Selasa, 03 Maret 2015

Janda-Janda Di Umur Belasan

Terimakasih, Bapak.
Aku tak membencimu
Keadaan membuat kita begini
Esensi pernikahan
Hanya memperbaiki nasib

Tapi tahukah Bapak?
Bahwa keadaan takkan berubah
Posisi tawar kita tak kuat
Hanya bisa menunggu
Intelektual merasa keresahan
Dan memperbaiki nasib kita

Bapak, bukan semua salahmu
Aku tau kau mencintaiku tulus.

25/02/2015/23.06pm

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu waktu gue pergi ke barbershop dan menemukan seseorang muda dan menarik asyik berbincang-bincang dengan sang pemilik. Setelah doi pergi, gue bertanya dan pemiliknya langsung menjawab bahwa dia keponakannya dan baru saja bercerai dari suaminya. Holycrap. Belum sampai situ, sang pemilik ini bercerita bahwa umurnya masih 17 tahun. Sang janda belum punya anak, btw.

Kasus yang sama dengan penyanyi dangdut yang itu (dinikahi sebulan lalu ditalak tiga), tapi perbedaan nasib bukan jadi fokus di sini, tetapi bahwa praktek pernikahan di umur belasan masih sering terjadi. Hal ini harusnya menjadi pemicu sebuah studi, dan beberapa hasil studi yang gue temukan di google. Dan studi studi ini menggambarkan betapa kompleks masalah ini mulai dari pemikiran para orang tua, paradigmanya yang sudah umum (seakan-akan tidak ada rasa kemanusiaan!) hingga akibat-akibatnya di masyarakat. Kebanyakan angka pernikahan di bawah umur terjadi karena hamil di luar nikah, dan ini termasuk dengan desakan orang tua yang menikahkan anaknya. Beberapa akibat yang terjadi karena pernikahan di bawah umur menurut studi: KDRT, karena mental yang kurang siap untuk membangun rumah tangga. Resiko meninggal karena reproduksi, bahwa fisik yang muda dan belum matang berpotensi tidak siap. Terputusnya akses pendidikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa orang menikah tak bisa mengikuti pendidikan.[1]

Sebelum gue mencari-cari hasil studi di google, sebenernya gue membuka sebuah diskusi di Facebook soal pernikahan di bawah umur ini. Dalam komentar-komentar yang gue terima, kita semua setuju bahwa pernikahan di bawah umur itu tidak relevan dengan zaman sekarang, namun kita berbeda-beda melihat akar permasalahannya. Ada yang berpendapat cuma soal pemikiran/pendidikan para orang tua. Gue waktu itu setuju bahwa masalah pendidikan dan kemiskinan adalah masalahnya. Pendidikan: karena orang tua masih merasa memiliki hak untuk menikahkan anak yang dirasa membebani orang tuanya, karena jika dinikahkan orang tua tersebut bisa membebankan ke pihak suami. Kemiskinan: mahalnya biaya pendidikan, kurangnya lapangan kerja atau lapangan kerja yang ada tidak relevan dengan sistem. Namun satu hal yang gue kecewakan adalah bahwa ada yang memaparkan solusi untuk menunggu, karena adanya proses jangka panjang dengan mengubah paradigma masyarakat umum dari pihak-pihak intelektual yang di kota untuk meluruskan paradigma-paradigma keliru di desa. Hell no, gue sama sekali gak setuju dengan ini. Harusnya kita bergerak secara masif untuk mengkampanyekan hal ini di masyarakat.

[1]BKKBN: Kajian Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi Di Indonesia, Dampak Overpopulation, Akar Masalah Dan Peran Kelembagaan Di Daerah.

*tulisan inni sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif

Senin, 02 Maret 2015

Iklan Layanan Masyarakat: Dilarang Merokok Bagi Orang Miskin

Selama ini gue termasuk orang yang mendukung industri rokok/kretek sebagai nafas negara. Mengamini kata mereka sebagai warisan budaya. Tapi disadarkan ketika mendapati kenyataan bahwa harga rokok yang kelewat mahal. Lalu sempat mengalami penderitaan ketika uang saku habis karena dihabiskan untuk merokok. Rokok sekarang menjadi kebutuhan primer yang termasuk dalam makan (setidaknya bagi gue). Tulisan ini bukan tentang kesehatan, tapi bagaimana pandangan subyektif gue tentang relasi rokok dan kemiskinan.

Rokok itu adiktif? Orang luar sana bilang begitu. Tapi industri rokok gencar sekali dalam menggunakan dana CSR. Seakan-akan dosa mereka terobati karena telah melakukan pembangunan yang dicitrakan. Yang lucu adalah ketika ada pelarangan bagi mereka membiayai kegiatan olahraga, seni dan budaya, gue mendapati mereka bertransformasi dengan wajah baru. Robin Hood masih bergentayangan.

Tuntutan subyektif gue cuma satu: kesejahteraan bagi seluruh petani tembakau, para buruh dan konsumen. Konsumen di sini tidak terlalu diperhatikan kesejahteraannya, dia tanpa pernah disadarkan bahwa membeli produk mereka sama dengan kemiskinan. Sebenernya dengan harganya yang mahal harusnya mereka berpikir bahwa mereka akan menjadi miskin, atau bangsa kita ini kelewat terlalu bodoh untuk berpikir memakai otak?

Kalau ditarik jauh kembali, rokok bukanlah penyebab kemiskinan melanda bangsa ini. Rokok merupakan sebuah produk kelas berkantong tebal, jadi apalah arti rokok bila harganya murah? Apalah arti rokok bila bangsa ini terbebas dari kemiskinan? Jadi pada dasarnya bangsa ini saat sekarang belum sanggup membeli rokok sebungkus sehari.

*Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif

Minggu, 01 Maret 2015

Bagaimana Bersikap Atas Isu Politik Nasional?



Kritis. Menurut wikipedia adalah pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kalo menurut gue sih ya sikap kritis itu bagaimana kita tidak menerima sebuah kabar secara bulat-bulat.

Nah sejauh pengalaman gue mengamati isu-isu politik, sering kali beberapa orang yang menerima bulat-bulat informasi--entah karena fanatisme atau emang pada dasarnya doi bigot-- mereka ini seringkali menyesal di akhir dan merasa ditipu mentah-mentah setelah sadar dengan dukungannya jatuh pada orang yang salah. Kemudian seiring waktu, para korban sebagian ada yang sudah pesimis kalo ditipu kembali, namun ada juga yang masih terjebak kembali pada lubang yang sama.

Gue termasuk orang yang sering terjebak pada lubang yang sama dalam bersikap pada isu politik. Semakin sadar bahwa tidak ada figur yang dapat di percaya dalam ranah politik--belakangan gue disadarkan bahwa mempercayakan pada figur adalah kesalahannya, tak ada yang bisa menyelamatkan kita kecuali kita sendiri. Sounds like punk.

Ya, tak ada yang bisa menolong diri kita kecuali diri kita sendiri. Kemandirian dan berpikir tentang apa pentingnya bagi kita adalah sikap kedua.

Baru-baru ini yang lagi hot sikap para anggota dewan yang setuju melakukan hak angket atas sikap gubernurnya--yang pada akhirnya sang gubernur bisa saja dimakzulkan, lalu sang gubernur ini terlihat membalas perlakuan para anggota dewan dengan melaporkan mereka ke KPK. Lalu para penonton ini pun langsung pro dan kontra, masing-masing mendukung salah satu pihak. Dan para pendukung ini adalah para calon korban yang tertipu dengan sandiwara figur.

Salah satu pertanyaan kritis yang gue dapet di social media: kalo memang korupsinya sejak tahun 2012, kenapa baru dilaporkan sekarang (2015)? Semoga pertanyaan ini bisa menjawab sebagian apa yang ingin gue sampaikan. Gue tinggal di salah satu kota kecil di Jawa Timur, ratusan kilometer jauhnya dari ibukota. Jadi buat apa mengurus isu di ibukota kalo tidak ada kepentingannya di kota yang gue tinggali?

Lalu sempat ada teori bahwa isu-isu yang dimainkan oleh para tokoh politik ini adalah sebuah pengalihan atas isu yang lebih besar. Dan para pemilik teori ini mengatakan bahwa isu-isu tentang penindasan penguasa terhadap kita adalah isu-isu yang harus kita pedulikan, karena kita memiliki rasa penderitaan yang sama sebagai orang-orang kecil yang tak memiliki kuasa politik.

*Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif

Sabtu, 28 Februari 2015

Kiri Yang Seksi Dan Memahami Arti Keresahan Sosial

http://trademark.markify.com/trademarks/ctm/kiri/010902682

Ada hal yang berbeda dari gue yang sekarang, ada transformasi pemikiran yang ekstrim. Transformasi pemikiran--begitulah gue menyebutnya-- adalah hal yang bukan menjadi sebuah kekagetan dalam hidup gue selama ini. Tranformasi seperti ini sudah beberapa kali gue alamin, mulai dari jaman anak baru gede yang membaca kebobrokan kapitalis pasca orde baru, kediktatoran orba, kegagalan sukarno, hingga sempat berdamai dengan kapitalis dalam masa-masa gelap gue habis patah hati hahaha dan akhirnya transformasi lagi.

Sepertinya pencarian jati diri gue belum akhir. Di transformasi terakhir ini gue banyak merenung tentang masa depan yang gue bakal hadapi. Gue masih dalam pendidikan berbasis pesantren post-nadhliyin, post-tassawuf--begitulah gue menyebutnya--, lalu ikut pergerakan sosial-filantropi yang begitu dibanggakan. Dan dulu gue memilih untuk bertahan dan menerima resikonya, apapun itu.

Transformasi pemikiran ada berhubungan dengan keresahan, kegelisahan tentang hal-hal yang berada di lingkungan gue: hal yang sama sekali gue barusan paham setelah banyak-banyak membaca tentang sosial-politik--sementara di tahun-tahun sebelumnya gue banyak mendengar hal ini, namun sama sekali belum paham sama sekali.

Ada hubungannya juga dengan suatu pembicaraan suatu hari dengan salah seorang aktivis musik independent Jombang. Doi mengutarakan pemikirannya tentang membuat sebuah zine yang isinya tentang kritik sosial hal-hal lingkungan, namun doi waktu itu belum sempet memaparkan contohnya. Dan gue pada tahun-tahun itu tak paham bahwa hal-hal tersebut tentang kepekaan kita terhadap lingkungan sosial (keresahan sosial), gue masih (pada waktu itu) memahami bahwa harus mengikuti pemikiran orang lain. Namun syukurnya sekarang gue lebih paham dan mulai mencari cara yang relevan untuk membangun masyarakat sesuai dengan basic pendidikan gue.

Karena basic gue adalah pesantren, jadi tak mengenal dengan kehidupan kampus. Namun setelah transformasi ini, sedikit-sedikit gue mempelajari dari luar (tidak bijak rasanya jika tidak mengalaminya langsung) bagaimana istilah-istilah dalam kampus: mulai dari Jurnal (gue berpikir sebuah Zine bisa menjadi sebuah Jurnal) yang berisi tulisan-tulisan untuk membangun intelektual target pembacanya. Gue langsung berpikiran untuk membuat Jurnal/Zine untuk daerah gue sendiri (meskipun gue udah gak aktif di skena musik). Lalu ada KKN yang tujuannya bagaimana memupuk rasa simpati mahasiswa terhadap hal-hal yang mereka temukan di masyarakat. Kemudian studi, yang hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan menjadi standar gue dalam menerima berita. Pemahaman gue tentang studi adalah idealnya pekerjaan seorang sarjana, para kaum intelektual untuk membangun masyarakatnya: ketika ada tuduhan kepada mereka yang hanya menjadi pekerja kerah putih setelah lulus.

Hal-hal tersebut tidak relevan dengan basic gue di pesantren, jadi gue mencari cara yang sesuai dengan basic pendidikan gue: hal-hal yang gue lakukan selama ini menyebarkan isu nasional untuk dibuat diskusi bersama, tapi pada akhirnya gue sadar bahwa isu nasional terlalu besar untuk sekarang dan banyak kepentingan-kepentingan hingga dibangun argumen-argumen supportif terhadap para pros dan kontras, akhirnya membuat gue memeriksa sendiri isu-isu lokal (begitu gue menyebutnya) yang masih relevan dengan posisi gue sehingga pada akhirnya gue memahami apa itu keresahan sosial. Gue juga ada proyek membuat musik dengan lirik-lirik keresahan sosial, yang satu-dua liriknya gue upload di facebook, kemungkinan gue bakal membuat penjelasan subyektif untuk masing-masing lirik tersebut. Lalu gue tertarik membuat sebuah jurnal intelektual tentang isu-isu lokal yang gue lihat, tapi gue belum ada organisasi yang mendukung. Dan hal-hal lain yang tercipta karena momentum yang meledak-ledak ini.

Kiri Yang Seksi

Gue kaget sekali bahwa Ruang Rupa dalam kegiatannya memberi edukasi kiri: padahal gue lihat mereka adalah sebuah keberadaan yang dekat sekali dengan para kaum urban yang hedonis (seperti itulah kira-kira pendapat subyektif gue). Lalu melihat tujuan eksplisit seperti itu apakah gerakan kiri merupakan gerakan hip? Seperti kelas menengah yang lagi terpesona dengan batu akik?

Namun dari awal tujuan utama gue adalah kesejahteraan rakyat kecil, membuat mereka mempunyai pendidikan politis dan bisa bersikap terhadap para penipu-penipu yang biasa menipu mereka, membuat mereka lebih kritis terhadap isu-isu yang bermuatan kepentingan (yah minimal) di sekeliling mereka. Dan membuat mereka bisa menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Jumat, 30 Januari 2015

Field Report #1: RTH Jombang

Abstrak

Jadi gue ikut seduction community baru lagi selain hitman system. Komunitas ini dibangun di blog, kaskus dan grup facebook. Gue awalnya nemu di blog, ngikuting setiap postingan lalu berlanjut di grup facebook. Di blog bernama Laki Tulen sedangkan grupnya bernama Pickup Artist Indonesia.

FR atau Field Report adalah laporan praktek di lapangan, dibagikan agar para master bisa menilai dimana kelemahan yang harus diperbaiki--kayaknya you get the idea kan ya. Dan ini adalah FR pertama gue di Pickup Artist Indonesia. Here we go.


Ini FR pertama gue di sini (niatnya mau di post di blog, tapi gue sadar gue perlu pembenahan kayaknya). Dan ini pertama kali gue praktekin postingan-postingan dasar di blognya bang Exorio. Mohon pencerahannya.

Pas acara jalan jalan akustik #2, gue memberanikan diri untuk berkenalan dengan dua cewek yang lagi asyik foto-foto. Kejadiannya udah lama, dan first time I ever do that, jadi mungkin ada yang lupa.

Gue: Mbak, kesempatan hanya datang sekali jadi saya pengen kenalan.
Dua duanya: Waduh kirain ada apa mas *wajahnya panik menjadi lega*

Jadi pas nyamperin gue jalannya buru-buru, jadi ekspresi muka mereka pas gue mendekat kayak mau ditilang sama polisi hahaha.

Gue: kalian berdua lesbian ya?
Dua duanya: YA ENGGAKLAH. Cowok masih banyak mas.
Gue: *ngajak salaman* namanya siapa?
Cewek 1: Devi *nerima salaman gue*
Cewek 2: *gak jawab, asyik main hape*

Gue: *fokus ke Devi dan terlibat percakapan tentang alamat, kerjaan dan basa basi lainnya*
Gue: yaudah minta nomer kamu *kasi hape*
Devi: *nyatet nomernya*

Lalu gue test nomernya, nyambung tapi ternyata Devi gak bawa ponselnya. Dia lalu nyuruh gue sms ke nomer dia aja. Setelah itu kita berdua sama-sama diem. Anjirr, pas kayak gini gue panik mikir pertanyaan selanjutnya. Setelah beberapa saat gue akhirnya pamitan.

Gue: yaudah ya, silakan dilanjut foto-fotonya
Devi: iya mas

Berbalik dan ngacir ke kawanan Jalan Jalan Akustik. Setelah itu gue follow up, dan ajakin kencan tapi dianya gak mau. Hahaha. Belakangan gue baca-baca lagi blognya bang Exorio, ternyata ada hal yang lebih baik dari mengoleksi nomer ponsel. Jadi pelajaran untuk hal berikutnya.

Btw, ada yang mau nambahin?

Jalan Jalan Akustik #2