Rabu, 08 Juni 2016

Apa yang Tidak Kita Bicarakan Ketika Membicarakan Goo Hye-sun






Malam ini saya mendapat kabar bahwa Goo Hye-sun telah menikah Mei kemarin. Cukup mengagetkan juga sih, mungkin karena saya juga tidak pernah update dengan budaya pop korea. Jadi kenapa kita harus membicarakan Hye-sun?

Hye-sun adalah seorang entertainer yang cukup sukses di dalam kerasnya persaingan di bisnis hiburan Korea namun juga di sisi lain ia juga underrated. Menurut wikipedia, saat masa training di YG Entertainment awalnya ia disiapkan menjadi personil girlband (konon itu 2NE1) namun akhirnya diarahkan untuk fokus pada akting. Drama korea Hye-sun yang sukses besar di Indonesia saya hanya tau cuma Boys Over Flowers.

Awalnya saya tak memuja Hye-sun yang bisa termasuk dalam kadar terobsesi, namun ketika tau ia diperbolehkan berkecimpung dalam bidang kebudayaan lain selain dunia hiburan, saya terpesona olehnya. Hye-sun menulis novel, melukis dan membuat pameran/art exibition-nya sendiri, bernyanyi, dan membuat film. Bisa dikatakan ia ini seorang yang menjanjikan, dan saya memujanya karena itu. Kalau tidak berlebihan, ia semacam duta kebudayaan dari YG entertainment.

Ketika mendengar ia memutuskan untuk menikah—bahkan sudah menikah, saya teringat pada pekerja-pekerja dalam industri hiburan yang telah menikah. Selama ini sepertinya mereka memutuskan menikah ketika jadwal kerja dalam dunia tesebut melonggar. Ketika pasar utama Wonder Girls direbut oleh Girls Generation, salah satu personil mereka memutuskan menikah. Sedang Girls Generation sendiri belum ada tanda-tanda bahwa jadwal kerja mereka akan melonggar. Entahlah, ini asumsi saja.

Mungkin Hye-sun telah memikirkan hal ini kan ya. Atau mungkin ia sudah siap melangkah ke dalam fase baru dalam hidupnya. Saya juga sebenarnya juga cukup kaget dengan perubahan image dalam diri Hye-sun di dua tahun terakhir, ia terlihat sangat mature tidak seperti sebelumnya dengan image full cuteness. Entahlah.

Masih cukup penasaran juga dengan Hye-sun kedepannya. Apa ia akan mempunyai anak lalu memutuskan menjadi fulltime mother? Atau ada ambisi besar untuk melakukan kerja-kerja kebudayaan kembali? Atau mungkin hanya akan bermain di drama-drama seperti yang dilakukannya 2 musim terakhir? Mari kita lihat.***

Alkautsar dan Budaya Membaca



Jadi ada sebuah majalah bernama Alkautsar. Saya pernah melamar kerja di majalah ini, namun ditolak. Menurut orang penolakan itu normal, tapi bagi saya itu menyakitkan juga pada akhirnya. But anyway, itu tidak penting sebenarnya. Penolakan adalah hal yang normal, tapi membuat sebuah majalah kolektif itu hal yang lain.

Alkautsar pada suatu waktu membuat sebuah kampanye untuk membudayakan membaca pada warga Shiddiqiyyah. Hal ini berlangsung lama sekali, namun saya ragu kampanye ini berlangsung hingga sekarang. Mungkin puluhan kali Pak M, salah seorang guru saya menyampaikan kampanye budaya membaca ini, sampai saya bosan mendengarnya. Tidak ada yang salah dengan kampanye budaya membaca, toh saya suka membaca, namun saya meragukan niat Alkautsar untuk membangun budaya membaca.

Apa saja yang dilakukan Alkautsar untuk membangun budaya membaca? Hanya mengajak-ngajak lewat suara Pak M? Hanya menulis ajakan di dalam majalah tersebut? Hanya dengan slogan-slogan kosong tanpa adanya tindak lanjut dari slogan tersebut? Apa mereka menggunakan slogan itu hanya untuk mendongkrak penjualan majalah saja? Oh, tentu saja tidak.

Jika Alkautsar serius membangun budaya membaca, maka harusnya mereka ikut membangun sebuah tempat dimana semua orang bisa memiliki akses bacaan: perpustakaan. Itu langkah yang cukup kongkrit, namun tidak cukup hal tersebut saja. Kalau mereka lebih serius, mereka juga akan membangun sebuah kelas-kelas membaca, acara-acara untuk merayakan literasi dan juga diskusi-diskusi ilmiah dengan dipandu para ahli. Namun apakah mereka melakukan hal tersebut? Oh, tentu saja mereka melakukannya.

Apakah sudah terlambat seratus tahun untuk melontarkan kritik ini? Semoga saja tidak. Tabik.***

Selasa, 07 Juni 2016

Manusia yang Disebut Perempuan



Ada sebuah kisah yang selalu terngiang-ngiang di ingatan saya yang disampaikan oleh semacam pengajian modern yang diinisiasi oleh TED—oke, lucu juga menyebutnya pengajian. Kisah itu adalah sebuah pengalaman personal narasumbernya ketika mengaji bersama soal feminisme saat jaman bliyo kuliah pasca-sarjana.

Begini kira-kira kisahnya. Suatu hari ada 2 perempuan yang terlibat percakapan dalam kelompok belajar (study group). Satu perempuan kulit putih dan satunya perempuan kulit hitam. Perempuan kulit putih berkata, “Semua perempuan mengalami opresi yang sama sebagai wanita. Semua perempuan berada di suatu situasi yang sama dalam patriarki. Maka semua wanita mempunyai semacam solidaritas atau persaudaraan intuitif.”
Lalu perempuan kulit hitam menjawab, “Saya tak begitu yakin. Aku akan menanyakan sesuatu padamu.”
Jadi perempuan kulit hitam bertanya kepada perempuan kulit putih, “Saat kau bangun tidur dan bercermin, apa yang kau lihat?”

Jawab perempuan kulit putih, “Seorang perempuan.”

“Nah itu masalahnya. Karena saat saya bangun tidur dan melihat di cermin. Saya melihat perempuan kulit hitam. Buatku ras tampak nyata. Tapi untukmu tidak.” Jawab perempuan kulit hitam.

Kemudian dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Katanya, “Seperti itulah hak istimewa (privilege). Tidak kelihatan bagi yang memilikinya.”

Itulah kenyamana bagi orang kulit putih di situ, tidak perlu memikirkan soal ras sepanjang waktu. Hak istimewa itu tak terlihat bagi yang memilikinya.

Waktu itu narasumber hanya satu-satunya lelaki di dalam lingkaran kelompok belajar tersebut. Jadi ketika bliyo menyaksikan hal itu, bliyo berkata, “Oh tidak. “

Lalu seseorang berkata, “Reaksi macam apa itu?”

Bliyo berkata, “Ketika saya bangun dan melihat ke cermin. Saya melihat seorang manusia. Saya orang yang general. Saya lelaki kulit putih kelas menengah. Tanpa ras, kelas, gender. Saya dapat digeneralisikan secara universal.”

Narasumbernya adalah Michael Kimmel. Bisa dilihat di sini. Menarik untuk disimak, karena selain Michael menyampaikannya dengan cara yang menyenangkan, Michael juga ikut mendukung keterlibatan lelaki dalam memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality). Saya pernah dengar bahwa mendukung keterlibatan lelaki dalam memperjuangkan kesetaraan gender adalah sebuah penemuan feminisme paling mutakhir, karena mereka mempelajari kesalahan feminisme gelombang sebelumnya yang tidak menyertakan peran lelaki.

Hal-hal ini jadi mengingatkan saya sama Emma Watson, aktris cantik-idola-kita-semua ini ditunjuk PBB untuk ikut berkampanye dalam mengikutkan peran serta lelaki dan diberi judul HeForShe. Saya sebenarnya belum baca apa-apa tentang HeForShe—bahkan belum nonton pidatonya Em, tapi kalau melihat trennya memang sudah banyak lelaki ikut peran serta dalam keseteraan gender.

Tapi ya begitu, dalam dunia kekiri-kirian juga banyak perdebatan feminisme tersendiri. Nah hal ini yang pengen saya pahami dulu sebenarnya.***

Rabu, 25 Mei 2016

Mundurnya Kegiatan Musik di THGB: Sebuah Refleksi*



Oleh Mochammad IH

Pendahuluan

Musik, menurut hemat penulis adalah salah satu bentuk seni yang dimana adalah sebuah ekspresi kemanusiaan. Jadi seni secara umum dan musik secara khusus, tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia pada umumnya. Erat kaitan musik sebagai bagian dari kemanusiaan bisa dilihat dari contoh bagaimana masyarakat hari ini merevolusi sebuah alat, sebuah aplikasi bernama pemutar musik menjadi lebih canggih dan mutakhir, dari awalnya berupa sebuah pemutar cakram yang besar seperti lemari baju, lalu menjadi lebih kecil hingga bisa digenggam oleh tangan.
Sebagai lembaga pendidikan keimanan dan kemanusiaan yang bernafaskan tassawuf, Tarbiyyah Hifdhul Ghulam wal Banat (selanjutnya disingkat THGB) tak terlepas dari kegiatan bermusik sebagai bagian dari kesenian. THGB bahkan memiliki sejarah panjang dalam membangun kancah permusikan mereka dan membuat ruang-ruang yang membuka untuk mengekspresikan kesenian terutama musik.
Penulis sendiri, semenjak masuk dan mengikuti pendidikan di THGB, merasakan sendiri atmosfir hidup kegiatan bermusik di dalam ruang-ruang ekspresi yang dibangun oleh THGB. Setiap tahun selalu ada kegiatan bermusik yang selalu dinanti, sebuah acara berkonsep lomba yang menghadirkan puluhan peserta dengan keragaman yang sungguh sangat mencengangkan, mulai dari lagu pop yang digilai remaja, musik-musik lucu-lucuan khas muda-mudi, lagu-lagu kritik sosial, hingga musik-musik yang dianggap haram jadah oleh mayoritas namun diam-diam dicintai oleh para pemuja yang malu-malu untuk mengakuinya. Hal ini berlangsung tidak hanya sekali-dua kali saja, namun berkali-kali sepanjang penulis mengenyam pendidikan di Bustan Tsani dan Tsalits.
Kegiatan bermusik yang disebutkan di atas belum termasuk ruang-ruang ekspresi lain diadakan oleh Pondok Pesantren yang kala itu masih bernama Majma’al Bahrain - Shiddiqiyyah, di luar THGB. Ruang-ruang bermusik ini bahkan memiliki sejarah yang lebih panjang dan hadir sebelum penulis berpijak di THGB, penulis hanya bisa menyebutkan beberapa, diantaranya Langen, Parade Musik Shilaturahmi Opshid Seluruh Indonesia dan Jazz Root.
Masa-masa yang penuh gairah ini berlanjut dan berusia lumayan panjang, puncaknya ketika penulis mengenyam pendidikan di Bustan Tsalits, para pemerhati kegiatan bermusik membuka sebuah ruang yang cukup besar untuk edukasi musik berkonsep kegiatan ekstrakulikuler, yang berarti di luar jam sekolah. Puncaknya ketika para peserta ekstrakulikuler ini membuat ruang berekspresi dengan konsep festival musik bertajuk Memperjuangkan Cinta Tanah Air Melalui Seni #1 dan #2. Dua acara inilah yang menurut penulis menjadi titik rekonstruksi dengan apa yang kini dirayakan sebagai Hari Musik THGB.[1]
Tentu saja bila dihubungkan dengan keadaannya sekarang, kegiatan bermusik di lingkungan THGB sungguh mengalami kemunduran secara signifikan, bila tak mau disebut memprihatinkan. Semua yang pernah merasakan gairah kegiatan bermusik yang meletup-letup saat itu, pasti bertanya-tanya dan gelisah: mengapa bisa ruang-ruang yang penuh semangat untuk berkarya itu bisa hilang? Apakah ada sesuatu yang salah? Dimana letak kesalahannya? Untuk menghadapi kegelisahan-kegelisahan hati terhadap masa depan ruang kegiatan musik di THGB, penulis di sini ingin membagikan pandangan penulis berupa beberapa faktor yang menjadi penyebab kemunduran kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini menjadi titik pemicu diskusi yang lebih panjang bagi kita semua untuk masa depan kegiatan bermusik di THGB.

Berkembangnya Stigma Negatif Terhadap Kegiatan Bermusik

Banyak kesaksian dari teman-teman penulis yang peduli terhadap kegiatan bermusik di THGB yang menyampaikan bahwa pihak pengurus sekolah tidak pernah mendukung kegiatan ini. Tapi menurut penulis penolakan dukungan dari pihak pengurus sekolah ini didasari berkembangnya stigma negatif diantara pengurus.
Stigma negatif yang berkembang antara lain, pertama, bahwa kegiatan bermusik oleh siswa-siswi THGB sering disalahgunakan untuk pacaran. Stigma ini muncul dan berkembang ketika kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik sering diadakan pada malam hari, hingga puncaknya timbul kebijakan dari pengurus sekolah dan pesantren untuk memasang jam malam untuk para siswi THGB. Kebijakan ini memukul telak kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik tanpa adanya relokasi waktu dan tawaran solusi dari pemegang kebijakan terkait, yaitu pengurus sekolah.
Kedua, kegiatan bermusik dianggap tidak memiliki faedah yang cukup besar. Jika dibandingkan dengan program-program kursus keterampilan yang berada di dalam kegiatan kokulikuler, kegiatan bermusik mungkin tidak menjamin nilai ekonomis. Namun seperti kisah kesaksian penulis di atas, ditambah dengan banyak sekali alumni-alumni THGB yang dikenal expert di bidang musik, stigma ini menjadi berkontradiksi, kalau tidak mau dibilang tidak masuk akal.
Stigma-stigma negatif ini perlu diluruskan, agar tak ada lagi salah paham. Juga perlu diadakan dialog antara para pemerhati kegiatan bermusik dengan pengurus THGB. Ini semua perlu dilakukan agar terjadi kesepakatan diantara dua pihak.

Biaya Akomodasi yang Kian Tahun, Kian Mahal

Inflasi sejak dulu menjadi musuh bagi perekonomian bagi sebuah negara, apalagi ketika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat, sehingga masyarakat semakin terjepit dengan harga-harga barang yang begitu tak terjangkau[2]. Karena inflasi pun, kebutuhan logistik untuk mengadakan ruang-ruang kesenian pun ikut tak terjangkau. Hal ini menyulitkan para pegiat kesenian dan pengurus sekolah untuk menyusun anggaran, apalagi bila sisi pemasukannya tidak seimbang dengan pengeluaran. Hal ini tidak hanya dialami oleh ruang-ruang kesenian di THGB saja, namun juga dialami oleh ruang-ruang kesenian pada umumnya.
Menurut penulis hal ini cukup bisa diatasi. Mencontoh pada pergerakan musik arus pinggir kontemporer Indonesia yang sangat ramai dibicarakan, ruang-ruang ekspresi musik bisa dibuat, dihidupkan dan dikembangkan dengan lebih sederhana tanpa menguras biaya berlebihan. Seperti memakai tempat yang lebih kecil, dengan sound system yang terlalu besar dan sebagainya. Hal seperti ini biasa mereka lakukan dan pada akhirnya bisa berkembang menjadi lebih besar.[3]

Pelajaran Kesenian yang Tidak Dimasukkan ke Dalam Mata Pelajaran Wajib Sekolah

Bila pelajaran kesenian dimasukkan ke dalam kurikulum wajib sekolah, hal ini merupakan kemajuan dan keberhasilan yang besar yang diperoleh oleh THGB, setidaknya ini sebuah niat yang sangat bagus bila THGB sangat memperhatikan soal kesenian, khususnya musik. Hal ini masih bisa diperdebatkan, misalnya mungkin dengan memasukkan kesenian sebagai kurikulum THGB, mungkin tidak cocok dengan tujuan awal dari pendirian THGB. Namun mengingat sejarah panjang kegiatan berkesenian sepanjang THGB berdiri, hal ini merupakan jawaban bahwa, meminjam istilah dari tema yang sering digunakan oleh ektrakulikuler musik: seni tidak bisa dipisahkan dari THGB.
Penulis berpikir bahwa kita bisa berkaca pada pelajaran olahraga yang telah menjadi kurikulum wajib THGB hari ini. Saat penulis masih mengenyam di Bustanuts Tsalis, tidak pernah ada pelajaran olahraga yang penulis ikuti sebagai kegiatan wajib yang berada pada jam sekolah. Namun setelah setahun kemudian setelah penulis lulus dari Bustanuts Tsalis, pelajaran olahraga masuk dalam jam sekolah. Ini adalah sebuah kemajuan dari THGB, sebuah proses panjang dengan refleksi dan pembaruan yang terus menerus dilakukan. Kesenian pula bakal ikut mewarnai proses ini hingga mencapai sebuah kemajuan baru yang dilakukan oleh THGB, meskipun perlu adanya proses untuk itu. Perlu juga untuk mempelajari kajian historis dari dimasukkannya pelajaran olahraga ke dalam kurikulum THGB. Hal ini mungkin akan dibahas di lain waktu.
Jangan khawatir pada sumber daya manusia untuk mengisi ruang-ruang kesenian bila kesenian  berhasil dimasukkan ke dalam kurikulum THGB. Banyak sekali alumni THGB yang tidak perlu dibuktikan lagi dedikasi dan keilmuannya terhadap kesenian, terutama musik.

Penutup

Demikianlah paparan penulis tentang faktor-faktor kemunduran kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini menjadi titik awal diskusi untuk menemukan titik terang masa depan ruang-ruang kesenian di Tarbiyyah Hifdhul Ghulam wal Banat.
Tulisan ini tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan, untuk itu penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Kemudian penulis sangat berbahagia bila ada yang memberi tanggapan terhadap tulisan ini berupa tulisan juga, sehingga menjadi sebuah diskusi yang menarik diikuti. Bila banyak sekali tanggapan yang masuk terhadap tulisan ini, barangkali bisa dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Semoga Alloh meridho’i semua kerja-kerja kita. Amin. Selamat Hari Musik THGB.***

*Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut Hari Musik THGB pada 26 Sya’ban 1437 H.
Mochammad IH adalah murid Maqoshidil Qur’anil Mubiin angkatan 8 dan anggota Solidaritas Peduli Musik THGB.

Kepustakaan
[1] Hari Musik THGB diperingati tiap tanggal 26 Sya’ban. Yang menjadi dasar dari peringatan ini adalah surat dari Almukarrom Kyai Mochammad Muchtar Mu’thi kepada kepala THGB waktu itu, (alm) bapak Mochammad Munif yang memutuskan untuk menetapkan tanggal 26 Sya’ban sebagai Hari Musik. (Surat ini disimpan dan ditunjukkan kepada penulis oleh (alm) bapak Mochammad Munif).
[2] Ida Muliyati; Rentetan Sejarah Inflasi Indonesia, Jejak Penderitaan Masyarakat Kecil | Redaksi LPM Jurnal Kampus FE Unlam http://redaksijurnalkampus.blogspot.co.id/2014/03/rentetan-sejarah-inflasi-indonesia.html
[3]Lihat Walk the Folk yang diinisiasi oleh Sandi Kalifadani dan Mira Asriningtyas. Gig ini adalah pengembangan dari Folk Afternoon, sedang Folk Afternoon sendiri merupakan sebuah acara musik sederhana yang meniadakan batas antara panggung dan penonton dengan justru membuka ruang bermusik seluas-luasnya: tidak ada bintang tamu, tidak ada sound, tidak perlu kemampuan bermusik yang hebat, dan tidak ada panggung secara resmi. (Titah Asmaning; Walk the Folk: Piknik, Musik, Kisah dan Jalan Kaki; Majalah Cobra http://majalahcobra.com/blog/walk-the-folk-piknik-musik-kisah-dan-jalan-kaki.html )

Kamis, 05 Mei 2016

Soal Printer



Adakah seseorang yang bisa membantu dan menemani saya untuk membeli printer?

Memang printer untuk apa?

Untuk mencetak buku dengan sederhana.

Buku apa?

Bukan buku, terlalu tebal itu. Buku kecil seperti pamflet atau zine. Isinya berupa propaganda gerakan kiri.

Memang printer yang di sekretariat organ pemuda sosial nir-demokrasi itu nda bisa dipakai?

Saya se666an. Soalnya bahan yang mau dicetak banyak sekali dan berkelanjutan. Sebenarnya bisa saja membantu membeli tinta dan barang-barang yang diperlukan, tetapi masalahnya saya tidak dekat dengan administratur-nya.

Bagaimana kalau bertanya sepupumu yang bekerja di TU sekolah itu, barangkali dia bisa membantu?

Boleh dicoba. Mungkin saya akan bertanya tentang printer yang bisa dipakai dan membelinya dimana. Tapi takutnya orang tua tahu soal ini, sedangkan uang yang saya pakai untuk membeli dari orang tua. Ah. Sial.

Kamu parno sekali ya.

Iya nih.

...........

Mungkin barangkali aku minta tolong temanku yang pernah kerja di servis printer itu.

Tapi sepertinya kamu nda yakin gitu.

Iya nih. Sial.***