Rabu, 21 September 2016

Arok Dedes, Pramoedya Ananta Toer


Arok DedesArok Dedes by Pramoedya Ananta Toer
My rating: 1 of 5 stars

Sepertinya di dalam setiap novel Pram, selalu ada tokoh perempuan yang mandiri, tangguh dan tidak mau (di)tunduk(kan). Bagaimana seorang Dedes ketika diculik dan dinikahi paksa oleh Tunggul Ametung, sikapnya teguh melawan meskipun tidak secara fisik. Juga ada tokoh Umang yang digambarkan sebagai pemanah yang tangguh dan hidup dalam kondisi perang.

Ngomong2, soal intrik politik dan kerajaan yang menjadi setting Arok Dedes, jadi mengingatkan saya pada film-film korea hehehe. Jadi berbagai perebutan kekuasaan mungkin bukan hal yang baru bagi saya. Sepertinya manusia memang selalu mencari kuasa.

Kemudian ada isu fundamental anti-demokrasi di sini. Mengambil perbedaan kasta serta pemujanya yang saling menindas dan membenci satu sama lain, dalam hal ini pemuja dewa Wisnu menindas pemuja dewa Syiwa. Seperti Dedes yang hingga akhir sangat membenci orang Wisnu. Ngomong2, saya jadi penasaran ini beneran dalam agama Hindu saling memberi stigma dalam macam turunannya ya?

Yang saya tangkap, kasta brahmana yang memuja dewa Syiwa digambarkan sebagai kaum elit intelektual (mungkin di agama samawi disebut ahli kitab), juga kaum brahmana ini berdarah campuran sehingga Dedes yang berada di kasta Brahmani digambarkan sangat cantik, namun cantik campuran layaknya aktris-aktris cantik film Indonesia yang berdarah campuran. Lalu kasta Sudra yang memuja dewa Wisnu digambarkan sebagai orang-orang tani yang diberi stigma berwajah jelek dengan hidung pesek. Lalu ada pula orang-orang Buddha yang juga tak lepas dari stigma karena kebencian, karena ada latar belakang dendam pada wangsa Syailendra dan Sriwijaya.

Dulu saya ingat pernah membaca soal telaah kolonialisme pada jaman agama Hindu dan segala turunannya pertama kali masuk ke pulau Jawa. Ada pertentangan antara penduduk asli dengan penduduk kolonial. Saya hampir lupa dengan isi telaah tersebut, namun dalam novel ini gambaran pertentangan orang-orang yang telah mendiami pulau Jawa selama ribuan tahun dengan orang-orang Hindu yang baru datang dalam telaah tersebut bisa digambarkan dengan baik meskipun tidak gamblang. Orang2 asli pulau Jawa sebagai kasta sudra/orang tani/pemuja Wisnu, sedang pendatang adalah kasta brahmana.

Kisah Ken Arok sendiri memang cukup melegenda dengan kutukan keris Mpu Gandringnya sendiri (kisah tentang kutukan ini sendiri hanya berada di Serat Paraton), namun dengan cara Pram sendiri kisah itu menjadi sebuah gambaran tentang bagaimana melawan ketidak-adilan.

View all my reviews

Ronggeng Dukuh Paruk (trilogi), Ahmad Tohari


Ronggeng Dukuh ParukRonggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari
My rating: 1 of 5 stars

Novel ini mungkin penggambaran terbaik dari apa yang dirasakan oleh para survivor/penyintas/korban salah satu tragedi paling hitam dalam sejarah Indonesia: Tragedi 1965. Menariknya novel ini pertama kali diterbitkan pada medio 1980an (1982), dimana kekuasaan Orde Baru di tengah puncak 'kejayaan'nya. Jadi apa seorang Ahmad Tohari sudah pernah merasakan diciduk oleh satuan Kodim terdekat?

Saya pernah membaca, Tragedi 1965 juga menghancurkan gerakan perempuan. Ini ditandai dengan pelarangan organisasi seperti Gerakan Wanita Indonesia (ngomong2 kenapa ya gerwani memakai kata wanita, sedang feminis kontemporer menolak kata wanita?). Meskipun tokoh Srintil tidak ikut dalam organisasi apapun, namun hanya digunakan sebagai alat partai (hal ini juga persis menggambarkan keadaan orang2 Lekra yang organisasinya dilarang dan anggotanya dipenjara). Srintil sendiri pun ketika menjadi seorang ronggeng, ia mulanya begitu bangga status dan identitasnya itu, namun setelah ia diciduk aparat dan dipenjara, nilai awalnya sebagai perempuan sebelum geger 1965 seketika dijauhi dan ia mengkonstruksi nilai seorang perempuan lain yang jauh dari ketika ia menjadi ronggeng; persis ketika Orde Baru menghancurkan gerakan perempuan dan mengkonstruksi sebuah pemahaman baru tentang perempuan yang penuh bias patriarkis dan ironisnya hingga sekarang nilai yang ditanamkan oleh Orde Baru itu masih langgeng di tengah masyarakat.

Dalam Tragedi 1965 sendiri banyak sekali orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban. Bagaimana premis ini kemudian dibawakan dalam novel persis ketika orang-orang Dukuh Paruk yang sama sekali tidak mengerti politik, namun hanya dimanfaatkan sebagai alat partai, akibatnya Dukuh Paruk ikut pula dihancurkan. Baca sendirilah kesaksian2 para penyintas yang betebaran di internet.

Yang paling lucu menurut saya sendiri sebenarnya sosok Sersan Slamet yang digambarkan sangat kebapakan.[]

View all my reviews

Rabu, 14 September 2016

September



Tidak terasa bulan September kembali datang. Dalam bulan September sendiri banyak peristiwa yang perlu diingat, bahkan mungkin peristiwa-peristiwa ini terus menghantui. Salah satunya Tragedi 1965. Peristiwa ini menelan korban—menurut komandan RPKAD waktu itu—3 juta orang terbunuh. Sungguh angka yang sangat fantastis.

Sebagai generasi millenial yang lahir pada medio 1990an--fyi saya lahir tahun 1992, mengingat Tragedi 1965 berarti juga mengingat PKI, mengingat PKI berarti juga mengingat Gerakan 30 September (seolah-olah hanya itu saja yang bisa diingat dari partai terlarang itu). Seingat saya, dulu mendengar Partai Komunis Indonesia atau PKI, hati mendadak bergetar. Bukan bergetar dalam maksud bangga, tetapi lebih seperti ketakutan. Kok bisa sih ketakutan seperti itu mendengar PKI diucapkan? Apa mungkin karena waktu kecil saya dihabiskan di Resimen Induk Militer dan Asrama Komando Distrik Militer? Atau karena ayah saya seorang Angkatan Darat?

Pertama kali terhenyak mendengar bahwa ada 3 juta orang yang terbunuh adalah ketika salah satu ustadz saya di Pondok Pesantren membawa isu ini—sebagai selingan pelajaran—di dalam kelas. Ustadz saya ini menyebut Tragedi 1965 sebagai sejarah hitam, yang entah mengapa kita tak pernah mendapat keterangan yang memuaskan untuk mengetahui hal yang terjadi sebenarnya, ada apa sih yang sebenarnya pada waktu itu?

Jika kita bertanya pada waktu dulu, kenapa sih orang-orang (dituduh) PKI ini dibunuh? Pertama, karena mereka ini akan mengganti dasar negara. Kedua, orang-orang ini tak bertuhan. Cukup lama sebenarnya saya menyadari kekeliruan atas pembenaran pembunuhan terhadap manusia-manusia ini. Saya ingat dulu sempat menghujat film Jagal (The Act of Killing) karena memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Tapi semakin kesini, rasa kemanusiaan saya semakin tumbuh. Tidak ada pembenaran bagi penghilangan paksa nyawa seorang manusia pun—mungkin terdengar sedikit radikal—baik manusia yang tidak bertuhan, maupun manusia yang ingin mengganti dasar negara. Bahkan kalau bicara dengan dasar agama, agama yang selama ini saya anut pun dalam kitab sucinya juga ditemukan larangan untuk membunuh manusia, siapapun itu.

Lalu semakin kesini—berkat semua literatur alternatif yang saya baca—berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam rangkaian Tragedi 1965 sedikit demi sedikit terkuak. Tidak hanya adanya pembunuhan, namun juga ada penyiksaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, pemfitnahan, stigma negatif, dsb. Semua hal yang semakin terkuak ini membuat saya penasaran, mengapa ada manusia yang tega melakukan hal-hal keji tersebut dan mereka tak terang-terangan menyesal? Apakah kemanusiaan tidak ada harganya lagi ya hari ini?[]

Senin, 12 September 2016

Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, Hamka


Tenggelamnya Kapal Van Der WijckTenggelamnya Kapal Van Der Wijck by Hamka
My rating: 1 of 5 stars

Hmmm tidak mendapat informasi yang signifikan tentang pergerakan nasionalis di sini. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1938, tahun dimana dipercaya para sejarawan sebagai masa-masa berakhirnya pergerakan nasionalis yang ditandai dengan dibuangnya para aktivis macam Soekarno, Hatta, Sjahrir dan dilarangnya Partai Nasional Indonesia.

View all my reviews

Rabu, 07 September 2016

Martin Suryajaya, Kiat Sukses Hancur Lebur


Kiat Sukses Hancur LeburKiat Sukses Hancur Lebur by Martin Suryajaya
My rating: 1 of 5 stars

Dibalik isinya yang merayakan omong kosong, tersimpan berlian-berlian ilmu bagi ahli kitab. Memang sulit awalnya karena ditulis tanpa alur yang jelas. Penasaran, Martin Suryajaya habis disantet dukun mana sampai nulis beginian. Namun saya rasa buku ini menjadi shock therapy bagi kita yang terbiasa dimanjakan oleh buku-buku yang mudah dibaca.

View all my reviews