Selasa, 01 November 2016

Yang Pertama di SineRupa



Ketika melihat sendiri bagaimana segala kerepotan ayah saya mengurus keuangan keluarga ditambah pula segala urusan organisasi keagamaan yang beliau ikuti sendirian, saya jadi seperti menemukan contoh nyata dari kelakar lord_kobra ketika diejek seorang pelaku anarki namun memiliki KTP. Semoga kesehatan dan keselamatan selalu dilimpahkan Tuhan yang Maha Kuasa pada ayah saya. Bila tidak, mungkin hidup saya akan bagus untuk dituliskan sebagai salah satu novel tragedi yang menyumbang sisi kebudayaan peradaban manusia.

Omong-omong, lord_kobra juga pernah diejek sebagai “kelas menengah kurang kerjaan” atas kerja-kerja lapangannya untuk membela orang-orang yang digusur dengan laku otonomis-demokratis. Ejekan inilah yang teringat ketika saya menghadiri pemutaran pertama kolektif SineRupa di Suroso House, Jum’at lalu (28/10/2016).


Ada tiga film yang diputar berurutan malam itu. Semuanya film pendek karya sineas lokal. Dan semuanya saya rasa memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. “Di Suatu Tempat Dimana Pernah Ada Kita” karya Ernaz Ahmad memuat kritik sosial dengan isu yang paling panas hari ini: konflik agraria. Bercerita tentang seorang anak yang ingin bertani namun ia diihalangi oleh proyek pembangunan pabrik. Namun sepertinya hanya kawan-kawan yang paham dengan isu ini saja yang mengerti muatan kritik sosial pada film ini. Kawan di sebelah saya saat menonton misalnya, ia yang saya kenal memang buta akan politik akibat keberhasilan proyek depolitisasi kaum muda oleh Orde Baru, perlu dijelaskan terlebih dahulu untuk mengerti isi filmnya.

A photo posted by Sinerupa (@sinerupa) on

“Di Bioskop” karya Bias G. Wicaksi membawa penonton ke dalam kesegaran komedi dengan latar belakang kaum muda perkotaan. Tak ada yang berkesan sebenarnya, kecuali ketika tim produksi film memakai penjual pentol sebagai figuran. Ohya, ada gambar dimana seorang perempuan bertubuh gempal berlari-lari. Ketika memakai tubuh perempuan sebagai bentuk kelucuan sebenarnya bisa menjadi polemik. Namun seharusnya kita sudah melewati perdebatan seperti ini.


Satu-satunya yang memenuhi syarat sebagai film drama dalam pemutaran film itu adalah “Rena Asih” karya Lingga G. Permadie. Ada premis, karakter, konflik dan klimaks juga dikonsep drama musikal. Hasilnya, dua kawan saya yang cukup perasa bercucuran air mata. Premisnya cukup sederhana, seorang anak yang harus berkorban sesuatu untuk menyelamatkan masa depan pendidikannya. Meskipun dramanya kadang terlihat berlebihan, namun alur ceritanya sangat rapi. Saya hanya kecewa pada ending yang bahagia, karena sederhananya hidup memang tak sesederhana itu.

Dua dari tiga film itu mengambil tema kesulitan-kesulitan hidup dalam masyarakat. Namun saya merasa awkward ketika melihat sasaran audiens-nya adalah anak muda perkotaan. Bila dua film itu diputar di Balai Desa misalnya, mungkin akan cocok sekali dengan sasaran penontonnya. Namun ketika ia diputar di sudut keramaian kota, lalu apa yang bisa diharapkan dari kelas menengah? Menjawab hal itu lord_kobra berkelakar bahwa kelas menengahlah yang memicu gerakan pembangkangan sipil di Amerika tahun 60-an. “....sebagai contoh nyata pernyataan Martin Suryajaya tentang sekumpulan komunitas sok nyentrik yang mau sekedar tampil beda, yang tak mampu membedakan antara memperjuangkan revolusi dan pergi piknik[1].“[]

[1] Perang yang Tak Akan Kita Menangkan | Gutterspit https://gutterspit.com/2016/04/20/perang-yang-tak-akan-kita-menangkan-iv/