Selasa, 21 Juni 2016

Little Forest dan Refleksinya Terhadap Masyarakat Kontemporer


 

Inginnya mencoba mereview film lagi. Kali ini film dwilogi dari jepang berjudul Little Forest yang dibintangi oleh Ai Hashimoto yang berperan sebagai Ichiko. Bercerita tentang seorang gadis yang kembali ke desa kelahirannya setelah beberapa tahun tinggal di kota. Filmnya sendiri berfokus pada kehidupan Ichiko di desanya dengan disertai bayang2 masa lalunya sebagai lantar konflik cerita.


Sebenarnya kalo dari segi cerita, film ini nga bagus bagus amat bahkan terkesan datar karena konfliknya nga ada yang begitu greget. Nilai lebihnya berada gambar2 cantik panorama desa dan resep resep masakan Ichiko yang benar2 memperlihatkan keterampilan dan kegesitan Hashimoto memasak.


Yang pengen saya fokuskan adalah bagaimana film ini juga menyampaikan kritik sosial pada masyarakat pasca-fordisme meskpun gak bisa dibilang kritiknya gak fundamental amat. Kehidupan Ichiko sebagai masyarakat kota digambarkan sangat nelangsa, mulai dari makan seadanya dan kerja yang sangat keras di tempat kerja. 




Soal makan seadanya ini, Ichiko diharuskan membeli makanannya sendiri dimana sangat kontras sekali dengan kehidupannya di desa, dimana ia menanam, memanen dan memasak sendiri seluruh bahan makanannya dan ia merasa berkecukupan (meskipun beberapa bumbu memang harus beli). Di kota (dimana kapitalisme bercokol sangat dalam), Ichiko sangat merasa kekurangan dengan upah yang sedikit dan ia memaksa dirinya sendiri untuk berhemat tapi pada akhirnya di akhir bulan ia tetap kekurangan. Ini sangat cocok dengan semangat efisiensi dalam kapitalisme terhadap segala biaya produksi termasuk di dalamnya upah untuk pekerja seperti Ichiko yang harus ditekan sekecil-kecilnya. Digambarkan juga dalam satu scene dimana salah satu teman kerja Ichiko yang hanya minum soda dan satu pil vitamin untuk makan siang agar ia tetap bisa bekerja. Menyeramkan.

Yang kedua, supermarket dimana Ichiko bekerja tidak menampilkan pekerja-pekerja yang lebih tua umurnya dari Ichiko. Hal ini sangat kontras dengan kehidupan di desa Ichiko (ya ampun saya lupa namanya), dimana petani-petani di desanya masih didominasi oleh orang-orang tua yang sudah kakek-nenek. Hal ini menurut saya bisa dibandingkan dengan masyarakat Indonesia kontemporer yang mengkritik sistem kerja outsourcing/kontrak. Kita bisa melihat pekerja di minimarket merah dan biru yang selalu dihiasi oleh pekerja-pekerja muda fresh graduate tanpa pernah kita melihat pekerja yang berusia lebih dari 30/40 tahun, karena mereka menerapkan sistem kerja kontrak. Sistem kerja kontrak sendiri sudah banyak dikritik karena tidak berkeadilan bahkan selalu menjadi isu yang dibawa oleh gerakan buruh di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. 


Sedangkan di pelosok desa-desa di daerah Indonesia sendiri masih bisa kita lihat petani-petani yang usianya sudah tidak bisa disebut muda lagi namun dengan produktivitas kerjanya juga tidak bisa kita remehkan. Namun sayangnya kesejahteraan mereka tidak seperti para tengkulaknya. Seringkali para petani ini dipermainkan oleh para tengkulak dengan membeli gabah mereka dengan harga yang tidak pantas dan menjual kembali gabah mereka dengan harga setinggi-tingginya. Ini belum menyebut soal pembagian kelas petani berdasarkan kepemilikan tanah, ada yang memiliki tanah berhektar2, ada pula yang sama sekali tidak memiliki tanah.


Demikian ulasan singkat film Little Forest, maaf nyampah di timeline anda. Tabik.***

Rabu, 08 Juni 2016

Apa yang Tidak Kita Bicarakan Ketika Membicarakan Goo Hye-sun






Malam ini saya mendapat kabar bahwa Goo Hye-sun telah menikah Mei kemarin. Cukup mengagetkan juga sih, mungkin karena saya juga tidak pernah update dengan budaya pop korea. Jadi kenapa kita harus membicarakan Hye-sun?

Hye-sun adalah seorang entertainer yang cukup sukses di dalam kerasnya persaingan di bisnis hiburan Korea namun juga di sisi lain ia juga underrated. Menurut wikipedia, saat masa training di YG Entertainment awalnya ia disiapkan menjadi personil girlband (konon itu 2NE1) namun akhirnya diarahkan untuk fokus pada akting. Drama korea Hye-sun yang sukses besar di Indonesia saya hanya tau cuma Boys Over Flowers.

Awalnya saya tak memuja Hye-sun yang bisa termasuk dalam kadar terobsesi, namun ketika tau ia diperbolehkan berkecimpung dalam bidang kebudayaan lain selain dunia hiburan, saya terpesona olehnya. Hye-sun menulis novel, melukis dan membuat pameran/art exibition-nya sendiri, bernyanyi, dan membuat film. Bisa dikatakan ia ini seorang yang menjanjikan, dan saya memujanya karena itu. Kalau tidak berlebihan, ia semacam duta kebudayaan dari YG entertainment.

Ketika mendengar ia memutuskan untuk menikah—bahkan sudah menikah, saya teringat pada pekerja-pekerja dalam industri hiburan yang telah menikah. Selama ini sepertinya mereka memutuskan menikah ketika jadwal kerja dalam dunia tesebut melonggar. Ketika pasar utama Wonder Girls direbut oleh Girls Generation, salah satu personil mereka memutuskan menikah. Sedang Girls Generation sendiri belum ada tanda-tanda bahwa jadwal kerja mereka akan melonggar. Entahlah, ini asumsi saja.

Mungkin Hye-sun telah memikirkan hal ini kan ya. Atau mungkin ia sudah siap melangkah ke dalam fase baru dalam hidupnya. Saya juga sebenarnya juga cukup kaget dengan perubahan image dalam diri Hye-sun di dua tahun terakhir, ia terlihat sangat mature tidak seperti sebelumnya dengan image full cuteness. Entahlah.

Masih cukup penasaran juga dengan Hye-sun kedepannya. Apa ia akan mempunyai anak lalu memutuskan menjadi fulltime mother? Atau ada ambisi besar untuk melakukan kerja-kerja kebudayaan kembali? Atau mungkin hanya akan bermain di drama-drama seperti yang dilakukannya 2 musim terakhir? Mari kita lihat.***

Alkautsar dan Budaya Membaca



Jadi ada sebuah majalah bernama Alkautsar. Saya pernah melamar kerja di majalah ini, namun ditolak. Menurut orang penolakan itu normal, tapi bagi saya itu menyakitkan juga pada akhirnya. But anyway, itu tidak penting sebenarnya. Penolakan adalah hal yang normal, tapi membuat sebuah majalah kolektif itu hal yang lain.

Alkautsar pada suatu waktu membuat sebuah kampanye untuk membudayakan membaca pada warga Shiddiqiyyah. Hal ini berlangsung lama sekali, namun saya ragu kampanye ini berlangsung hingga sekarang. Mungkin puluhan kali Pak M, salah seorang guru saya menyampaikan kampanye budaya membaca ini, sampai saya bosan mendengarnya. Tidak ada yang salah dengan kampanye budaya membaca, toh saya suka membaca, namun saya meragukan niat Alkautsar untuk membangun budaya membaca.

Apa saja yang dilakukan Alkautsar untuk membangun budaya membaca? Hanya mengajak-ngajak lewat suara Pak M? Hanya menulis ajakan di dalam majalah tersebut? Hanya dengan slogan-slogan kosong tanpa adanya tindak lanjut dari slogan tersebut? Apa mereka menggunakan slogan itu hanya untuk mendongkrak penjualan majalah saja? Oh, tentu saja tidak.

Jika Alkautsar serius membangun budaya membaca, maka harusnya mereka ikut membangun sebuah tempat dimana semua orang bisa memiliki akses bacaan: perpustakaan. Itu langkah yang cukup kongkrit, namun tidak cukup hal tersebut saja. Kalau mereka lebih serius, mereka juga akan membangun sebuah kelas-kelas membaca, acara-acara untuk merayakan literasi dan juga diskusi-diskusi ilmiah dengan dipandu para ahli. Namun apakah mereka melakukan hal tersebut? Oh, tentu saja mereka melakukannya.

Apakah sudah terlambat seratus tahun untuk melontarkan kritik ini? Semoga saja tidak. Tabik.***

Selasa, 07 Juni 2016

Manusia yang Disebut Perempuan



Ada sebuah kisah yang selalu terngiang-ngiang di ingatan saya yang disampaikan oleh semacam pengajian modern yang diinisiasi oleh TED—oke, lucu juga menyebutnya pengajian. Kisah itu adalah sebuah pengalaman personal narasumbernya ketika mengaji bersama soal feminisme saat jaman bliyo kuliah pasca-sarjana.

Begini kira-kira kisahnya. Suatu hari ada 2 perempuan yang terlibat percakapan dalam kelompok belajar (study group). Satu perempuan kulit putih dan satunya perempuan kulit hitam. Perempuan kulit putih berkata, “Semua perempuan mengalami opresi yang sama sebagai wanita. Semua perempuan berada di suatu situasi yang sama dalam patriarki. Maka semua wanita mempunyai semacam solidaritas atau persaudaraan intuitif.”
Lalu perempuan kulit hitam menjawab, “Saya tak begitu yakin. Aku akan menanyakan sesuatu padamu.”
Jadi perempuan kulit hitam bertanya kepada perempuan kulit putih, “Saat kau bangun tidur dan bercermin, apa yang kau lihat?”

Jawab perempuan kulit putih, “Seorang perempuan.”

“Nah itu masalahnya. Karena saat saya bangun tidur dan melihat di cermin. Saya melihat perempuan kulit hitam. Buatku ras tampak nyata. Tapi untukmu tidak.” Jawab perempuan kulit hitam.

Kemudian dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Katanya, “Seperti itulah hak istimewa (privilege). Tidak kelihatan bagi yang memilikinya.”

Itulah kenyamana bagi orang kulit putih di situ, tidak perlu memikirkan soal ras sepanjang waktu. Hak istimewa itu tak terlihat bagi yang memilikinya.

Waktu itu narasumber hanya satu-satunya lelaki di dalam lingkaran kelompok belajar tersebut. Jadi ketika bliyo menyaksikan hal itu, bliyo berkata, “Oh tidak. “

Lalu seseorang berkata, “Reaksi macam apa itu?”

Bliyo berkata, “Ketika saya bangun dan melihat ke cermin. Saya melihat seorang manusia. Saya orang yang general. Saya lelaki kulit putih kelas menengah. Tanpa ras, kelas, gender. Saya dapat digeneralisikan secara universal.”

Narasumbernya adalah Michael Kimmel. Bisa dilihat di sini. Menarik untuk disimak, karena selain Michael menyampaikannya dengan cara yang menyenangkan, Michael juga ikut mendukung keterlibatan lelaki dalam memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality). Saya pernah dengar bahwa mendukung keterlibatan lelaki dalam memperjuangkan kesetaraan gender adalah sebuah penemuan feminisme paling mutakhir, karena mereka mempelajari kesalahan feminisme gelombang sebelumnya yang tidak menyertakan peran lelaki.

Hal-hal ini jadi mengingatkan saya sama Emma Watson, aktris cantik-idola-kita-semua ini ditunjuk PBB untuk ikut berkampanye dalam mengikutkan peran serta lelaki dan diberi judul HeForShe. Saya sebenarnya belum baca apa-apa tentang HeForShe—bahkan belum nonton pidatonya Em, tapi kalau melihat trennya memang sudah banyak lelaki ikut peran serta dalam keseteraan gender.

Tapi ya begitu, dalam dunia kekiri-kirian juga banyak perdebatan feminisme tersendiri. Nah hal ini yang pengen saya pahami dulu sebenarnya.***