Well, postingannya mungkin pake dua bahasa kali ini hehehe. Mungkin gara-gara udah jarang update blog yang ini.
Postingan kali ini mungkin adalah cara gue untuk menyambut Raisa di Sutos. Seorang penyanyi baru yang berkualitas. Menurut gue, Raisa ini mewakili sebuah generasi baru dalam musik Indonesia yang debutnya dimulai pada tahun 2009-2010 dengan munculnya Vierra lalu berlanjut dengan berbagai band baru yang punya konsep sendiri-sendiri dan yang terpenting mereka “fresh”. Raisa bukan Vierra, musik mereka beda (yah, meskipun mereka pernah bersama sih).
Raisa masuk industri mainstream Indonesia. Namun dia banyak diacungi jempol oleh sekumpulan musisi papan atas Indonesia. Komunitasnya pun bukan lagi teman-teman generasinya, tapi lebih dalam lagi dia diterima dalam komunitas underrate khususnya jazz.
Tapi karakter vokal Raisa bukan pure di musik Jazz sebenernya. Gue penasaran kenapa dia diterima di komunitas Jazz, secara Sutos adalah sebuah tempat ekslusif yang kebanyakan artis ibukota yang main di situ adalah musisi Jazz dan sebangsanya.
Namun terlepas dari keanehan tentang penerimaan Raisa, yang pasti Raisa membuktikan kalau musik mainstream Indonesia tidak selamanya hancur dengan kualitas yang pas-pasan. Seorang Raisa yang cantik, otodidak, gak bisa main alat musik dan sarjana jurusan marketing mendobrak semua itu.
Well, suatu waktu Alm. Pak Wadi, yang sempet jadi guru gue berkata kalo gue adalah seseorang yang punya cakra musik yang begitu dahsyat dan dia sangat menyayangkan situasi gue sehingga menutup potensi cakra tersebut.
Potensi cakra ini punya ciri khusus, yaitu gak bisa ditiru sama orang lain.
Dan gue rasa Raisa udah membuka cakra musiknya.
Envyyyyyy. Hahahaha.
Kan gue udah bilang Raisa bukan hanya cantik, tapi dia menemukan karakter vokalnya itu dengan otodidak. Bahkan passion dia sebenernya lebih ke arah marketing padahal. Eits, tapi menyanyi udah menjadi satu bagian dalam dirinya. Jadi secara tidak langsung ada penekanan pada seorang Raisa adalah seorang yang hidupnya gak dipisahkan dari menyanyi.
Yap, kesimpulannya generasi baru musik mainstream Indonesia ini adalah generasi yang bisa memuaskan industri mainstream dan komunitas underrate di Indonesia. Bukan dengan cakra musik ya, tapi ada yang memakai konsep dan juga ada yang menawarkan kualitas :)
Congratulations, Yaya :)
-----------------------------------------
Mungkin paham politik antara Liberal dan Konservatif sulit banged dijelaskan daripada paham ekonomi untuk Liberal dan Konservatif, soalnya Liberal dan Konservatif itu relevan, tergantung situasi dan kondisi dalam negara.
Namun secara garis besar Liberal itu berarti menuntut kebebasan individu untuk berekspresi, dan Konservatif menuntut untuk mempertahankan norma-norma yang berlaku.
Gue secara eksplisit mempelajari bahwa organisasi angkatan alumnus gue ini berada pada dualisme Liberal dan Konservatif. Yap, IMQ 11 atau KAMI 12 itu mempunyai jurang pemisah yang belum bisa disatukan yang gue sebut dengan kubu Liberal dan kubu Konservatif.
Gue berada di kubu Liberal, dan jajaran pemerintahan di organisasi diisi oleh orang-orang Konservatif.
Bagaimana Liberal menurut idealisme gue?
Satu, berdiri sendiri. Dua, membuka diri pada dunia luar. Tiga, penerapan pada informasi dan teknologi. Empat, menerima, mengijinkan dan mendukung berbagai ekspresi individu.
Dan bagaimana Konservatif menurut pandangan gue selama ini?
Satu, sulit diajak berunding. Dua, terlalu ikut pada generasi-generasi lama. Tiga, katak dalam tempurung.
----------------
Selama gue menjadi ketua gue juga merasa aneh ketika orang-orang disekitar gue selalu tidak sepaham dengan gue. Selain masalah pertemanan dan keakraban, namun akhirnya gue menemukan prinsip dualisme ini. Makanya dewasa ini gue lebih memilih mundur dari jajaran pemerintah dan mempelajari apa permasalahannya.
Well, selama gue menjabat ketua gue juga berusaha menanamkan ide-ide liberal. Gue yakin ada ada satu yang nyangkut, tapi belum tau apa itu. Tapi itu gak penting, yang penting adalah bagaimana menyikapi dualisme ini.
Dan lagi gue bukan menjelek-jelekkan Konservatif karena gue berada di kubu Liberal.
Gak selamanya Liberal itu benar, dan gak selamanya Konservatif itu benar semua.
Manusia selalu berubah karena waktu terus berputar. Dan bagaimana menyikapinya? Orang-orang banyak yang bilang dengan mengambil yang baik di masa sekarang dan mempertahankan yang baik di masa lalu.
Tapi gue juga punya cara sendiri buat menemukan jawabannya, soalnya entah kenapa gue kalo melihat penjabarannya orang lain pertamanya ngomong ngerti tapi pas besoknya gue udah lupa dan gak paham
–__–
Pembahasan Liberal dan Konservatif ini ngingetin gue sama DF, yah dia emang cewek spesial sih. Dia salah seorang yang gue kenal bisa mengharmonikan antara Liberal dan Konservatif di kelasnya.
Gue dulu suka sama dia salah satunya karena dia punya ide-ide liberal. Namun dia juga bisa berkompromi dengan kubu Konservatif karena dia seorang realistis.
Entah karena kelasnya yang kebanyakan Liberal atau gimana, tapi jelasnya banyak bukti yang menunjukkan kalau dia bisa mengharmonikan dua kubu tersebut.
Sebenernya dari karakter DF ini gue bisa belajar banyak. Tapi karena satu dan banyak hal, terlebih situasi dan kondisi dan gue juga banyak salah dengan dia, gue gak bisa berharap banyak.
Tapi pada dasarnya (sebagai pembelaan) seperti gue katakan di atas, gue juga punya cara sendiri untuk mengerti sebuah masalah dan solusinya meskipun itu perlu waktu lama.
Apa ada sependapat dengan gue? Atau punya perspektif yang laian atau bahkan kasi referensi? Ditunggu loh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar