Oleh Mochammad IH
Pendahuluan
Musik, menurut hemat penulis adalah salah satu bentuk seni
yang dimana adalah sebuah ekspresi kemanusiaan. Jadi seni secara umum dan musik
secara khusus, tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia pada umumnya. Erat
kaitan musik sebagai bagian dari kemanusiaan bisa dilihat dari contoh bagaimana
masyarakat hari ini merevolusi sebuah alat, sebuah aplikasi bernama pemutar
musik menjadi lebih canggih dan mutakhir, dari awalnya berupa sebuah pemutar
cakram yang besar seperti lemari baju, lalu menjadi lebih kecil hingga bisa
digenggam oleh tangan.
Sebagai lembaga pendidikan keimanan dan kemanusiaan yang
bernafaskan tassawuf, Tarbiyyah Hifdhul Ghulam wal Banat (selanjutnya disingkat
THGB) tak terlepas dari kegiatan bermusik sebagai bagian dari kesenian. THGB
bahkan memiliki sejarah panjang dalam membangun kancah permusikan mereka dan
membuat ruang-ruang yang membuka untuk mengekspresikan kesenian terutama musik.
Penulis sendiri, semenjak masuk dan mengikuti pendidikan di
THGB, merasakan sendiri atmosfir hidup kegiatan bermusik di dalam ruang-ruang
ekspresi yang dibangun oleh THGB. Setiap tahun selalu ada kegiatan bermusik
yang selalu dinanti, sebuah acara berkonsep lomba yang menghadirkan puluhan peserta
dengan keragaman yang sungguh sangat mencengangkan, mulai dari lagu pop yang
digilai remaja, musik-musik lucu-lucuan khas muda-mudi, lagu-lagu kritik
sosial, hingga musik-musik yang dianggap haram jadah oleh mayoritas namun
diam-diam dicintai oleh para pemuja yang malu-malu untuk mengakuinya. Hal ini
berlangsung tidak hanya sekali-dua kali saja, namun berkali-kali sepanjang
penulis mengenyam pendidikan di Bustan Tsani dan Tsalits.
Kegiatan bermusik yang disebutkan di atas belum termasuk
ruang-ruang ekspresi lain diadakan oleh Pondok Pesantren yang kala itu masih
bernama Majma’al Bahrain - Shiddiqiyyah, di luar THGB. Ruang-ruang bermusik ini
bahkan memiliki sejarah yang lebih panjang dan hadir sebelum penulis berpijak
di THGB, penulis hanya bisa menyebutkan beberapa, diantaranya Langen, Parade
Musik Shilaturahmi Opshid Seluruh Indonesia dan Jazz Root.
Masa-masa yang penuh gairah ini berlanjut dan berusia
lumayan panjang, puncaknya ketika penulis mengenyam pendidikan di Bustan
Tsalits, para pemerhati kegiatan bermusik membuka sebuah ruang yang cukup besar
untuk edukasi musik berkonsep kegiatan ekstrakulikuler, yang berarti di luar
jam sekolah. Puncaknya ketika para peserta ekstrakulikuler ini membuat ruang
berekspresi dengan konsep festival musik bertajuk Memperjuangkan Cinta Tanah
Air Melalui Seni #1 dan #2. Dua acara inilah yang menurut penulis menjadi titik
rekonstruksi dengan apa yang kini dirayakan sebagai Hari Musik THGB.[1]
Tentu saja bila dihubungkan dengan keadaannya sekarang, kegiatan
bermusik di lingkungan THGB sungguh mengalami kemunduran secara signifikan,
bila tak mau disebut memprihatinkan. Semua yang pernah merasakan gairah
kegiatan bermusik yang meletup-letup saat itu, pasti bertanya-tanya dan gelisah:
mengapa bisa ruang-ruang yang penuh semangat untuk berkarya itu bisa hilang?
Apakah ada sesuatu yang salah? Dimana letak kesalahannya? Untuk menghadapi
kegelisahan-kegelisahan hati terhadap masa depan ruang kegiatan musik di THGB,
penulis di sini ingin membagikan pandangan penulis berupa beberapa faktor yang
menjadi penyebab kemunduran kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini
menjadi titik pemicu diskusi yang lebih panjang bagi kita semua untuk masa
depan kegiatan bermusik di THGB.
Berkembangnya Stigma Negatif Terhadap Kegiatan Bermusik
Banyak kesaksian dari teman-teman penulis yang peduli
terhadap kegiatan bermusik di THGB yang menyampaikan bahwa pihak pengurus
sekolah tidak pernah mendukung kegiatan ini. Tapi menurut penulis penolakan
dukungan dari pihak pengurus sekolah ini didasari berkembangnya stigma negatif
diantara pengurus.
Stigma negatif yang berkembang antara lain, pertama, bahwa
kegiatan bermusik oleh siswa-siswi THGB sering disalahgunakan untuk pacaran.
Stigma ini muncul dan berkembang ketika kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik
sering diadakan pada malam hari, hingga puncaknya timbul kebijakan dari
pengurus sekolah dan pesantren untuk memasang jam malam untuk para siswi THGB.
Kebijakan ini memukul telak kegiatan ekstrakulikuler edukasi musik tanpa adanya
relokasi waktu dan tawaran solusi dari pemegang kebijakan terkait, yaitu
pengurus sekolah.
Kedua, kegiatan bermusik dianggap tidak memiliki faedah yang
cukup besar. Jika dibandingkan dengan program-program kursus keterampilan yang
berada di dalam kegiatan kokulikuler, kegiatan bermusik mungkin tidak menjamin
nilai ekonomis. Namun seperti kisah kesaksian penulis di atas, ditambah dengan
banyak sekali alumni-alumni THGB yang dikenal expert di bidang musik, stigma ini
menjadi berkontradiksi, kalau tidak mau dibilang tidak masuk akal.
Stigma-stigma negatif ini perlu diluruskan, agar tak ada
lagi salah paham. Juga perlu diadakan dialog antara para pemerhati kegiatan
bermusik dengan pengurus THGB. Ini semua perlu dilakukan agar terjadi
kesepakatan diantara dua pihak.
Biaya Akomodasi yang Kian Tahun, Kian Mahal
Inflasi sejak dulu menjadi musuh bagi perekonomian bagi
sebuah negara, apalagi ketika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan dan
daya beli masyarakat, sehingga masyarakat semakin terjepit dengan harga-harga
barang yang begitu tak terjangkau[2]. Karena inflasi pun, kebutuhan logistik
untuk mengadakan ruang-ruang kesenian pun ikut tak terjangkau. Hal ini
menyulitkan para pegiat kesenian dan pengurus sekolah untuk menyusun anggaran,
apalagi bila sisi pemasukannya tidak seimbang dengan pengeluaran. Hal ini tidak
hanya dialami oleh ruang-ruang kesenian di THGB saja, namun juga dialami oleh
ruang-ruang kesenian pada umumnya.
Menurut penulis hal ini cukup bisa diatasi. Mencontoh pada
pergerakan musik arus pinggir kontemporer Indonesia yang sangat ramai
dibicarakan, ruang-ruang ekspresi musik bisa dibuat, dihidupkan dan
dikembangkan dengan lebih sederhana tanpa menguras biaya berlebihan. Seperti
memakai tempat yang lebih kecil, dengan sound system yang terlalu besar dan sebagainya.
Hal seperti ini biasa mereka lakukan dan pada akhirnya bisa berkembang menjadi
lebih besar.[3]
Pelajaran Kesenian yang Tidak Dimasukkan ke Dalam Mata Pelajaran Wajib Sekolah
Bila pelajaran kesenian dimasukkan ke dalam kurikulum wajib
sekolah, hal ini merupakan kemajuan dan keberhasilan yang besar yang diperoleh
oleh THGB, setidaknya ini sebuah niat yang sangat bagus bila THGB sangat
memperhatikan soal kesenian, khususnya musik. Hal ini masih bisa diperdebatkan,
misalnya mungkin dengan memasukkan kesenian sebagai kurikulum THGB, mungkin
tidak cocok dengan tujuan awal dari pendirian THGB. Namun mengingat sejarah
panjang kegiatan berkesenian sepanjang THGB berdiri, hal ini merupakan jawaban
bahwa, meminjam istilah dari tema yang sering digunakan oleh ektrakulikuler
musik: seni tidak bisa dipisahkan dari THGB.
Penulis berpikir bahwa kita bisa berkaca pada pelajaran
olahraga yang telah menjadi kurikulum wajib THGB hari ini. Saat penulis masih mengenyam
di Bustanuts Tsalis, tidak pernah ada pelajaran olahraga yang penulis ikuti
sebagai kegiatan wajib yang berada pada jam sekolah. Namun setelah setahun
kemudian setelah penulis lulus dari Bustanuts Tsalis, pelajaran olahraga masuk
dalam jam sekolah. Ini adalah sebuah kemajuan dari THGB, sebuah proses panjang
dengan refleksi dan pembaruan yang terus menerus dilakukan. Kesenian pula bakal
ikut mewarnai proses ini hingga mencapai sebuah kemajuan baru yang dilakukan
oleh THGB, meskipun perlu adanya proses untuk itu. Perlu juga untuk mempelajari
kajian historis dari dimasukkannya pelajaran olahraga ke dalam kurikulum THGB.
Hal ini mungkin akan dibahas di lain waktu.
Jangan khawatir pada sumber daya manusia untuk mengisi
ruang-ruang kesenian bila kesenian
berhasil dimasukkan ke dalam kurikulum THGB. Banyak sekali alumni THGB
yang tidak perlu dibuktikan lagi dedikasi dan keilmuannya terhadap kesenian,
terutama musik.
Penutup
Demikianlah paparan penulis tentang faktor-faktor kemunduran
kegiatan bermusik di THGB. Semoga tulisan ini menjadi titik awal diskusi untuk
menemukan titik terang masa depan ruang-ruang kesenian di Tarbiyyah Hifdhul
Ghulam wal Banat.
Tulisan ini tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan,
untuk itu penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan.
Kemudian penulis sangat berbahagia bila ada yang memberi tanggapan terhadap
tulisan ini berupa tulisan juga, sehingga menjadi sebuah diskusi yang menarik
diikuti. Bila banyak sekali tanggapan yang masuk terhadap tulisan ini, barangkali
bisa dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Semoga Alloh meridho’i
semua kerja-kerja kita. Amin. Selamat Hari Musik THGB.***
*Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut
Hari Musik THGB pada 26 Sya’ban 1437 H.
Mochammad IH adalah murid Maqoshidil Qur’anil Mubiin
angkatan 8 dan anggota Solidaritas Peduli Musik THGB.
Kepustakaan
[1] Hari Musik THGB diperingati tiap
tanggal 26 Sya’ban. Yang menjadi dasar dari peringatan ini adalah surat dari
Almukarrom Kyai Mochammad Muchtar Mu’thi kepada kepala THGB waktu itu, (alm)
bapak Mochammad Munif yang memutuskan untuk menetapkan tanggal 26 Sya’ban
sebagai Hari Musik. (Surat ini disimpan dan ditunjukkan kepada penulis oleh
(alm) bapak Mochammad Munif).
[2] Ida Muliyati; Rentetan Sejarah
Inflasi Indonesia, Jejak Penderitaan Masyarakat Kecil | Redaksi LPM Jurnal
Kampus FE Unlam http://redaksijurnalkampus.blogspot.co.id/2014/03/rentetan-sejarah-inflasi-indonesia.html
[3]Lihat Walk the Folk yang diinisiasi
oleh Sandi Kalifadani dan Mira Asriningtyas. Gig ini adalah pengembangan dari
Folk Afternoon, sedang Folk Afternoon sendiri merupakan sebuah
acara musik sederhana yang meniadakan batas antara panggung dan penonton dengan
justru membuka ruang bermusik seluas-luasnya: tidak ada bintang tamu, tidak ada
sound, tidak perlu kemampuan bermusik yang hebat, dan
tidak ada panggung secara resmi. (Titah Asmaning; Walk the Folk: Piknik, Musik,
Kisah dan Jalan Kaki; Majalah Cobra http://majalahcobra.com/blog/walk-the-folk-piknik-musik-kisah-dan-jalan-kaki.html
)