Sabtu, 31 Oktober 2015

Catatan Kematian #1: Bila Aku Mati Muda

credit https://bayuindrap.wordpress.com/2014/03/04/soe-hok-gie-mati-muda/


Bulan Oktober adalah bulan yang istimewa bagi saya, dikarenakan saya lahir ke dunia di bulan ini. Tepat 10 Oktober 2015 kemarin, saya genap berusia 23 tahun. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini saya tidak meributkan bertambahnya umur sebagai sebuah aib. Entahlah, menurut saya meributkan hal seperti itu (lagi), seperti hal yang omong kosong. Mungkin karena pandangan saya tentang umur telah berubah dengan radikal 180 derajat. Juga pandangan politik saya, ah itu soal lain. Hal yang sia-sia juga menyebutkan hal bertambah-umur-bagai-aib, mungkin karena saya juga merasa berdosa dulu melakukan hal tersebut (meskipun tujuannya bercanda).

Bila aku mati muda, sebuah judul yang lumayan provokatif dan berpotensi menimbulkan polemik. Setidaknya itu asumsi saya sih. Tidak lain dan tidak bukan, tulisan ini akan mengkaji bagaimana saya memandang beberapa tokoh yang kebetulan singkat sekali mendapat kesempatan hidup di dunia. Tokoh-tokoh mati muda ini cukup beruntung masih dikenang hingga sekarang, bahkan beberapa orang membuat tulisan berisi kompilasi tokoh-tokoh yang mati muda[1]. Mungkin keberuntungan untuk dikenang itu pendapat yang cukup prematur, yang pada dasarnya adalah hasil dari usaha menjawab pertanyaan: Mengapa mereka dikenang? Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan semasa hidupnya hingga dikenang?

Guru saya sering bilang dalam berbagai pengajian, hidup itu seperti buku tulis. Lembaran-lembarannya adalah hari-hari kita. Apa yang kita lakukan pada hidup kita seperti kita menulis di dalam buku tersebut. Namun bliyo menekanken, hidup itu bukan soal panjang dan pendeknya umur, tapi kualitas hidup (bukan kuantitas hidup--bila memang perlu perbandingan). Kualitas hidup kita ditentukan oleh apa saja yang kita lakukan selama tinggal di atas bumi ini. Percuma jika berumur panjang tapi hal-hal yang kita lakukan setiap hari sama sekali tidak berkualitas. Pandangan hidup seperti inilah salah satu yang membuat saya memandang bahwa mati muda itu bukan perkara ingin terlihat keren dan berbeda, tapi ini soal bagaimana kita berkontribusi untuk masyarakat dan umat manusia pada umumnya.

Soe Hok Gie, aktivis tobat itu[2] adalah salah seorang yang mati muda. Menurut saya apa yang membuat ia dikenang dan hidupnya berkualitas namun singkat adalah bagaimana dia menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk kemajuan bangsa ini. Dan sampai sekarang tulisan-tulisannya, baik yang berbentuk buku, buku harian maupun kumpulan tulisannya masih dibaca dengan penuh minat oleh generasi sekarang (atau mungkin pembaca ingin disebut sebagai Generasi Y?). Kisah-kisah heroiknya sebagai aktivis mahasiswa (meskipun terdapat propaganda Orde Baru di dalamnya) terus didaur ulang dan terus menginspirasi banyak anak muda tiap generasinya.

Gie adalah salah satu contoh dari sekian banyak tokoh-tokoh yang mati muda. Masih banyak lagi tokoh-tokoh hebat yang mati muda, mulai dari WR. Soepratman, Rosa Luxemburg, Widji Thukul, para mahasiswa yang ditembak mati medio '98, Sondang[3] hingga Sebastian, seorang martir dan juga seorang aktivis buruh yang membakar diri pada Hari Buruh pada Mei 2015 ini[4].

Dari pandangan-pandangan radikal tersebut sudah terlihat jelas bukan soal lebih bahagia mati muda atau tidak, namun lebih terlihat pada kekhawatiran saya jika saya tidak mampu berkontribusi kepada dunia ini, umat manusia atau bahkan bangsa ini. Ini bukan ketakutan akan dilupakan ketika mati seperti para tokoh dalam film The Fault In Ourstars[5], hal ini hanya ketakutan saya bahwa hidup saya akan dijalani dengan sia-sia tanpa kontribusi apapun, hanya makan, minum dan tidur. Sepertinya ada obsesi tersendiri untuk menjadi orang besar dengan jasa yang besar pula. Bukankah guru kita mengharapkan kita menjadi seorang yang punya pemikiran yang besar?

Baiklah, kalimat terakhir dalam paragraf sebelumnya itu untuk kawan-kawan seangkatan saya. Para kawan politbiro[6] dalam organ angkatan saya sering mempropagandakan bahwa seluruh kawan-kawan adalah generasi para jenius-jenius dunia, para akademisi yang cemerlang, calon-calon tokoh yang merubah dunia. Mungkin propaganda ini salah satu faktor yang membuat saya mempunyai obsesi besar untuk menjadi besar. Ah, saya malu untuk mengakuinya. Tapi toh apa salahnya ingin menjadi orang yang merubah dunia?

Sebagai salam perpisahan, saya ingin mengutip Arista Ayu Nanda dan Andri Setiawan dalam majalah Lentera yang dibredel itu[7]. Mereka berdua menggambarkan dengan diksi bagaimana seseorang diingat dengan samar-samar.

"Keberadaannya tenggelam ke dalam memori masyarakat Salatiga. Terhanyut dalam bisingnya zaman, yang melena orang untuk melupakan kepingan sejarah dari tempat kakinya berpijak. Kisah seakan tak berarti, hanya menjadi cerita yang acapkali dianggap angin lalu."

[1] 15 tokoh ternama yang meninggal pada usia 27 tahun http://www.beritaunik.net/unik-aneh/15-tokoh-ternama-yang-meninggal-pada-usia-27-tahun.html
[2] Soe Hok Gie adalah aktivis pergerakan mahasiswa yang memimpin demonstrasi anti-PKI, menumbangkan rezim Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno dan mendukung serta membangun Orde Baru-nya Angkatan Darat dengan naif. Setelah dia mengetahui bahwa Orde Baru dibangun dengan pertumpahan darah, dia langsung membenci, mengkritik, dan melawan rezim tersebut hingga akhir hayatnya. Tulisan-tulisannya soal Orde Baru bisa dilihat dalam buku kumpulan tulisan Soe Hok Gie, Zaman Peralihan.
[3] Wawancara Imajiner Dengan Sondang Hutagalung https://www.facebook.com/notes/hotasi-simamora/wawancara-imajiner-dengan-sondang-hutagalung/10150453908624720
[4] Sebastian, Sampaikan Salam Kami Kepada Sondang http://www.rmoljakarta.com/read/2015/05/04/4408/Sebastian,-Sampaikan-Salam-Kami-untuk-Sondang-
[5] The Fault In Our Stars http://www.imdb.com/title/tt2582846/
[6] Politbiro berarti dewan eksekutif. https://id.wikipedia.org/wiki/Politbiro
[7] Pembredelan Majalah Lentera http://www.rappler.com/indonesia/110304-pembredelan-majalah-lentera

Kamis, 09 April 2015

Rabu, 25 Maret 2015

Sabtu, 21 Maret 2015

Sabtu, 07 Maret 2015

Bukan Cuma Butuh Irigasi

Oleh Mochammad IH

Setiap pagi, selalu hari
Hidup seperti tak melangkah
Lalu apa ada pilihan lain?

Hanya mencari air untuk berkebun
Jarak layaknya kembali purba
Ironi pada abad dua puluh
Lalu apa ada pilihan?

Terjebak di dataran ini
Penuh tandus dan takdir
Lalu siapa yang mau peduli?
Lebih baik hidup di tengah kaum urban

25/02/2015/23.06pm

--------------------------------------------------------------------------------------

Selama setahun ini karena socalled “tugas pendidikan”, saya menghabiskan banyak waktu di sebuah desa bernama Puri Semanding, Plandaan, Jombang. Yah, meskipun hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi di sana, namun faktanya hanya beberapa orang pribumi yang berkomunikasi dengan saya dan teman-teman.

Desa ini termasuk dataran tinggi, namun tandus. Sumber-sumber air, sungai-sungai ada, namun hanya sekeliling situ saja, tak merata. Sebagian besar area desa ini adalah pertanian, umumnya adalah padi. Namun jalan yang saya lewati setiap hari, saya menemukan bahwa mereka tidak menanam padi, tapi menanam palawija (yang cocok dengan tanah tandus). Sedangka tanaman padi banyak ditemukan di lahan-lahan yang dekat dengan sumber air. Lalu dimana mereka-yang-menanam-palawija mendapat air? Mirisnya mereka menimba air di sumber air atau sumur terdekat, yang kadang lumayan jauh dari lahan mereka. Mereka jelas tidak bisa menimba air dengan banyak, jadi harus bolak-balik menimba air seharian hingga lahannya bisa tercukupi dengan air. Namun setelah panen, apakah hasilnya sepadan dengan usaha mereka? Melihat rata-rata penduduk desa masih berada di garis kemiskinan, sepertinya tidak.

Hal yang sama juga saya temui di sebuah dusun di Wonosalam, saya lupa namanya. Sekilas melihat tanah mereka ditumbuhi dengan palawija, sepertinya mereka senasib dengan di Puri. Namun ini perlu studi lebih lanjut karena belakangan saya mendengar bahwa hasil utama yang membangun perekonomian Wonosalam adalah hasil perkebunan dan pariwisata, apalagi tiap tahun Pemda membuat agenda rutin bertajuk KenDuren, pesta panen buah Durian.

Dataran tinggi memang bebas banjir, namun selepas hujan, air tidak berhenti karena mereka mengalir ke dataran yang lebih rendah. Harusnya di tahun 2015 ini ada teknologi yang membuat mereka tidak kesulitan memperoleh air di dataran tinggi.

Sebagai alternatif lapangan pekerjaan sebenernya ada dua pabrik di daerah Jombang bagian utara. Yaitu di Ploso dan Kabuh. Namun saya mendapati pabrik tak dibangun di Plandaan, mungkin belum, saya tak tahu.

Kembali lagi ke bahasan awal, jadi apa yang bisa kita lakukan? Harapan saya, ada insinyur-insinyur yang terjun ke desa dengan rasa penderitaan yang sama dengan membuat program mandiri bersama masyarakat untuk mengatasi masalah ini.

Ketika isu kampus sebagai pabrik tenaga kerja kerah putih berhembus, saya yang tidak menempuh pendidikan formal pun kaget. Setelah kaget, lalu bertanya: kalo memang kampus sebagai pabrik tenaga kerah putih, bukan idealnya sebuah kampus lalu kampus yang ideal harusnya menghasilkan apa? Menurut saya idealnya, kampus menghasilkan kaum intelektual yang membereskan masalah-masalah seperti ini dengan proyek berbayar maupun proyek mandiri. Dan tentunya sesuai kapasitas masing-masing. Karena kaum intelektual muda adalah harapan bangsa, siapa lagi kalo bukan anak-anak muda intelektual ini yang membangun bangsanya sendiri? Bukan menjadi kelas menengah dengan gengsi setengah mati, termakan gaya hidup hedonis.

*Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif