Ada cerita yang panjang tentang perjalanan 'membaca' saya. Ada kegelian
sendiri kalau mengingatnya, kadang juga sedikit 'perih' ketika memang ada
satu-dua cerita yang memang dalam sekali dan membentuk saya seperti sekarang
ini. Yah, meskipun baru mengawali usia dua puluhan, masih terlalu dini untuk
bercerita, itupun kalau saya tidak mati muda.
Dibesarkan dalam perantauan, membuat saya 'dialienasikan' dari kemajuan
peradaban. Tepatnya--seingat saya Kecamatan Cempaka,
dekat dengan kota Martapura tapi sepertinya masuk dalam Kabupaten Banjarbaru
waktu itu, tepatnya di SECATA – RINDAM VI –
TANJUNGPURA – Kalimantan Selatan. Bisa disebut dengan pedalaman tempat itu
sebenarnya, karena jalan aksesnya melewati perbukitan hutan yang kalau malam
bisa sangat menakutkan karena hampir tidak ada penerangan jalan. Asramanya
cukup luas, saya ingat sekali cukup lama tinggal di kompleks yang paling
belakang sehingga berdekatan dengan hutan.
Sebenarnya saya lahir di Kuala Kapuas
(Kalimantan Tengah), kemudian ayah pindah tugas ke Banjarbaru itu tadi. Tak ada
ingatan tentang Kuala Kapuas yang saya ingat sama sekali, ini bisa dimaklumi
karena pindah ke Banjarbaru saya masih sekitar balita.
Tinggal di pedalaman pada waktu kecil,
akses untuk mendapatkan buku hampir tidak ada. Tetapi saya ingat ada saudara
sepupu yang tinggal satu provinsi, namun akses untuk mampir tidaklah cukup dekat.
Kemudian mereka ini berbaik hati untuk memberikan koleksi lama majalah
anak-anak bernama Bobo seluruhnya kepada saya. Saya senang sekali waktu itu,
meskipun banyak sekali hal-hal di Majalah Bobo yang belum saya mengerti waktu itu.
Hanya cerita bergambar saja yang saya baca. Maklum, masih kecil.
Menginjak kelas 4 SD, saya pindah ke
Sampit (Kalimantan Tengah) setelah konflik suku Dayak-Madura berada di tahap
rekonsiliasi. Meskipun berada di pusat kota, akses untuk membaca buku belum
bisa saya dapatkan, bisa dimaklumi karena Sampit habis terlanda konflik suku jadi
pembangunan sempat terhenti. Entah Sampit medio sekarang bagaimana, karena
sempat saat pulang liburan ke sana medio 2010, saya sempat membeli novel Dan
Brown bajakan di salah satu ruko pusat kota yang bahkan tidak khusus menjual
buku. Seingat saya, saat SD hanya Majalah Bobo yang jadi bacaan saya, selain
beberapa majalah hibah dari anak komandan ayah saya.
Pergi menuntut ilmu ke Jombang (Jawa
Timur) pun tak melebarkan bacaan saya. Yah, mungkin ada perpustakaan yang
koleksinya cukup banyak di sekolah saya. Namun hampir tak ada hal yang menarik
minat baca, karena mungkin masalahnya adalah tak ada semacam pengantar,
pendahuluan, briefing, pembekalan darimana kita mulai membaca. Saya ingat
sekali di perpustakaan waktu itu mendapat hibah majalah Tempo yang cukup
banyak.
Kemudian perkenalan saya kepada novel,
adalah ketika mengenal seseorang yang koleksi bukunya cukup banyak waktu itu,
maklum ia termasuk orang berada. Ia berbaik hati meminjamkan saya
novel-novelnya, hingga pada suatu waktu hubungan kita berdua tak begitu baik
yang reaksinya membuat saya kehilangan akses bacaan-bacaan yang menarik. Hal
yang disesali memang, namun dengan perkenalan itulah membuka wawasan tentang
buku apa yang saya cari di hidup ini.
Sempat saya pergi ke Surabaya untuk
mencari pusat toko buku bekas. Seingat saya tempat itu berada di dekat stasiun
yang cukup besar bernama Stasiun Pasar Turi. Hanya 2 kali saya kesana, mendapatkan
Perahu Kertas-nya Dewi Lestari dan sebuah buku motivasi bisnis. Meskipun cukup
kumuh namun koleksinya banyak sekali, namun karena jauh dan tak ada kawan yang
bisa dipakai tempatnya untuk istirahat, saya urung untuk kembali kesana.
Sempat juga membeli buku-buku secara
online, namun karena ongkos kirim yang lumayan mahal dan koleksi yang sedikit,
saya jadi tidak membeli lagi.
Kota sekelas Jombang waktu itu hanya
mempunyai satu toko buku yang cukup terkenal. Kemudian toko buku Toga Mas
membuka cabang di sana. Karena hampir tak pernah punya budget untuk membeli
buku gres-baru yang cukup mahal waktu itu hingga akhirnya membeli buku-buku
teknis teknis tentang software. Yah, saya ini memang generasi teknokrat, yang
kebodohannya cukup bebal waktu itu. Namun toko-toko buku Jombang koleksinya
memang cukup sedikit, sehingga harus pintar menyiasati bacaan, apalagi budget
pun tak seberapa.
Pada suatu waktu saya cukup galau untuk
memilih antara buku dan fashion. Masalah penampilan menjadi hal yang cukup
urgensi pada waktu itu, apalagi saya akrab dengan seseorang yang memang dekat
dengan hal ini. Fashion menjadi kiblat saya waktu itu, hingga saya juga membuat
sebuah clothing sendiri, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Banyak uang
keluar namun tak timbal balik yang bagus, hingga saya kapok dan mencari
alternatif fashion yang murah. Maklum, anak perantauan.
Lalu keaktifan saya mengikuti para
aktivis di sosial media membuat saya menemukan lagi hal-hal yang minimal harus dan
wajib dibaca oleh generasi muda Indonesia. Saya mengenal Pramoedya Ananta Toer
dan generasi-generasi sastrawan Lekra, generasi-generasi Eka Kurniawan (Puthut
EA, Linda Christanty, terakhir saya membeli buku Makhfud Ikhwan),
generasi-generasi sastra klasik Indonesia seperti Hamka, HB Jassin, generasi-generasi
baru sastra non-Raditya Dika, dll. Meskipun nama-nama itu besar dan panas,
namun tak semua bukunya saya peroleh karena budget. Sungguh masalah yang
klasik.
Hari ini, saya selalu ingin membeli buku
dan membacanya. Meskipun budget memang harus rajin-rajin dikumpulkan dahulu.
Tabique.