemuda




Ada tulisan menarik yang kemarin saya baca mengenai perbandingan antara pemuda sekarang dengan pemuda jaman setelah perang mempertahankan kemerdekaan (saya tuliskan di daftar pustaka). Pada tulisan pertama disebutkan bahwa upaya depolitisasi Orde Baru terhadap pemuda yang berlangsung selama puluhan tahun membuat pemuda sekarang tidak ada sama sekali, yang ada hanya remaja. Bila sebutan pemuda disematkan pada orang-orang muda yang sangat dekat sekali dengan dunia politik, sedangkan remaja adalah makhluk yang jauh sekali dari politik. Politik bagi remaja adalah hal yang “jauh di atas sana”, menganggap segalanya baik-baik saja, segalanya sudah diatur oleh pemerintah, mereka terasing dan untuk mengisi waktu luang mereka melakukan hal-hal yang konsumtif—menerima dan menghabiskan. Remaja tidak tertarik dengan perubahan, tidak tertarik untuk mengkritisi negara, dan berminat hanya pada gaya hidup (lifestyle) dan hiburan.

Pada tulisan kedua, menarik untuk disebutkan salah satu contoh kaum pemuda yang tidak asing dengan politik pada jaman demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Disebutkan bahwa organisasi-organisasi kepemudaan seperti GMNI, CGMI, GEMA-45 aktif melakukan demonstrasi, mimbar massal dan aksi langsung untuk membubarkan aksi perploncoan yang terjadi di kampus. Waktu itu aksi perploncoan merupakan aksi yang dianggap sebagai warisan kolonial dan penjajahan, dan sebagai bangsa yang baru merdeka, kaum pemuda aktif untuk ikut memberantas segala budaya kolonial dan penjajahan yang buruk. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena Orde Baru segera naik tahta kekuasaan, membungkam organisasi-organisasi kepemudaan dan mengembalikan budaya perploncoan. Dan masih banyak contoh-contoh peran aktif pemuda yang tak asing dengan perpolitikan dan sejarah yang mungkin tidak bisa disebutkan dalam tulisan ini.

Anak Kandung Orde Baru

Tidak bisa ditampik, saya adalah anak kandung yang dibesarkan oleh Orde Baru, bahkan ketika Orde Baru dipercaya runtuh, namun warisan-warisan dan hasil usaha rejim tangan besi Soeharto/militer selama puluhan tahun tidak runtuh berbarengan dengan jatuhnya Soeharto. Seperti pengumuman kemerdekaan tahun 1945 dan berdirinya negara Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan baru tidak serta merta membuat seluruh wilayah Republik Indonesia sekarang tahu bahwa mereka telah merdeka dan mendapat penguasa baru yang satu bangsa dengan mereka saat itu juga—hei, waktu itu belum ada internet! Dan untuk mengabarkan kemerdekaan ke seluruh wilayah Indonesia perlu waktu yang tidak sebentar dan usaha yang tidak mudah di tengah usaha negara-negara pemenang perang yang ingin menguasai tanah ini kembali.

Sebelum mengalami guncangan sosio-kultural-politis dalam dua tahun terakhir, saya termasuk yang disebut dengan remaja: yang hanya menghabiskan waktu dengan perilaku konsumtif. Sebelum berpikiran bahwa Orde Baru adalah yang menghasilkan perilaku konsumtif saya, saya berpikiran bahwa perilaku konsumtif ini disebabkan oleh bombardir spectacle/simulacra yang menghiasi segala ruang hidup dimana pun. Sesungguhnya kegelisahan-kegelisahan generasi saya akan perilaku konsumtif cukup bisa ditangkap, namun seringkali penyebabnya dicurigai sebagai persoalan pribadi individu masing-masing, bukan hal yang terstruktur dan sistematis. Kita bisa melihat beberapa suara remaja menghujat perilaku konsumtif, memandang rendah orang-orang yang selalu menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, melihat dengan perasaan miris orang-orang yang memamerkan diri berada di suatu tempat yang eksotis dan keren atau memamerkan barang mereka di sosial media, namun apakah perilaku konsumtif itu salah?

Menurut saya perilaku konsumtif tidaklah salah bila dibarengi dengan kesadaran politik dan sejarah yang cukup tinggi. Apakah dengan mengembalikan kesadaran politik kepada remaja akan ada penggerak yang cukup untuk melakukan perubahan? Menurut saya, itulah yang mesti dicoba sebagai eksperimen sosial. Namun bisa jadi usaha eksperimen sosial ini hanya dianggap sebagai gaya hidup baru oleh para remaja, seperti yang ditakutkan tulisan pertama.[]


Daftar Pustaka

Pradipa P Rasidi; Mengidolakan Negara, Mempasrahkan Tanggungan | Youth Proactive http://youthproactive.com/201412/speak-up/mengidolakan-negara-memprasahkan-tanggungan/

Perploncoan-Pendidikan Penindasan Sistematis Peninggalan Kolonial | Bumi Rakyat https://bumirakyat.wordpress.com/2014/01/02/perploncoan-pendidikan-penindasan-sistematis-peninggalan-kolonial/

Sabtu, 27 Agustus 2016

Film-Film Hasil Mengunduh Dari Situs Torrent yang Masih Saya Simpan Meskipun Sudah Saya Tonton (Part 3)



Di tengah kebuntuan untuk mendapat ide cerita untuk sebuah fiksi pendek, tidak menyangka saya akan melanjutkan daftar ini kembali.

23. Kasepuhan Cipta Gelar



Di tengah ancaman arus modernisasi yang kapitalistik-neolib, kita masih tidak bisa menyebut bahwa seluruh bagian negeri ini, Indonesia sudah menjadi masyarakat dengan corak produksi kapitalistik semuanya. Masih ada masyarakat yang berada di pedalaman yang masih memegang corak produksi agrikulturnya di tengah proses kapitalisasi yang sudah mulai memasuki desa. Hal yang saya ingat dari masyarakat Kasepuhan Cipta Gelar (KCG) adalah mereka tidak menjual beras hasil tanam masyarakat mereka, sehingga mereka tidak kekurangan bahan makanan, tidak sebagian masyarakat kita yang tak bisa makan karena dipecundangi pasar. Sayang sekali sebenarnya komentar dari tokoh masyarakat KCG yang masih dipengaruhi oleh perpolitikan nasional di media massa.

24. We Who Fight



Sebuah film yang diproduksi oleh aktivis-aktivis mahasiswa yang menyoroti pemogokan para supir bis Yogya. Salah satu narasi yang saya ingat di film ini adalah bagaimana seorang tokoh pemogokan bercerita tentang pengalamannya mengorganisir pemogokan sebelumnya: para supir memutuskan hanya beberapa bis yang beroperasi namun hasil operasi mereka tak disetorkan ke perusahaan tapi diberikan kepada kawan-kawan mereka yang mogok untuk konsumsi dan biaya pemogokan yang lain.

25. Harry Potter and The Deathly Hollows Part 1 (2010)

 
"KAMU NGABISIN PISANG GORENG SAYA YHA??!! HEMM?? HEMM??!!!"

Menurut saya, antara Part 1 dan Part 2, saya lebih memilih Part 1. Mungkin karena di bagian pertama ini saya suka bagaimana petualangan Harry dan dua sahabatnya kabur dari incaran Death Eaters dan berusaha menemukan Horcrux milik Voldemort yang tersisa. Sedangkan bagian kedua, Harry sudah berani melawan para fasis dunia sihir ini. Ohiyasih, sang sutradara sepertinya mengambil elemen bagaimana jika fasisme berkuasa, apalagi ada elemen rasisme dan usaha pemurnian ras juga.

26. The Take (2004)



Premis film ini saya ingat: para musuh kita yang serakah bertanya tentang solusi konkret yang kita ajukan setelah kita kritik mereka habis-habisan, dan film ini adalah jawabannya. Dengan nama Naomi Klein yang membayangi film dokumenter ini, bisa dipastikan bertema tentang apa. Film ini seperti mimpi para sosialis-sosialis abad ke 19 seperti Marx dan Bakunin, kelanjutan dari Komune Paris dan Revolusi Sapnyol (Perang Sipil), bagaimana mereka memimpikan para buruh untuk mengoperasikan pabriknya sendiri. Dan kita bisa melihat bagaimana dengan tega dan jahatnya, para pemilik pabrik ini yang telah meninggalkan mereka sebagai pengangguran (karena mereka menutup pabriknya), kembali lagi untuk merebut pabrik yang sudah dihidupkan dengan susah payah oleh para buruh dengan menggandeng alat kekerasan negara seperti polisi.

27. Love, Rosie (2014)

"eh eh eh kesenggol"


Saya nda habis pikir sebenarnya film roman-komedi-romantis bertema cinta pertama dan terakhir seperti ini banyak sekali produksi oleh Hollywood dengan berbagai judul. Ini salah satu judul yang lumayan disimpan buat nanti kalau ada yang mau minta film.

28. Palo Alto (2013)

"ngebir dulu ah, neng. daripada pusing mikirin negara~ | TAU APA KAMU SOAL NEGARA HEMMM HEMMM"


Film ini saya rekomendasikan kemana-mana sebenarnya. Meskipun bertema coming of age, tapi serius sekali dari awal ila akhir. Bercerita kisah empat remaja dengan cerita masing-masing yang seringkali seperti kita tak tahu cerita seseorang yang kita kenal karena mereka bukan termasuk orang yang berada dalam lingkaran terdekat pertemanan kita. Saya jadi ingat teman sekelas saya yang benar-benar ramah ketika bertemu, namun kemudian ia hilang begitu saja karena ada masalah yang kita tak tahu dan sekarat karenanya.

29. Stuck in Love (2012)

"bibir kamu basah banget, bhang mmm mmmm | mmmm mmmm tapi ena kan? hem? | ENAK NDASMU :)"


Sebuah keluarga pekerja literasi yang mengalami konflik keluarga yang berakhir happy ending. Sayang sekali tidak ada kelakar-kelakar dewa soal dunia sastra di sini.

30. While We’re Young (2014)

"kamu kan yang ngabisin pisang goreng saya???"


Wah film ini saya sangat rekomendasikan sekali. Dengan dibintangi aktor sekaliber Ben Stiller dan Naomi Watts dan disutradarai salah satu sutradara favorit saya, Noah Baumbach (Misstres America, Frances Ha), jadi apa belum cukup alasan untuk tidak bisa tidak menonton film ini?[]