Oleh Mochammad IH
Setiap pagi, selalu hari
Hidup seperti tak melangkah
Lalu apa ada pilihan lain?
Hanya mencari air untuk berkebun
Jarak layaknya kembali purba
Ironi pada abad dua puluh
Lalu apa ada pilihan?
Terjebak di dataran ini
Penuh tandus dan takdir
Lalu siapa yang mau peduli?
Lebih baik hidup di tengah kaum urban
25/02/2015/23.06pm
Selama setahun ini karena socalled “tugas pendidikan”, saya menghabiskan banyak waktu di sebuah desa bernama Puri Semanding, Plandaan, Jombang. Yah, meskipun hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi di sana, namun faktanya hanya beberapa orang pribumi yang berkomunikasi dengan saya dan teman-teman.
Desa ini termasuk dataran tinggi, namun tandus. Sumber-sumber air, sungai-sungai ada, namun hanya sekeliling situ saja, tak merata. Sebagian besar area desa ini adalah pertanian, umumnya adalah padi. Namun jalan yang saya lewati setiap hari, saya menemukan bahwa mereka tidak menanam padi, tapi menanam palawija (yang cocok dengan tanah tandus). Sedangka tanaman padi banyak ditemukan di lahan-lahan yang dekat dengan sumber air. Lalu dimana mereka-yang-menanam-palawija mendapat air? Mirisnya mereka menimba air di sumber air atau sumur terdekat, yang kadang lumayan jauh dari lahan mereka. Mereka jelas tidak bisa menimba air dengan banyak, jadi harus bolak-balik menimba air seharian hingga lahannya bisa tercukupi dengan air. Namun setelah panen, apakah hasilnya sepadan dengan usaha mereka? Melihat rata-rata penduduk desa masih berada di garis kemiskinan, sepertinya tidak.
Hal yang sama juga saya temui di sebuah dusun di Wonosalam, saya lupa namanya. Sekilas melihat tanah mereka ditumbuhi dengan palawija, sepertinya mereka senasib dengan di Puri. Namun ini perlu studi lebih lanjut karena belakangan saya mendengar bahwa hasil utama yang membangun perekonomian Wonosalam adalah hasil perkebunan dan pariwisata, apalagi tiap tahun Pemda membuat agenda rutin bertajuk KenDuren, pesta panen buah Durian.
Dataran tinggi memang bebas banjir, namun selepas hujan, air tidak berhenti karena mereka mengalir ke dataran yang lebih rendah. Harusnya di tahun 2015 ini ada teknologi yang membuat mereka tidak kesulitan memperoleh air di dataran tinggi.
Sebagai alternatif lapangan pekerjaan sebenernya ada dua pabrik di daerah Jombang bagian utara. Yaitu di Ploso dan Kabuh. Namun saya mendapati pabrik tak dibangun di Plandaan, mungkin belum, saya tak tahu.
Kembali lagi ke bahasan awal, jadi apa yang bisa kita lakukan? Harapan saya, ada insinyur-insinyur yang terjun ke desa dengan rasa penderitaan yang sama dengan membuat program mandiri bersama masyarakat untuk mengatasi masalah ini.
Ketika isu kampus sebagai pabrik tenaga kerja kerah putih berhembus, saya yang tidak menempuh pendidikan formal pun kaget. Setelah kaget, lalu bertanya: kalo memang kampus sebagai pabrik tenaga kerah putih, bukan idealnya sebuah kampus lalu kampus yang ideal harusnya menghasilkan apa? Menurut saya idealnya, kampus menghasilkan kaum intelektual yang membereskan masalah-masalah seperti ini dengan proyek berbayar maupun proyek mandiri. Dan tentunya sesuai kapasitas masing-masing. Karena kaum intelektual muda adalah harapan bangsa, siapa lagi kalo bukan anak-anak muda intelektual ini yang membangun bangsanya sendiri? Bukan menjadi kelas menengah dengan gengsi setengah mati, termakan gaya hidup hedonis.
*Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar